"TOLONG pelan-pelan sedikit!" Risa memejamkan mata. Bibirnya terus mengerang saat pria itu berusaha untuk menyatukan tubuh mereka dengan cara menggesekkan dua benda pribadi keduanya dengan gerakan pelan dan hati-hati.
Alva melengkungkan tubuhnya di atas tubuh Risa. Wajahnya mendekati telinga Risa dan mulai berbisik, "Lo serius sama semua ini, Sa?"
Risa membuka mata dan menatap pria yang kini berada di atasnya dengan wajah sebal. "Bukannya lo yang nawarin gue, kenapa lo malah jadi ragu begini?"
Karena gue nggak nyangka lo masih perawan, sialan! batin Alva sembari menghela napas panjang.
"Kalau lo emang nggak bisa, kita berhenti aja."
Risa mendorong dada Alva, membuat pria itu bangun dan Risa turut bangun dari ranjang pria itu. Namun, sebelum dia benar-benar bisa berdiri, Alva kembali menarik tangannya kembali.
"Va, kalau lo emang nggak bisa, gue bisa nyari sembarang cowok buat lepas status sialan ini!" teriaknya yang kini merasa kesal bukan main.
Risa telah dikhianati oleh tunangannya. Tunangannya memilih berselingkuh dengan sang sekretaris daripada lekas menikah dan bisa mendapatkan kepuasan batin darinya. Dia yang selalu meminta Risa untuk terus menjaga keperawanannya, malah mengumbar kejantanannya untuk sekretarisnya bahkan wanita-wanita jalang lain di luar sana.
Risa geram dan sangat marah. Dia ingin membuat kekasihnya tahu apa yang dia rasakan saat melihat pria itu meniduri wanita lain di belakangnya. Dan akhirnya, dia menerima tawaran Alva untuk tidur dengannya dengan tujuan membalaskan dendam.
Namun, Alva tiba-tiba saja merasa ragu saat tahu kalau dia masih perawan.
Sial!
Apakah status perawan segitu pentingnya hingga harus terus dijaga?
Bagaimana dengan status perjaka seorang pria?
Kenapa pria bisa dengan mudahnya membuka gesper dan celap-celup sana sini?
Kenapa wanita tidak bisa melakukan hal yang sama?
Malahan seorang pria akan menanyakan status keperawanan seorang perempuan sebelum mau menikahinya. Padahal, pria itu tidak sesuci itu untuk mendapatkan gadis perawan.
Bukankah semua itu tidak adil?!
"Bukannya udah telat?" Alva mendorong Risa untuk kembali rebahan di atas ranjangnya. "Gue nggak bisa ngelepasin lo gitu aja, Sa. Nggak setelah semua ini ...."
Alva kembali mencium bibir Risa, melumatnya dengan perlahan dan hati-hati, sebelum mulai menaikkan tempo ciumannya lebih intens. Dia berusaha mengembalikan perempuan itu dalam kabut berahi, sebelum dia mulai memosisikan diri.
Bersiap masuk dan mengoyak harta paling berharga milik perempuan di bawahnya ini.
Kenapa sebelumnya dia bisa merasa ragu?
Hanya karena dia tahu, perempuan ini masih suci, bukan berarti dia tidak bisa menodainya, bukan?
Dia bisa melakukannya. Dia bisa mengambil harta berharganya. Lagi pula, Alva tidak memaksa Risa untuk memberikannya. Risa yang datang padanya dengan suka rela. Dan Alva, sebagai bajingan sejati akan dengan senang hati mengambilnya.
Benda kebanggaannya masuk dengan sempurna. Rasa sesak itu begitu hangat dan membuatnya melenguh panjang. Nikmat yang begitu luar biasa sesak dan menggairahkan. Alva mulai menggerakkan diri, memompa dengan perlahan dan hati-hati, karena takut melukai perempuan yang sedang meringis di bawah tubuhnya saat ini.
"Jangan pernah menyesali ini semua, Risa!" erangnya, sebelum menggoyangkan pinggulnya lebih cepat dari sebelumnya.
