Share

Permintaan Tolong

"Nara bukan istri saya.  Kami memang tinggal serumah, namun tidak menikah." 

Dean mengeraskan rahang setelah membeberkan hal itu pada perempuan bergaun putih di hadapan. Bisa ia lihat lawan bicaranya terkejut, bahkan termangu untuk beberapa saat. 

"Wah, bukan cuma penipu, Bapak tenyata suami yang kejam juga. Calon-calon dilaknat, istri sendiri enggak diakui." 

Gantian, ia yang terbengong saat ini. Dilaknat? Dari mana perempuan itu belajar kata demikian? 

Si lelaki mengusap wajah. "Nara memang bukan istri saya. Belum." 

Mungkin tidak akan pernah, sambungnya dalam hati. Untuk beberapa sekon matanya terlihat sendu. Namun, decakan dari mulut gadis yang duduk di sofa kembali menyita atensi. 

Berdecak bingung, Siera menggaruk kening yang tidak gatal. Sebenarnya apa maksud pria yang beberapa jam lalu menikahinya itu? 

Katanya, sudah tinggal serumah dengan wanita bernama Nara itu. Kemudian, mengingkari bahwa sudah menikahinya. Barusan, berkata akan menikahinya. 

"Bisa tidak Bapak jelaskan yang sebenarnya?" 

Satu alis tebal Dean menukik, penuh peringatan. "Jangan menyela." Telunjuknya mengarah ke perempuan yang saat itu sudah memajukan bibir. 

Dalam hati Dean menyangsikan pilihan yang sudah dibuat. Selama tiga hari datang rutin ke kafe Ramaji, menurut pendapatnya, gadis bernama Siera itu adalah seseorang yang pendiam. Melayani tamu seadanya, tidak banyak tingkah. Namun, baru beberapa saat mereka bicara, kepala sudah terasa pusing karena semua tuduhan kejam yang Siera berikan. 

Pendiam apanya? Siera tampaknya adalah tipe perempuan yang bisa mengucapkan banyak kalimat dalam waktu beberapa detik saja. Belum lagi, ucapannya itu tajam. 

Harusnya ia menggunakan lebih banyak waktu untuk observasi. Namun, jelas itu tidak mungkin. Hubungan rahasianya dengan Nara nyaris terendus oleh orang tua. Mau tak mau perlu semacam pengalihan yang juga akan mendamaikan hari yang terus-terusan diteror oleh paksaan menikah. 

"Saya dan Nara sudah tinggal serumah sejak tiga tahun lalu. Tan--" 

"Tunggu!" Siera mengangkat telapak tangan ke arah Dean. Matanya membola dengan raut cemas terpatri. "Kerjaan Bapak apa?" 

Si ceroboh, ejek Dean. Bagaimana bisa perempuan naif itu bertahan hidup selama ini, pikirnya. Menerima begitu saja ajakan menikah dari pria asing, yang pekerjaannya saja tidak diketahui. 

"Saya sudah datang ke Ramaji tiga hari berturut-turut. Kamu tidak bertanya siapa saya pada Rama?" 

Dibalas gelengan, Dean mengambil kesimpulan. Pasti, Siera setuju dinikahi karena perempuan itu tahu ia memiliki rumah, mobil dan wajah yang rupawan. 

Mendengar nama bosnya disebut, pikiran Siera semakin kusut. "Bapak kenal Pak Rama ternyata." 

Menggeleng cepat, tak habis pikir, Dean memilih menjawab pertanyaan sebelumnya. "Saya dosen, memang kenapa?" 

Siera menyugar rambut. Kepalanya panas. "Pesugihan apa yang biasa dilakukan dosen?" 

"Pesugihan?" Nyaris melengking suara pria itu. 

"Iya. Istri Bapak enggak mandul. Berarti Bapak menikahi aku untuk dijadikan tumbal? Tapi, tumbal untuk pesugihan jenis apa? Yang sering aku baca, yang pakai pesugihan dan butuh perawan itu orang yang berdagang." 

"Bahan bacaan apa yang kamu punya?" 

Tanpa sadar Dean menggigit bibir geram. Sedikit rasa ingin tahu muncul, soal bacaan seperti apa yang Siera maksud. 

Tak membuang waktu, si lelaki melanjutkan. "Saya menikahi kamu bukan karena Nara mandul. Bukan pula karena saya butuh tumbal untuk pesugihan." 

