Share

Empat :: Menahan Rindu

"Lo pulang sama siapa, Ryn?" Veronica masih terfokus pada luka di telapak tangan Karyn.

Gadis itu tengah memberi perban pada telapak tangan sahabatnya. Darah terus mengalir, jadi, Veronica segera mengatasinya.

Pertanyaan Veronica dibalas gelengan kepala oleh Karyn. Ia tidak mungkin meminta Ronald menjemputnya karena sekarang sudah cukup malam.

Karyn tidak ingin merepotkan siapapun. Seharusnya, ia membawa mobil tadi. Jadi, ia bisa pulang sendiri. Namun, Karyn teringat ucapan Ronald bahwa lelaki itu akan menjemputnya semalam apapun.

Cepat-cepat ia membuka ponselnya. Ia mendapati beberapa pesan dari Ronald dan anggota keluarganya yang lain. Bahkan, ada panggilan tidak terjawab dari Ronald.

Ronald : Plg jm brp?

Ronald : Udh malem

Ronald : Jgn plg sendiri

Ronald : Gue jmpt tr

Ronald : Gue tdr dl bntr

Ronald : Ryn

Ronald : Ryn, asik bgt mainnya. Smpe lupa ngabarin gue

Ronald : Ya udh ntr kalo dh mau plg, lgsg call aj

Ronald : Awas smpe plg sendiri!

Karyn menghela napas. Ia ragu jika meminta Ronald menjemputnya semalam ini.

"Gue antar aja, yuk. Sekalian gue antar Adeline." Fania inisiatif menawarkan. "Gue antar lo dulu, baru Adeline."

"Enggak perlu, Fan. Zain jemput gue," cegah Adeline yang lemas karena ia masih terkejut dengan peristiwa beberapa menit yang lalu.

Yang dikejutkan Adeline adalah darah yang mengalir begitu deras dari tangan sahabatnya. Iya, Adeline alergi dengan darah. Ia akan melemas jika melihat darah sebanyak yang keluar dari tangan Karyn.

"Ya, udah, Ryn. Gue antar," ujar Fania.

Karyn mengisyaratkan untuk menunggu sejenak. Kemudian, ia segera menelepon Ronald. Beberapa detik, panggilan itu sudah tersambung.

"Udah tidur, ya?" tanya Karyn saat telepon itu sudah tersambung.

Terdengar helaan napas dari sebrang sana, dan beberapa menit kemudian terdengar dehaman khas bangun tidur. "Tunggu bentar."

"Kamu di rumah atau basecamp?" tanya Karyn seraya menggigit bibir bawahnya. Ia takut mengganggu Ronald, apalagi lelaki itu sudah tidur.

"Basecamp," sahut Ronald. "Tunggu aku otw. Jangan ke mana-mana, enggak pulang sendiri."

Karyn menghela napas, kemudian mematikan sambungan teleponnya. "Gue sama Ronald, Fan."

Fania mengangguk singkat. Kemudian, sambil menunggu Adeline dan Karyn dijemput, mereka memutuskan untuk membeli makanan ringan. Terutama untuk Karyn yang sejak datang ke sini belum makan.

Apalagi, gadis itu sudah berkorban. Pastinya membutuhkan makanan agar tidak lemas.

Beberapa menit kemudian, makanan mereka sampai. Fania dam Veronica meminta agar Adeline dan Karyn memakannnya. Lagipula, hanya kedua gadis itu yang terlihat lemas.

Hal yang tidak diduga adalah Fania memesankan makanan yang seharusnya tidak dimakan oleh Karyn. Fania memesan roti kacang disertai keju.

Saat itu juga, wajah Karyn berubah pucat. Bahkan, gadis itu sudah mual. Iya, Karyn alergi kacang, dan Fania lupa akan hal itu.

"Fan, lo lupa?" tanya Adeline sedikit panik.

"Maaf, Ryn. Gue lupa," sahut Fania yang sudah merasa bersalah.

Karyn terdiam sejenak, meredakan rasa mualnya. Ia juga bersalah karena langsung memakan kacang itu. Padahal ia tahu bahwa aroma kacang sudah tercium sejak roti itu datang.

"Enggak pa-pa, Fan," ujar Karyn. "Tolong minta air hangat aja."

Veronica beranjak, ia meminta pada pelayan kafe untuk memberikan air hangat. Setelah beberapa menit, minuman itu datang.

Alergi itu masih bereaksi. Karyn menahan mualnya, bahkan wajahnya sudah merah karena gatal. Gadis itu lupa membawa obat alerginya, lagipula ia tidak tahu bahwa dirinya akan makan kacang hari ini.

Beribu-ribu maaf diucapkan oleh Fania dan Veronica yang merasa ceroboh, namun Karyn tetap mengatakan bahwa ini semua juga adalah kesalahannya. Jika sudah seperti ini, kedua temannya merasa tidak enak, seolah tidak berguna sebagai teman.

Tidak lama kemudian, mobil Zain datang. Ketiga gadis itu langsung membantu Adeline yang masih jalan sempoyongan karena terbayang darah mengalir. Adeline jika alergi memang akan lama, butuh beberapa jam untuk kembali normal.

"Zain, tadi Adeline lihat darah. Mungkin dia masih trauma, lo bawa mobilnya jangan ngebut, ya! Sampai temen gue kenapa-kenapa, lo berurusan sama gue." Karyn membantu Adeline duduk di kursi depan sebelah Zain.

Karyn lebih mengkhawatirkan temannya daripada diri sendiri. Padahal, dirinya lebih berbahaya dan lebih lemas daripada Adeline.

"Tangan lo kenapa, Ryn?" Tatapan Zain tidak sengaja melihat tangan kiri Karyn yang dibalut perban.

Karyn segera menyembunyikan tangan kirinya ke belakang. "Enggak kenapa-kenapa. Jangan kasih tahu Ronald, Zain," sahutnya.

"Adeline kenapa bisa lihat darah?"

Tiba-tiba Veronica berdecak. "Udah biar ntar cewek lo yang cerita sama lo. Sekarang kalian pulang aja, gue juga mau pulang. Nunggu kalian."

Setelah itu, mobil Zain langsung meninggalkan kafe. Beberapa menit kemudian, Ronald datang.

Keadaan Karyn semakin memelas karena seharusnya ia meminum obat. Sayangnya, ia tidak membawa obat itu.

Sebelum Ronald datang, Karyn sudah memperingati agar mereka tidak membahas keributan di kafe. Alasannya karena itu menyangkut teman Ronald. Karyn tidak mau jika Ronald menyalahkan temannya.

"Nald, gue enggak sengaja pesen makanan yang ada kacangnya buat Karyn. Gue lupa kalau dia alergi kacang," ujar Fania.

Ronald langsung menatap teman kekasihnya itu dengan tatapan tajam. "Lo sengaja?!"

"Nald ...." Karyn sudah duduk samping Ronald. Gadis itu mengelus lengan kekasihnya lembut. "Gue yang salah, gue asal makan."

Ronald berdecak kesal. Lalu meminta agar Fania dan Veronica menutup pintu mobilnya.

•-•

Ronald mendekatkan wajahnya ke arah Karyn. Sial, lelaki itu ingin sekali mencium Karyn saat ini. Namun, Ronald masih ngambek karena Karyn tidak pulang dengannya.

Lelaki itu memang akan lama jika sudah ngambek. Ronald harus mendapat pelukan atau ciuman dari Karyn baru tidak ngambek lagi.

Tanpa sadar, Ronald menghirup aroma tubuh Karyn yang selalu membuatnya candu. Aroma cokelat gadis itu selalu membuat dirinya bahagia, dan tidak ingin berjauhan dengan Karyn.

Bisa dipastikan, wajah mereka memang sudah dekat. Namun, Ronald menahan agar dirinya tidak mencium kekasihnya itu. Tangan Ronald beralih pada pedal penurunan sandaran mobil.

Ah iya, tangan kiri Karyn memang sudah diperban. Ronald tidak akan melihatnya karena disembunyikan pada kantong overall-nya. Kebetulan, gelap juga.

Setelahnya, Ronald menarik sabuk pengaman agar Karyn memakainya. Kemudian, ia mengelus puncak kepala Karyn, dan kembali pada posisinya.

"Susah banget dibilangin?" Ronald mulai bersuara. "Ini alasan aku enggak pernah izinin kamu buat main sama temen-temen kamu. Kamu makan asal makan, kamu ceroboh, Ryn."

Saat ini, jantung Karyn berdetak cepat. Ia takut karena Ronald terlihat emosi. "Kecelakaan doang, Nald. Lagian, aku udah enggak kenapa-kenapa."

"Doang kata kamu? Doang, Yang?" tanya Ronald emosi. "Bikin susah orang tahu enggak, sih? Kamu sakit gini, siapa yang repot, Karyn ...? Aku. Aku khawatir."

"Pulangnya juga malam banget lagi," sambung Ronald lagi yang semakin emosi. Ia memang belum melajukan mobilnya. "Apa aku pernah ajak kamu main semalam ini? Enggak, Ryn. Semalam-malamnya main, kita selalu main di rumah atau apartemen, kan? Enggak pernah main di luar kayak gini."

Karyn masih terdiam. Ia tahu kalau Ronald sudah benar-benar marah. Mungkin perihal pulang sekolah, dan sekarang ditambah dirinya teledor.