____
Beberapa bulan sebelumnya ...."Kantor kita, katanya dapat personel baru.""Ah, yang katanya mutasi dari kantor pusat itu?"Beberapa mendengkus pelan. "Apes, apes, dari kantor pusat malah dilempar ke sini, pasti ada yang nggak beres sama kerjaan mereka di sana.""Sialnya, salah satunya bakal masuk divisi kita!""Sial! Nambah beban mulu, jadi pengin resign aja bawaannya!"Ralf menyimak gerutuan rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi datar. "Ribut banget, cuma ketambahan satu orang aja kayak ketambahan seratus orang. Dasar manusia julid!""Emang lo bukan salah satunya?" Alva tertawa pelan.Ralf mendelik ke arahnya. "Gue nyinyir ke orang yang tepat aja. Nah, mereka? Lihat manusianya aja belum, udah nyinyir aja kayak nenek lampir." Tiba-tiba pria itu
ALVA mengernyitkan dahi begitu membuka mata dan tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Pria itu langsung duduk tegak dengan sempurna, walau efeknya rasa pusing langsung menyergap kepalanya."Risa?"Tanpa memperhatikan penampilannya yang belum berbusana. Dia bergerak menuju kamar mandi, mencari keberadaan Risa tapi tak ada sosok perempuan itu di sana.Alva menggeram pelan. Dia mengambil dalaman, kaus, celana panjang dari koper miliknya. Tanpa repot-repot pergi ke kamar mandi, Alba langsung mengenakan pakaiannya. Setelah selesai, dia menuju tempat kunci mobilnya berada, sambil mengacak rambut hitam yang mulai memanjang.Namun, kunci itu tidak ada di tempatnya.Alva melirik ponselnya, lalu dengan cepat dia mengambilnya dan lekas memanggil nomor Risa. Sekali, dua kali, dia mengulangi panggilan itu, tapi tak ada jawaban apa pun."Di mana dia?" geramnya lalu menutup panggilan.Dia mengambil laptop yang ada di kopernya untuk ia keluar
MALAM itu, Alva sudah terlelap saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Risa meliriknya berulang kali. Berpikir, apakah dia harus membangunkan Alva ataukah langsung saja mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel pria itu?Risa terdiam cukup lama hingga nada dering panggilan itu selesai. Namun, sekali lagi ponsel itu berbunyi dan ia tak bisa menahan dirinya lagi.Dia menggoyangkan tubuh Alva secara perlahan sambil memanggil-manggil namanya. "Va! Alva!""Hm?" sahut pria itu terdengar malas-malasan.Dia malah menarik bantal dan menyembunyikan kepalanya ke balik bantal itu. Terlihat jelas jika dia tidak mau diganggu, dia ingin beristirahat penuh malam ini setelah bercinta panas dengan Risa sejak sejak yang lalu."Ponsel kamu bunyi mulu dari tadi. Nggak mau kamu angkat dulu?" Risa mengingatkan Alva pada ponselnya yang masih berbunyi.Alva pasti juga mendengar suara ponselnya walau hanya sayup-sayup suaranya saja. Itu alasan kenapa dia mengam
"KENAPA kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Risa terkejut setelah mendengar soal terakhir yang Alva berikan padanya. Dia bahkan sampai melepas paksa pelukan di antara mereka.Alva tersenyum miring. "Aku hanya ingin memastikannya. Kamu mau, kan, menjadi istriku, Sa?""Bukannya, aku sudah pernah menjawab pertanyaanmu ini sebelumnya?" Risa balik bertanya dengan kepala berpaling ke arah lain, rona merah sudah menghiasi pipi dan membuat seluruh wajahnya terasa panas bukan main.Alva menggeleng pelan, tangannya terulur menyentuh rambut Risa dan membelainya dengan perlahan. "Saat itu kamu memang menjawabnya, tapi bukan jawaban seperti itu yang mau aku dengar. Ayo, Sa, jangan terus menerus menghindar. Apa kamu tidak mau memberiku sebuah kepastian tentang pernikahan kita?"Alva masih ingat dengan baik jawaban Risa sebelumnya— yang jujur saja terdengar sangat mengkhawatirkan untuknya. Walaup
"MAAF, aku malah membuat pertunjukan mengerikan seperti itu di depanmu tadi." Alva mengatakannya tanpa melirik ke arah Risa, begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang menyala dan mulai meninggalkan rumah orang tuanya.Walaupun dia dengan tulus meminta maaf, tapi Alva tak sepenuhnya menyesali perbuatannya. Karena nyatanya, Alva memang ingin Risa mengetahui semua hal termasuk aib tentang dirinya, juga tentang semua kebusukan anggota keluarganya. Dia hanya merasa bersalah jika Risa sampai terkena serangan mental atau serangan jantung setelah melihat peperangannya dengan Jared secara langsung.Ibunya saja tak pernah sanggup melihatnya bertengkar dengan sang ayah, apalagi Risa yang notabenenya masih orang baru dalam lingkup dunianya. Perempuan itu pasti sangat terkejut tadi, Alva bisa memahaminya. Mungkin juga Risa ingin menyerah begitu saja, tapi Alva tak ingin membiarkan Risa melepaskan dirinya.Apa pun
