Entah kenapa aku merasa agak aneh dengan laki-laki yang bernama Adit itu, merasa sedikit marah saat melihat dia dengan wanita lain, padahal kami tidak memiliki hubungan apapun dan aku juga membangun dinding tebal untuk melarang laki-laki seperti dia masuk kembali kedalam kehidupanku.
Rasa sakit itu masih terlalu membekas erat didalam hatiku, tidak ingin kembali kecewa karena laki-laki yang berjenis yang sama, laki-laki rusak dan tidak jelas melakukannya, tidak bisa dipercaya kesetiaannya.
Hari ini seperti biasanya aku berangkat kekampus dengan tumpukan kertas didalam gendongan tanganku, sudah seberat seperti menggendong seorang bayi saja saking banyaknya kertas yang harus aku bawa.
Skirpiku tidak lah sesedikit yang lainnya, saat mereka mungkin hanya memiliki sekitar 60 dari ban satu sampai bab tiga, sedangkan aku untuk bab tiga saja sudah ada 80 lembar dan itu semuanya adalah teori, yah beginilah nasipku dalam membuat skripsi.
Yang lain akan tuntas de
Hay Hay Hay Hay Hay Hay Hay, maaf yah agak lama nextnya. Semoga suka yah sama ceritanya. Mohon kritik dan sarannya juga teman-teman biar aku semakin semangat buat nulis. Daaaaaaaahhh semuaaaaa.
Aku fikir semalam semuanya sudah baik-baik saja, bisa tenang dan tidak ada gangguan lagi tapi ternyata aku salah, Adit tubuh menyerah dan tinggal diam, dia menghubungiku berkali-kali sampai aku memutuskan untuk mematikan hp ku saja, bahkan mengirimkan bertubi-tubi SMS yang kembali aku abaikan. Pahitnya aku bertemu lagi dengan laki-laki itu, dia tidak menyerah dan hal itu yang membuat aku malas luar biasa. "Kau bisa tidak, tidak usah menggangguku," gerutuku saat melihat Adit didepan pintu rumahku. "Jelaskan," pintanya lagi. "Sudah aku bilang kami tidak membicarakan apapun," kataku yang tidak habis fikir. "Jangan bohong," katanya yang membuat aku marah. "Kalau kamu tidak percaya itu urusanmu, jangan ganggu aku lagi," kataku dan segera meninggalkan Adit begitu saja. "Tia," katanya dengan nada tinggi dan aku tetap mengabaikan laki-laki itu. "Apa-apaan sih," gerutu dan menaiki angkot untuk menuju kekampus. Kali ini u
Sudah hampir satu bulan ini aku menjauhi Tia dan berharap aku bisa melupakannya tapi ternyata aku salah, setiap saat aku malah semakin merindukan gadis itu, merindukan kemarahannya yang kadang kala membuat aku gemas dan sebal, sebal saat dia sangat keras kepala sekali. Tia merupakan wanita yang keras dan tidak gampang dan hal ini membuat aku merasa tertantang, tertantang untuk menaklukkan dan mendapatkan gadis itu, urusan Papa itu bisa berlakangan sekarang yang aku lakukan adalah urusan hatiku yang selalu merindukan gadis itu dan hal ini tidak bisa aku remehkan. Sebenarnya aku benar-benar ingin menjauhinya, tapi melihat bagaimana perjuangannya Febri untuk mendapatkan wanita yang dia cintai membuat aku termotivasi dan sekarang aku tidak akan melepaskannya lagi dan akan semakin gencar untuk melakukan pendekatan. "Kemana Lo?" Tanya Febri saat aku baru saja berdiri dari tempat dudukku. "Keluar." Kataku dan mengabaikan pertanyaan lainnya yang datang dari teman-temanku. Saat ini tujuank
"Lo mau maling yah," kataku dan memegang tangan laki-laki urakan yang sedang memegang dompetku."Maling-maling," teriakku dan sialnya dia segera menutup mulutku dengan tangannya."Jangan asal nuduh," katanya lagi."Lepas berengsek," gerakku dan berusaha melepaskan tangannya yang menutup mulutku."Gw cuma mau ngembaliin dompet Lo yang jatuh," katanya dan melepaskan bekapan mulutku."Alasan aja," geramku dan merampas dompetku yang ada ditangan laki-laki itu."Terserah mbak kalau gak percaya," jawabnya cuek."Anak jalanan dan rusak seperti kalian kalau bukan maling yah pasti preman," gumamku lagi."Sembarangan," katanya lagi."Lihat tato satu badan, rambut gak keurus, meskipun tampang tidak terlalu menyeramkan saya sudah bisa tebak," gumamku sewot."Mbak ditolongin bukanya terimakasih," gumamnya."Ngapain terimakasih, kalau gak ketahuan sama saya sudah hilang ini dompet," jawabku sewot."Susah ngomong sama embak,"
