Resto mewah dengan ukiran disetiap dinding dan tiangnya. Deretan patung besar berdiri seakan menyambut tamu yang datang. Aroma lavender dan suara genggong menyempurnakan keindahannya. Resto dengan desain bali ini menjadi tempat istimewa dan kerap dikunjungi banyak pelancong. Terutama mereka yang berasal dari luar negeri, mengaku merasa nyaman saat berada di dalamnya. Tidak heran jika Sanjaya memilih tempat ini untuk mengadakan makan malam. Ruang VIP sudah dipesan dan kini Baswara terlihat duduk di sana.
“Hai Bas!” sapa Jane yang terlihat hadir seorang diri. Bergaun indah dan terbuka dibagian atas. Terlihat anggun dengan balutan warna putih, terlihat senada dengan keadaan resto.
“Hai,” jawab Baswara yang kemudian melirik ke sisi belakang Jane seakan tengah mencari seseorang.
“Daddy akan datang terlambat, begitu pula dengan Tuan Sanjaya,” jelas Jane yang begitu peka akan sikap Baswara.
“Oke,” jawab Baswara tenang dan kembali melirik ke layar gawainya. Hatinya bergemuruh, pikiran buruk kembali menghinggap. Jauh di dalam hati, ia bergumam, “Jangan bilang jika ide makan malam ini hanya untuk mendekatkan diriku dan Jane. Jika itu benar, maka aku akan menyelesaikannya lebih awal. Agar mereka tahu rasa tidak senangku.”
“Baswara, apakah kamu bisa membantuku memilih menu makanan?” tanya Jane yang kini membuka buku menu yang ada dihadapannya.
“Ya, tentu,” jawab Baswara dengan senyuman manisnya. Jane terlihat senang, baginya ini pertanda baik bahwa Baswara mulai membuka hati untuk mendekatkan diri padanya. Namun, ternyata dugaan Jane salah. Baswara meminta bantuaan seorang pelayan pria untuk membantu Jane menentukan menunya. Lalu kembali duduk sambil menatap layar ponsel.
“Sorry, Jane. Aku tidak ingin kamu dan ayahmu berpikir lebih untuk kedekatan kita,” gumam Baswara dengan wajah puas. Sebenarnya Baswara sadar benar akan sikap tidak santunnya yang terus menatap ponsel saat ada seseorang di hadapannya. Namun, ini menjadi salah satu caranya untuk memberitahukan kepada Jane rasa tidak senangnya.
Dari kejauhan Tuan Mark dan Sanjaya melangkah masuk memasuki ruangan Baswara. Keduanya berbincang hangat layaknya sahabat. Sepertinya mereka mulai membangun kedekatan untuk sebuah niatan yang sama, yaitu menjodohkan Jane dan Baswara.
Melihat kedatangan keduanya Baswara dengan segera menyimpan gawainya. Prasangka buruknya kini sirna, terbantah dengan kedatangan keduanya. Ternyata benar, ada hal yang membuat keduanya harus datang terlambat. Sepertinya yang Tuan Mark katakan, “Maafkan saya Baswara. Tuan James mengalami kendala dan tidak bisa hadir, hingga membuat saya datang terlambat,” ungkapnya dengan wajah merasa sungkan.
Makan malam berlangsung damai. Tidak ada pembahasan yang menuju perjodohan, hingga membuat Baswara nyaman dan membatalkan niatnya untuk pulang lebih awal.
“Makanan Indonesia selalu terbaik. Meskipun saya tidak terbiasa dengan nasi, namun bumbu pada daging dan sayurnya membuat lidah saya puas,” ungkap Tuan Mark yang kini menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dengan perut yang sedikit mengembung karena kekenyangan. Membuat Jane merasa malu, terlihat dari lirikan dan dahinya yang mengernyit.
Pembahasan berlanjut mengenai tempat destinasi yang ada di Indonesa. Beberapa tempat pilihan pun disebutkan, “Nusa Penida di Bali, Tamat Laut Bunaken di Sulawesi Utara, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Kepulauan Raja Ampat di Papua dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya takut Tuan akan merasa nyaman dan enggan kembali ke Amerika.”
