Sebelum insiden di kamar mandi itu, Hanna baru saja menyelesaikan semua persyaratan akademisnya di kampus. Ia menutup hari dengan menyerahkan makalah ilmiah tentang pentingnya emosi dalam membangun keluarga—syarat terakhir kelulusannya sebagai Sarjana Psikologi Sosial.
Biasanya Hanna tinggal di asrama, namun kali ini ia memilih pergi ke apartemen pemberian ayah tirinya. Tempat itu menjadi pelariannya ketika ia ingin jauh dari hiruk pikuk kampus.
Dengan langkah letih, Hanna masuk ke dalam apartemen. Andai ia lebih teliti, ia mungkin akan sadar ada tanda-tanda bahwa seseorang telah lebih dulu berada di sana. Namun kelelahan membuatnya abai. Seperti kebiasaannya, ia melepas pakaian satu per satu, lalu mengambil handuk bersih dan melilitkannya di tubuh.
Namun, begitu membuka bilik kaca kamar mandi, ia mendapati sosok asing berdiri di dalam uap. Dan ketika pintu bergeser, kenyataan menamparnya—Profesor Liam.
Keterkejutannya membuatnya hampir terjatuh, tapi Liam menangkapnya. Saat tubuh mereka bersentuhan, logika Hanna buyar.
Tanpa ragu, bibir Liam menabrak bibirnya.
Ciuman itu bukan hanya pertemuan dua tubuh, melainkan benturan dua dunia. Bagi Liam, bibir itu adalah bibir yang kerap menantangnya—menolak keyakinannya bahwa Implan Alarm KB adalah jawaban krisis populasi. Hanna, dengan idealismenya, berulang kali menegaskan bahwa emosi dan ikatan keluarga adalah fondasi sejati.
Sekarang, dalam dekapan singkat itu, keduanya dipaksa menghadapi paradoks. Bagaimana mungkin musuh intelektual bisa terasa begitu dekat? Bagaimana mungkin perang ide bisa mendekatkan mereka lebih kuat daripada teori apa pun?
Ciuman itu menjadi simbol—antara dominasi jenius yang yakin kebenarannya, dan keberanian seorang sarjana muda biasa-biasa saja yang menolak tunduk pada profesor muda yang jenius.
Namun simbol itu tak berhenti di bibir. Nafas yang tercekat berubah menjadi desahan, genggaman tangan yang awalnya menahan kini justru menarik. Hanna seharusnya menolak, tapi tubuhnya memilih jawaban lain. Liam, yang selama ini hanya mengenal angka, teori, dan disiplin logika, terperangkap pada kelembutan yang justru menghancurkan benteng egonya.
Uap panas memenuhi kamar mandi, menutupi batas antara benar dan salah. Keduanya tak lagi bisa membedakan mana dorongan, mana kesadaran. Dalam hitungan detik, percakapan panjang tentang moral, sosial, dan kontrol diri runtuh di bawah desakan tubuh yang saling mencari.
Malam itu, bukan hanya argumen yang menyatu, melainkan juga tubuh mereka. Hubungan yang seharusnya tak mungkin, justru terjadi—liar, rapuh, namun tak terelakkan.
“Jadi… ternyata anak yang Ayahku sebutkan itu kamu? Aku menyesal tidak mengetahuinya lebih awal,” gumam Profesor Liam.
“Diam!” sahut Hanna ketus. “Sekarang, apa kamu tahu akibat perbuatanmu ini? Konsekuensi apa yang harus aku tanggung… karena… karena alarm KB itu tidak aku aktifkan?”
Liam tersenyum miring, smirk khasnya muncul. “Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Aku yang menciptakannya. Dan karena yang datang menjebakku adalah kamu, maka kamu yang harus menanggung akibatnya.”
Namun, begitu menyadari ucapannya sendiri, raut wajahnya berubah tipis. Alisnya sedikit terangkat, seolah baru menangkap sesuatu. “Tunggu… jadi kamu benar-benar tidak mengaktifkan alarm KB-mu?” suaranya menurun, ada nada kaget yang samar.
