Share

Tiga :: Kafe

Hari Jumat adalah hari yang ditunggu oleh para siswa-siswi sekolah. Khususnya untuk Karyn dan ketiga sahabatnya.

Setelah pulang sekolah, mereka sudah berencana untuk nongkrong di kafe yang biasa mereka kunjungi. Di sana makanannya tidak mahal, dulu mereka sering berkunjung ke sana.

Seperti mengerjakan tugas kelompok, atau melepas penat, mereka memilih untuk nongkrong di sana sampai sore. Bahkan, sebelum Karyn dan Adeline menjadi gadis budak cinta, mereka sering malam Minggu di sana, kecuali Veronica.

Kali ini, Karyn sudah berada di kamarnya. Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak, memejamkan matanya sebentar.

Ah iya, sepulang sekolah tadi, Karyn tidak pulang bersama Ronald karena permintaan gadis itu sendiri. Hal itu jelas membuat Ronald ngambek karena Ronald tidak suka jika Karyn pulang sendiri.

Ada alasan sendiri mengapa Karyn tidak pulang bersama Ronald. Itu semua karena Selly—salah satu teman satu geng Ronald.

Ponsel Karyn berdering sekilas, pertanda ada pesan masuk di sana. Padahal, ia baru saja memejamkan matanya beberapa menit.

Ronald : Kt Zain, kalian mau ke kafe?

Ronald : Plg jm brp?

Typing Ronald kalau lagi ngambek memang seperti itu. Tanpa sadar, Karyn terkekeh saat mendapati pesan kekasihnya itu.

Karyn : iya. gatau pulang jam berapa.

Ronald : Prgi sm siapa?

Baru saja Karyn hendak membalas pesan Ronald, lelaki itu sudah lebih dulu menelponnya.

"Jam berapa perginya? Gue jemput ntar." Nada bicaranya terdengar ketus, cuek, dan dingin. Mungkin memang karena Karyn tidak pulang dengannya.

Karyn menghela napas. "Gue pergi sendiri aja, Nald. Sekalian sama Kenneth, dia mau pergi katanya."

"Pulang jam berapa?"

"Enggak tahu," sahut Karyn.

"Kabarin gue terus. Semalam apapun lo pulang, gue jemput."

"Enggak per—"

"Enggak ada penolakan. Cukup tadi gue izinin lo pulang bukan sama gue."

Karyn terdiam sejenak, sebelum akhirnya bergumam seolah mengiyakan ucapan kekasihnya itu. "Aku matiin, ya? Mau siap-siap sama mandi," ujarnya.

"Jangan." Ronald langsung mencegah, dan itu merupakan kebiasaannya jika sudah menelepon Karyn. "Sampai lo pergi, beneran sama Kenneth, bukan pergi sendiri."

"Ronald ...."

"Lo manggil gue nama, gue beneran marah sama lo."

"Lo pakai gue-lo, gue manggil lo nama terus." Karyn mengancam balik, sepertinya Ronald semakin manja seiring berjalannya waktu.

"Ih .... Apaan, sih, Yang?!" gerutu Ronald. "Terserah, deh. Gue marah."

Karyn terdiam sejenak. Kemudian, ia memilih untuk menyimpan ponselnya di atas nakas. Sedangkan dirinya segera bersiap-siap.

Gadis itu memilih baju yang cocok, dan pas di tubuhnya. Akhirnya, ia menemukan overall jeans, dan memutuskan untuk memakainya. Dengan menggunakan kaus hitam polos di dalamnya.

"Udah beres?" tanya Ronald yang ternyata telepon mereka masih tersambung.

"Udah, gue matiin, ya." Karyn mengambil ponselnya di atas nakas itu, kemudian menyimpannya di meja rias.

Terdengar tawa di sebrang sana. "Gue lagi di basecamp." Ronald inisiatif memberitahukannya.

Karyn sudah tahu karena sudah pasti Ronald akan berkumpul bersama teman-temannya. Beberapa menit kemudian, Karyn mematikan sambungannya saat Ronald sudah mengizinkannya.

Tidak lama kemudian, Kenneth—sang adik memanggilnya. Setelah itu, Karyn segera keluar kamar dan menemui Kenneth.

  • -•

"Nald, lo jemput Karyn ntar malam?" Pertanyaan ini berasal dari Zain.

Kali ini, Ronald bersama keempat temannya tengah berada di basecamp. Letaknya tidak jauh dari sekolah. Terkadang, mereka berkumpul di sini setelah pulang sekolah.

Mendengar pertanyaan Zain, Ronald langsung menatap ke arah depan—tempat Zain berada dan duduk bersebelahan dengan Davin.

"Muka lo enggak perlu bingung gitu, Tolol!" ketus Tristan yang berada di sebelahnya.

Tristan memang bisa melihat wajah Ronald uang terlibat bingung.

