Dan, ternyata seorang teman yang dikatakan oleh Daniel ternyata adalah Carissa, wanita cantik yang adalah mantan kekasih Jerome. Liora dibuat murka bukan main. Mendengar pembicaraan Carissa dan Daniel di ruangan Carissa saat ia hendak ke dapur untuk mengambil air minum.
“Kau membohongiku, Daniel,” sembur Liora begitu Daniel masuk ke kamar.
“Dia memang seorang teman.”
“Mantan kekasih Jerome,” koreksi Liora dengan sengit.
Daniel maju ke depan, meraih tangan Liora.
“Pikirkan ini, Liora. Kau ingin menyelamatkan adikmu, kan. Kita bisa meminta bantuan Carissa. Carissa akan kembali kepada Jerome sehingga Jerome bisa melepaskan kau dan adikmu.”
“Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantumu.”
Liora terdiam. Tampak menimbang-nimbang selama beberapa saat.
“Juga, dia juga akan membantu pernikahan kita.”
Wajah Liora seketika berubah pucat. “Menikah? Apa maksudmu?”
“Ya, kita akan menikah.”
“Kenapa kita perlu menikah?” Liora menepis tangan Daniel yang berusaha menyentuhnya.
“Karena kau mengandung anakku.”
“Aku tak butuh tanggung jawabmu.”
Kali ini wajah Daniel mengeras. “Lalu apa yang kau butuhkan?”
“Tidak ada. Kita hanya bersenang-senang. Tidak lebih dan tidak kurang. Kau tahu bukan hanya denganmu saja aku bersenang-senang, kan?”
Gurat kemarahan semakin menguat di garis wajah Daniel. “Baiklah, aku akan membiarkanmu memilih. Menikah denganku atau aku akan membiarkan Jenna tetap menderita bersama Jerome. Pilihan ada di tanganmu.”
Mulut Liora segera terbungkam dengan rapat. Tak punya pilihan selain menuruti keinginan Daniel. Keesokan harinya, mereka menikah dengan Carissa dan entah siapa yang tidak Liora kenal sebagai saksi pernikahan.
Liora berusaha bersabar dengan pernikahan yang rasanya seperti mencekik lehernya meski Daniel selalu memperlakukannya dengan baik karena kandungannya. Hati Liora tak pernah seluas itu untuk menerima pernikahan yang bukan atas kehendak dan haknya sedangkan adiknya saat ini menderita olehnya.
Akhirnya, hari itu juga tiba. Ketiganya kembali ke Indonesia. Carissa menyiapkan tempat untuk Daniel dan Liora di salah satu hotel milik wanita itu. Liora pun mulai mencari tahu kabar tentang keadaan sang adik di belakang Daniel. Tetapi hal itu diketahui oleh Daniel dan Daniel pun melarang Liora keluar kamar.
“Kau berjanji padaku untuk menyelamatkan Jenna jika aku menikah denganmu?” protes Liora ketika pria itu memergoki isi percakapannya dengan salah satu suruhannya. Yang bahkan ia bayar dengan uang pemberian Daniel secara diam-diam.
“Bukan sekarang waktunya, Liora. Apa kau mengerti?”
“Lalu kapan? Kau bahkan tidak mengijinkanku mendekati Jenna ketika kita bertemu di restoran kemarin.”
“Aku takut Jerome akan melakukan sesuatu pada kandunganmu.”
“Bukankah kau bilang Carissa bisa membantu kita? Dan sekarang Jenna sudah terlanjur hamil anak Jerome. Dengan cara apa lagi kau akan membantuku?!”
“Apakah adikmu memang lebih berarti ketimbang anakmu sendiri ataupun pernikahan kita?” Suara Daniel lebih keras.
“Kaulah yang membuatku mengorbankan adikku sendiri, Daniel. Semuanya kesialan ini bermula karena dirimu. Jika aku tidak melakukan kesalahan yang kita lakukan, saat ini aku dan Jerome akan hidup dengan baik. Dan Jenna bersama Juna. Kami akan hidup bahagia,” sembur Liora dalam sekali tarikan napas. “Kaulah kesalahan terbesar di hidupku.”