Ia terkekeh pendek, tatapannya kini penuh heran. “Hanna, Hanna… kau selalu berapi-api mengkritik sistem ini, tapi ternyata kau sendiri ceroboh dalam menggunakannya.”
Wajah Hanna memerah, campuran antara malu dan marah. “Aku… aku lelah! Aku baru pulang dari kampus, pikiranku penuh, aku tidak sempat mengecek lagi. Itu bukan berarti aku tidak peduli!” suaranya meninggi, namun terdengar gemetar.
“Alasan yang menarik,” balas Liam tenang, suaranya nyaris seperti dosen yang sedang mengoreksi mahasiswa. “Tapi dalam sistem yang kau benci ini, satu kelalaian kecil bisa berarti konsekuensi besar. Kau sadar itu, bukan?”
Hanna terdiam. Ia ingin membantah, tapi kata-katanya seakan tertahan di tenggorokan. Ia membuang pandangan, seolah takut menatap mata Liam, karena di balik rasa muak itu ada juga ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
“Tidak bisa begitu! Kamu yang menjebakku. Kamu masuk ke ruang privasiku!”
“Dan kamu… sudah tahu ada orang di dalam kamar mandi, kenapa malah mendekat hanya dengan handuk tipis?”
Hanna terdiam. Pikirannya kacau, umpatan memenuhi kepalanya. Sebentar lagi ia harus bertemu calon suaminya, lelaki yang dijodohkan dengannya. Tapi kini, tubuhnya justru terikat oleh lelaki lain.
TING!
Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari perangkat komunikasi mereka berdua.“Undangan makan malam,” ucap keduanya hampir bersamaan.
“Makan malam ini… adalah pertemuanku dengan calon suamiku. Aku harap apa yang terjadi di sini menjadi rahasia kita,” putus Hanna tegas.
“Tentu, Nona Hanna… rahasia kita.” Liam sedikit membungkuk saat mengatakannya.
Namun efek implan itu segera terasa. Begitu aroma tubuh Liam kembali menyentuh indra penciumannya, tubuh Hanna bereaksi spontan—napasnya memburu, jantungnya melonjak, dan sensasi hangat menjalar cepat ke seluruh tubuh.
Itu bukan sekadar sugesti; setiap kali ia berada terlalu dekat dengan Liam, reaksinya selalu sama. Seolah ada magnet tak kasatmata yang memaksa aliran darahnya mengalir menuju titik-titik paling peka.
“Aku harus menjauh…” batinnya berulang kali berteriak. Namun tubuhnya tak tunduk pada logika. Jemarinya gemetar, kulitnya merinding setiap kali tatapan Liam terlalu dalam.
Hanna buru-buru mendorong Liam menjauh, seakan jarak fisik bisa mengembalikan kewarasannya. Tapi bahkan setelah ia melepaskan diri, denyut itu masih tersisa di nadinya—mengingatkannya betapa rapuh pertahanan logika di hadapan dorongan yang tak bisa ia kendalikan.
“Tolong menjauh, Profesor Liam! Kamu harus membantuku mengatasi hal ini!”
Liam menatapnya dengan tenang, senyum tipis tak hilang dari wajahnya. Selama 32 tahun hidup, baru kali ini ia benar-benar memperhatikan seorang perempuan seperti ini.
“Implan ini aku buat agar tubuh perempuan bergantung pada pasangan pertama yang membuahinya. Kamu tahu kenapa? Supaya para perempuan tetap setia pada pasangannya,” jelas Liam, seperti sedang memberi kuliah.
“Ini tidak adil! Bagaimana dengan kaum lelaki?”
Liam mengelus janggutnya pelan. “Aku pikir sejalan… itu yang kurasakan sekarang. Tapi jujur, aku belum tahu bagaimana jadinya jika terjadi pada lelaki yang sudah menemukan jodohnya.”
