Share

After Broke Up
After Broke Up
Author: gina

Satu : Cemburu vs Ngambek

“Jaket kulit gue yang hitam mana?”

Pertanyaan itu berasal dari seorang siswa berseragam SMA. Lelaki berambut cokelat tua itu menatap adiknya di depan kamar.

“Yang KW dua itu?” sahut Rafael—sang adik.

Ronald berdecak kesal. “Itu jaket asli!” sahutnya. “Ke mana?”

“Gue pinjam, ya, Bang ....” Wajah Rafael terlihat memelas. “Siapa tahu, cewek yang gue suka, suka balik karena gue pakai jaket itu.”

Memang benar, jaket itu akan terlihat keren. Tetapi, jika dipakai oleh Ronald.

“Mimpi lo!” ketus Ronald, saat itu Rafael langsung mengerucutkan bibirnya. “Enggak akan ngaruh.”

“Waktu lo deketin kak Karyn, kan, pakai jaket itu, Bang.” Rafael mencari pembelaan.

“Cewek yang lo suka bukan Karyn! Jangan sama-samain cewek lo sama cewek gue,” sahut Ronald. “Lagian,  bukan karena jaket itu, Bodoh!”

“Terus apa?”

“Emang gue sama dia, udah sama-sama suka waktu pertama kali ketemu.” Ronald mendongakkan kepalanya, mengingat perkenalannya dengan Karyn.

Rafael langsung bergidik ngeri. “Palingan, lo pelet kak Karyn.” ujarnya santai.

“Udah minjam barang gue, sekarang ngatain gue. Enggak tahu diri lo!”

Bukannya meminta maaf, Rafael justru terkekeh pelan. Setelahnya, ia tetap memakasa Ronald agar meminjamkan jaket kulitnya.

Malas dan tidak ingin berdebat dengan sang adik, Ronald memilih untuk mengalah. Lagipula, sudah siang juga.

Ronald menuruni tangga rumahnya, menuju ruang makan. Di sana sudah ada papa, mama, dan adik perempuannya.

“Rebutan barang lagi sama mas Rafael?” tanya Reva—adiknya. Gadis kecil dengan seragam putih biru itu terkekeh saat melihat wajah Ronald.

Ronald menarik kursi yang berada di sebelah Irabella—mamanya—kemudian duduk di sana. “Mas lo, tuh. Enggak bermodal banget minjam jaket orang,” cibirnya.

“Abang ....” Glen—papanya—langsung menegur Ronald. “Rebutan apa lagi?”

“Reva dengar, sih, masalah jaket.” Reva menyahuti. “Jaket pelet yang bikin kak Karyn jatuh cinta sama Bang Ronald.”

“Kamu pelet Karyn, Bang?” tanya Irabella terkejut. “Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu?”

Ronald mengembuskan napasnya. Reva memang selalu memanas-manasinya. Gadis kecil itu selalu meledeki abangnya.

“Enggak, Ma,” sahut Ronald berusaha sabar. “Abang pakai cara bener buat dapetin Karyn.”

“Enggak percaya, Bang,” sahut Reva. “Mana mau kak Karyn sama cowok nakal, cowok manja, cowok cemburuan kayak Bang Ronald. Iya, kan, Pa, Ma?”

“Tambahan keras kepala, Dek.”

Keempatnya menoleh ke arah tangga, di sana sudah ada Rafael yang mengenakan jaket kulit Ronald. Ya, jaket kulit hitam yang katanya barang pelet agar Karyn jatuh cinta dengan Ronald.

“Kenapa merasa terpojokkan, seolah gue anak tiri,” gumam Ronald tidak habis pikir.

Setelahnya, Glen segera memerintah mereka untuk menghabiskan sarapan. Kemudian, mereka segera berangkat ke sekolah.

  • -•

Gadis berseragam SMA, dengan rambut cokelat sepunggung itu memasuki parkiran sekolahnya dengan langkah santai.

Beberapa adik atau kakak kelas menyapanya dengan senyuman singkat. Gadis itu membalasnya dengan senyuman singkat juga.

Langkahnya terhenti di kantin sekolah, ia segera menarik kursi si sana. Lalu, duduk seraya memainkan ponselnya. Kali ini, ia akan menunggu teman-temannya di kantin.

Saat tengah asyik memainkan ponselnya, temannya menghampiri gadis itu.

“Sendirian, Ryn? Pada ke mana?” tanya siswi berambut hitam sepinggang seraya menarik kursi di depan Karyn—gadis berambut cokelat.

Karyn mengedikkan bahunya. “Gue baru datang, kayaknya masih di jalan, deh.”

“Berangkat sendiri lo?” tanya Veronica. Gadis yang kerap dipanggil Ica adalah salah satu teman Karyn yang termasuk ambisiuss. Bahkan, sangat ambisius.