Dua mata yang memicing di hadapan membawa firasat buruk bagi Dean. Ia sudah ingin melanjutkan penuturan, tetapi yang keluar dari mulut malah kalimat yang salah.  

"Apa? Kenapa menatap saya seperti itu?" 

Siera menegakkan punggung. "Aku enggak cantik. Apa iya Bapak jatuh cinta?" 

Datar saja ekspresi wajah Dean. Tatapannya seolah sedang merencanakan sesuatu yang buruk. Harusnya tidak bertanya dan mencari masalah. 

"Saya tidak tertarik pada kamu." 

Yang duduk di sofa mengangguk, mengamini. Mana mungkin. 

"Saya butuh seseorang untuk berpura-pura menjadi istri saya agar orang tua saya tidak memaksa saya menikah atau menjodohkan saya lagi." 

Alis Siera menyatu. "Loh, kan ada perempuan tadi. Kenapa Bapak enggak nikah sama dia aja? Cinta, 'kan?" 

Dean membisu. Tak mampu menemukan kalimat untuk disuarakan sebagai jawaban. 

Di jeda waktu yang diselimuti hening itu, suara klakson kendaraan yang berasal dari luar rumah menyapa telinga. 

Dean menoleh ke pintu dengan raut waspada, sedangkan Siera menengok santai. 

Mereka berdua memutuskan beranjak keluar sebab suara klakson semakin nyaring dan panjang-panjang. Setibanya di pagar yang tergembok, Dean mendapati mobil ayahnya di sana.

"Siapa?" tanya Siera penasaran. 

"Tahu dari mana mereka?" Dean yakin, kedatangan orangtuanya adalah karena pernikahannya. Namun, siapa yang memberitahu. Seingatnya, tak satu pun kerabat mengetahui hal ini. 

Tak lama, satu nama terlintas di benak Dean. Benar. Tio. Salah satu pegawai di kantor urusan kependudukan itu adalah kenalan Mike, ayahnya. 

Bunyi klakson tak kunjung berhenti, Siera yang penasaran bertanya, "Siapa?" 

"Ayah saya. Tampaknya, mereka sudah tahu soal pernikahan kita." 

"Terus?" 

Nada bertanya tak santai itu membuat Dean menoleh. "Apanya yang terus?" 

Siera berdecak. "Terus kenapa masih di sini? Bukain pagarnyalah." 

Si pria menggeleng. "Enggak perlu. Besok saja kita ke ru--"

Ucapan tersebut menggantung, berganti dengan pekikan terkejut. Dean menjauhkan tubuh saat tiba-tiba Siera memasukkan tangan ke saku celana bahannya. 

"Mau apa kamu? Saya tidak memberikan izin kepada kamu untuk menyentuh." 

"Kunci gemboknya mana?" Siera menjulurkan telapak tangan. 

Begitu saja, Dean menaruh kunci gembok yang diambil dari saku kemeja,. ke tangan si perempuan. Ia mengusap paha, sembari melirik tajam pada Siera yang sedang berjalan menuju gembok. Enak saja pegang-pegang, sungutnya. 

Pria itu bersedekap di teras. Menontoni Siera yang mendorong pagar. Ia yakin, perempuan itu akan segera menemui kesusahan dunia setelah ini. Ayah dan ibunya bukan seseorang yanng ramag pada orang asing. 

Pintu mobil terbuka, ayah dan ibunya turun dengan raut masam. Awalnya, ia mengira Siera akan kembali menghampirinya. Namun, perempuan itu malah melewati pagar. Menyambut Mike dan Ana dengan salam riang. 

"Sore, Tante, Om." 

Perempuan itu mengulurkan tangan, sedikit menundukkan kepala. Saat Mike memberikan tangan, punggung Siera membungkuk, gadis itu mencium tangan Mike dengan takzim. 

Sebuah sikap yang berhasil membuat Dean terperangah, sama seperti Mike dan Ana. 

"So-sore, Nak?" Tertegun, rasa dongkol yang Mike bawa dari rumah perlahan menguap. Senyum manis dan tulus dari gadis bergigi gingsul di hadapan menular padanya. Sopan sekali gadis itu. 

Sapaanya dibalas, Siera tak bisa menahan diri. Ia melengkungkan bibir. "Udah lama enggak dipanggil kayak gitu." Ia berpindah ke wanita berpakaian warna biru di sana, kemudian menyalami. 

