RISA sudah tidak bisa menghitung berapa kali Alva menyemburkan benih itu ke dalam tubuhnya. Dia merasa sangat lemas, tenaganya hilang tak bersisa, bahkan bibir yang semula bisa mengerang nikmat kini hanya bisa bungkam dan menerima cumbuan panas tanpa bisa membalas.
Jika ditanya, apakah Risa menyesali apa yang telah dilakukannya?
Jawabannya, iya, dia menyesali semua kebodohannya.
Termakan amarah dan terbuai rayuan setan, dia menyerahkan dirinya pada pria playboy bernama Reagan Alvaro. Salah satu temannya yang diam-diam mengincar tubuh Risa sejak pertama kali mereka berjumpa.
Risa mengetahui hal itu sejak lama, tapi dia hanya diam saja, karena Alva tidak pernah memperlakukannya secara kurang ajar.
Tatapan matanya memang melecehkan, bahkan kalimatnya kadang sangat keterlaluan, tapi hanya sekadar itu. Tangannya tidak pernah bergerak untuk macam-macam, bibirnya tidak pernah berusaha merayu dengan cara lebih intim, kecuali sore tadi.
Saat dia mendatangi apartemennya dengan amarah dan kekesalan yang tiada batasnya. Risa ingin menangis, tapi entah kenapa air matanya terasa kering. Dia tidak bisa menangis dan malah meminta Alva untuk melakukan apa yang pria itu inginkan darinya sejak lama.
Yakni ... tidur dengannya.
Risa kembali merasakan ciuman Alva mendarat di sekujur rahangnya, menjalar pelan dari rahang, naik ke pipi, kemudian mampir di bibirnya.
"Lo udah lemes?" tanyanya dengan nada yang lembut dan tampak penuh pengertian. "Mau mandi dulu?" tawaran itu hanya bisa Risa tanggapi dengan anggukkan pelan.
Tubuhnya benar-benar lelah. Hancur lebur dari batin sampai fisiknya. Hatinya yang hancur karena pengkhianatan dan fisiknya yang hancur karena sejak tadi Alva terus menguras semua tenaganya secara perlahan-lahan.
"Bisa mandi sendiri atau mau gue mandiin?" tanya Alva sekali lagi.
Pria itu sudah bangkit dari ranjang, tampak gagah dengan tubuh kekar dan juga miliknya yang masih berdiri tegap dengan sempurna. Padahal dia sudah melakukannya sejak tiga jam yang lalu dan terus menyemburkan benihnya ke dalam tubuh Risa berkali-kali, sampai perempuan itu tak bisa menghitungnya lagi.
Namun, Alva masih bisa berdiri, tegap, gagah, dan sangat perkasa.
Pipi Risa sontak bersemu merah, karena terang-terangan telah menatap tubuh polos Alva yang tak tertutupi kain apa pun. Dia menarik selimut, menutup sampai hidungnya saat membalas, "Gue bisa mandi sendiri."
Tubuhnya lengket. Keringat keduanya bercampur menjadi satu di tubuhnya dan membuat badannya beraroma tidak sedap. Belum lagi bagian lembah kenikmatan yang ia miliki, benih pria itu telah bercampur dengan pelepasannya sendiri dan membuatnya sangat basah sampai ke pahanya.
"Hm ...." Alva hanya menggumam samar. Dia memandangi Risa dengan tatapan yang sulit diartikan, kemudian kepalanya mengangguk perlahan. "Kalau gitu, gue mandi dulu, baru lo yang mandi. Setelah itu, kita bisa makan malam dulu. Oh, ya, kalau lo nggak bisa mandi sendiri, panggil aja gue buat bantuin lo sampai kamar mandi atau mandiin lo mungkin, ya?"
Risa tidak menjawab. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Satu-satunya yang ia benci adalah terlihat lemah di hadapan orang lain.
Risa sudah terbiasa hidup sendiri sejak SMA. Hidup sebatang kara tanpa orang tua membuat hidupnya sangat keras dan penuh perjuangan. Walaupun jatuh sakit dan harus berdarah-darah, menurut Risa semua itu lebih baik daripada dia harus meminta bantuan orang lain.
