Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.
Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.
Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.
Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih.
"Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"
Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
"Namanya Nara." Mata Siera menyipit mendengar ucapan tiba-tiba dari pria yang berdiri memunggunginya itu. Mereka baru tiba di rumah ini. Tadinya, Dean sudah naik ke lantai atas. Namun, pria bertubuh jangkung itu kembali dengan membawa sebuah bingkai foto di tangan. Memperlihatkan benda itu sebentar padanya, lalu menyebutkan sebuah nama. Barusan, lelaki itu memperkenalkan perempuan yang ada di foto? Jika benar demikian, Siera tak paham mengapa itu harus suaminya lakukan. "Kami menjalin hubungan sejak lulus kuliah. Sudah tiga tahun belakangan tinggal serumah." Baik. Jadi, begitu? Ada jeda beberapa saat selagi Siera mencerna kalimat barusan. Setelah paham, perempuan itu melempar punggung ke sandaran sofa. Ia ditipu. Matanya melirik gaun pengantin selutut yang masih melekat di tubuh. Haruskah menanggalkan benda itu sekarang juga? Karena sumpah demi apa pun, ia tidak teri
"Nara bukan istri saya. Kami memang tinggal serumah, namun tidak menikah." Dean mengeraskan rahang setelah membeberkan hal itu pada perempuan bergaun putih di hadapan. Bisa ia lihat lawan bicaranya terkejut, bahkan termangu untuk beberapa saat. "Wah, bukan cuma penipu, Bapak tenyata suami yang kejam juga. Calon-calon dilaknat, istri sendiri enggak diakui." Gantian, ia yang terbengong saat ini. Dilaknat? Dari mana perempuan itu belajar kata demikian? Si lelaki mengusap wajah. "Nara memang bukan istri saya. Belum." Mungkin tidak akan pernah, sambungnya dalam hati. Untuk beberapa sekon matanya terlihat sendu. Namun, decakan dari mulut gadis yang duduk di sofa kembali menyita atensi. Berdecak bingung, Siera menggaruk kening yang tidak gatal. Sebenarnya apa maksud pria yang beberapa jam lalu menikahinya itu? Katanya, sudah tinggal serumah dengan wanita bernama Nara itu. Kemudian, mengi
Mike dan Ana sudah lama meninggalkan rumah Dean. Langit di luar sudah sepenuhnya gelap dan dihiasi bintang. Lampu di seisi rumah juga sudah menyala. Namun, Siera masih tetap bergeming di tempat. Duduk sembari memeluk lutut di atas sofa. Menyembunyikan wajah, memejam demi menghalau bening yang sedari tadi memaksa ditumpahkan. Perempuan itu menyesali diri, merutuki kebodohan. Pertama, pikirannya terlalu dangkal hingga tak memastikan kebenaran alasan Dean sewaktu memintanya menjadi istri. Kedua, ikut-ikutan berbohong pada Mike dan Ana tadi. Mengamini pernikahan palsu mereka adalah sungguh didasari cinta dengan kebungkaman, tambah bantahan. Ketiga, membiarkan Dean memeluknya sewaktu di dapur tadi. Semuanya menyesakkan. Keputusan menerima pinangan Dean ternyata benar-benar salah. Tak hanya demi membuat orang tuanya tenang, laki-laki tersebut mempersuntingnya supaya hubungan busuknya tidak diketahui. Memalukan. Lebih memalukan lagi d
Tiba di rumah pukul satu dini hari, Dean langsung menuju kamar. Pria itu melempar tubuh ke tempat tidur, mengistirahatkan punggung yang terasa amat pegal. Menatapi dinding di ruangan itu, ia mengembuskan napas berat. Menaruh satu lengan di atas wajah, kemudian meringis. Luka terbuka di pelipis tidak sengaja disentuh. Satu helaan napas lagi lolos dari mulut Dean. Memejam, ia berharap bisa segera terlelap. Lelah. Seharian harus mengisi kuliah di kampus, ditambah menghadapi mahasiswa bimbingan, pria itu masih harus meladeni Nara dan segala kemurkaan wanita itu. Nara mengamuk sore tadi. Wanita itu melempar dan menghancurkan semua barang. Salah satunya mengenai pelipis Dean dan menghasilkan luka di sana. Dean hanya bisa mengalah tadi. Mendengarkan semua kalimat sarat amarah dari Nara, tanpa berniat mendebat. Sebisa mungkin ia menjelaskan dengan nada pelan. Dean paham, Nara pasti tidak terima akan pernikah
"Siera kamu sudah coba bolu kukus buatan Farah, belum?" Ana membawa piring kecil di tangan, berjalan menuju dapur yang dihuni Siera. Saat melihat sosok menantunya di depan wastafel, wanita itu mendesah. "Nak, kamu tidak perlu mencuci piring. Ada Bu Ratna yang bisa melakukan itu." Ia menghampiri, tersenyum teduh pada gadis dengan gaun biru lembut selutut itu. Hari ini, karena Dean menolak mengadakan acara syukuran besar-besaran, keluarga mereka hanya menggelar acara kumpul dan makan siang bersama di hari Minggu ini. Ana terpaksa menurut saja, sebab tak ingin menantunya ikut-ikutan kesulitan karena harus membujuk Dean yang keras kepala. Hari ini berjalan dengan baik. Seperti dugaan Ana, semua kerabat yang diundang menyukai Siera, bahkan di pertemuan pertama. Ana paham mengapa itu terjadi. Siera memang tipe gadis yang manis, bahkan untuk orang asing yang baru melihatnya. Aura gadis itu sederhana dan mudah didek