Hanna mendengus muak. Baginya, Liam hanya sibuk bicara teori, bukan memberi solusi.
Liam sebenarnya adalah salah satu warga yang belum dipertemukan dengan jodohnya. Justru karena dialah pelopor program ini, ia diam-diam menyimpan keinginan untuk membangun hubungan berdasarkan emosi, bukan sekadar algoritma DNA.
“Aku tidak peduli! Pokoknya acara besok malam jangan sampai kamu kacaukan. Yang terjadi malam ini akan jadi rahasia kita. Tidak akan ada yang tahu… kecuali salah satu dari kita sendiri yang membocorkan.”
“Hm… terdengar cheesy sekali,” ucap Liam ringan, lalu tersenyum nakal. “Tapi malam ini aku tidur di mana?”
“Sofa!” bentak Hanna. Ia masuk ke kamarnya, lalu melemparkan selimut dan bantal ke wajah Liam.
BAM!
Pintu kamar tertutup keras, meninggalkan Liam dengan selimut di tangannya dan senyum samar di bibirnya.Lobby hotel Asterion Lumeris berkilau oleh cahaya kristal lampu gantung yang megah. Hanna berjalan di samping Ryan, wajahnya ia buat pucat agar alibinya terlihat meyakinkan. Ryan merangkul pundaknya dengan hati-hati, membimbing langkah Hanna yang sedikit limbung, hingga kepalanya sempat bersandar di dada Ryan. Dari dekat, Hanna bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.Sebuah tanda. Rencananya hampir berhasil.Apa boleh buat, meski apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan nuraninya, Hanna rela. Jika dengan tidur bersama Ryan ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman efek Alarm KB itu, maka ia akan melakukannya.Senyum tipis melintas di bibirnya. Ironis, karena detak jantungnya sendiri justru semakin tak terkendali—bukan karena kelemahan tubuhnya, melainkan karena rencana berbahaya yang sedang ia mainkan.Namun sebelum mereka sempat melewati meja resepsionis, sebuah suara dalam, tenang, dan familiar memecah udara.“Hanna.”Hanna menegang seketika. Tubuhnya kaku sa
Esok harinya, Hanna berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan anggun, sederhana tapi elegan. Rambutnya digelung setengah, sisanya tergerai lembut di bahu. Dia ingin terlihat sempurna untuk Ryan, calon suaminya. Dia yakin, bahwa dia bisa menyingkirkan efek dari sistem yang dia sebut error tapi Liam mengatakan sebaliknya.Saat ia meraih clutch kecilnya, pintu kamar terbuka. Lily masuk sambil tersenyum, matanya berbinar melihat putrinya yang cantik. “Kau terlihat luar biasa, Hanna. Bahkan lebih cantik dari Mama saat muda, Ryan pasti terpesona. ”Hanna hanya mengangguk sopan, tapi sebelum ia sempat membalas, Lily melanjutkan dengan nada yang lebih serius.“Ngomong-ngomong, Mama sudah bicara dengan Julian,” ucap Lily sambil melangkah lebih dekat. “Kami berdua sepakat… lebih baik kau tetap tinggal di rumah ini. Agar kita bisa terasa seperti keluarga. Apalagi Liam juga sudah setuju tinggal di sini. Tidak baik kalau kau sendirian di apartemen kecil itu.”H
Hanna mendorong dada Liam dengan kasar. “Cukup!” desisnya, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa takut.Liam bergeser setengah langkah ke belakang. Bukan karena kalah, melainkan seperti sengaja memberi ruang—predator yang tahu kapan harus mundur agar mangsanya tetap bernafas. Smirk itu kembali muncul, tipis, penuh perhitungan.“Menarik sekali,” ucapnya tenang. “Setiap kali kau melawanku, tubuhmu justru mengungkap hal yang berbeda. Detak jantungmu… suhu kulitmu…” Ia mengangkat jemari yang tadi menyentuh rahangnya, lalu menatapnya seolah sedang mempelajari spesimen laboratorium. “Kau sadar, kan? Penolakanmu ini hanya memperkuat algoritma yang sudah tertanam di dalam DNA-mu.”Hanna menggertakkan gigi, tapi tubuhnya masih gemetar—bukan hanya karena marah.Liam condong sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu yang membuatmu berbahaya, Hanna. Karena aku tidak sedang meneliti sistem… aku sedang meneliti kamu.”Ia mundur perlahan, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Tatapan i