Melihat Risa tak menanggapi kalimatnya, Alva mendesah panjang. Dia melangkahkan kakinya ke kamar mandi, lalu mulai membersihkan diri sekaligus menidurkan miliknya yang sejak tadi masih berdiri.
Alva tidak tahu apa yang terjadi. Risa tampak sangat marah dan dipenuhi emosi negatif saat mengetuk pintu apartemennya dan kemudian, dia ingin mengambil tawaran yang Alva tawarkan padanya dua bulan lalu untuk tidur bersamanya.
Alva masih bisa mengingatnya dengan jelas saat dia tidak sengaja menawarkan ranjangnya pada perempuan itu. Risa memang syok, dia terdiam cukup lama, tapi kemudian dia tertawa puas dan menganggap kalimatnya hanyalah lelucon gila.
Namun, sore ini dia datang pada Alva dengan suka rela. Menyerahkan tubuh dan semua raganya untuk dimiliki oleh Alva seutuhnya. Bahkan mahkota yang harusnya dia berikan pada suaminya kelak, malah dia berikan pada Alva dengan cuma-cuma.
Ada yang aneh. Alva menyadari itu.
Kalau Risa hanya ingin melepas keperawanan, kenapa dia mencari Alva?
Kenapa bukan mencari kekasihnya sendiri malah mencari Alva yang notabenenya hanya teman sekantor yang tidak sengaja pernah menawarkan kehangatan?
Walaupun dia tidak menyukai pemikirannya itu, tapi seharusnya Risa memang mencari Alan daripada mencarinua. Karena selain menjadi pacar Risa, Alan juga bersumpah akan menjadi calon suaminya tahun depan.
Kecuali ... masalah yang membuat Risa begitu marah dan tak terkendali sore ini adalah sepupunya sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Alva bertanya-tanya dalam hati, tapi dia bisa menyimpannya untuk nanti. Setelah mereka menyantap makan malam, dia akan mencoba untuk mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
Terutama ... karena dia telah menyemburkan benihnya berulang kali di dalam tubuh Risa. Mereka harus bicara, karena dia sangsi, salah satunya tidak bisa memenangkan duel dan menjadikan bibit nyawa yang siap tumbuh di rahim perempuan itu.
***
Fisiknya lebih hancur dari yang ia bayangkan. Begitu Alva keluar kamar setelah menyiapkan pakaian rapi yang bisa Risa kenakan, dengan perlahan perempuan itu mencoba bangun dari ranjang dan mulai berjalan.
Namun, sungguh ... rasanya sangat menyakitkan!
Perih dan sakitnya tidak seperti saat pertama kali melakukannya, tapi lebih ke sebuah guci antik yang begitu tipis dan harus dijaga dengan baik. Salah melangkah sedikit saja, guci itu akan jatuh, hancur, lebur, tak akan kembali berbentuk lagi.
Risa menggigit bibirnya dengan kuat setelah dia melingkarkan selimut ke sekeliling tubuhnya, lalu dengan perlahan dia mulai melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Dia nyaris berteriak keras saat langkah pertamanya berhasil.
Namun, dia tidak berani melangkah untuk mengambil langkah kedua. Sakitnya terlalu menyiksa sampai dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apa dia harus memanggil Alva untuk membantunya sampai ke kamar mandi?
Risa menggigit bibirnya semakin keras. Air matanya tanpa sadar mengalir melewati pipinya yang terdapat beberapa helai rambut lengket akibat keringat.
Apa yang sebenarnya telah dia lakukan sebelumnya?
Dia tahu, melepas keperawanan akan terasa sakit, tapi kenapa rasa sakitnya tidak kunjung hilang, padahal sudah berselang menit sejak mereka menghentikan aktivitas itu?
Apa karena ... Alva terus memilikinya tanpa membiarkan tubuh dan miliknya beristirahat sedikit pun?
Alva yang sejak tadi berada di pintu masuk akhirnya tidak tega dan mulai mendekati Risa. Dia tahu harga diri perempuan ini begitu tinggi, sampai kesakitan dan menangis pun, dia tidak berteriak meminta tolong padanya sama sekali.
Sosok yang benar-benar tangguh dan luar biasa. Alva berdecak kesal, dia tidak bisa mencegah perasaan sukanya tumbuh semakin kuat setelah apa yang mereka lewati hari ini.
