“Apa ada masalah?” tanya Liora begitu pintu apartemennya terbuka dan Daniel melangkah masuk, menangkap pinggang Liora dan menyudutkan wanita itu di dinding. Tidak biasanya Daniel datang tanpa pemberitahuan seperti ini. Berjaga-jaga jika ada Jerome di sini.
“Besok aku harus pergi ke Singapore untuk mengurus beberapa hal.”
“Lalu?”
“Jadi …” Daniel mengulur kalimatnya dengan kerlingan mata menggoda. “… malam ini aku akan bermalam di sini.”
Liora melotot. “T-ta …”
Daniel langsung membungkam protes Liora dengan lumatan. “Sepupuku tak akan datang. Dia masih di ruangannya saat aku pulang. Sepertinya akan langsung pulang ke rumah.”
“D-daniel … kita butuh bicara.” Liora mendorong dada Daniel. Pria itu hanya mundur sedikit, masih dengan kedua lengan di pinggangnya.
“Mengenai?”
“Pernikahanku dengan Jerome.”
“Kenapa? Apa kau akan mengatakan pada Jerome untuk membatalkan pernikahan kalian?”
“Kau tahu itu tidak mungkin.”
“Kenapa? Kau takut dia akan membunuh kita berdua?”
“Kita harus berhenti.”
Daniel terkekeh. “Kuyakinkan padamu, baby. Pernikahan kalian akan menjadi sangat membosankan. Kau akan lebih membutuhkanku daripada saat ini.”
“Lalu sampai kapan kita akan seperti ini?”
Kening Daniel berkerut, terlihat berpikir meski tak serius. “Kita akan memikirkannya setelah aku pulang dari Singapore.”
“Kapan?”
“Mungkin sekitar dua minggu.”
Liora melotot. “Itu tepat di hari pernikahanku dan Jerome.”
Daniel mengerutkan kening, tampak menghitung lalu mengangguk ringan.
“Kita butuh menyelesaikan permasalahan ini sekarang, Daniel.” Liora menurunkan lengan Daniel dari tubuhnya. Tetapi pria itu kembali menangkapnya. Kali ini tak membiarkan Liora menjauh darinya meski hanya seinci. Daniel langsung menangkap bibir Liora, melumatnya dalam lumatan yang panas dan penuh gairah. Dalam semenit, keduanya sudah bergumul di tempat tidur. Dengan tanpa sehelai kain pun yang menempel di tubuh keduanya.
Dan pagi itu, Liora terbangun oleh suara langkah kaki. Yang segera melenyapkan seluruh kantuknya. Langkah kaki yang berbeda dari milik Daniel. Penuh ketenangan dan memiliki ritme yang begitu teratur. “Jerome?”
Melupakan tubuhnya yang remuk redam, Liora melompat turun dari tempat tidur. Meraih pakaian tidurnya yang tergeletak di lantai dan memakainnya dengan kilat. Ia baru saja menalikan jubah tidurnya ketika berbalik dan pintu kamarnya dibuka. Melihat Jerome yang melangkah masuk.
“J-jerome?” Liora memaksa senyuman tersungging di kedua ujung bibirnya dengan sempurna. “Kenapa kau tidak mengabariku?”
Jeroma tak menjawab, mengamati penampilan Liora dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seringai tertarik dan kabut kegelapan mulai. “Kenapa? Apa kau terkejut?”
Liora menyadari ada maksud tersembunyi dalam pertanyaan Jerome, tetapi ia segera mengabaikannya dan menguasai ekspresi di wajahnya dengan sangat baik. melangkah mendekati Jerome.
“Wajahmu berkeringat?” gumam Jerome yang segera menghentikan langkah Liora. “Kupikir ini masih terlalu pagi untuk berkeringat, Jenna.”
Bibir Liora membeku. “A-aku bermimpi buruk,” dalihnya dengan suara yang bergetar.
“Mimpi buruk, begitu?” Salah satu alis Jerome terangkat penuh cemooh. “Sepertinya apa yang menunggumu akan lebih buruk dari mimpi buruk yang paling terburuk, Jenna.”
Wajah Liora sepucat kapas.
“Atau … apakah sekarang aku harus memanggilmu Liora?”
Wajah Liora tak bisa lebih pucat lagi. “A-apa maksudmu, Jerome?”
Seringai Jerome semakin gelap. Pria itu melangkah ke dekat tempat tidur. “Aku tak pernah ingat memakai pakaian dalam seperti ini.” Jerome menunjuk celana dalam milik Daniel yang tertinggal di lantai dengan ujung sepatunya. Nyaris menyentuhnya mengingat betapa menjijikkannya barang itu.
