Tiba di rumah pukul satu dini hari, Dean langsung menuju kamar. Pria itu melempar tubuh ke tempat tidur, mengistirahatkan punggung yang terasa amat pegal.
Menatapi dinding di ruangan itu, ia mengembuskan napas berat. Menaruh satu lengan di atas wajah, kemudian meringis. Luka terbuka di pelipis tidak sengaja disentuh.
Satu helaan napas lagi lolos dari mulut Dean. Memejam, ia berharap bisa segera terlelap.
Lelah. Seharian harus mengisi kuliah di kampus, ditambah menghadapi mahasiswa bimbingan, pria itu masih harus meladeni Nara dan segala kemurkaan wanita itu.
Nara mengamuk sore tadi. Wanita itu melempar dan menghancurkan semua barang. Salah satunya mengenai pelipis Dean dan menghasilkan luka di sana.
Dean hanya bisa mengalah tadi. Mendengarkan semua kalimat sarat amarah dari Nara, tanpa berniat mendebat. Sebisa mungkin ia menjelaskan dengan nada pelan.
Dean paham, Nara pasti tidak terima akan pernikahannya dengan Siera. Namun, itu satu-satunya cara agar semua pihak tenang dan diuntungkan.
Mungkin saat ini Nara belum bisa menerima, tetapi lambat-laun, pasti wanita itu akan paham. Dean hanya bisa menunggu dan melapangkan dada akan semua tuduhan dan kemarahan si wanita.
Ngomong-ngomong soal Siera, Dean jadi ingat sesuatu. Sakit. Kemarin pagi, gadis itu ia tinggalkan dalam keadaan demam, persis seperti yang sudah diprediksi.
Tidak jadi tidur, Dean keluar dari kamar. Ia merasa perlu memeriksa keadaan Siera.
"Masih ingat pulang, Bapak?"
Dean terperanjat saat suara sedikit serak itu masuk ke rungu. Ia menoleh ke arah sofa di ruang tamu yang baru saja dilewati. Siera di sana, tengah berbaring dengan sorot mata tajam ke arahnya.
"Sejak kapan kamu di sana?" Seingat si lelaki, sofa itu kosong saat ia pulang tadi.
"Barusan. Haus." Siera menggerakkan dagu ke arah gelas di atas meja. "Perginya semalam pagi, pulangnya baru sekarang. Bapak ngajar mata kuliah apa, di kampus apa?"
Yang ditanyai mengambil posisi duduk di sofa yang kosong. "Ada hal yang harus saya urus."
"Urusan apa?" Siera duduk, memerhatikan pelipis lelaki di hadapan. Rautnya mulai dihiasi rasa ingin tahu.
"Nara."
Satu nama itu sudah berhasil membuat Siera paham. Ia tak melanjutkan tanya. Beranjak dari duduk, kemudian berjalan ke arah kamar.
Ditinggalkan begitu saja, Dean sedikit bingung. Ia sudah akan ikut beranjak, sampai akhirnya Siera muncul lagi di sana, dengan sebuah kotak putih di tangan. Gadis itu menyeretnya untuk berpindah duduk di sofa yang tadi dipakai tidur agar muat berdua.
Tak bicara dan memandangi Siera, Dean meringis saat jemari gadis itu mengoleskan alkohol ke luka di pelipis.
"Ini kenapa?" Siera mengusapkan alkohol ke luka itu sembari meniup pelan.
"Kena lemparan asbak kaca." Dean terpaku, pada dahi Siera yang mengernyit. Jarak mereka sekitar satu jengkal, bisa pria itu rasakan dirinya sedikit canggung.
Siera berusaha mencerna. Dean bilang ia punya urusan dengan Nara. Itu artinya, selama tidak pulang, pria itu bersama Nara. Lantas, mengapa sampai bisa ada kegiatan melempar asbak kaca?
"Kalian bertengkar?" tebaknya asal.
Dean mengangguk. Ikut menundukkan kepala demi bisa memerhatikan ekspresi yang Siera buat saat sedang membereskan kotak P3K.
Dua alis tipis Siera menyatu. "Orang pacaran, bertengkarnya sampai lempar-lempar asbak?" Ia mengangkat wajah, melempar tatapan tak paham pada pria di sebelah.
Mereka berpandangan sejenak, Dean memundurkan punggung, bersandar pada sofa. "Dia marah karena saya menikah. Padahal, saya sudah jelaskan bahwa pernikahan ini hanya untuk melindungi dia. Nara tidak paham."
Siera mengangguk. "Aku juga enggak paham dengan jalan pikiran Bapak. Apa aku juga boleh lempar asbak ke muka Bapak?"
Gadis itu tertawa. Ya, inilah yang bisa dilakukannya sekarang. Menghibur diri. Sebab meratap tak akan pernah bisa mengubah keadaan.
Kepala Dean miring. Tanpa sadar lelaki itu membingkai wajah Siera yang tengah tersenyum. Apa yang gadis itu pertontonkan entah mengapa berhasil membuat ia menunjukkan ekspresi tenang di wajah sendiri.