Karyn mengangguk, kemudian menaruh ponselnya di atas meja kantin. “Iya, sendiri,” sahutnya. “Lo berangkat sama Marcel?”

“Tumben berangkat sendiri. Emang Ronald enggak ngomel atau gimana gitu?” tanya Veronica yang sedikit mengalihkan pertanyaan Karyn.

Karyn menggelengkan kepalanya. “Gue tadi bilang ke dia mau berangkat pagi, dia jam enam lebih baru bangun. Belum lagi berantem sama adiknya. Kelamaan nunggu gue.”

“Diizinin sama dia? Biasanya, kan, enggak.”

“Sekali doang katanya, besok-besok enggak. Lagian salah dia, bangun siang,” sahut Karyn. “Jangan alihin pertanyaan gue.”

Veronica menghela napasnya kasar. Ia memang menghindari pertanyaan Karyn tadi. ”Iya, gue pergi sama Marcel,” sahutnya. “Kenapa lo tahu? Lo mata-matain gue, ya?!”

“Kalau enggak mau kelihatan sama orang, turunnya jangan di depan gerbang. Jauh sedikit dari gerbang.” Karyn tersenyum, senyuman itu menunjukkan bahwa dirinya tengah menertawakan temannya.

Veronica berdecak kesal. “Senyuman lo ngeledek gue, kan?!” serangnya.

“Kenapa emangnya?” tanya Karyn. “Lagian, bilangnya enggak suka, tapi pergi bareng. Udah pergi bareng, sembunyi-sembunyi lagi,” ujarnya.

Veronica mengerucutkan bibirnya. Ia sudah berkali-kali menjelaskan, bahwa dirinya dan Marcel hanya sebatas teman. Tidak lebih, mungkin. Namun, Karyn dan kedua temannya yang lain tidak percaya.

  • -•

“Asyik banget bercanda sama pacar orang,” sindir Ronald.

Lelaki itu berjalan di koridor lantai tiga, tempat kelas 11 berada. Matanya melihat Karyn yang tengah mengobrol santai—bahkan bercanda—bersama salah satu siswa dari kelas lain.

Sindiran Ronald berhasil membuat mereka langsung menoleh, hanya sekilas.

“Gue ke kelas dulu, Ryn. Cowok lo posesif banget,” ujar Brandon—siswa yang notabennya adalah mantan Karyn.

Karyn terkekeh pelan. Lalu, mengangguk. Kali ini, ia menyandarkan punggungnya pada loker di depan kelas, dengan tangan terlipat di depan dada.

“Enggak ada aku, jadi bisa ngobrol sama cowok gitu, Yang?” Ronald berjalan mendekati Karyn.

“Apa yang ada di pikiran kamu, kalau aku ngobrol sama Brandon? Terus, apa salahnya?” tanya Karyn.

Wajah Ronald langsung berubah sedih. Lelaki itu memang terlalu hiperbola, dan ... cemburuan. “Takut kamu balikan sama dia,” sahut Ronald. “Lihat tatapan dia enggak? Tatapan dia, tuh, tatapan ... cinta.”

“Lebay,” cibir Karyn. “Ketakutan kamu itu, ketakutan yang enggak akan kejadian.”

“Beneran?” tanya Ronald. “Kamu enggak akan balikan sama dia, kan?”

Karyn mengedikkan bahunya seraya terkekeh. “Enggak tahu.” Ia sengaja menjahili lelaki cemburuan itu.

“Yang, jangan bercanda!” gerutu Ronald. “Aku serius.”

“Enggak, Nald. Enggak.” Karyn jadi tertawa sendiri karena wajah Ronald yang sudah kesal, namun menurutnya menggemaskan.

Ronald tersenyum cerah, kemudian ia merentangkan kedua tangannya. “Hug me, Baby.” Nadanya, nada yang membuat perempuan manapun akan jatuh cinta, bahkan memeluknya saat itu juga.

Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Karyn. Gadis itu tidak akan tergoda dengan nada Ronald—mungkin karena sudah terbiasa dengan nada itu.

Yang dilakukan Karyn saat Ronald meminta untuk memeluknya adalah berjalan menuju lokernya—terletak di sudut ruangan. Kemudian, gadis itu membuka lokernya menggunakan kunci loker yang diambilnya dari saku seragam nasionalnya.

“Kamu, tuh, senang banget masuk ruang kepala sekolah atau enggak BK. Enggak bisa, ya, satu bulan, kamu enggak masuk ruangan kepala sekolah?”

“Mungkin bisa, kalau udah tunangan sama kamu,” sahut Ronald asal—namun serius. “Nikah kelas dua belas, yuk, Yang!”

Karyn mendelik. Apa yang Ronald ucapkan pasti hanya candaan. Gadis itu yakin 97%. “Bercandanya alay!”