Hanna baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Rambutnya masih basah menetes di bahu saat ia meraih handphone. Nama Ryan Kelly terpampang di layar.“Hanna?” suara Ryan terdengar hangat, lembut, tapi juga ragu, seakan ia masih hati-hati menakar jarak. “Besok malam… kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan malam di Lumeria District. Kau tahu tempat itu? Malam harinya jalanan dipenuhi lampion kaca yang melayang di udara, ada kanal kecil dengan perahu kayu berlampu kristal, dan restoran atap di menara Archelion yang langsung menghadap kota. Aku pikir… tempat itu akan menyenangkan untuk kita.”Hanna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bayangan cahaya lampion yang memantul di air terlintas di kepalanya. “Tentu, Ryan. Itu terdengar indah sekali.”Ada jeda di ujung telepon, seolah Ryan sedang menimbang kata-katanya. “Syukurlah… aku khawatir kau menolak. Aku… hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, itu saja.”Hanna hendak menjawab, namun suara ketukan pelan di
Hanna mencoba bersikap santai, meski jemarinya gelisah meremas ujung gaunnya di pangkuan.“Ma… aku tidak… maksudku, aku tidak melakukan apa-apa yang aneh, kalau Mama berpikir aku melakukan itu…” katanya tergagap.Lily mengerling, bibirnya melengkung tipis, seperti senyum yang tidak pernah benar-benar hangat.“Hanna, tidak ada yang aneh dengan seorang wanita dua puluh dua tahun yang tubuhnya mulai mencari penyaluran. Seks bukan hal tabu, apalagi dalam pernikahan. Yang tabu adalah jika kau menutup mata dari kebutuhanmu sendiri.”Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, seakan ingin melompat keluar. Sekilas bayangan tubuh Liam menindihnya menyeruak begitu jelas di benaknya—ciumannya yang dalam, sentuhan panas itu… Hanna berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kendali.Kemudian dia yakinkan dirinya, kalau apa yang dilakukan dengan Liam bertujuan untuk penelitian. Mungkin Mamanya juga bisa menjadi narasumber untuk hal ini.“Nanti, dengan Ryan sebagai suamimu,” lanjut Lily pelan nam
“Kenapa kau bisa setenang itu, hah?!” Hanna berdiri, mendorong dada Liam keras-keras. “Dia hampir saja melihatmu! Aku bisa mati kalau Mama tahu!”Liam hanya menunduk sedikit, wajahnya mendekat pada Hanna. “Tapi nyatanya… dia tidak tahu.” Suaranya dalam, dingin, penuh keangkuhan.“Jangan senyum-senyum seperti itu! Kau pikir ini lucu?!” Hanna mengangkat tangannya hendak menampar, tapi Liam lebih cepat. Ia menangkap pergelangan Hanna, memutar dengan mudah, membuat tubuh Hanna terperangkap di antara dadanya dan dinding.“Aku pikir…” bisiknya dekat telinga, membuat Hanna merinding, “…kau menikmati ketegangannya. Degup jantungmu barusan lebih liar daripada ketika aku mencium bibirmu.”Hanna menggigit bibir, tubuhnya bergetar, antara marah dan malu. “Kau… bajingan…” suaranya serak, tapi bukannya mendorong, tangannya justru mencengkeram baju Liam.Liam menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh leher Hanna. “Kau masih gemetar. Itu bukan marah, Hanna. Itu tubuhmu… memanggilku lagi.”Hanna tereng