"Kalau emang nggak bisa, bilang, jangan cuma diam aja," gerutunya sembari menarik lepas selimut tebal yang membuat tubuh Risa terlihat layaknya telur gulung berwarna putih yang sedang berjalan di tengah ruangan.
Dia langsung meletakkan satu tangan di bawah lutut dan satunya lagi di balik bahu Risa, lalu mengangkat perempuan itu dengan mudah menuju kamar mandi.
"Gue tahu, lo punya harga diri yang tinggi, tapi cukup kali ini aja, lepas semua topeng lo itu dan jadiin gue sandaran lo yang baru!" Alva berkata tanpa melirik Risa sedikit pun. "Percayalah, Ris, dada gue rasanya sakit banget waktu ngelihat lo nangis kayak gini, tapi gue nggak bisa ngapa-ngapain!"
Risa menatap wajah Alva yang tetap menatap lurus ke depan tanpa sekali pun menatap wajahnya. Kata-kata itu membuat dadanya menghangat, dari semua emosi yang telah melebur menjadi satu; amarah, kekesalan, dan nafsu. Alva datang memberikan air segar yang membuatnya tenang di antara semua kebimbangan.
"Makasih, Alva!" Risa menyembunyikan wajahnya ke dada Alva lalu kembali berkata, "Untuk hari ini, gue pinjam dada lo buat nangis, boleh?"
Alva melirik perempuan itu dalam diam, lalu kepalanya mengangguk pelan. "Pakai aja kalau lo mau, gratis, kok."
Dan Risa memeluknya semakin erat. Merasakan kehangatan matahari yang dengan perlahan menyinari hatinya. Dia tidak menangis, dia hanya tersenyum tipis. Sakit hatinya menguap, amarahnya sirna, kekesalannya hilang begitu saja.
Yang tersisa kala itu adalah sedikit perasaan bahagia, karena entah mengapa ... dia merasa sedang dicintai oleh pria yang sedang menggendongnya ini.
Cinta semu setelah euforia percintaan panas di antara mereka, tidak lebih dari itu ....
Beberapa bulan sebelumnya ...."Kantor kita, katanya dapat personel baru.""Ah, yang katanya mutasi dari kantor pusat itu?"Beberapa mendengkus pelan. "Apes, apes, dari kantor pusat malah dilempar ke sini, pasti ada yang nggak beres sama kerjaan mereka di sana.""Sialnya, salah satunya bakal masuk divisi kita!""Sial! Nambah beban mulu, jadi pengin resign aja bawaannya!"Ralf menyimak gerutuan rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi datar. "Ribut banget, cuma ketambahan satu orang aja kayak ketambahan seratus orang. Dasar manusia julid!""Emang lo bukan salah satunya?" Alva tertawa pelan.Ralf mendelik ke arahnya. "Gue nyinyir ke orang yang tepat aja. Nah, mereka? Lihat manusianya aja belum, udah nyinyir aja kayak nenek lampir." Tiba-tiba pria itu
ALVA mengernyitkan dahi begitu membuka mata dan tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Pria itu langsung duduk tegak dengan sempurna, walau efeknya rasa pusing langsung menyergap kepalanya."Risa?"Tanpa memperhatikan penampilannya yang belum berbusana. Dia bergerak menuju kamar mandi, mencari keberadaan Risa tapi tak ada sosok perempuan itu di sana.Alva menggeram pelan. Dia mengambil dalaman, kaus, celana panjang dari koper miliknya. Tanpa repot-repot pergi ke kamar mandi, Alba langsung mengenakan pakaiannya. Setelah selesai, dia menuju tempat kunci mobilnya berada, sambil mengacak rambut hitam yang mulai memanjang.Namun, kunci itu tidak ada di tempatnya.Alva melirik ponselnya, lalu dengan cepat dia mengambilnya dan lekas memanggil nomor Risa. Sekali, dua kali, dia mengulangi panggilan itu, tapi tak ada jawaban apa pun."Di mana dia?" geramnya lalu menutup panggilan.Dia mengambil laptop yang ada di kopernya untuk ia keluar