Jawaban Baswara membuat Jane dan Tuan Mark tersenyum malu. Secara tidak langsung, sikapnya membenarkan perkataan Baswara. Keadaan seketika berubah riuh dengan tawa kecil saat Baswara menceritakan beberapa lucu menggunakan bahasa daerah. Meskipun Tuan Mark dan Jane terlambat tertawa karena harus dijelaskan terlebih dulu akan artinya, namun berhasil membuat Tuan Mark terpingkal senang.
Tidak terasa malam kian larut. Meskipun Tuan Mark terlihat masih betah, namun Jane memintanya pulang. Mereka berpisah, di mana Sanjaya pulang dengan supirnya dan Baswara mengendarai sendiri mobil sport kesayangannya.
“Sialan, kunci mobilku tertinggal,” seru Baswara saat berada di parkiran. Dengan sangat terpaksa Baswara kembali memasuki resto dan tanpa sengaja tertabrak seorang bocah kecil.
“Kamu?” ucap Baswara dan Soga secara bersamaan.
“Jangan mengaku dewasa jika kamu tidak mau bertanggung jawab! Tidak malukah kamu bertemu denganku?” ucap Soga dengan lantangnya. Ia berdiri tegak sembari menunjuk Baswara dengan tatapan tajam.
“Hei, bertanggung jawab? Apa yang sedang kau katakan? Aku tidak mengerti,bocah!” ucap Baswara sembari menahan amarahnya. Tangannya mengepal dengan wajah memerah, terlebih saat banyak mata menatap ke arah dirinya. Merasa hina dan direndahkan, Baswara hampir melayangkan tinjunya.
“Anak yang kau tabrak tempo hari. Kami yang menyelamatkannya.”
Dahi Baswara mengernyit, ia dengan yakinnya merasa tidak menabrak siapapun. Tatapannya kian tajam dengan suara mengintimidasi, ia berkata, “Tuan kecil Soga, bisakah kau menjelaskan maksud perkataanmu dan bisakah kau bersikap layaknya Tuan muda.”
Soga seketika tersadar, matanya menatap kesekitaran yang kini masih menatap ke arah mereka. Dengan refleks ia menepuk dahi dengan telapak tangannya, lalu menghembus napas berat dari mulutnya.
“Maafkan aku, aku terbawa emosi setiap melihat wajah anda,” ucap Soga, kali ini lebih lembut dan santun menunjukkan rasa hormat.
Baswara kian kesal, meskipun sikap Soga lebih baik dari sebelumnya, namun kata-katanya tetap saja merendahkan dirinya.
“Anda menabrak seorang pengamen kecil di jalanan. Tubuhnya terdorong keras saat anda menyalakan mobil sport merah dengan plat 134S,” jelas Soga yang terlihat mencoba mengingat nama jalan yang tengah mereka lalui tempo hari.
Dernyit dahi Baswara kian melengkuk dalam. Entah mengapa ia masih merasa tidak pernah mengalami hal yang Soga katakan.
Di lain sisi Kana, supir dan seorang pria dewasa sibuk mencari keberadaan Soga. Mereka berpencar dan mencari kesegala sisi. Keadaan resto yang luas membuat mereka cukup kesulitan menemukan Soga yang sering bersembunyi untuk menyibukkan mereka.
“Baiklah, jika benar apa yang kau katakan. Beritahu aku, di mana kecelakaan itu berada. Jika kau bisa menjelaskan dengan lengkap, maka aku akui kesalahanku dan aku akan bertanggung jawab sesuai keinginanmu,” tantang Baswara dengan tatapan merendahkan Soga.
Bocah itu terlihat berpikir keras, ia masih mengingat dengan baik jam dan tanggal kejadian. Namun, tidak dengan nama jalan. Ini membuat dirinya menjadi merasa malu karena tidak bisa membalas tantangan Baswara.
“Soga,” ucap seseorang sembari mendekati keduanya.
Tatapan mereka kini beralih pada orang itu. Wajah Soga seketika sumringah karena merasa yakin bisa mendapatkan jawaban yang ia butuhkan, namun tidak dengan Baswara. Ia memfokuskan tatapan mata dan meyakinkan diri akan sosok yang sedang ia lihat. Seseorang yang terlihat tidak asing itu kian lama kian mendekat ke arahnya.
