Share

4. Memulai Lembaran Baru

Tiga tahun kemudian …

Di salah satu unit apartemen, Liora duduk berjongkok di laci nakas terbawah mencari-cari dengan ponsel yang terselip di antara pundak dan telinga.

“Ya, Jenna. Aku tak akan melupakannya. Dua hari lagi, kan?”

“…”

“Bagaimana keadaan Axel. Apa dia sudah membaik?”

“…”

“Syukurlah. Alexa dan Xiu?”

“…”

“Dia masih pemilih ya? Kenapa kau membeda-bedakannya? Alexa pasti merasa cemburu dengan saudarinya.”

“…”

“Bukan salahnya. Dia mengikutimu.”

“…”

Liora terkikik. “Sepertiku? Bagaimana bisa? Aku tak pernah membuat masalah ya.”

“…”

“Setidaknya dua hari terakhir ini. Ah tidak, sejak kemarin. Lusa aku lupa mengatur jadwal Samuel dengan klien baru dari Singapore. Pria itu kesal, tapi dia menyapaku lebih dulu. Mengatakan rencananya untuk mendiamkanku selama seminggu gagal total.” Liora terkikik lagi.

“…”

Liora terdiam, senyumnya seketika membeku. “Kau sudah mendengarnya?”

“…”

“Kenapa kau masih saja membencinya?”

“…”

Liora tertawa tipis. “Kami hanya professional, Jenna. Dan di luar pekerjaan kami berteman.”

“…”

“Itu hanya masa lalu.”

“…”

“Malam ini aku tak bisa.”

“…”

“Ya, kami ada pesta perpisahan kecil-kecilan. Dia berencana menenangkan diri di Australia selama beberapa bulan.”

“…”

Liora memutar bola matanya. Putus asa mencari-cari di semua laci tak juga menemukan benda mungil mengkilat tersebut. “Jenna, apa aku meninggalkan dompetku di rumahmu?”

“…”

“Bisakah kau memeriksa di dalamnya, apa ada cincin di sana?”

“…”

“Hmm, kutunggu.” Liora menurunkan ponselnya, bersamaan benda mengkilat yang tampat berada di sudut terdalam laci. Tangan Liora terulur, mengambil cincin dengan hiasan permata kecil berwarna putih di bagian tengahnya.

Ingatan Liora berputar kembali ke tiga tahun yang lalu. Setelah ia kehilangan janin dan bangun dari komanya, Jenna memberitahunya bahwa keluarga Samuel menuntut Daniel dan pria itu ada di penjara. Dan saat ia kembali pulih, ia meminta tolong Jenna mendapatkan pengacara untuk mengurus perceraian mereka dengan bantuan Jerome.

Ia tak ingat bagaimana cincin itu bisa ada di sana, menggeleng tipis demi menepis ingatan tersebut. Liora pun melempar cincin tersebut ke tempat sampah. Berharap untuk selamanya tak akan bertemu dengan Daniel.

Sudah hampir tiga tahun ia menjalani kehidupan barunya. Sesekali bertelponan dengan Jenna yang sekarang disibukkan dengan ketiga kembar untuk menceritakan keluh kesah, juga lebih sering mengunjungi keluarga bahagia tersebut. Liora menghela napas panjang. Hari ini, itu tepat hari kematian darah dagingnya. Tapi ia masih tak memiliki rencana mengunjungi makam putrinya.

“Liora,” panggil Jenna dari ponsel Liora yang diletakkan di nakas.

“Ya. Apa kau menemukannya?”

“Ya, apa kau ingin aku mengirim seseorang untuk membawanya.”

“Menurutmu? Itu hadiah dari Samuel.”

“Demi apa, Liora. Dia sudah bertunangan. Tidak seharusnya seorang pria yang sudah bertunangan memberikan hadiah seperti ini. Aku akan membuangnya sekarang juga,” jawab Jenna dengan cepat. Yang membuat Liora tertawa.

“Itu cukup mahal, Jenna. Aku bisa menjualnya untuk membeli gaun …”

“Aku akan membelikannya untukmu,” sambar Jenna dengan cepat. Kemudina terdengar suara tangisan dari salah satu kembar.

“Sepertinya itu Alexa.”

“Ya, Xiu pasti membuat masalah lagi. Aku pergi dulu.”

“Hmm, bye.”

Jenna tak sempat membalas, yang Liora dengan berikutnya suara Jenna yang berusaha menenangkan Alexa. Liora pun menutup panggilannya, mencari cincin yang meja rias dan memastikan setelan kerjanya sempurna sebelum berangka ke kantor.

***

Tepat jam delapan, pintu lift terbuka dan Samuel Marsello yang menawan melangkah keluar. Meski gurat lelah terlihat jelas menggores di wajah tampan pria itu. Liora dan kedua sekretaris lainnya berdiri, menyambut kedatangan Samuel dengan sopan.

“Liora,” panggil Samuel sambil menggelengkan kepala ke arah pintu ruangannya.

Liora mengangguk, mengambil tabnya dan mengikuti Samuel.

“Kuharap urusanku selesai hari ini juga,” ucap Samuel sambil melangkah ke belakang meja dan menyangkulkan jasnya di belakang kursi.

“Ya, Tuan. Tak ada pertemuan lagi.”

Samuel mengangguk puas, kemudian duduk di kursinya. Menyandarkan pungung dengan pandangan yang mengarah lurus ke wajah Liora. “Kau terlihat cantik dan menawan seperti biasanya,” komentar Samuel.

Liora tersenyum tipis.

“Apa nanti malam kau akan menemaniku ke pesta penyambutan?”

Liora tampak menimbang, kemudian menggeleng.