"Jelas bingung, lah. Dia mana tahu, kan?" timpal Julian. "Tadi Karyn enggak pulang sama dia, Tan."

"Masih marah lo sama Karyn gara-gara enggak pulang sama lo?" tanya Davin.

Ronald melirik sekilas ke arah Davin. "Masih, kenapa?" tanyanya ketus. "Lo mau kesempatan deket-deket sama dia?"

"Enggak perlu cari kesempatan kali, Davin juga bisa deket pakai cara sendiri," sahut Zain. "Sensi amat lo."

"Berisik, Zain!" ketus Ronald. "Gue tanya aja dulu."

Ronald memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Karyn. Ia sengaja mengirimkan pesan singkat karena masih marah.

Memang Karyn langsung membalas, namun gadis itu sangat lama mengirimkannya pesan. Akhirnya, Ronald memutuskan untuk menelepon kekasihnya itu.

Meskipun sedang marah, Ronald tetap peduli. Sebenarnya, ia menahan agar tidak marah dengan Karyn. Ia ingin sekali mendengar suara kekasihnya yang memang jutek.

Namun, Ronald percaya, di balik suara jutek itu, Karyn memiliki sisi lembut. Bahkan, gadis itu memiliki cara sendiri untuk membuat Ronald bahagia.

Setelah beberapa menit, kurang lebih 20-30 menit, Ronald menyimpan ponselnya kembali. Kekasihnya sudah memutuskan sambungannya.

"Terus, kalau si Karyn enggak pulang sama lo, dia pulang sama siapa?" tanya Julian yang penasaran.

"Sama Fania," sahut Davin.

Ronald langsung mendelik. "Tahu dari mana, Vin?" tanyanya. "Lo nanya sama dia atau dia yang kasih tahu lo?"

"Gue lihat mereka pulang bareng. Terus, mereka janjian juga ke kafe deket sekolah."

"Nald, sekali-sekali, deh, lo izinin Karyn ngumpul sama temen-temennya. Enggak selamanya dia harus stay sama lo." Julian menasihati. "Kasihan, kan, kalau dia enggak ada waktu sama temen, sedangkan lo? Lo selalu ada waktu sama kita."

"Lo juga jangan marah gitu aja. Karyn punya alasan sendiri kenapa tadi nolak pulang bareng sama lo," timpal Tristan.

Ronald terdiam sejenak. Ia memang egois karena terlalu mengekang Karyn. Namun, ia lakukan itu karena dirinya sangat menyayangi Karyn.

  • -•

Suasana kafe saat ini tidak begitu ramai. Keempat gadis cantik ini tengah bercanda gurau.

Mereka melepas penat, seolah bebas dari masalah. Karyn duduk bersebelahan dengan Adeline, dan di depannya ada Veronica dan Fania.

Di meja sudah ada 3 makanan ringan yang mereka pesan. Itu semua pesanan ketiga teman Karyn, sedangkan Karyn memilih tidak memesan makanan.

Gadis itu memang jarang memesan makanan jika berkumpul. Ia memilih untuk memesan minuman kesukaannya, Caramel Macchiato.

Saat mereka tengah asyik mengobrol dan bercanda, ada seorang gadis yang menghampiri mereka.

"Heh!" Selly—gadis itu—sedikit menggebrak meja mereka.

Beberapa pengunjung kafe di sana, langsung menatap ke arahnya. Bahkan, beberapa dari mereka sudah saling berbisik.

Selly tengah bersama salah satu teman dekatnya. Ya, mereka adalah teman-teman Ronald juga.

"Gue udah bilang sama lo, akhirin hubungan lo sama Ronald, Karyn!" teriak Selly.

"Lo apa-apaan, sih, Sel?" Veronica sudah naik darah. Ia berdiri menatap Selly cukup tajam. "Enggak cukup, bikin Ronald marah sama Karyn gara-gara dia enggak pulang bareng?!"

Selly tersenyum sinis. "Ronald marah? Bagus, dong. Tandanya, hubungan lo akan berakhir."

"Jahat banget, ya, lo!" ketus Fania yang sudah ikut kesal. "Enggak ingat apa yang udah Karyn lakuin sama keluarga lo, hah?"

Emosi Selly meningkat karena Fania membahas kebaikan Karyn. Apa yang Fania ucapkan memang benar, Karyn pernah membantu Selly. Bahkan, Selly masih bersekolah karena keluarga Karyn.

Namun, Karyn melakukan itu ikhlas. Ia tidak meminta imbalan apapun dari Selly. Jika Selly ingin berniat jahat, Karyn tidak akan membahas masalah itu. Hanya saja, seharusnya Selly tahu diri.

Seharusnya, Selly tidak mengancam ataupun memaksa Karyn untuk mengakhiri hubungannya dengan Ronald. Bukankan itu hal yang tidak pantas untuk Selly membahas kebaikan Karyn.