Berdiri di depan pagar, Mike dan Ana saling berpandangan untuk sejenak. 

"Nama kamu siapa?" Mengikuti insting saja, Ana merapikan helai rambut Siera yang terbang tertiup angin. Tak berpindah tatapannya dari paras yang menguarkan aura sederhana itu. 

"Siera, Tante." Malu sebab menyadari tatapan penuh atensi dari dua orang di hadapan, Siera memalingkan muka sesaat. "Ma-masuk dulu, Tante, Om. Bicaranya di dalam aja." 

Tiga orang itu duduk di sofa, Siera memutuskan pergi ke dapur. Berusaha mempelajari letak segala benda di sana secepat mungkin, beberapa belas sekon sudah berlalu sejak ia membuka satu per satu lemari perkakas di sana. Tidak ada apa-apa. Entah itu gula, teh atau sejenisnya. 

Memutar otak, ia mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air hangat. Belum sempat meraih nampan, tangan sudah ditarik seseorang yang tak lain adalah Dean. 

"Tolong saya." 

Tertangkap basah sebelum mempersiapkan rencana, Dean mulai diliputi cemas. Masih diingatnya Siera meminta dicerai tadi. Bagaimana bila perempuan itu mengadukan apa yang diketahui soal Nara pada Mike dan Ana? Bisa hancur ia. 

Siera berbalik, sepenuhnya menatap pria itu. "Membantu penipu, aku juga jadi penipu. Mending dosanya bisa diwakilkan, ini tanggung sendiri-sendiri." 

Perempuan itu mengulum senyum mendapati bulir keringat di dahi Dean. Rasakan. Pembohong memang akan selalu dikejar-kejar bayangan sendiri.

"Tolong saya, Siera. Ayah dan ibu tidak boleh tahu hubunganku dan Nara. Dan satu-satunya cara untuk menutupi itu adalah dengan pernikahan pura-pura ini." 

"Pernikahan pura-pura, nikahnya pura-pura juga harusnya. Bapak menikahi aku sah. Ada akta nikahnya, tercatat secara hukum." 

Gadis itu mengumpati Dean. Sembarangan menipu orang, sembarangan pada nasib orang. 

Dean memucat. Ia mengusap wajah, menjambak rambut frustrasi. Tidak boleh. Semua tidak boleh gagal. 

"Kamu mau apa agar setuju pada kesepakatan ini? Bantu saya, saya akan berikan apa pun yang kamu mau." Terdesak, nada memohon mengiringi kalimat Dean.  Si lelaki meyakinkan diri, tidak apa membuang harga diri kali ini. 

"Bapak bisa kasih aku kenyamanan hidup? Materi, sandang, pangan, papan tercukupi?"

"Bisa, Siera. Bisa." Dean mengangguk cepat. Apa pun yang orang itu inginkan, akan ia turuti. Taruhannya adalah nyawa Nara. 

"Aku enggak mau privasiku diganggu, karena ini cuma pura-pura. Kita harus sama-sama diuntungkan, juga ...." 

Dean tidak benar-benar mendengar apa yang Siera katakan. Pria itu hanya fokus menatapi bibir si gadis yang terus bergerak sembari harap-harap cemas dalam hati. 

"Gimana pun aku yang dirugikan. Ada pernikahan, artinya harus serumah. Dasar, ya! Bapak itu manusia tak berhati!" 

Terserah Siera mau berkata apa, atensi Dean terusik kala mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit menoleh, bisa dilihat Ana sudah mendekat. 

"Aku masih enggak ngerti kenapa Bapak enggak menikahi perempuan yang namanya Na--" 

Pria itu hanya ingin membungkam mulut Siera yang seolah tak akan berhenti bicara, karenanya menarik gadis itu dalam pelukan. Dean ingin mencegah nama Nara disebut dan sampai ke telinga ibunya. Namun, saat merasakan detak jantung yang cepat dari Siera, ia menyeringai. 

Dean menikmati. Mengerjai Siera yang sangat terkejut. Namun, saat suara ibunya menginterupsi kegiatan, pria itu langsung menjauhkan diri, membuat jarak. 

"Harusnya kita datang besok, Pah. Pengantin baru butuh waktu berduaan." 

Oh. Firasat Dean buruk soal itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status