Share

Harga untuk Kebodohan

Mike dan Ana sudah lama meninggalkan rumah Dean. Langit di luar sudah sepenuhnya gelap dan dihiasi bintang. Lampu di seisi rumah juga sudah menyala. Namun, Siera masih tetap bergeming di tempat. 

Duduk sembari memeluk lutut di atas sofa. Menyembunyikan wajah, memejam demi menghalau bening yang sedari tadi memaksa ditumpahkan. 

Perempuan itu menyesali diri, merutuki kebodohan. Pertama, pikirannya terlalu dangkal hingga tak memastikan kebenaran alasan Dean sewaktu memintanya menjadi istri. Kedua, ikut-ikutan berbohong pada Mike dan Ana tadi. Mengamini pernikahan palsu mereka adalah sungguh didasari cinta dengan kebungkaman, tambah bantahan. Ketiga, membiarkan Dean memeluknya sewaktu di dapur tadi. 

Semuanya menyesakkan. Keputusan menerima pinangan Dean ternyata benar-benar salah. Tak hanya demi membuat orang tuanya tenang, laki-laki tersebut mempersuntingnya supaya hubungan busuknya tidak diketahui. Memalukan. 

Lebih memalukan lagi dirinya, karena membantu rencana keji Dean. 

Sekarang, apa yang bisa dilakukan? Telanjur. Mike dan Ana sudah percaya, bahkan terlihat senang tadi. Meminta cerai seperti rencana sebelumnya? Mau membunuh Mike yang punya riwayat penyakit jantung? 

Terlalu mahal harga yang Siera bayar karena kebodohannya ini. 

"Kamu tidak makan?" Dean datang dari dapur. Bertanya santai sembari berkacak pinggang. 

Yang ditanyai mengangkat wajah. Mata merahnya melempar sorot nyalang pada pria itu. 

"Jauh-jauh!" Ia beringsut ke sudut sofa. Membuat  jarak sejauh yang dibisa. 

Dahi Dean mengernyit ke sana. 

"Makan? Bapak masih bisa makan di keadaan seperti ini?" Sedetik kemudian ia tertawa hambar. Jelas Dean bisa. Alih-alih bencana, pria itu malah baru saja mendapat solusi. 

Lama menatapi, mata perempuan itu semakin merah. Pandangan mulai kabur oleh air yang menumpuk. 

"Bukannya pembicaraan kita sudah selesai?" Bagi Dean, diamnya Siera saat di dapur dan di ruang tamu, kala ia menjelaskan pada Mike dan Ana adalah sikap persetujuan. Ia tak mengerti mengapa sekarang perempuan itu tampak seperti orang yang marah.  

Tak bisa dicegah, lelehan bening itu tumpah dari mata Siera. Saat ini, semua benar-benar suram baginya. 

Tanpa cinta, demi orang tua Dean, Siera pikir ia akan bisa menyesuaikan diri di pernikahan itu. Toh, setelah ibu dan ayah meninggal, ia tak punya hal lain yang hendak dicapai. Namun, mengetahui niat Dean tidaklah murni, ia benar-benar merasa dicurangi. 

"Jangan mempersulit keadaan kita. Kamu sudah menerima ini sebelumnya." Memasang raut tak nyaman, lelaki itu mau tak mau membuka konversasi dengan topik tersebut. 

"Kukira Bapak memang ingin membuat orang tua senang. Berbakti. Nyatanya? Hanya demi menutupi bangkai." Siera mengusap pipi dengan punggung tangan.  Rasanya sedih sekali. 

"Ini memang untuk membuat orang tua saya senang. Kamu ini senang berdrama atau bagaimana?" Dean mulai hilang sabar dan tak paham. 

Di detik itu Siera sadar. Tak ada guna membicarakan ini dengan lelaki di hadapan. Cinta tampaknya sudah membutakan akal sehat dan nurani pria itu, hingga tega membohongi orang tua dan menumbalkan orang lain. 

Perempuan itu berdiri, menatap tajam Dean. "Berikan aku kertas dan pulpen." Ia mengutuk diri lagi. Menikah asal menikah. Barang-barang di kamar kontrakan sama sekali tidak dipedulikan. 