Wajah Daniel merah padam. Tangannya mengepal kuat, menahan diri untuk melayangkan tamparan di wajah Liora. Beraninya wanita itu menimpakan semua kesalahan terhadap dirinya.
Liora terduduk di sisi tempat tidur, menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menangis tersedu.
Mata Daniel terpejam, mengembuskan napas dengan keras.
“Kau, anak ini, dan pernikahan ini. Semua bukan keinginanku,” isak Liora dalam tangisannya.
Tak tahan mendengar rintihan Liora, Daniel memutuskan keluar. Menjauh dari Liora atau ia akan kehilangan kendali dan membuat semuanya semakin berantakan. Pada akhirnya, dengan Liora yang mogok makan dan bicara, membuat Daniel mengalah. Mengijinkan wanita itu bertemu dengan Jenna. Pertemuan berlangsung dengan sangat lancar. Tapi rupanya Jerome malah memperlakukan Jenna dengan sangat baik. Membuat Liora semakin sulit dikendalikan karena kini Liora berpihak pada Jenna.
Hingga suatu hari, wanita itu berhasil melarikan diri. Daniel mencari ke mana pun dan malah pergi ke rumah Jerome. Daniel dibuat murka dan tak berkutik. Menunggu di depan gerbang tinggi kediaman Jerome dengan kesabaran yang seolah tiada habisnya. Beruntung kesabarannya membuahkan hasil. Liora akhirnya melangkah keluar dari kediaman Jerome. Dan wanita itu bahkan tahu dirinya tengah menunggu.
“Aku ingin bercerai.”
Dan setelah semua kesabaran yang berusaha Daniel pertahankan, berani-beraninya wanita itu mengatakan kalimat tak tahu terima kasih semacam itu. Sebagai pukulan telak untuknya. Dan kalimat itulah sebagai puncak kesabarannya menghadapi Liora.
Daniel turun dari mobil. Setelah sehari semalam mulutnya tak menyentuh makanan atau air putih, dan tidak memejamkan mata. Sebuah keajaiban Daniel bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri dan mencengkeram tangan Liora dengan keras.
Liora meringis kesakitan. “Lepaskan aku, Daniel.”
“Apa kau bilang?”
“Sudah cukup kau menggunakanku dan Jenna untuk menghancurkan Jerome. Kau sama sekali tak lebih baik dari Jerome.”
“Aku sudah menjelaskan semuanya padamu. Apa lagi yang kau butuhkan untuk membuktikan bahwa aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Tidak perlu. Aku tak memerlukan apa pun darimu selain tanda tanganku.”
Dada Daniel dipenuhi gemuruh yang semakin menggelegak tak tertahankan. “Bagaimana dengan anakku?”
“Aku akan pastikan dia hidup dengan baik. Itu sudah lebih dari cukup untuknya.”
Cengkeraman Daniel di tangan Liora semakin mengencang, tapi Liora dengan amat sangat baik menguasai ekspresinya.
“Aku akan mengirim pengacara untuk mengurus perceraian kita. Kita memulai hubungan ini dengan cara tak baik, jadi tidak perlu menyesal jika hal ini pun berakhir dengan cara seperti ini.”
Tatapan mata Daniel mengeras, dengan segala emosi yang bergelora di kedua matanya. Membara seolah sanggup membakar Liora hidup-hidup.
Liora memelintir tangannya dan satu tangan mendorong dada Daniel. Cengkeraman pria itu melonggar dan ia berhasil meloloskan tangannya ketika suara klakson mengalihkan keduanya. Daniel dan Liora menoleh, memandang mobil SUV hitam yang berhenti di seberang jalan. Dan seseorang yang begitu akrab dengan keduanya muncul dari balik kaca jendela yang bergerak turun.
“S-samuel?” desis Daniel penuh ketidak percayaan.