“Aku enggak bercanda, aku serius.” Kali ini, Ronald sudah berada tepat di samping Karyn. Bahkan, lelaki itu terus menatap Karyn tanpa henti.

Entahlah, Karyn itu adalah salah satu candu untuk Ronald. Bahkan, Karyn adalah salah satu kelemahannya. Ronald rasa, ia tidak akan bisa bertahan hidup jika tidak bertemu dengan gadis itu.

“Sekolah dulu yang bener. Jangan keluar masuk ruang kepala sekolah, ruang BK. Habis itu baru—”

“Nikah, kan, sama kamu?” potong Ronald cepat.

“Masih muda, kok, udah nikah terus bahasannya?” Karyn menggelengkan kepalanya.

Memang Ronald selalu membahas hal itu sejak lima bulan ini. Mereka sudah lima bulan, dan sejak saat itu juga, Karyn selalu merasa terkekang dengan sikap kecemburuan Ronald.

“Banyak tahu. Kamu suka baca novel gitu, kan? Sekarang lagi zaman nikah waktu SMA,” ujar Ronald. “Ada yang nikah karena dijodohin, ada yang nikah karena ceweknya hamil duluan. Jadi, enggak masalah, kita nikah deket-deket ini.”

Ronald menjeda sejenak. Kemudian, melanjutkan ucapannya, “Atau, harus aku ham—”

“Mulutnya!” Karyn menyimpan jari telunjuknya di bibir Ronald. Hal itu sukses membuat Ronald terdiam cukup lama.

Meskipun sudah beberapa kali mereka seperti itu, jantung Ronald selalu berdetak lebih cepat jika bersama Karyn.

“Gue tampar mulut lo mau?” ketus Karyn yang sudah benar-benar kesal. Seperti ini, jika ia sudah marah, ucapannya akan berubah.

“Serius, Yang.” Ronald terkekeh. “Tanggung jawab, kok. Buktinya, kamu baper sama aku, aku tanggung jawab, kan?”

“Sekali lagi lo ngomong gitu, gue marah, Nald.” Kali ini, Karyn serius. Ia benar-benar kesal. “Gue enggak murahan kayak mantan-mantan lo, ya!” ketusnya. “Lagian, siapa yang baper sama kamu, hah? Kamunya aja terlalu percaya diri.”

“Ih, Ayang marah. Jadi, lucu kalau Ayang marah,” ujar Ronald yang masih terus saja bercanda. “Jadi, makin sayang, makin cinta, deh.”

Karyn berdecak kesal. Ia memilih untuk fokus merapikan buku-bukunya di dalam loker. Kemudian, mencari beberapa buku cetak yang menjadi mata pelajaran mereka setelah ini.

“Yang ....” Ronald mulai merengek saat tidak respons dari Karyn. “Jangan diem gitu, sih. Maaf, deh.”

“Lo kenapa selalu mikirnya yang jauh-jauh, Nald? Udah mikirnya jauh, aneh-aneh lagi. Aneh banget.” Karyn menutup pintu lokernya seraya membawa beberapa buku cetak di tangannya.

“Mikir jauh karena aku serius sama kamu. Mikir aneh, enggak, tuh.” Ronald tersenyum tanpa dosa. “Sini, aku bawain buku kamu.” Ia beralih menatap tumpukan buku di tangan Karyn, lalu hendak mengambilnya.

Karyn menepisnya. “Enggak perlu,” sahutnya. “Janji enggak sama aku? Aku enggak suka, kamu ngomong kayak tadi. Soal nikah, alasan nikah, dan segala macam yang aneh-aneh gitu.”

“Hm ....” Ronald bergumam, seolah berpikir. “Ayang enggak mau nikah sama aku?”

“Halusinasi lo ketinggian, Ronald. Kita masih sekolah, dan kalau tiap masalah, selalu kamu pergi gitu aja.”

“Bahas lagi, Yang. Enggak pa-pa,” sahut Ronald. “Oke, nanti kalau ada masalah, kita hadapin bareng-bareng, ya.” Ia mulai tersenyum sumringah.

“Janji aja terus, Yang. Enggak pa-pa.” Karyn mengikuti cara bicara Ronald. “Tiap kali juga, kamu yang lari dari masalah.”

Ronald memang selalu lari dari masalah, ia tidak ingin memperpanjang masalah. Itu alasannya, namun itu bukan salah satu alasan yang benar. Bukanlah seharusnya menghadapi masalah dan mengatasinya baik-baik.

“Iya, kali ini, enggak, Sayang ....” Ronald mengelus puncak kepala Karyn lembut, sekaligus gemas. “Janji.”

“Ya, udah. Jangan halangin aku, mau ke kelas.” Karyn mulai melangkahkan kakinya.

Ronald berjalan mundur, kemudian merampas seluruh buku yang berada di pelukan Karyn. Ia berniat untuk membawanya, tidak ingin kekasihnya repot sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status