“Bas, Baswara, mengapa kau termenung?” tanya Sam membuyarkan lamunan Baswara yang sedari tadi terduduk menatap lantai.“Ah, ya, maksudku tidak,” ucap Baswara dengan salah tingkah.“Aku yakin ada sesuatu yang terjadi. Tidak mungkin seorang Baswara rela bangun begitu pagi dan mengunjungiku ke rumah sakit, jika tidak terjadi sesuatu.”Wajah penuh yakin Sam saat menatap Baswara membuat dirinya tidak berkutik. Dengan mata beralih pandang, Baswara pun mulai menceritakan kejadian yang terjadi tadi malam.***Seorang pria dewasa datang menghampiri Soga dan Baswara. Berbaju rapi bak eksekutif muda dengan berbalut jas. Melangkah tenang dengan tatapan ramah.“Soga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan sedikit berbisik.“Bisakah Yaya memberitahukanku jalan yang tempo hari aku lewati. Aku tidak tahu namanya,” ungkap Soga dengan wajah penuh harap.Tetapi sayang pria i
“Sam, bagaimana keadaanmu saat ini?” tanya Baswara melalui gawainya.Bukannya menjawab, Sam malah tertawa terbahak hingga sulit berhenti. Sedangkan Baswara hanya diam, tidak seperti biasa akan kembali meledek Sam.“Kau sudah menanyakan ini sejam yang lalu, Bas. Apakah kau begitu gerogi untuk bertemu dengan Kana?” tanya Sam dengan begitu yakin.“Andai kau bisa keluar dari rumah sakit dan menemaniku di sini, Sam,” ungkap Baswara dengan nada yang bergetar.“Hahahaha, Baswara Sanjaya. Aku tidak menyangka, dibalik kesempurnaan yang kau miliki. Ada kekurangan yang begitu mempermalukan, terlebih mengingat status playboy-mu di masa lalu.”Wajah Baswara memerah bukan karena marah, melainkan malu akan kejujuran Sam yang begitu mengenal baik dirinya.“Aku harus kembali, sepertinya Kana sudah tiba. Aku harap semua berjalan lancar,” ucap Baswara sebelum memutus panggilannya.Gemuruh mengh
“Soga, mengapa kamu berkata begitu?” tanya Kana dengan wajah bingung sembari menatap ke arah Baswara dan Soga bergantian.“Bunda, dia pria yang sempat aku ceritakan kemarin,” jelas Soga dengan sedikit merengek.Kana terdiam dan mencoba mengingat, sedangkan Baswara menatap kaku setelah mendengar Soga memanggil Kana dengan sebutan Bunda.“Bunda? Jangan bilang kalau bocah ini adalah anak dari Kana,” gumam Baswara dengan rasa nyeri dihatinya.Begitu pula Kana yang kini menatap balik ke arah Baswara, sepertinya ia merasa tidak yakin bahwa sosok yang diceritakan Soga tempo hari adalah Baswara.“Sepertinya terjadi kesalah pahaman,” ucap Baswara yang mencoba mencairkan suasana.“Kana, Soga, ayo kita pulang!” ajak seorang pria dengan tatapan penuh kasih.Belum lagi Baswara bisa mengontrol hatinya, pria itu datang dan menambah ketegangan.“Bukankah anda yang kemarin tempo
Baswara tiba di apartemen dan menemui petugas apartemen yang merupakan orang suruhannya. Keduanya telah membuat janji bertemu di area parkir. “Informasi apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya Baswara dengan wajah yang begitu ketat. Sangkin ketatnya, cukup membuat si petugas apartemen menjadi gugup dan sedikit takut. “Begini Tuan, saya memperhatikan bahwa ada dua orang pria yang sering mengunjungi apartemen anda. Salah satu dari mereka tidak pernah lagi terlihat datang,” jelasnya dengan wajah serius. “Pria yang kau maksud, ini bukan?” tanya Baswara sambil menunjukkan wajah Sam yang ada di layar gawainya. Kedua mata si petugas terbelalak, ia menatap takjub ke arah Baswara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menyangka, Baswara memiliki foto pria yang ia maksud. “Namun, masih ada satu orang pria lain yang juga sering berkunjung kemari. Dia selalu mengenakan baju kaos dan topi hitam lengkap dengan maskernya. Saya berusaha memperhatik