“Aku pergi. Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita, Daniel,” pungkas Liora sebelum memutar tubuh dan berjalan ke seberang jalan. Masuk ke mobil Samuel.
Daniel tak peduli lagi. Tatapan tajamnya mengikuti mobil Samuel yang mulai melesat menjauh. Meninggalkannya dengan cara yang paling menyedihkan seperti ini. Bahkan saat ia ditendang dari perusahaan oleh Jerome saja ia tak pernah merasakan kehilangan dan dendam sebesar ini.
Tangan Daniel bergerak menyalakan mesin, menekan pedal gas dalam-dalam dan melesat di belakang mobil Samuel. Dan ia benar-benar sudah dibutakan oleh kecemburuan. Mobilnya menghantam bagian belakang mobil Samuel dengan sangat kencang. Menciptakan suara tabrakan yang begitu memekakkan telinga.
‘Jika ia tidak bisa memiliki Liora, maka tidak ada siapa pun yang bisa memiliki wanita itu.’
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Saat Daniel tersadar, ia sudah berbaring di salah satu ruangan rumah sakit, dan satu-satunya hal yang ia ingat adalah Liora. Tubuh Liora yang jatuh terpelanting di jalan dan tubuh wanita itu berbaring di aspal serta darah yang menggenangi tubuh wanita itu.
Dengan langkah kaki yang tertatih dan seperti orang gila, Daniel membuat keributan di rumah sakit hingga berhasil menemukan ruangan tempat Liora sedang menjalani operasi. Ia tak hanya menghancurkan Liora, kini seluruh hidupnya hancur ketika dokter yang baru saja menyelesaikan operasi Liora memberitahunya.
“Bayinya tak terselamatkan.”
Kedua kakinya meluruh, menjatuhkan seluruh tubuh Daniel jatuh ke lantai. Dengan kepala tertunduk dan pundak yang menurun. Air mata jatuh dalam kebisuannya. Menatap keduanya tangannya yang terjatuh lemah di pangkuan. Ialah yang telah membunuh darah dagingnya dengan tangannya sendiri. Seumur hidup, Daniel tak akan pernah melupakan fakta tersebut.
Tiga tahun kemudian … Di salah satu unit apartemen, Liora duduk berjongkok di laci nakas terbawah mencari-cari dengan ponsel yang terselip di antara pundak dan telinga. “Ya, Jenna. Aku tak akan melupakannya. Dua hari lagi, kan?” “…” “Bagaimana keadaan Axel. Apa dia sudah membaik?” “…” “Syukurlah. Alexa dan Xiu?” “…” “Dia masih pemilih ya? Kenapa kau membeda-bedakannya? Alexa pasti merasa cemburu dengan saudarinya.” “…” “Bukan salahnya. Dia mengikutimu.” “…” Liora terkikik. “Sepertiku? Bagaimana bisa? Aku tak pernah membuat masalah ya.” “…” “Setidaknya dua hari terakhir ini. Ah tidak, sejak kemarin. Lusa aku lupa mengatur jadwal Samuel dengan klien baru dari Singapore. Pria itu kesal, tapi dia menyapaku lebih dulu. Mengatakan rencananya untuk mendiamkanku selama seminggu gagal total.” Liora terkikik lagi. “…” Liora terdiam, senyumnya seketika membeku. “Kau sudah mendengarnya?” “…” “Kenapa kau masih saja membencinya?” “…” Liora tertawa tipis. “Kami hanya professional,