“Dan aku tak pernah melemparkan pakaian dalamnya sembarangan seperti ini.” tambah Jerome yang semakin membuat wajah Liora pucat pasi.
Liora mereguk ludahnya, dengan bening yang segera menggenangi kedua kelopak matanya. Tak perlu mengonfirmasi bahwa Jerome sudah mengetahui pengkhianatannya.
“Maafkan aku, Jerome.” Liora melompat dam meraih kaki Jerome. Memeluknya dengan derai air mata yang membanjiri seluruh wajahnya.
“Aku tak suka menyentuh barang kotor.” Jerome menendang tubuh Liora hingga tersungkur ke lantai. “Max!”
Kepala pengawal Jerome langsung melesat masuk. Satu gerakan kepala Jerome sebagai isyarat untuk menangkap Liora dan menyeret wanita itu keluar apartemen.
“Maafkan aku, Jerome. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”
Jerome sama sekali tak bergeming dengan permintaan maaf penuh derai air mata Liora. Jerome membawa wanita itu naik lift, langsung turun di basement. Memimpin jalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari lift.
“Ke mana kau akan membawaku, Jerome?”
“Ke tempat di mana seharusnya barang kotor berada.” Untuk pertama kalinya Jerome merespon Liora. Sambil melangkah ke bagian belakang mobil dan membuka bagasinya. “Masukkan.”
Liora mendelik, seluruh darah lenyap dari wajah Liora. “A-apa maksudmu, Jerome?” bibir Liora bergetar hebat, tubuhnya meronta-ronta berusaha lepas dari cekalan Max.
“Jangan, Jerome!” jerit Liora, “Kumohon.”
Dengan kedua lengan kekarnya, Max dengan mudah menangkal segala bentuk pemberontakan Liora. Memasukkan tubuh mungil wanita itu ke dalam bagasi dengan kasar dan menutupnya. Meredam segala macam jeritan Liora.
Di dalam bagasi, sangat gelap dan sempit. Sepanjang perjalanan, Liora tak berhenti berteriak hingga tenggorokannya sakit, menendangkan kakinya hingga ia kelelahan dan seluruh tenaganya terkuras habis ketika kecepatan mobil perlahan berkurang.
Saat bagasi itu dibuka, rambut Liora yang berantakan semakin tak karuan dengan beberapa helai yang menempel di wajah oleh air mata. Wanita itu bahkan tak sanggup bangun, seluruh tubuhnya terasa kram dan mati rasa dan nyaris kehabisan napas.
Dengan kaki telanjangnya yang serasa akan patah, Liora diseret keluar dari dalam bagasi oleh Max. Setengah bersandar di tubuh Max, Liora membiarkan tubuhnya dibawa ke mana pun. Di antara rasa pusing yang begitu menusuk kepalanya, Liora melihat bangunan tiga lantai. Ia bahkan sudah tak punya tenaga lagi untuk bertanya di mana mereka. Ketiganya melintasi lorong dengan banyak pintu. Entah sejauh apa lagi mereka akan melangkah.
Hingga Liora didorong ke tempat tidur, dan tubuhnya terpelanting dua kali. Dan saat itulah kesadaran segera menguasai dirinya, melihat beberapa anak buah Jerome mengelilingi tempat tidur. Liora bangun terduduk, melihat Jerome yang duduk bersilang kaki di kursi yang tampaknya. Bersiap menyaksikan tontonan yang sangat menarik.
Liora memutar kepalanya, menarik jubah tidurnya menutup lebih rapat. “A-apa yang akan kau lakukan, Jerome? K-kenapa mereka semua di sini?”
“Tubuhmu sudah terlanjur kotor, Liora. Tak akan lebih kotor jika mereka semua menyentuhmu, kan?” Seringai Jerome semakin tinggi dan kegelapan di kedua bola mata pria itu semakin pekat.
Air mata Liora jatuh semakin berurai. Kepalanya menggeleng-geleng tanpa daya. Jerome tak mungkin membiarkan tubuhnya dilempar kepada pengawal pria itu untuk dinikmati seperti pelacur, kan? Liora tak membutuhkan jawaban, sudah terlihat jelas dari seringai dan mata pria itu.
Liora melompat turun dari tempat tidur, tapi tubuhnya segera dibanting kembali ke tempat tidur oleh pengawal yang berada paling dekat dengan dirinya.
