LOGINKata-katanya bukan perintah, melainkan janji. Janji yang disegel bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan bahasa tubuhnya yang sekarang sepenuhnya berfokus pada Hanna. Dia bergerak turun, meninggalkan jejak bibir yang hangat dan basah di sepanjang tulang dada Hanna, berhenti di ruang antara kelembutan dadanya. Di sana, dia menempelkan dahinya, sejenak hanya bernapas, menyerap kehangatan dan aroma khas Hanna yang selalu membuatnya tenang.Gerakan mereka selanjutnya lahir dari sinkronisasi yang sempurna. Pinggul Hanna sedikit melengkung, bertemu dengan lengkungan tubuh Liam di atasnya. Tidak ada gesekan yang kasar, hanya tekanan yang dalam dan penuh arti, sebuah pelukan yang mencapai tingkat paling intim. Sebuah erangan terlepas dari bibir Hanna, bukan karena sakit, tapi karena kepenuhan—perasaan diisi, dimengerti, dan ditahan dengan sangat berharga.Liam mengalihkan berat badannya, membiarkan satu tangan bebas meraba. Tangannya itu menyelinap di antara mereka, telapak tangannya ya
Liam menggenggam tangan Hanna dengan lembut, menciumnya berulang kali. Tapi Hanna hanya diam.“Kamu tahu, setelah Mama, kamu satu-satunya yang aku cintai. Apa kamu tega membiarkanku sendirian di Valthera?” tanyanya, suara serak menahan haru.Hanna kemudian membelai wajah Liam, matanya berkaca-kaca. “Aku takut… takut gak bisa bikin kamu bahagia,” bisiknya pelan.“Siapa yang bilang? Kamu gak usah ngapa-ngapain. Hanya diam di sampingku sudah bikin aku bahagia, kok.”“Liam… kamu berlebihan.”“Hanna…” suara Liam mendalam, penuh pertanyaan. “Menurutmu, semua yang aku lakukan masih belum bikin kamu percaya kalau aku cinta sama kamu?”Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Hanna tak bisa menjawab. “Aku… aku percaya sama kamu, Liam. Aku hanya takut…”“Tolong, jangan bicara begitu lagi…” ucap Liam, mendekat.Tangannya merayap, satu tangan ke belakang kepala Hanna, yang satu lagi ke punggungnya, menekan lembut hingga jarak mereka tak tersisa. Kemudian, dia menyatukan bibirnya dengan bibir Hanna. Perla
Kafe itu tetap tenang. Mesin kopi berdengung rendah. Beberapa peneliti lalu-lalang tanpa memperhatikan meja di sudut tempat Liam duduk diam terlalu lama.Raphael tidak menyela.Ia tahu, ada momen tertentu di mana Profesor Liam tidak membutuhkan jawaban—hanya ruang untuk menyusun ulang logika di kepalanya sendiri.“Kalau dia hamil,” ucap Liam akhirnya, datar, hampir seperti membaca laporan, “berarti sistem tidak gagal.”Raphael mengangguk pelan namun dia hampir menahan tawanya. Orang sekelas Profesor Liam bisa keluar kata-kata seperti itu, kepalanya sedang penuh dengan Hanna.“Berarti implan bekerja,” lanjut Liam. “Dan berarti… kehamilan itu tidak dipicu. Tidak dipaksakan. Tidak dimanipulasi.”“Profesor tentu saja implan bekerja karena Nona Hanna mengaktifkannya dan artinya milik Anda juga sehat. Pembuahan alami itu lebih hebat dan canggih dari sistem manapun” celetuknya. Liam menoleh dan Ia terdiam lagi.Semua parameter yang selama ini ia yakini sebagai variabel risiko, runtuh satu pe
Pintu depan tertutup pelan setelah Liam pergi.Tidak ada suara mesin menjauh, bahkan langkah kaki pun sudah menghilang jauh—hanya sunyi yang tertinggal terlalu lama di ruang tengah.Lily meletakkan piring terakhir ke wastafel. Tangannya berhenti di sana, punggungnya masih menghadap Hanna.“Kamu seharusnya bilang,” ucap Lily akhirnya. Suaranya rendah, tertahan. “Tentang kehamilanmu pada Liam.”Hanna berdiri di dekat jendela. Ia tidak langsung menoleh.“Tidak.”Lily berbalik. “Untuk apa disembunyikan seperti itu?”“Aku sudah memutuskan,” jawab Hanna. “Aku tidak akan memberi tahu Liam.”“Biar apa?” Lily mendekat setapak. “Biar anakmu nasibnya seperti kamu?”Hanna menoleh cepat. Matanya langsung memerah.“Kalau Mama tidak mau menemaniku di sini, ya sudah,” katanya, suaranya bergetar tapi tegas. “Mama bisa kembali ke Valthera. Aku tidak memaksa.”“Hanna,” Lily menggeleng. “Ini bukan soal aku.”“Ini selalu soal itu,” potong Hanna. “Semua orang selalu merasa paling tahu apa yang terbaik buat
Liam keluar dari kamar bersama Hanna.Langkah Hanna pelan, sedikit tertahan, tapi ia berusaha menjaga postur tetap normal. Mereka berjalan sejajar—cukup dekat untuk menangkap perubahan kecil pada napasnya.Dari dapur, aroma sop ayam menyebar ke ruang tengah.Lily berdiri di depan kompor. Panci terbuka. Uap tipis naik perlahan. Di meja sudah tersusun mangkuk, sendok, dan sepiring kecil bawang goreng.“Oh,” ucap Lily saat melihat mereka. “Kalian sudah keluar.”Ia melirik Hanna sekilas—cukup lama untuk memastikan putrinya baik-baik saja—lalu kembali ke panci. Tapi masih sempat bertanya “Sudah enakan? Bisa makan gak?”Liam menatap Hanna dengan tatapan penuh tanda tanya.“Maagku kambuh” jelas HannaMaag? Seingat Liam, Hanna tidak pernah memiliki penyakit itu. Sejak kapan?“Aku masak sop ayam,” lanjutnya datar. “Kebetulan. Ini makanan kesukaan kamu, masih sama gak?”Liam mengangguk. “Masih.”Hanna hendak bicara, tapi Lily sudah bergerak lebih dulu, menuang sop ke dalam mangkuk.“Makan dulu,
Hanna langsung bangun dan duduk tegak.Matanya menatap Liam tanpa berkedip. Tidak ada teriakan. Tidak ada refleks mundur. Hanya diam yang terlalu kaku untuk disebut tenang.Butuh beberapa detik sampai otaknya menyusul apa yang dilihat matanya.Liam tidak bergerak. Ia membiarkan jarak itu ada—cukup dekat untuk terlihat jelas, cukup jauh untuk tidak memaksa kenyataan.Hanna baru benar-benar sadar saat tangan Liam menyentuh pipinya.Dingin.Kontras dengan kulitnya yang hangat. Dan aroma itu—bersih, khas, terlalu familiar untuk dipalsukan.“Kenapa kamu di sini?” tanya Hanna. Suaranya rendah, nyaris tidak percaya.“Rindu.”Satu kata. Tanpa penjelasan.“Rindu?” Hanna mengulang, alisnya berkerut.“Iya, Hanna,” jawab Liam. “Aku rindu. Tidak bolehkah?”Tangannya masih di wajah Hanna, kini lebih lama. Ia merapikan rambut Hanna yang berantakan, gerakannya hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang bisa hilang kalau terlalu keras.Hanna menelan ludah. “Kenapa kamu datang sekarang?”“Karena kamu pe