"malas banget sama Nara yang sekarang hobinya pacaran Mulu," gerutuku memilih belanjaan.Bagaimana tidak menggerutu kalau biasanya akan ada Nara menemani aku berbelanja kebutuhan dan kaki ini aku terpaksa jalan sendiri karena gadis satu itu sedang disandera oleh cowok modelan oppa-oppa yang bikin meleleh kalau gak tau gimana kelakuannya yang urakan."Mana belanjanya banyak lagi," kembali aku mendumel."Mbak hati-hati dong," kata ibu-ibu yang trolinya gak sengaja ketabrak sama troliku."Maaf buk," kataku sungkan."Anak gadis zaman sekarang," ujarnya mendumel dan aku hanya bisa meringis saja."Malangsekalih nasipmu mainmunah," gumamku didalam hati."Udah ah, malas gw," kataku dan ngantri ditempat kasir."Ini lama banget deh," gerutuku tidak henti-hentinya."Mbak jangan dorong-dorong dong," kataku melotot kebelakang dan melihat seorang remaja asik bercanda ria dengan kekasihnya."Sirik," gumamnya dan aku kembali melo
Dua hari ini aku disibukkan dengan gadis yang bermulut tajam itu, gadis yang menuduhku sebagai pencopet dan mengata-ngataiki sesuka hatinya.Tidak ada gadis seperti ini sebelumnya. Meskipun tidak setenar Febri tapi jangan salah aku juga digilai banyak cewek. Bahkan dengan mengedipkan mata saja semuanya akan bertekuk lutut di bawahku.Tapi dia berbeda, tidak tertarik dengan cowok sepertiku, yang biasanya menjadi rebutan cewek-cewek dikampus."Woi lu ngapain bengong," kata teman laknatku saat aku masih asik memperhatikan gadis bermulut pedas itu dari kejauhan."Merusak," gumamku dan meninggalkan mereka semua."Sarap tuh anak," ujar mereka yang aku abaikan."Adit," panggil seorang wanita saat aku berniat untuk nyaperin cewek bermulut tajamku yang sepertinya sedang banyak tugas itu."Ada apa?" Tanyaku saat melihat Risa diujung koridor."Mau kemana?" Tanyanya dan mendekat."Ada apa?" Ulangku."Temenin aku nanti malam bisa?" Kata
"Gw gak suka cara seperti ini," kataku saat sampai di ruangan laki-laki menyebalkan yang sukanya ngatur hidup gw."Yang sopan kalau bicara," katanya santai."Gw cabut," kataku malas meladeni dia yang pasti ada maunya."Duduk," katanya dingin.Tetap saja aku tidak terpengaruh dan sialnya saat membuka pintu para begundal itu sudah berdiri dengan siaga."Mau Lo apasih?" Kata gw dan menghempaskan pintu sekuat yang gw bisa"Semakin hari kamu semakin tidak sopan," gerutunya lagi."Gw malas bicara sopan santun sama orang yang bahkan juah lebih tidak sopan," kataku malas."Aku ini tetap palamu," jawabnya marah."Baru ngakuin gw sekarang?" Jawabku sarkatis."Sudahlah, percuma bicara basa basi dengan mu," jawabnya lagi yang membuatku memutuar bolamata dengan malas."Segera selesaikan kuliahmu," katanya memula
"menyebalkan, dasar pengganggu," gerutuku saat Adit terus saja membuntuti."Ngapain sih," sewotku dan menatapnya tajam."Jangan marah-marah, nanti cantiknya ilang," ujar Adit yang tambah membuat aku sebal."Pergi sana," kataku dan menghentakkan kaki kembali berjalan."Gak boleh kasar sama pacar," katanya lagi dan kembali mengikutiku dari belakang."Lo makin lama kok makin nyebelin sih," gerutuku dan kembali menatapnya dengan tajam."Kamu kok makin lama makin lucu sih," balas Adit."Dasar gila," kata ku dan kembali berjalan."Jangan ikutin gw sialan," kataku saat mengetahui laki-laki menyebalkan ini kembali mengikutiku."Aku jagain dari belakang, takutnya nanti nyungsep," jawab Adit yang semakin membuat aku marah."Adiiiiitttt," kataku dan menghentakkan kaki."Aya, malu diliatin orang," kata Adit kepadaku."Aya pala Lo, nama gw Tia," ujarku sewot."Panggilan kesayangan," kayanya cengengesan."Awas kal
Akhir-akhir ini aku semakin sibuk dengan masalah skripsi, bimbingan dengan dosen yang menurutku sangat kiler dan di tambah dengan tingkah resek Adit yang membuat aku selalu naik darah.Entah di sengaja atau tidak, laki-laki urakan itu selau saja nimbrung saat aku baik dalam kesusahan maupun sedang sendirian, seperti penguntit saja, atau dia benar-benar menguntitku.Seperti waktu itu saat aku sedang kesal dengan guru bimbingan ku, tiba-tiba saja dia nongol di dekat kantin tempat biasa aku nongkrong jika Nara sedang sibuk."Ngapain Lo kesini," gerutu sewot saat dia datang menenteng dua mangkok dengan senyuman manisnya."Makan lah," jawab Adit santai dan duduk di sampingku."Jauh-jauh sana," gerutuku semakin kesal."Jangan jutek-jutek, makan dulu," ujarnya dan mengansurkan bakso kesukaan ku, tidak pake bihun dan tentu saja dengan sambal yang pedas."Tumben banget baik, biasanya nyebelin banget," ujarku tapi tak ayal tetap menyantap makan