Home / Fantasi / Aduh Tak Tahan, Prof! / 177 | Tarian Rindu

Share

177 | Tarian Rindu

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-12-09 22:47:05

Malam itu setelah mengumpulkan semua bukti-bukti yang didapatkan, Liam dan juga Hanna bermalam di kamar milik Ibu Liam semasa hidup. Tentu saja kamar itu selalu bersih dan terawat karena Liam memang membayar orang untuk melakukan perawatan berkala,

Hanna, dia tidur dengan membelakangi Liam tak seperti biasanya selalu memeluk Liam dengan hangat. Perasaan Liam menjadi galau. ‘Ada apa dengan Hanna?’ tapi dia tidak berani bertanya.

Dia tidur dengan posisi miring, memperhatikan punggung Hanna.

Tapi, setelah beberapa jam dia tak bisa tidur akhirnya dia tidak tahan juga menarik tubuh Hanna kedalam peluknya. Mencium aroma tubuh Hanna membuat pikirannya yang sedang kacau menjadi lebih rileks.

Tiba-tiba saja ada dorongan lain yang lebih primal saat punggung Hanna semakin menempel ke tubuhnya, tangan Liam menyusup ke balik kemeja tidur Hanna.

Dengan napas yang mulai berat, Liam menahan hasratnya untuk sekadar mendekap erat tubuh Hanna. Ujung jari-jarinya menyentuh kulit hangat di pinggang Hanna,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   208 | Penyerahan Diri

    "Tidak. Kamu adalah... kekecualian. Dan aku akan memastikan bahwa status itu diakui." Liam meraih tangannya. Kali ini, Hanna tidak menariknya. "Percayalah padaku."Pesawat mulai melaju, tekanan mendorong mereka ke kursi. Saat roda terangkat dari tanah, meninggalkan Rensfold di bawah, Hanna menutup matanya. Rasanya seperti sebuah garis yang tak terlihat putus.Perjalanan udara berlangsung beberapa jam. Tak ada yang banyak bicara. Hanna akhirnya tertidur, kelelahan secara emosional. Lily memandanginya dengan mata berkaca, lalu menatap Liam yang duduk tidak jauh, berkutat dengan tabletnya, wajahnya berkerut konsentrasi."Siapa sebenarnya kamu, Liam?" tanya Lily tiba-tiba, suaranya rendah agar Hanna tidak terbangun. "Sampai-sampai sebuah kehamilan bisa menjadi masalah negara?"Liam mengangkat pandangan. Ada konflik di matanya. "Aku adalah seorang ilmuwan, seperti yang kamu tahu. Itu saja. Tapi proyek yang aku pimpin... ini bukan proyek biasa. Ini tentang kemajuan umat manusia. Dan DNA-ku,

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   207 | Pelanggaran Hukum

    Pukul 04.30, fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan ketika sebuah mobil SUV hitam tanpa plat nomor berhenti tanpa suara di depan apartemen Hanna. Udara pagi terasa menggigit, mengirimkan kabut tipis yang menyelimuti jalanan Rensfold yang masih sepi.Liam sudah berdiri di pintu, ransel kecil tergantung di pundak. Wajahnya seperti dipahat dari batu—fokus, tetap geming, namun ada garis kelelahan di sudut matanya yang menandakan dia tidak tidur semalaman. Dia bukan lagi pria yang tadi malam memohon dengan lembut di kasur. Raphael keluar dari mobil. Tubuhnya yang tinggi besar terlihat lebih masif dengan jaket anti peluru yang samar-samar terlihat di balik jas panjangnya. Dia mengangguk singkat pada Liam. "Semua aman. Rute sudah dipetakan, tiga titik pergantian kendaraan. Tidak ada yang mengikuti.""Baik," jawab Liam singkat. Matanya beralih ke balik pundak Raphael, memindai jalanan dengan insting yang terasah.Lily muncul dari dalam apartemen, membawa dua koper kecil. Matanya bengkak.

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   206 | Bukan Pernikahan Indah

    Udara di dapur seketika berubah. Kata "besok" yang diucapkan Liam bukan sebuah usulan, melainkan sebuah keputusan yang telah dipatri. Nada dingin yang menyelinap di balik suaranya yang biasanya hangat membuat Lily mengerutkan kening."Besok? Bukannya terlalu buru-buru, Liam?" tanya Lily, mencoba membaca ekspresi Liam yang tiba-tiba sulit ditembus.Hanna juga memalingkan seluruh tubuhnya dari jendela. Es krim yang baru saja dia rasakan pahit di mulutnya kini seolah jadi tanda tanya besar. "Kenapa mendadak?" tanyanya, suara datar namun mata tajam mengamati setiap perubahan di wajah Liam.Liam berdiri, mendekati meja dapur. Tangannya mengepal ringan di permukaan kayu. Dia tahu dia tidak bisa menyembunyikan semuanya, tapi dia juga tidak bisa menebarkan kepanikan. Bukan sekarang."Beberapa urusan di Valthera memerlukan kehadiranku lebih cepat dari perkiraan," jawabnya, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dan semakin lama kalian di sini, semakin besar risiko." Dia memandang Hanna, dan kali

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   205 | Pernikahan

    Liam keluar dari kamar Hanna dengan rambut yang berantakan sehabis mandi, pakaiannya lebih santai. Dia mendekati Lily yang ada di dapur dan menatapnya dengan tatapan heran.“Kamu datang lagi?” tanyanya.“Kapan siap ikut kembali ke Valthera?” jawab Liam dengan pertanyaan lain, tak lama menyusul Hanna keluar dari kamar juga. Lily memperhatikan putrinya dengan kening berkerut. Dia bisa melihat ada beberapa bekas merah kebiruan di leher, selangkan putrinya.“Cepat sekali baikannya” gumam Lily “Kalau aku yang bujuk memang tidak mempan, harus Liam sendiri yang melakukan” tambahnya.Hanna tak menyahut.Pandangan Lily kembali ke Liam.“Terserah Hanna. Aku tidak bisa ikut kembali jika dia tidak. Sebagai Ibu aku sudah melakukan banyak salah jadi aku harus menebusnya” jawabnya panjang“Hanna setuju ikut kembali, di Rensfold aku tidak bisa menjaga dia dan bayinya” Liam menjelaskan.“Kamu sudah tahu?” tanya LilyDan Hanna masih bergeming di tempatnya sambil memangku eskrim dan menyendoknya sedikit

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   204 | Kamu Milikku Selamanya

    Kata-katanya bukan perintah, melainkan janji. Janji yang disegel bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan bahasa tubuhnya yang sekarang sepenuhnya berfokus pada Hanna. Dia bergerak turun, meninggalkan jejak bibir yang hangat dan basah di sepanjang tulang dada Hanna, berhenti di ruang antara kelembutan dadanya. Di sana, dia menempelkan dahinya, sejenak hanya bernapas, menyerap kehangatan dan aroma khas Hanna yang selalu membuatnya tenang.Gerakan mereka selanjutnya lahir dari sinkronisasi yang sempurna. Pinggul Hanna sedikit melengkung, bertemu dengan lengkungan tubuh Liam di atasnya. Tidak ada gesekan yang kasar, hanya tekanan yang dalam dan penuh arti, sebuah pelukan yang mencapai tingkat paling intim. Sebuah erangan terlepas dari bibir Hanna, bukan karena sakit, tapi karena kepenuhan—perasaan diisi, dimengerti, dan ditahan dengan sangat berharga.Liam mengalihkan berat badannya, membiarkan satu tangan bebas meraba. Tangannya itu menyelinap di antara mereka, telapak tangannya ya

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   203 | Aku Mencintaimu

    Liam menggenggam tangan Hanna dengan lembut, menciumnya berulang kali. Tapi Hanna hanya diam.“Kamu tahu, setelah Mama, kamu satu-satunya yang aku cintai. Apa kamu tega membiarkanku sendirian di Valthera?” tanyanya, suara serak menahan haru.Hanna kemudian membelai wajah Liam, matanya berkaca-kaca. “Aku takut… takut gak bisa bikin kamu bahagia,” bisiknya pelan.“Siapa yang bilang? Kamu gak usah ngapa-ngapain. Hanya diam di sampingku sudah bikin aku bahagia, kok.”“Liam… kamu berlebihan.”“Hanna…” suara Liam mendalam, penuh pertanyaan. “Menurutmu, semua yang aku lakukan masih belum bikin kamu percaya kalau aku cinta sama kamu?”Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Hanna tak bisa menjawab. “Aku… aku percaya sama kamu, Liam. Aku hanya takut…”“Tolong, jangan bicara begitu lagi…” ucap Liam, mendekat.Tangannya merayap, satu tangan ke belakang kepala Hanna, yang satu lagi ke punggungnya, menekan lembut hingga jarak mereka tak tersisa. Kemudian, dia menyatukan bibirnya dengan bibir Hanna. Perla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status