Tangan Dean bergerak menuju Siera. Telapak tangannya mendarat pelan di kening gadis itu. "Dari mana kamu bisa menebak kapan akan demam atau tidak?" Ia sedikit lega saat mendapati suhu tubuh Siera sudah normal.
Sempat terperangah, Siera kembali pada kesadaran. "Kalau aku nangis hari ini, besoknya pasti demam. Aku ini jarang sakit, tapi kalau nangis, pasti besoknya demam."
"Bohong." Ujung bibir Dean menjungkit saat mengatakan tuduhan itu. Jelas ia tidak percaya. Mana ada hal seperti itu.
Siera terpaku dengan mata tak berkedip. Senyum kecil yang barusan dilihat benar-benar bagus. Untuk sesaat gadis itu kembali pada kodratnya, pengagum pria tampan. Namun, cepat-cepat Siera menggelengkan kepala.
"Huh! Kalau aja Bapak bukan orang jahat, aku pasti enggak segan-segan pegang-pegang itu bibir."
Mata Dean membola. "Pegang apa?"
"Tadi Bapak senyum. Bagus. Untung aku cepat sadar kalau Bapak itu orang jahat. Kalau enggak, huh! Enggak-enggak!" Siera menepuk-nepuk pipinya sendiri. Menggeleng kuat-kuat dan berulang, berusaha meraih kewarasan.
Kali ini sikap aneh Siera berhasil membuat dua sudut bibir tipis Dean membentuk kurva sempurna. Ini pertama kalinya pria itu menyaksikan orang memuji dan menghina di saat bersamaan.
"Pergilah tidur lagi. Ini masih dini hari."
Siera mengangguk, lantas berdiri. "Ini P3K-nya aku tinggal. Nanti band-aid-nya Bapak ganti sendiri."
Tidak menjawab, Dean memandangi punggung sempit di depannya.
"Bapak juga tidur. Tapi jangan lupa ganti baju dulu. Kemejanya udah kucel dan pasti banyak kuman." Sempat-sempatnya Siera memperhatikan itu tadi. Baginya, penampilan Dean sekarang tidak mencerminkan profesinya sebagai dosen. Berantakan dan terlihat lelah.
Mendengar itu, Dean penasaran. "Kenapa kamu melakukan semua ini? Bukannya kata kamu saya ini orang jahat?"
Siera berbalik dan menatap wajah Dean. "Orang jahat pasti punya alasan kenapa dia jahat." Sedetik kemudian gadis itu tertawa hambar, menggaruk kening yang tidak gatal. "Aku sok bijak. Jijik."
Dean menyandarkan kepala tanpa memindahkan tatap dari gadis di hadapan. Suasana rumah barunya mendadak berubah dari yang terakhir diingat. Mengapa di sini jadi lebih tenang dan nyaman?
Menggigit ibu jari, Siera yang berusaha menemukan jawaban membalas tatapan dari lelaki di depan. "Peduli? Itu emosi dasar yang dipunya semua manusia, 'kan? Anggap aja begitu."
Si lelaki berkedip pelan. Lelah yang mendera perlahan membuatnya mengantuk. "Saya tidak. Saya biarkan kamu sendirian saat demam kemarin."
Siera mengangguk, mengamini dengan ekspresi paham. "Mungkin, Bapak bukan manusia. Kita anggap aja begitu." Ia tertawa pelan. Puas, karena sudah dua kali mengatai Dean.
Tawa itu menularkan senyum di bibir Dean. Semakin lama ia semakin betah menatapi Siera. Apalagi ketika gigi gingsul gadis itu tampak seperti saat ini. Pria itu agaknya setuju atas pujian Ana kemarin. Siera itu cantik saat tersenyum. Mirip anak kecil yang lugu.
"Hah! Puas aku ngatain orang jahat kayak Bapak. Udah, sekarang mau tidur. Dah, Pak Dean." Siera berbalik dan melambaikan tangan di atas kepala.
Dean terus memandangi Siera hingga gadis kurus itu menghilang di balik pintu kamar. Ia menyadari sesuatu. Hatinya sedikit lega. Sikap yang Siera tunjukkan sedikit bisa menghalau rasa bersalahnya pada gadis itu. Entah Siera yang terlalu polos atau memang gadis itu punya hati yang kuat.
"Malam, Siera. Tidur yang nyenyak. Terima kasih," gumamnya dengan mata mulai terpejam.