“Lakukan.” Kalimat singkat Jerome seperti vonis mati bagi Liora. Wanita itu menjerit dan berteriak. Kedua tangannya di tahan oleh masing-masing pengawal, kakinya yang menendang-nendang ke segala arah ditangkap oleh yang lain. Jubah tidurnya sudah ditanggalkan, menyisakan lingerie berwarna ungu sebagai satu-satunya penutup tubuhnya yang telanjang. Liora menggerakkan seluruh tubuhnya ke segala arah, menyusahkan pengawal-pengawal itu sebisanya.
Dalam keputus-asaan, dan dengan tenggorokannya yang terasa dicekik, Liora berteriak sekuatnya. “A-adikku!”
“Adikku Jenna!” Sekali lagi Liora berteriak sekencangnya.
“Berhenti.” Suara Jerome segera menghentikan seluruh yang ada di ruangan tersebut. Liora yang tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, segera bangkit terbangun membebaskan diri dari tangan-tangan pengawal Jerome. Melompat ke lantai tepat di kaki Jerome.
“Adikku. Biarkan adikku menggantikan tempatku.” Entah apa yang ada di pikiran Liora. Hanya itu satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk membayar semua perngkhianatannya terhadap Jerome. Seluruh tenaganya sudah terkuras habis, tetapi mengingat adiknya, mendadak ia mendapatkan kekuatan lebih dan memeluk kaki Jerome kuat-kuat. Tak akan ia lepaskan tak peduli sekuat apa punn Jerome akan menendangnya.
“Aku akan memberikan adik kembarku sebagai bayaran dosa-dosaku terhadapmu.”
Raut Jenna tampak berantakan ketika Liora menemui wanita itu di ruang tengah. Dengan Axel dan Alexa yang berada dalam pangkuang sang mama. Jenna tampak kewalahan memegang si kembar yang merengek dengan kedua tangan. Membuat Liora bergegas mengambil alih Alexa dan menenangkan bocah mungil tersebut, dengan begitu Jenna lebih mudah menenangkan Axel. Setelah beberapa saat kemudian setelah si kembar lebih tenang dan bersama pengasuh Xiu di kamar Xiu, Liora dan Jenna duduk di kursi pantry dengan gelas berisi jus untuk masing-masing. “Di mana Jerome?” Liora memulai pembicaraan lebih dulu. “Di kantor.” “Apa Jerome tahu kau di sini?” “Belum.” Jenna mengangkat pergelangan tangannya. “Sepertinya sebentar lagi akan datang.” “Kau bertengkar dengannya?” Jenna menggeleng, tetapi kemudian mengangguk. “Keberadaan Juna benar-benar mempengaruhi hubunganku dan Jerome.” Liora mendesah pelan. Pria itu tak hanya menargetkan dirinya untuk balas dendam, tetapi juga pada Jenna. Tetapi mereka pun tak b
Daniel menggeram dengan wajah yang menggelap. Kedua tangannya terkepal kuat dan tubuhnya siap melayang ke arah Juna. Tubuhnya sudah menghambur ke arah Juna sebelum Liora mendorong tubuhnya dan menghadang kemurkaan yang siap diluapkan. “Kita pergi, Daniel,” bisik Liora menahan kedua lengan sang suami dengan sekuat tenaga. Daniel menggeram tak setuju. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah meninju wajah Juna yang dengan lancangnya menyentuh Liora. Dan semakin berang bukan main ketika menangkan seringai di ujung bibir pria itu. Salah satu tangan Juna bergerak naik menyentuh bibir bagian bawah dengan ujung ibu jari. Sambil terkekeh, Juna bergumam pelan, “Well, mungkin inilah yang dirasakan Jerome ketika memergoki kalian berselingkuh di belakangnya. Jangan terlalu mengambil hati, Daniel.” “Tutup mulutmu, Juna,” sentak Liora menyangkal. “Kita pergi.” “Dengarkan istrimu, Daniel.” Tentu saja Juna tak mengindahkan kata-kata peringatan Liora. Kali ini juga menjilat bibir bagian bawahn