“Setidaknya kau akan tahu lebih cepat siapa bos penggantimu.”

“Apakah itu penting?”

Samuel menggeleng. “Si kakek tua itu benar-benar merepotkanku. Kudengar cucunya baru pulang dari London dan berencana melangsungkan pernikahan di kota ini. Itulah sebabnya memberi sang cucu posisi dengan semaunya. Dan para dewan direksi sama sekali tak punya hak untuk memprotes.”

“Ini perusahaan mereka, Samuel.” Liora mengingatkan.

Samuel hanya menghela napas. “Aku tahu. Dan mereka masih cukup baik hati dengan memberikan tunjangan yang menggiurkan. Uang berbicara lebih banyak.”

“Seperti yang selalu kau katakan.”

Untuk pertama kalinya Samuel tersenyum di pagi ini. Liora membalasnya. Kemudian salah satu alisnya terangkat lagi. “Jadi?”

Liora kembali menimbang.

Samuel bangkit berdiri, memutari meja dan melangkah dengan perlahan ke belakang Liora. Tangannya menyentuh ujung lengan Liora, merambat ke pundak dengan sentuhan selembut bulu. Kemudian ia mendekatkan bibirnya di telinga Liora. “Aku sudah menyiapkan gaun, sepatu, dan perhiasan yang bagus untukmu. Hanya malam ini, jadilah cinderellaku. Aku yakin kau akan menarik perhatian semua orang melebihi sang pemilik pesta. Sudah lama kita tal bersenang-senang.”

Senyum Liora mengembang akan pujian tersebut. Dan sebelum napas Samuel menjadi lebih berat, Liora membalikkan tubuh menghadap pria itu. “Hanya sampai jam dua belas?”

Samuel memberengut merasa kehilangan dengan jarak yang diambil oleh Liora. Mneyadarkan kabut yang mulai bermunculan di kedua bola matanya, ia mengangguk mantap dengan senyum yang lebih lebar. “Aku akan menjemputmu tepat jam delapan.”

Liora mengangguk. “Sesore itu?”

“Aku harus datang lebih awal untuk mengucapkan perpisahan,” jawab Samuel penuh keengganan. “Hanya basa-basi busuk. Dan aku memerlukanmu untuk membuat pestaku tak membosankan.”

“Kau selalu membutuhkanku, ya?”

“Seperti yang kau sangat tahu.” Samuel meraih jemari Liora, menunduk untuk melihat sesuatu yang tersemat di sana dan tersenyum miris. “Kau tak memakainya?”

“Aku menyimpannya di dompetku dan dompetku tertinggal di rumah Jerome.”

“Ah, kau masih mengunjungi mantan tunanganmu?”

Liora tersenyum. “Adik iparku,” koreksinya.

Samuel hanya manggut-manggut. Kemudian tiba-tiba pintu, Alicia dengan rambut pirangnya yang terurai muncul. Terkejut dan langkahnya sempat tersendat

“Apa yang kau lakukan di sini, Jenna?” sengit Alicia.

Liora menatap kebencian di kedua mata Alicia dengan penuh ketenangan. Kemudian menarik tangannya yang masih berada di genggaman telapak tangan Samuel. “Liora,” koreksinya dengan senyum yang terlalu lebar di wajah. “Namaku Liora, Alicia. Dengan kepintaranmu aku tak tahu bagaimana kau masih saja salah memanggil nama adikku setelah tiga tahun yang lalu aku memberitahumu.”

“Tiga tahun satu bulan dan tiga hari,” koreksi Alicia dengan bibir merah yang menipis tajam. Bagaimana mungkin ia melupakan hari di mana wanita itu kembali memporak-porandakan hidupnya.

“Ah, kau masih mengingat bagaimana aku menghancurkan rencana pernikahan kalian, ya?” Liora melirik ke arah Samuel. “Tunanganmu sangat sensitif, Samuel.”

Alicia mendengus, dengan tatapan tajamnya yang penuh sumpah serapah.

“Sepertinya kalian butuh bicara. Aku keluar.” Liora melangkah melewati Alicia. “Sampai jumpa nanti malam, Tuan,” tambahnya sebelum menutup pintu.

Wajah Alicia seketika memucat, kemudian beralih menatap Samuel. “Nanti malam kau tak mungkin pergi dengannya, kan?”

Samuel tak menjawab, yang berarti ya.

“Aku tak tahu terbuat dari apa wajahmu, Samuel. Kau membawa selingkuhanmu di hadapan umum?”

Samuel menghela napas, kemudian duduk di balik mejanya. “Dia bukan selingkuhanku, Alicia.”

“Teman?”

Samuel mengangguk singkat.

“Teman tapi mesra?”

Senyum tertampil apik di wajah Samuel. “Sedikit. Ayolah, Alicia. Kami hanya bersenang-senang. Jangan merusak hariku dengan kecemburuan tak berartimu itu.”

Alicia benar-benar kehilangan kata-kata. Selalu tak bisa membantah argument Samuel untuk yang satu ini.

“Jadi, ada apa?”

Alicia menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Mengembalikan ketenangan emosinya. “Aku sudah membujuk papaku.”

Salah satu alis Samuel terangkat, butuh penjelasan lebih.

“Kau tak perlu pergi ke Australia. Dia akan membantumu.”

Samuel manggut-manggut. “Begitu?”

“Dengan satu syarat,” sambar Alicia dengan cepat dan penuh penegasan.

“Kita harus menikah.”

Wajah Samuel seketika berubah datar.

***

Masih ada yang nunggu story ini?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Melanie Melisa
masih donk kak lou
goodnovel comment avatar
Tita Anita
FAVORIT BANGET baca cerita2nya kak seruuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status