"Ya, udah. Kalau misalnya enggak mau khawatir, anggap aja enggak tahu apa-apa," sahut Karyn enteng. "Aku enggak minta kamu jemput aku, Nald. Aku bisa pulang sendiri, aku bisa pulang sama—"

"Gue harus izinin lo pulang sendiri gitu? Kayak tadi di sekolah? Gitu maksud kamu, Ryn?" potong Ronald.

Lelaki itu sudah mencengkeram stir mobilnya. "Aku udah bilang sama kamu, Karyn ... kamu pergi sama siapa, pulang juga sama siapa. Pergi sama aku, pulang sama aku juga. Aku enggak pernah izinin kamu pergi sendiri, meskipun kejadian, itu karena terpaksa. Tapi satu hal, kamu harus selalu pulang sama aku. Aku harus pastiin kamu pulang di rumah selamat."

Tangan Karyn terulur untuk mengelus punggung tangan Ronald. "Iya, aku minta maaf, Nald," lirihnya. "Tapi, sekali ini aja. Aku enggak mau bergantung sama kamu."

Ronald akan luluh jika mendapat sentuhan dari Karyn. Ia memang tidak mendapat pelukan atau lebih dari itu, dari kekasihnya. Namun, saat mendengar suara lembut Karyn, Ronald langsung merasa bersalah.

Sepertinya, ia sudah lelah untuk marah-marah. Ia ingin sekali memeluk Karyn sekarang. Namun, apa daya? Gengsinya terlalu besar, ia masih marah.

"Pulang ke mana? Rumah?" Ronald mengalihkan topik pembicaraan.

"Apartemen aja. Hari ini aku mau tidur di sana," sahut Karyn. "Tapi, kalau kamu enggak mau, ke rumah aja."

"Aku temenin kamu," sahut Ronald cepat. Kemudian, ia segera melajukan mobilnya. "Sampai apart, bikinin gue mi, ya. Gue lapar."

"Iya-iya. Enggak ikhlas banget lo minta imbalan."

Setelahnya, hanya suasana hening yang mendominasi. Karyn memainkan ponselnya untuk membalas pesan di grup dari ketiga temannya.

Setelah beberapa menit, Karyn memilih untuk mematikan ponselnya. Ia membiarkan ketiga temannya untuk meramaikan grup.

"Tidur aja, nanti gue bangunin kalau udah sampai," titah Ronald yang tadi melirik sejenak.

Karyn menghela napas, lalu mengulurkan tangannya ke arah AC mobil. "Kecilin, dong. Dingin, Nald."

Ronald berinisiatif untuk mengambil jaketnya di jok belakang. Lalu, memberikannya pada Karyn.

"Masih dingin?" tanya Ronald setelah menyampirkan jaket itu pada Karyn.

Entah mengapa Karyn tiba-tiba merasa dingin. Biasanya, ia akan kuat-kuat saja. Apa mungkin efek alergi tadi.

•-•

Mobil Ronald sudah berada di basement apartemen. Lelaki itu melirik sejenak ke arah Karyn yang terlihat tidur nyenyak.

Ada rasa tidak tega jika ia membangunkan kekasihnya yang tertidur nyenyak. Tetapi, tidak mungkin jika mereka akan berdiam di mobil sampai pagi.

Tidak lama kemudian, ponsel Karyn berdering. Di sana tertera panggilan grup dari ketiga teman Karyn. Sayangnya, Ronald tidak menjawab panggilan itu.

Entah dorongan apa, ia tiba-tiba membuka room chat grup milik Karyn.

Girls (4)

Adeline : ryn, udh balik lu?

Veronica : lu gapapa del? trauma bgt sama darah wkwk

Veronica : tadi bebeb lu nanya kenapa lu bisa lihat darah

Adeline : iya udah gue jelasin ca

Fania : Aku baru sampai rumah gais

Fania : Ryn gw gak sengaja sumpah pesen roti selai kacang

Veronica : eh ryn, lu udh cerita sama ronald soal tadi di kafe?

Adeline : mending jgn cerita dlu deh ryn

Fania : Gak usah ceritaa lagian ngapain?

Veronica : dih kenapa jangan ? mending cerita lah

Karyn : gua balik ke apart sm ronald

Karyn : iya gpp fan santai aja, kan kecelakaan doang

Fania : Gw merasa jadi gak berguna banget elah

Fania : Kita udah temenan dr SMP, tapi lupa kalo lu alergi kacang

Fania : Ronald marah ga ryn sama lu?

Fania : Kalau dia marah, kasih tahu gw. Biar gw hajar tuh cowok

Karyn : ga fan, dia ga marah. dia ngerti juga kok kalo ini ga sengaja

Adeline : kejadian lu ditampar sm selly ga lu ceritain kan?