TAK ada satu pun yang berubah dari rumah ini. Alva masih bisa merasakan hal yang sama setiap kali dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia juga tidak begitu mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Dia juga tidak tahu apa alasannya hingga dia menjadi seperti ini setiap kali ia kembali. Namun, memang sejak dulu dia tidak pernah merasa betah, ketika ia sedang berada di rumah.Jika Alva bisa pergi, maka dia akan pergi meninggalkan rumah. Entah itu untuk pergi bermain, pergi ke rumah Alan, ke rumah teman-temannya yang lain, juga pergi ke kelab malam. Dia hanya akan pulang ketika dia butuh tempat tidur untuk semalam, itu pun setelah dewasa dia kadang lebih memilih menyewa hotel untuk ia tiduri daripada pulang ke rumah.Namun, semuanya menjadi semakin menjadi semenjak Alva kuliah. Dia yang akhirnya bisa hidup sendiri dan bisa mencari uang sendiri dari jalan kecil yang ditemukannya pun merasakan sebuah kenyamanan yang membua
"APA Alan bakal balik lagi ke Bandung, ya?"Alva yang semula mau memejamkan mata dan terlelap ke alam mimpinya, langsung membuka matanya lebar-lebar. Kepala menoleh dengan cepat ke arah Risa yang berbaring di sebelahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bahas soal dia?""Memangnya nggak boleh? Kamu nggak suka aku bahas soal dia?" Risa mengedipkan kedua matanya sembari menatap Alva yang wajahnya terlihat tidak sedap dipandang. Apa dia marah? batinnya, heran sekaligus penuh pertanyaan. Kenapa Alva bisa terlihat semarah itu hanya karena Risa membahas Alan?"Boleh aja, sih, tapi kalau bisa jangan bahas dia sekarang." Alva memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang. Harus berapa lama dia merasakan perasaan tak nyaman ini setiap kali Risa membahas soal sepupunya?"Kenapa?" Risa mengernyitkan dahi. Kali ini dia benar-benar tak mengerti alasan yang membuat Alva hingga tak menyukai bahasan soal Alan, yang notabenenya masih saudara pria itu sendiri."Sa, kamu b
ALAN langsung mendatangi rumah kedua orang tuanya untuk mengabarkan jika dia batal menikahi Risa. Mamanya langsung memarahinya habis-habisan, bertanya apa alasannya hingga dia melakukannya dan terus menanyakan hal yang sama berulang kali. Bahkan papanya langsung mengambil senapan dan siap menembaknya di tempat saat itu juga.Alan tersenyum tipis sembari menyesap kopi yang dibuatkan mamanya sebelum kemarahan di antara mereka berkobar. Dia meletakkan cangkir itu kembali di piring, sebelum menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata dipenuhi kepedihan."Aku yang salah, Pa, Ma. Aku tidak bisa mempertahankannya dengan baik, aku juga pernah bermain di belakangnya. Aku yang salah, hingga dia berpaling ke pelukan pria lain dan merasa nyaman di sana. Kami sudah mengambil langkah masing-masing, jalan di antara kami tak lagi sama. Dia telah memilih jalannya dan menemukan kebahagiaannya sendiri, sedang aku masih harus larut pada penyesalan karena telah menyia-nyiakannya sebelum i
"JADI, Alan udah balik ke Jakarta?" tanya Risa begitu Ralf pergi dari sana, meninggalkan mereka hanya berdua saja di ruangan itu. Menurut penjelasan Ralf sebelum ini, Risa harus menginap di rumah sakit untuk sementara waktu, sampai keadaannya benar-benar membaik. Esok harinya, dia akan melakukan USG untuk mengecek keadaan kandungannya setelah dia pingsan sebelumnya. Risa pun disarankan untuk pergi ke dokter kandungan secepat mungkin untuk kebaikan dirinya serta bayinya. Walaupun sekarang Risa merasa tubuhnya sudah lebih baik setelah menelan makanan yang dipesan Alva, dia ingin pulang, tapi dia tak bisa melakukannya. Lantaran, sejak tadi Alba terus menatapnya tajam. Sebuah tatapan yang menyiratkan ancaman, jika Risa tidak mau menurut padanya, maka dia akan melakukan sesuatu yang tak perempuan itu suka. Risa mengembuskan napas kasar begitu mengingat peristiwa beberapa saat lalu. "Tentu saja dia harus pulang dan memberi tahu semua keluarga besarnya. Sala