Tepat jam delapan malam, Samuel datang menjemput Liora dengan Buggati birunya. Liora segera turun begitu ia memberitahu kedatangannya. Lima menit kemudian suara sepatu yang beradu di lantai lobi membuatnya berbalik dengan seketika. Kedua mata Samuel memandang penuh ketakjuban begitu Liora muncul dengan begitu sempurna. Rambut bergelombang wanita dibiarkan terurai ke samping, dengan gaun berwarna merah yang menampilkan lekukan tubuh seksi Liora, wanita itu sangat mampu memenuhi segala macam pikiran terliar pria manapun. Belahan samping yang menampilkan kaki jenjang Liora mengintip dengan malu-malu di setiap langkah wanita itu. "Kau terlihat menawan, Liora." Samuel menghampiri wanita itu dengan salah satu tangan di belakang. "Aku tahu dan aku memang selalu seperti ini. Kenapa kau masih saja terkejut, Samuel?" balas Liora dengan senyum yang semakin melengkapi kesempurnaan wanita itu dan kerlingan mata yang mampu melumpuhkan kedua kakinya. Wanita itu selalu dipenuhi kepercayaan diri yan
"Tunggu, Liora." Samuel berhasil menangkap pergelangan tangan Liora di depan pintu lift yang nyaris memisahkannya dirinya dari Samuel. Merasa begitu terkhianati oleh pria itu. "Kau tahu dia yang akan datang?" sembur Liora dalam desisan yang tajam. "Aku tak mungkin membawamu datang jika tahu cucu tuan Saito adalah Daniel. Daniel Lim,” tekan Samuel pada kalimat terakhirnya. Satu-satunya saingannya untuk menaklukkan hati Liora hanyalah Daniel Lim, yang meskipun hanya sebagai bayang-bayang masa lalu Liora. Liora berusaha mencari gurat kebohongan di wajah Samuel, yang tak bisa ia temukan. Ia tahu Samuel mengatakan yang sebenarnya. "Lalu apa yang terjadi tiga tahun lalu? Kau mengatakan padaku bahwa dia dipenjara." Meski Liora tak tahu detail berapa lama pria itu ditahan. Liora tak perlu dan tak ingin tahu. Satu-satunya hal yang membekas hanyalah geram kemarahan Daniel saat ia masuk ke dalam mobil Samuel. Kemudian kegilaan pria itu yang mencoba membunuh mereka berdua dalam kecelakaan itu.
Sungguh, satu-satunya hal yang menahan dirinya untuk tidak mendobrak meja di hadapannya ini adalah dendam yang mengendap di dadanya. Dan bukan sekarang saat yang tepat untuk memberi wanita satu ini hadiah. Setelah semua penderitaan di masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan, bagaimana mungkin Liora sama sekali tak terpengaruh dengan kemunculannya. Meninggalkannya layaknya sampah seperti yang dulu wanita itu lakukan padanya. Tidak, kali ini ia tidak akan menjadi sampah itu. Lioralah yang akan ia tinggalkan. “Melarikan diri lagi, huh?” Akhirnya kalimat itu keluar dalam bentuk dengusan yang tipis. Sudut mata Daniel melirik surat pengunduran diri tersebut. Sama sekali tak sudi akan menyentuhnya. Well, ia muncul di hidup Liora untuk memporak porandakan kehidupan nyaman wanita itu. Kehidupan nyaman yang didapatkannya ketika ia berkubang dalam rasa bersalah dan pengkhiatan yang dilakukan oleh wanita ini. Rasa bersalah telah menjadi pembunuh untuk darah dagingnya sendiri dan luka hati ya
Samuel menjemput Liora tepat jam dua belas siang. Pria itu bersikeras menemani Liora untuk mencarikan beberapa hadiah untuk ulang tahun keponakannya. “Kau tak bisa menolakku, Liora.” Tangan Samuel bersidekap keras kepala di dada. “Kau harus bergegas ke rumah Jenna, kan?” Mata Liora menyipit, menusuk penuh curiga tepat ke kedua mata Samuel. “Dari mana kau tahu tentang itu?” Samuel mengeluarkan sebuah kartu undangan dengan warna pelangi dan bertema kartun favorit Xiu dan Alexa, Snow White. Dilengkapi senyum kemenangan pria itu. “Kau tahu jam makan siang adalah saat jalanan paling merepotkan. Amat sangat merepotkan jika kau menggunakan taksi. Belum dengan pemilihan hadiah. Aku seorang pria, sudah pasti Axel tak suka hadiah boneka, kan?” Liora mendengus sinis akan pengetahuan Samuel tentang ketiga kembar. “Kau tahu Jenna akan menyemburmu begitu kau muncul di depan wajahnya, kan?” “Beruntung jika dia tidak menyiramkan seember air padaku lagi, kan,” canda Samuel. “Tapi … kali ini aku me