Ya, apartemennya memang bukan apartemen mewah seperti milik Daniel. Yang ia yakin keamanannya masih bisa diterobos oleh Juna menggunakan Lim sebagai nama belakang pria itu. ‘Kau ingin aku mengirim foto ini pada mantan selingkuhan yang kau bilang suami itu? Mata Liora terpejam, hanya sesaat rasanya hubungannya dan Daniel baru saja membaik, dan sekarang kenapa harus direcoki oleh hal semacam ini. Seolah belum cukup ia harus membayar dosanya di masa lalu. Liora memutuskan tak menggubris pesa n tersebut. Menghapus chat tersebut dan meletakkan ponselnya kembali ke meja kemudian berjalan ke dapur menyiapkan makanan untuk Daniel. Ia baru saja selesai menyeduh coklat hangat ketika Daniel muncul dan langsung duduk di kursi pantry. “Kau memasak?” tanya pria itu. “Sudah kubilang aku akan mengurusnya …” Liora menggeleng. Meletakkan piring berisi dada ayam panggang yang sudah ia hangatkan. “Tadi sore Jenna menyuruh orang mengirimnya.” Daniel hanya mengangguk. “Besok aku akan meminta pelayan
“Hai, apa yang kau pikirkan?” Daniel menyentuh pundak Liora yang tampak melamun di depan cermin wastafel. Liora menoleh, memegang lengan Daniel dan memberikan seulas senyum tipis. Membiarkan tubuhnya dipeluk dari belakang. “Sepertinya ada sesuatu yang menggelisahkanmu.” “Hanya sedikit kekhawatiran.” Liora tak sepenuhnya berbohong. Sejak pulang dari rumah Jerome, pikirannya masih dipenuhi oleh Juna. Keseriusan pria itu tampaknya tak bisa ia abaikan begitu saja. “Tentang?” Daniel mencium pipi Liora dan sisi wajahnya dirangkum oleh telapak tangan wanita itu sedangkan pandangan mereka bertemu di cermin. Liota tak langsung menjawab. Tak yakin apakah harus membicarakan hal tersebut pada Daniel tentang apa yang dilakukannya pada Juna untuk menyelamatkan hidupnya saat itu dari Jerome. Tapi, setidaknya ia perlu tahu lebih dalam tentang Juna, kan? “Apa kau mengenal Juna?” “Juna? Julian?” Liora mengangguk, mengamati lekat-lekat ekspresi di wajah Daniel. Kening pria itu berkerut tipis, ta
"Hai." Liora berhasil menangkap lengan Samuel. Membuat tubuh pria itu menghadapnya. "Ada apa?" "Liora." Suara Samuel terdengar begitu sendu, dengan kedua mata yang mulai digenangi air mata. Menatap Liora dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Alicia. Kening Liora berkerut. Belum pernah Samuel mengucapkan nama Alicia dengan nada sesedih ini. "Ada apa dengan Alicia?" "Dia nyaris mati karena kehabisan darah," jawab Samuel dalam isak tangisnya. "D-dia … dia hamil dan keguguran." Liora terkesiap kaget, sebagai seorang ibu tentu saja ia bisa merasakan kehilangan itu. Telapak tangannya mengelus punggung Samuel. Menyalurkan dukungan dan semangat dengan tulus. "Sshhh, semuanya akan baik-baik saja." "Aku bahkan tak tahu kalau dia sedang hamil. Dia tak mengatakannya padaku." Ada rasa bersalah di hati Liora akan keberadaannya di antara hubungan Alicia dan Samuel. "Maafkan aku." "Tidak, Liora. Kau tak bersalah. Akulah yang paling bersalah. A-aku … seharusnya aku lebih memperhatikan Al
Liora keluar dari ruangan Arata Saito dengan senyum samar yang menghiasi ujung bibirnya. Tentu saja ia tak akan kalah tanpa melakukan apapun. Arti Daniel bagi Arata Saito jelas lebih besar ketimbang Carissa atau kerajaan bisnis ini. Sejujurnya ia tak mengharap lebih, ia pun bisa hidup dengan Daniel tanpa bayang-bayang Arata Saito. Ditambah arti Arata tak lebih besar dari dirinya dan Xiu, juga anak dalam kandungannya bagi Daniel. Ia bisa membanggakan diri untuk yang satu itu. Huffttt, setidaknya satu masalah sudah tertangani. Berkat bantuan dari Jerome. Ya, kemarin ia menghubungi Jerome untuk mencari tahu tentang hubungan Arata Saito dan kedua orang tua Daniel, yang ternyata memang tidak baik seperti perkiraannya. “Ck, ck, ck.” Suara decakan mengejek dari arah depan menghentikan Liora yang baru saja akan masuk ke dalam lift. Carissa dengan kedua lengan bersilang dada, mengamati Liora dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan merendahkan. “Apa yang sedang dilakukan istri sim