Bel apartemen berbunyi, dengan segera perawat itu bangkit dan membukakan pintu. Kedua matanya terlihat memerah, masih dengan tubuh gemetar ia menyambut kedatangan Alea.“Ada apa?” tanya Alea dengan wajah bingung.“Baswara mencarimu, ia menekanku akan kepergianmu yang tanpa pengawasanku,” jelas perawat itu sambil menyeka air matanya.“Tenang saja, biar aku yang menghadapinya!” ucap Alea dengan langkah mantap menuju ruang tengah.“Apakah anda sudah lama datang dan ... apakah anda datang untuk menemuiku?” tanya Alea dengan raut wajah tidak merasa bersalah.“Tidak, aku datang untuk menemui perawatmu. Aku ingin tahu seperti apa perkembanganmu. Sebagai pelaku, bukankah ini merupakan hal yang wajar untuk aku lakukan?” tanya Baswara dengan lantangnya. Matanya terus menatap tajam keseluruh sikap tubuh Alea.“Kau sedikit berbeda hari ini, Alea. Kau tidak lagi bersikap lugu dan mal
Sam disambut hangat oleh banyak karyawan. Ternyata ketidakhadirannya selama ini cukup dinanti banyak orang. Meskipun dirinya tidak setampan dan berkarisma seperti Baswara, namun sikap lembut dan senyumnya yang ramah selalu berhasil menyegarkan penat pagi karyawati di sana.“Pak Sam! Saya tidak menyangka anda sudah bisa kembali hadir. Di mana Tuan Baswara? Mengapa anda datang seorang diri?” tanya gadis tinggi yang tidak lain sekretarisnya sendiri.“Tuan Baswara mungkin akan datang terlambat. Apakah semua berjalan dengan lancar?” tanya Sam dengan tatapan meledek.“Jika boleh berkata jujur, saya merasa takut dan cemas selama melayani Tuan Baswara. Saya harap, Bapak selalu dalam keadaan sehat. Sepertinya hanya Bapak yang paling baik dalam mengurusi semua kebutuhan Tuan Baswara,” ungkap gadis itu dengan wajah sedikit cemberut.Sam hanya tersenyum, kini ia telah tiba di ruangan kerjanya. Sepuluh hari berada di rumah sakit mem
Baswara kini terbaring di atas ranjang dan tertidur begitu lelap, sepertinya suntikan perawat berhasil mengusir rasa sakitnya. Wajahnya sedikit memucat dengan banyak bulir keringat membasahi tubuhnya.Kana hanya bisa duduk memandangi wajah tampan Baswara. Rasa hawatir yang begitu berlebihan terekam jelas di wajahnya.“Bunda, mengapa Bunda memasang wajah seperti itu?” tanya Soga yang ternyata sedari tadi terus memperhatikan wajah Kana.Kana hanya tersenyum, menggelengkan kepala sambil mengelus lembut rambut Soga.“Apakah dia pria baik? Mengapa Bunda terlihat begitu hawatir?” tanyanya kembali yang seakan tidak puas akan jawaban Kana.“Ya, dia pria yang baik, sayang.”Soga terdiam, matanya memandang tajam ke arah Kana. Sepertinya ia menyadari suatu hal, namun ia tidak yakin akan apa yang ia rasa.“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tanya Kana yang kini justru memperlihatkan wajah bingung
Baswara masih terbaring dengan kedua mata terpejam. Namun, bibirnya melengkung tanda bahagia. Tidak hanya itu, bahkan kedua pipinya terlihat merona saat ini.“Apakah kau tahu apa yang ia lakukan selama aku pingsan?” tanya Baswara yang sepertinya sedang menghadirkan bayangan Kana dalam ingatannya.“Tidak, aku tidak tahu,” ungkap Sam dengan tenangnya.“Apakah perawat di sini mengatakan sesuatu tentangnya, mungkin dia hawatir atau terlihat sedih mungkin?”“Tidak, Bas,” jawab Sam dengan nada seakan menunjukkan rasa bosan akan pertanyaan yang dilontarkan.“Apakah kau bertemu dengannya?”“Tidak, aku datang dan menemukanmu seorang diri di kamar ini.”“Apakah dia meninggalkanku begitu saja setelah perawat menanganiku?” tanya Baswara, namun kali ini dengan nada sedikit kecewa.“Aku rasa tidak begitu, dia hanya harus pergi.”“Sam,