Veronica : knpa lu ke apart? btw itu perban jgn lupa diganti ryn

Veronica : smpe rumah atau apart, lu obatin lagi. lukanya mayan dalem

Adeline : ryn sorry :( tangan lu jadi luka karena gua

Karyn : ga cerita, mungkin nanti del

Karyn : wkwk ga seberapa sakit del

Adeline : cerita lu sm cowok lu?

Fania : Elah ryn ngapain cerita, ga semuanya dia harus tau

Fania : Lagian dia masih marah sama lu gara2 ga plg bareng pas plg sekolah

Veronica : cerita ryn, jangan ga cerita. masa lu mau sembunyiin tangan lu dr ronald terus?

Veronica : siapa tau kan setelah lu cerita, keadaan lu lebih tenang

Adeline : iya sih tp cerita pas kalian udah santai aja

Karyn : iyaa tr kalau misal suasananya pas, ga mungkin gua cerita pas dia lg emosi. trs pas lg heppi2 aja, gua bahas itu kan jg ga enak

Veronica : nunggu waktu pas kapan?

Karyn : pasti ada ca

Fania : Pas putus baru cerita wkwk

Tangan Ronald langsung menarik tangan kiri Karyn. Ia terkejut karena ternyata tangan kekasihnya dibalut perban dan ada beberapa jejak darah di sana.

Dadanya terasa sesak saat selesai membaca pesan dari grup milik Karyn. Ada beberapa kesimpulan yang ia dapatkan. Pertama, Karyn tidak mengatakan bahwa Ronald memarahinya tadi. Kedua, Karyn menyembunyikan bahwa dirinya terluka dan ditampar oleh Selly, temannya sendiri.

Ronald menarik tangan kanan Karyn dan mencium punggung tangannya cukup lama. Ia sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat Karyn menyembunyikan kejadian di kafe tadi.

Merasa ada pergerakan, Ronald segera menatap Karyn. Gadis itu terlihat membuka matanya perlahan.

"Kenapa enggak—"

Ronald langsung mencium bibir Karyn, tidak mengizinkan gadis itu berbicara. Tangan kanannya beralih pada pipi kiri kekasihnya. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram tengkuk Karyn.

Karyn yang menerima perlakuan itu langsung membulatkan matanya. Memang mereka sudah beberapa kali berciuman, namun ini terlalu mendadak.

Perlahan, mata Karyn tertutup. Seolah meraskan lumatan yang diberikan Ronald. Bahkan, ia tidak sanggup untuk membalas ciuman kekasihnya sendiri.

Karyn terkejut karena Ronald yang awalnya bersikap ketus, tiba-tiba menciumnya. Bahkan, ia bisa rasakan bahwa ini ciuman rindu.

Iya, Ronald sudah tidak bisa menahannya lagi. Ronald sudah ingin mencium Karyn sejak dirinya berada di mobil. Ronald merindukan Karyn seharian ini.

Setelah beberapa menit, Ronald menghentikan ciumannya. Kemudian, kembali mencium bibir Karyn, bahkan tanpa sengaja ia menggigit bibir bawah kekasihnya. Sehingga, Karyn meremas baju milik Ronald.

Akhirnya, Ronald berhenti melumat bibir Karyn. Ia mengecup singkat bibir manis Karyn, kemudian beralih pada kening kekasihnya.

"Maafin aku, Ryn." Ronald menempelkan keningnya pada kening Karyn.

Karyn bisa merasakan napas khas kopi, bahkan rokok milik Ronald. Ia juga menyimpulkan bahwa lelaki itu seharian ini merokok, dan sebelum tidur, Ronald pasti me-vape.

"Kamu habis ngerokok?" tanya Karyn yang mengalihkan kepalanya ke sebelah kiri.

"Iya," sahut Ronald tanpa dosa, kemudian mengecup singkat bibir Karyn, lagi.

Karyn terkekeh pelan. "Katanya lapar?" tanyanya.

"Udah enggak. Kan, udah cium kamu," sahut Ronald sambil terkekeh. "Tangan kamu kenapa, Yang?"

"Enggak kenapa-kenapa." Seketika, wajah Karyn berubah pucat, terkejut karena Ronald menanyakan tangannya.

Ronald berdecak kesal, kemudian menjauhkan wajahnya dari Karyn. "Cerita, Ryn. Enggak boleh ada yang disembunyiin," pintanya. "Oke, cerita kalau udah di apartemen, ya. Sekarang, kita turun. Habis itu, bikinin aku mi pakai cinta."

"Katanya enggak lapar? Pembohong." Karyn mencibir.

Ronald tertawa sedikit kencang. Ia tidak bisa berlama-lama marah dengan Karyn. "Iya, enggak lapar, kalau kamu cium aku."

"Turun, yuk. Aku ngantuk." Karyn langsung melepaskan sabuk pengamannya dan segera turun dari mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status