MALAM itu, Alva sudah terlelap saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Risa meliriknya berulang kali. Berpikir, apakah dia harus membangunkan Alva ataukah langsung saja mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel pria itu?Risa terdiam cukup lama hingga nada dering panggilan itu selesai. Namun, sekali lagi ponsel itu berbunyi dan ia tak bisa menahan dirinya lagi.Dia menggoyangkan tubuh Alva secara perlahan sambil memanggil-manggil namanya. "Va! Alva!""Hm?" sahut pria itu terdengar malas-malasan.Dia malah menarik bantal dan menyembunyikan kepalanya ke balik bantal itu. Terlihat jelas jika dia tidak mau diganggu, dia ingin beristirahat penuh malam ini setelah bercinta panas dengan Risa sejak sejak yang lalu."Ponsel kamu bunyi mulu dari tadi. Nggak mau kamu angkat dulu?" Risa mengingatkan Alva pada ponselnya yang masih berbunyi.Alva pasti juga mendengar suara ponselnya walau hanya sayup-sayup suaranya saja. Itu alasan kenapa dia mengam
"KENAPA kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Risa terkejut setelah mendengar soal terakhir yang Alva berikan padanya. Dia bahkan sampai melepas paksa pelukan di antara mereka.Alva tersenyum miring. "Aku hanya ingin memastikannya. Kamu mau, kan, menjadi istriku, Sa?""Bukannya, aku sudah pernah menjawab pertanyaanmu ini sebelumnya?" Risa balik bertanya dengan kepala berpaling ke arah lain, rona merah sudah menghiasi pipi dan membuat seluruh wajahnya terasa panas bukan main.Alva menggeleng pelan, tangannya terulur menyentuh rambut Risa dan membelainya dengan perlahan. "Saat itu kamu memang menjawabnya, tapi bukan jawaban seperti itu yang mau aku dengar. Ayo, Sa, jangan terus menerus menghindar. Apa kamu tidak mau memberiku sebuah kepastian tentang pernikahan kita?"Alva masih ingat dengan baik jawaban Risa sebelumnya— yang jujur saja terdengar sangat mengkhawatirkan untuknya. Walaup
"MAAF, aku malah membuat pertunjukan mengerikan seperti itu di depanmu tadi." Alva mengatakannya tanpa melirik ke arah Risa, begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang menyala dan mulai meninggalkan rumah orang tuanya.Walaupun dia dengan tulus meminta maaf, tapi Alva tak sepenuhnya menyesali perbuatannya. Karena nyatanya, Alva memang ingin Risa mengetahui semua hal termasuk aib tentang dirinya, juga tentang semua kebusukan anggota keluarganya. Dia hanya merasa bersalah jika Risa sampai terkena serangan mental atau serangan jantung setelah melihat peperangannya dengan Jared secara langsung.Ibunya saja tak pernah sanggup melihatnya bertengkar dengan sang ayah, apalagi Risa yang notabenenya masih orang baru dalam lingkup dunianya. Perempuan itu pasti sangat terkejut tadi, Alva bisa memahaminya. Mungkin juga Risa ingin menyerah begitu saja, tapi Alva tak ingin membiarkan Risa melepaskan dirinya.Apa pun
TAK ada satu pun yang berubah dari rumah ini. Alva masih bisa merasakan hal yang sama setiap kali dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia juga tidak begitu mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Dia juga tidak tahu apa alasannya hingga dia menjadi seperti ini setiap kali ia kembali. Namun, memang sejak dulu dia tidak pernah merasa betah, ketika ia sedang berada di rumah.Jika Alva bisa pergi, maka dia akan pergi meninggalkan rumah. Entah itu untuk pergi bermain, pergi ke rumah Alan, ke rumah teman-temannya yang lain, juga pergi ke kelab malam. Dia hanya akan pulang ketika dia butuh tempat tidur untuk semalam, itu pun setelah dewasa dia kadang lebih memilih menyewa hotel untuk ia tiduri daripada pulang ke rumah.Namun, semuanya menjadi semakin menjadi semenjak Alva kuliah. Dia yang akhirnya bisa hidup sendiri dan bisa mencari uang sendiri dari jalan kecil yang ditemukannya pun merasakan sebuah kenyamanan yang membua