"Bahas masalah itu lo? Ada hak apa, hah?!" tantang Selly. "Karyn aja enggak masalah. Kenapa lo yang bahas-bahas masalah itu?! Atau lo enggak ikhlas, Ryn?"

"Lo juga ada hak apa buat minta Karyn putusin Ronald?" tanya Veronica. "Sakit lo? Enggak waras?"

"Ronald itu temen gue, dan gue punya hak, dong? Dengan siapa Ronald menjalin hubungan, itu juga jadi urusan gue!" sahut Selly. "Gue tahu niat buruk lo, Ryn! Lo mau jatuhin keluarga Ronald, kan? Terus, nanti lo pura-pura jadi pahlawan, dan dia berhutang budi sama lo."

Veronica sudah benar-benar emosi. Sepertinya, Selly tidak tahu rasa terima kasih. Dengan seenaknya, gadis itu menuduh Karyn yang tidak-tidak.

"Lo sakit, Selly! Lo sakit. Terus, lo larang Ronald untuk pacaran sama Karyn? Lo suka sama Ronald?" tanya Veronica. "Karyn enggak akan—"

"Ca, udah. Biarin aja dia mau nya apa." Karyn langsung berdiri, menatap Selly tajam. "Lo mau gue putus sama Ronald? Kalau gue enggak mau?"

"Gue yang akan bikin Ronald putusin lo!" sahut Selly cepat. "Asal lo tahu, gue yang seharusnya jadi pacar Ronald sekarang. Bukan lo!" teriaknya.

Napas Selly sudah memburu. Ia teringat bagaimana pengorbanan dirinya untuk Ronald. Selly rela menghabiskan semua uang tabungannya demi menjadi seorang   perempuan yang disukai Ronald. Namun, nyatanya Ronald pernah meliriknya sama sekali.

"Kenapa, Ryn, kenapa?! Lo selalu ambil apa yang gue suka? Gue ikhlas Brandon milih lo, dan sekarang gue harus ikhlas kalau Ronald pilih lo juga?!" tanya Selly. "Lo serakah, Karyn. Lo serakah!"

"Vir, mending lo bawa Selly keluar dari sini. Suasana jadi enggak enak, banyak yang ngelihatin," ujar Adeline pada Vira—salah satu teman Selly yang kebetulan dekat dengan Adeline.

Vira langsung merangkul pundak Selly. "Sel, kita pulang. Jangan berantem di sini, enggak enak dilihatin yang lain."

"Lepas, Vir! Masalah ini belum selesai." Selly langsung menepis tangan Vira.

Tenaga Vira lebih kuat, ia menahan Selly agar tidak menyerang Karyn lagi. "Selly! Udah! Lo enggak malu dilihatin orang?"

Kali ini, dengan satu kali sentakan, Selly menarik tangannya dari pertahanan Vira. Tanpa disangka, Selly mengeluarkan benda tajam dari tas kecil yang dibawanya.

Kemudian, ia berjalan menghampiri Adeline yang berada di sebelah Karyn. Selly menarik Adeline agar berdiri di sampingnya. Lalu, gadis itu melingkarkan lengan kirinya pada leher Adeline.

Benda tajam yang berada di tangan kanan, ia arahkan pada leher Adeline. "Lo putusin Ronald atau sahabat lo, gue bunuh?!"

"Selly!" teriak Veronica dan Fania bersamaan.

"Kalian berani lepasin gue, sahabat lo jadi korban!" ancam Selly.

"Sel, jangan gila. Jangan karena cowok, lo jadi gini!" teriak Vira.

Tanpa rasa takut, Karyn mengambil benda tajam itu dari tangan Selly. Hal yang tidak disangka adalah Selly semakin mendekatkan benda tajam itu ke arah Adeline, namun Karyn segera menahannya dengan telapak tangannya sendiri.

Hasilnya adalah telapak tangan Karyn berdarah. Bahkan, darahnya cukup banyak karena benda tajam itu benar-benar sangat tajam.

"Karyn!" teriak Adeline yang langsung melepaskan tangan Selly. "Lo ... berdarah, Ryn."

"Gue enggak akan putusin Ronald. Silakan kalau lo mau cari cara supaya dia putusin gue," ujar Karyn yang masih terlihat biasa, padahal ia menahan sakit di telapak tangannya.

Karyn menghela napas sejenak. "Lakuin semua cara murahan lo, Sel. Gue enggak akan melarang lo melakukan cara murahan itu."

Saat itu, satu tamparan berhasil mengenai pipi kanan Karyn. Selly tidak terima karena dirinya dibilang memiliki cara murahan. Menurutnya, Karyn sudah menghinanya.

"Jaga ucapan lo!" tegas Selly.

Baru saja Fania dan Veronica hendak melawan, Karyn sudah menahannya. Ia meminta agar Vira segera membawa Selly pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status