Jerome hanya menatap dingin ke arah Daniel, kemudian melirik ke arah Jenna yang tampak memucat. Wanita itu bergerak mendekat ke arahnya, melingkarkan lengan di lengannya. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyeruak dari wanita itu. Begitu pun dengan Liora.Satu persatu Daniel menatap bergantian ketiga kembar dengan masing-masing kue ulang tahun dan nama yang tertulis di kue dengan bentuk yang berbeda. Axel, Alexa, dan Xiu. Daniel menatap lebih lama ke arah Xiu, dengan kernyitan yang tersamar. Mengamati wajah putri kecilnya tersebut dan Jerome bergegas menyela perhatian yang terlalu banyak tersebut.“Sekarang bukan saat yang tepat untuk membuat keributan di rumahku, Daniel.”Pertanyaan Jerome berhasil menarik perhatian Daniel, kembali menatap sang sepupu.“Jangan bersikap terlalu keras, sepupu. Kau sudah mendapatkan Jenna yang asli, untuk apa lagi kita perlu mengingat masa lalu yang sudah jauh tertinggal di belakang.” Kalimat Daniel lebih ditujukan pada Liora ketimbang pada Jerome dan J
“Capek?” tanya Samuel begitu Liora mendaratkan pantatnya di jok depan mobilnya.Liora menghela napas panjang sembari bersandar dan memasang sabuk pengamannya. “Ya, tapi setidaknya aku senang bisa bertemu mereka.”Samuel pun melajukan mobil keluar dari kediaman Jerome Lim dan Liora mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata. Sepanjang perjalanan, Samuel tak berhenti menyempatkan menikmati pemandangan Liora yang terlelap dengan penuh ketenangan. Hingga ponsel dari dalam tas wanita itu berdering dan menampilkan nama Daniel saat Samuel mengeluarkan ponsel tersebut. Tanpa keraguan, pria itu mengangkatnya.“Ya?”Tak langsung ada jawaban dari seberang. “Di mana Liora?”Samuel melirik ke samping, Liora masih terlelap dan tampaknya wanita itu memang sangat kelelahan. “Masih tidur.”Tak ada reaksi dari seberang dan Samuel pun memilih membuka suaranya lagi. “Apa ada yang ingin kau katakan padanya? Aku akan mengatakannya saat dia bangun.”“Tidak perlu repot-repot. Urusan kami sama sekali bukan u
“Singgah atau tidak, sepertinya itu akan menjadi urusan pribadi saya, Tuan Daniel Lim Yang Terhormat.” Liora berhasil menjawab pertanyaan Daniel dengan tanpa getaran sedikit pun dalam suaranya. “Saya pun penasaran, alasan Anda begitu tertarik dengan urusan pribadi saya. Terutama urusan ranjang saya.”Wajah Daniel membeku dalam kepucatan. Ada emosi yang melintasi kedua matanya, tetapi segera lenyap hanya dalam hitungan detik. Ia menguasai emosinya dengan sangat baik. Sedikit saja emosinya tertangkap oleh Liora, wanita itu akan berpikir bahwa dirinya telah cemburu.Pun dengan gemuruh panas yang membakar dadanya setiap kali membayangkan kedekatan Liora dengan pria lain, terutama Samuel. Dan meski ia mengakui kecemburuan tersebut masih tersisa di dadanya untuk wanita yang pernah menjadi ibu dari anaknya tersebut, Daniel akan memastikan wanita itu tak pernah mengetahuinya.Daniel terkekeh kecil dan memberi satu gelengan kepala untuk Liora. “Tidak ada alasan khusus. Hanya saja … kau sama se