Tanpa bertanya, Dean menuju salah satu meja berlaci di dekat TV." Mengambil selembar HVS dan sebuah pena untuk diberikan pada Siera. 

Meraih dua benda itu sedikit kasar, Siera duduk di depan meja. Mulai menuliskan sesuatu di atas kertas tadi. Perempuan itu membuat perjanjian yang berisi hal-hal yang harus Dean turuti selama mereka menjadi suami-istri. 

Cukup lama menit berlalu, Siera memanjangkan tangan, menyerahkan kertas itu pada si lelaki. 

"Tanda tangan. Ingat, Bapak harus melakukan yang tertulis di sana selama kita suami-istri." Perempuan itu memasang wajah sendu. Pilu rasanya membayangkan akan sampai kapan pernikahan palsu ini dilakoni. 

Dean membaca dengan saksama beberapa saat, kemudian mengernyit. Pisah kamar, tidak terlibat kontak fisik, memberi uang bulanan pada Siera, terpisah dari uang belanja, tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing dan sebisa mungkin tidak tampak berpura-pura di depan Mike dan Ana. 

Dengan cepat Dean membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Mengembalikan benda itu pada Siera, kemudian menautkan alis. Yang dimau sudah didapat, perempuan itu malah menangis lagi. Kali ini isakannya sampai terdengar jelas. 

"Apa lagi?" 

"Di novel-novel, adegan kayak gini terlihat seru. Kenapa aku merasa ini menyedihkan? Kenapa hidupku tiba-tiba menyedihkan?" 

Telapak tangan Dean mengusap wajah. "Menyedihkan apanya? Kamu hanya perlu menjalaninya seperti sedang bekerja. Kamu juga aku gaji tiap bulan." 

Mendengar itu Siera semakin kesal. Wajah basahnya menjadi merah padam. "Ngomong sama orang yang enggak punya hati memang sulit. Udah, kita enggak usah bicara lagi. Bapak enggak akan paham, meski aku menjelaskan sama mulut berbuih. Dasar kejam, tidak punya empati!" 

Perempuan itu sudah akan melangkah. Namun, seketika ia berbalik, berdiri di depan si lelaki. 

"Aku nempatin kamar yang mana? Aku harus tidur pakai baju ini? Kenapa, sih, Bapak jadi orang jahatnya berpangkat-pangkat?" Bahu bergetar, ia berusaha melap mata yang terus menumpahkan air. 

Dean tampak sedikit menyesal untuk sesaat. "Kamar kamu di sana." Ia menunjuk sebuah pintu di sudut kanan rumah, di bawah tangga. "Pakaian kamu ...." 

"Aku enggak mau pakai baju perempuan bernama Nara itu. Memang aku apa?"  Haduh, kenapa rasanya seperti istri yang tersakiti? 

Si pria mengusap dagu. Bingung. "Jadi?" 

"Bantu aku mengemasi barang di kontrakan. Barangku enggak banyak, enggak akan lama." 

"Besok saja. Sudah larut. Kamu bisa gunakan pakaian say--" 

"Besok aku enggak bisa. Mau demam." Siera menyela, berusaha meredam tangis. 

"Apa?" Takut salah dengar, Dean bertanya. 

"Harus malam ini. Besok aku bakal sakit. Enggak akan lama, barangku enggak banyak." 

Pada akhirnya Dean mengangguk setuju. "Tunggu saya ambil kunci mobil dulu. Kamu enggak mau makan dulu?" 

Yang ditanyai menggeleng. "Bapak ada simpan obat demam?" 

Dengan cepat Dean menggeleng. Rumah ini baru dibelinya. Beberapa minggu belakangan saja ia menempati tempat ini. Biasanya ia menginap di rumah Nara. Persediaan obat atau makanan jelas tidak ada. 

"Nanti jangan lupa beli. Aku butuh." 

"Kamu terlihat baik-baik saja." 

"Untuk besok. Aku bakal demam besok." 

Menatapi wajah perempuan itu, Dean mengedikkan bahu. Aneh sekali. Memang Siera cenayang, bisa memprediksi kapan akan demam? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status