"Siera kamu sudah coba bolu kukus buatan Farah, belum?" Ana membawa piring kecil di tangan, berjalan menuju dapur yang dihuni Siera. Saat melihat sosok menantunya di depan wastafel, wanita itu mendesah. "Nak, kamu tidak perlu mencuci piring. Ada Bu Ratna yang bisa melakukan itu." Ia menghampiri, tersenyum teduh pada gadis dengan gaun biru lembut selutut itu. Hari ini, karena Dean menolak mengadakan acara syukuran besar-besaran, keluarga mereka hanya menggelar acara kumpul dan makan siang bersama di hari Minggu ini. Ana terpaksa menurut saja, sebab tak ingin menantunya ikut-ikutan kesulitan karena harus membujuk Dean yang keras kepala. Hari ini berjalan dengan baik. Seperti dugaan Ana, semua kerabat yang diundang menyukai Siera, bahkan di pertemuan pertama. Ana paham mengapa itu terjadi. Siera memang tipe gadis yang manis, bahkan untuk orang asing yang baru melihatnya. Aura gadis itu sederhana dan mudah didek
Tetes air hujan masih setia menjatuhkan diri, membuat Siera yang duduk di depan kafe Ramaji yang sudah tutup mendesah pelan. Gadis itu melihat jam di ponsel yang sedari tadi digenggam. Sudah pukul sebelas. Satu jam sudah ia menanti guyuran hujan mereda. Gadis itu menyesal karena sudah sesumbar menolak tawaran Rama yang ingin memberikan tumpangan. Siera mengaku tak ingin pulang, sebelum hujan reda dan memutuskan menunggu. Lelah, mengantuk ditambah udara dingin yang menusuk tulang, Siera melihat bayang-bayang kasur empuknya di genangan yang mulai tercipta di depan kafe. Bayangan itu seokah mengejeknya karena sudah melakukan hal konyol. Menarik napas, baru saja akan beranjak, ponsel gadis itu bergetar. Kontak bernama Suami terlihat di layar. "Kamu di mana? Masih lama?" Ada sedikit rasa senang ketika telinga Siera mendengar suara dari seberang. Cukup membuatnya sedikit hangat. Sudah
Selesai mandi, Siera yang berencana langsung pergi tidur diinterupsi oleh nyanyian nyaring cacing di perut. Perempuan itu menilik jam di dinding kamar. Pukul setengah dua belas malam. "Kamu enggak bisa diajak kerja sama, ya?" Mengusap perut, gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur. Ia dan Dean baru beberapa hari menikah. Sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, hingga tak sadar tentang urusan dapur. Malam ini Siera baru tahu bahwa lemari pendingin di rumah tak teirsi apa-apa, kecuali minuman kaleng. Hal sama juga berlaku pada lemari-lemari di yang ada. Tak ada mi instant atau makanan kemasan lainnnya. Mendesah lelah, Siera berdiri di depan wastafel. Menatapi dapur rumah yang terasa gersang. Ia jadi merenung. Apa begini kondisi dari dapur yang dihuni pasangan suami-istri yang menikah bukan karena cinta? Apa seperti ini rasanya menjalani rumah tangga yang dibangun tanpa dasar yang jelas? Hampa? Siera pernah ke
Di luar, cuaca cerah, tetapi tidak terik. Bagus. Sama bagusnya dengan suasana hati Siera sore ini. Bagaimana tidak? Ia sedang berada di rumah mertua, menikmati berbagai kue lezat. Ana menelepon siang tadi. Katanya akan datang untuk mengantar bolu kukus, bolu pisang dan bubur kacang hijau yang sengaja si mertua buat untuknya. Tak ingin membuat ibunya Dean kerepotan, Siera putuskan untuk menjemput semua makanan itu sepulang bekerja. Kebetulan, di rumah juga tidak ada orang. Dean yang sebenarnya demam bersikukuh pergi mengajar tadi pagi. Pasti pria itu belum pulang. Sempatkan singgah, bukan masalah. "Masakan Mama super enak." Gadis itu menelan potongan bolu pisang terakhir yang bisa perutnya tampung. Mike yang menyesap kopi, menoleh pada menantunya. "Kamu berlebihan." Senyumnya terlihat mekar. Siera menggeleng. "Ini serius, Pa. Kapan-kapan ajari Siera buat yang begini, Ma. Biar bisa buatin untuk De--" Perempuan
Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal. Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih. Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel. Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih. "Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka
Mendengar suara pintu dibuka, Siera yang sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak dari kegiatannya. Gadis itu menarik napas, meski tangan yang memegang piring berisi telur dadar diremas kuat. Tak lama Dean muncul di ruang makan. Dengan kemeja yang kemarin pagi pria itu kenakan untuk pergi bekerja. Kali ini tampak kusut di sana-sini. Rambut pria itu juga berantakan. "Saya mau mandi dulu. Setelahnya baru sarapan." Dean mengurungkan niat untuk menjelaskan ke mana ia semalaman ini. Pria itu terlalu lelah, jadi memutuskan untuk membersihkan diri dulu. Tadi, tidak sempat di rumah Nara, karena Dean ingin cepat-cepat pulang. Pun, Nara adalah jadwal mengajar pagi. Tidak menyahut, Siera menatapi suaminya dengan amarah di mata. Agaknya Dean bisa membaca, karena pria itu mengurungkan niat melangkah pergi. "Ada apa?" tanya Dean setelah memastikan Siera tampak ingin mengatakan sesuatu. Bibir perempuan itu tertutup rapat, tetapi sedik
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa. Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat. Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk. "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan? "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang. Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?" Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu