Share

Peduli

Author: Sinda
last update Huling Na-update: 2021-05-08 09:35:49

Tiba di rumah pukul satu dini hari, Dean langsung menuju kamar. Pria itu melempar tubuh ke tempat tidur, mengistirahatkan punggung yang terasa amat pegal. 

Menatapi dinding di ruangan itu, ia mengembuskan napas berat. Menaruh satu lengan di atas wajah, kemudian meringis. Luka terbuka di pelipis tidak sengaja disentuh. 

Satu helaan napas lagi lolos dari mulut Dean. Memejam, ia berharap bisa segera terlelap. 

Lelah. Seharian harus mengisi kuliah di kampus, ditambah menghadapi mahasiswa bimbingan, pria itu masih harus meladeni Nara dan segala kemurkaan wanita itu. 

Nara mengamuk sore tadi. Wanita itu melempar dan menghancurkan semua barang. Salah satunya mengenai pelipis Dean dan menghasilkan luka di sana. 

Dean hanya bisa mengalah tadi. Mendengarkan semua kalimat sarat amarah dari Nara, tanpa berniat mendebat. Sebisa mungkin ia menjelaskan dengan nada pelan. 

Dean paham, Nara pasti tidak terima akan pernikahannya dengan Siera. Namun, itu satu-satunya cara agar semua pihak tenang dan diuntungkan. 

Mungkin saat ini Nara belum bisa menerima, tetapi lambat-laun, pasti wanita itu akan paham. Dean hanya bisa menunggu dan melapangkan dada akan semua tuduhan dan kemarahan si wanita. 

Ngomong-ngomong soal Siera, Dean jadi ingat sesuatu. Sakit. Kemarin pagi, gadis itu ia tinggalkan dalam keadaan demam, persis seperti yang sudah diprediksi. 

Tidak jadi tidur, Dean keluar dari kamar. Ia merasa perlu memeriksa keadaan Siera. 

"Masih ingat pulang, Bapak?" 

Dean terperanjat saat suara sedikit serak itu masuk ke rungu. Ia menoleh ke arah sofa di ruang tamu yang baru saja dilewati. Siera di sana, tengah berbaring dengan sorot mata tajam ke arahnya. 

"Sejak kapan kamu di sana?" Seingat si lelaki, sofa itu kosong saat ia pulang tadi. 

"Barusan. Haus." Siera menggerakkan dagu ke arah gelas di atas meja. "Perginya semalam pagi, pulangnya baru sekarang. Bapak ngajar mata kuliah apa, di kampus apa?" 

Yang ditanyai mengambil posisi duduk di sofa yang kosong. "Ada hal yang harus saya urus." 

"Urusan apa?" Siera duduk, memerhatikan pelipis lelaki di hadapan. Rautnya mulai dihiasi rasa ingin tahu. 

"Nara." 

Satu nama itu sudah berhasil membuat Siera paham. Ia tak melanjutkan tanya. Beranjak dari duduk, kemudian berjalan ke arah kamar. 

Ditinggalkan begitu saja, Dean sedikit bingung. Ia sudah akan ikut beranjak, sampai akhirnya Siera muncul lagi di sana, dengan sebuah kotak putih di tangan. Gadis itu menyeretnya untuk berpindah duduk di sofa yang tadi dipakai tidur agar muat berdua. 

Tak bicara dan memandangi Siera, Dean meringis saat jemari gadis itu mengoleskan alkohol ke luka di pelipis. 

"Ini kenapa?" Siera mengusapkan alkohol ke luka itu sembari meniup pelan. 

"Kena lemparan asbak kaca." Dean terpaku, pada dahi Siera yang mengernyit. Jarak mereka sekitar satu jengkal, bisa pria itu rasakan dirinya sedikit canggung. 

Siera berusaha mencerna. Dean bilang ia punya urusan dengan Nara. Itu artinya, selama tidak pulang, pria itu bersama Nara. Lantas, mengapa sampai bisa ada kegiatan melempar asbak kaca? 

"Kalian bertengkar?" tebaknya asal. 

Dean mengangguk. Ikut menundukkan kepala demi bisa memerhatikan ekspresi yang Siera buat saat sedang membereskan kotak P3K. 

Dua alis tipis Siera menyatu. "Orang pacaran, bertengkarnya sampai lempar-lempar asbak?" Ia mengangkat wajah, melempar tatapan tak paham pada pria di sebelah. 

Mereka berpandangan sejenak, Dean memundurkan punggung, bersandar pada sofa. "Dia marah karena saya menikah. Padahal, saya sudah jelaskan bahwa pernikahan ini hanya untuk melindungi dia. Nara tidak paham." 

Siera mengangguk. "Aku juga enggak paham dengan jalan pikiran Bapak. Apa aku juga boleh lempar asbak ke muka Bapak?" 

Gadis itu tertawa. Ya, inilah yang bisa dilakukannya sekarang. Menghibur diri. Sebab meratap tak akan pernah bisa mengubah keadaan. 

Kepala Dean miring. Tanpa sadar lelaki itu membingkai wajah Siera yang tengah tersenyum. Apa yang gadis itu pertontonkan entah mengapa berhasil membuat ia menunjukkan ekspresi tenang di wajah sendiri. 

Tangan Dean bergerak menuju Siera. Telapak tangannya mendarat pelan di kening gadis itu. "Dari mana kamu bisa menebak kapan akan demam atau tidak?" Ia sedikit lega saat mendapati suhu tubuh Siera sudah normal. 

Sempat terperangah, Siera kembali pada kesadaran. "Kalau aku nangis hari ini, besoknya pasti demam. Aku ini jarang sakit, tapi kalau nangis, pasti besoknya demam." 

"Bohong." Ujung bibir Dean menjungkit saat mengatakan tuduhan itu. Jelas ia tidak percaya. Mana ada hal seperti itu. 

Siera terpaku dengan mata tak berkedip. Senyum kecil yang barusan dilihat benar-benar bagus. Untuk sesaat gadis itu kembali pada kodratnya, pengagum pria tampan. Namun, cepat-cepat Siera menggelengkan kepala. 

"Huh! Kalau aja Bapak bukan orang jahat, aku pasti enggak segan-segan pegang-pegang itu bibir." 

Mata Dean membola. "Pegang apa?" 

"Tadi Bapak senyum. Bagus. Untung aku cepat sadar kalau Bapak itu orang jahat. Kalau enggak, huh! Enggak-enggak!" Siera menepuk-nepuk pipinya sendiri. Menggeleng kuat-kuat dan berulang, berusaha meraih kewarasan. 

Kali ini sikap aneh Siera berhasil membuat dua sudut bibir tipis Dean membentuk kurva sempurna. Ini pertama kalinya pria itu menyaksikan orang memuji dan menghina di saat bersamaan. 

"Pergilah tidur lagi. Ini masih dini hari." 

Siera mengangguk, lantas berdiri. "Ini P3K-nya aku tinggal. Nanti band-aid-nya Bapak ganti sendiri." 

Tidak menjawab, Dean memandangi punggung sempit di depannya. 

"Bapak juga tidur. Tapi jangan lupa ganti baju dulu. Kemejanya udah kucel dan pasti banyak kuman." Sempat-sempatnya Siera memperhatikan itu tadi. Baginya, penampilan Dean sekarang tidak mencerminkan profesinya sebagai dosen. Berantakan dan terlihat lelah. 

Mendengar itu, Dean penasaran. "Kenapa kamu melakukan semua ini? Bukannya kata kamu saya ini orang jahat?" 

Siera berbalik dan menatap wajah Dean. "Orang jahat pasti punya alasan kenapa dia jahat." Sedetik kemudian gadis itu tertawa hambar, menggaruk kening yang tidak gatal. "Aku sok bijak. Jijik." 

Dean menyandarkan kepala tanpa memindahkan tatap dari gadis di hadapan. Suasana rumah barunya mendadak berubah dari yang terakhir diingat. Mengapa di sini jadi lebih tenang dan nyaman? 

Menggigit ibu jari, Siera yang berusaha menemukan jawaban membalas tatapan dari lelaki di depan. "Peduli? Itu emosi dasar yang dipunya semua manusia, 'kan? Anggap aja begitu." 

Si lelaki berkedip pelan. Lelah yang mendera perlahan membuatnya mengantuk. "Saya tidak. Saya biarkan kamu sendirian saat demam kemarin." 

Siera mengangguk, mengamini dengan ekspresi paham. "Mungkin, Bapak bukan manusia. Kita anggap aja begitu." Ia tertawa pelan. Puas, karena sudah dua kali mengatai Dean. 

Tawa itu menularkan senyum di bibir Dean. Semakin lama ia semakin betah menatapi Siera. Apalagi ketika gigi gingsul gadis itu tampak seperti saat ini. Pria itu agaknya setuju atas pujian Ana kemarin. Siera itu cantik saat tersenyum. Mirip anak kecil yang lugu. 

 "Hah! Puas aku ngatain orang jahat kayak Bapak. Udah, sekarang mau tidur. Dah, Pak Dean." Siera berbalik dan melambaikan tangan di atas kepala. 

Dean terus memandangi Siera hingga gadis kurus itu menghilang di balik pintu kamar. Ia menyadari sesuatu. Hatinya sedikit lega. Sikap yang Siera tunjukkan sedikit bisa menghalau rasa bersalahnya pada gadis itu. Entah Siera yang terlalu polos atau memang gadis itu punya hati yang kuat. 

"Malam, Siera. Tidur yang nyenyak. Terima kasih," gumamnya dengan mata mulai terpejam. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • After Marriage   Bertahan dan Berjuang

    Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting

  • After Marriage   Kekuatan Petuah

    Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama

  • After Marriage   Setahun Menikah

    "Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.

  • After Marriage   Bukan Akhir, tetapi Awal

    Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.

  • After Marriage   Sebulan Menikah

    Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me

  • After Marriage   Sebuah Awal

    "Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status