Share

Peduli

Tiba di rumah pukul satu dini hari, Dean langsung menuju kamar. Pria itu melempar tubuh ke tempat tidur, mengistirahatkan punggung yang terasa amat pegal. 

Menatapi dinding di ruangan itu, ia mengembuskan napas berat. Menaruh satu lengan di atas wajah, kemudian meringis. Luka terbuka di pelipis tidak sengaja disentuh. 

Satu helaan napas lagi lolos dari mulut Dean. Memejam, ia berharap bisa segera terlelap. 

Lelah. Seharian harus mengisi kuliah di kampus, ditambah menghadapi mahasiswa bimbingan, pria itu masih harus meladeni Nara dan segala kemurkaan wanita itu. 

Nara mengamuk sore tadi. Wanita itu melempar dan menghancurkan semua barang. Salah satunya mengenai pelipis Dean dan menghasilkan luka di sana. 

Dean hanya bisa mengalah tadi. Mendengarkan semua kalimat sarat amarah dari Nara, tanpa berniat mendebat. Sebisa mungkin ia menjelaskan dengan nada pelan. 

Dean paham, Nara pasti tidak terima akan pernikahannya dengan Siera. Namun, itu satu-satunya cara agar semua pihak tenang dan diuntungkan. 

Mungkin saat ini Nara belum bisa menerima, tetapi lambat-laun, pasti wanita itu akan paham. Dean hanya bisa menunggu dan melapangkan dada akan semua tuduhan dan kemarahan si wanita. 

Ngomong-ngomong soal Siera, Dean jadi ingat sesuatu. Sakit. Kemarin pagi, gadis itu ia tinggalkan dalam keadaan demam, persis seperti yang sudah diprediksi. 

Tidak jadi tidur, Dean keluar dari kamar. Ia merasa perlu memeriksa keadaan Siera. 

"Masih ingat pulang, Bapak?" 

Dean terperanjat saat suara sedikit serak itu masuk ke rungu. Ia menoleh ke arah sofa di ruang tamu yang baru saja dilewati. Siera di sana, tengah berbaring dengan sorot mata tajam ke arahnya. 

"Sejak kapan kamu di sana?" Seingat si lelaki, sofa itu kosong saat ia pulang tadi. 

"Barusan. Haus." Siera menggerakkan dagu ke arah gelas di atas meja. "Perginya semalam pagi, pulangnya baru sekarang. Bapak ngajar mata kuliah apa, di kampus apa?" 

Yang ditanyai mengambil posisi duduk di sofa yang kosong. "Ada hal yang harus saya urus." 

"Urusan apa?" Siera duduk, memerhatikan pelipis lelaki di hadapan. Rautnya mulai dihiasi rasa ingin tahu. 

"Nara." 

Satu nama itu sudah berhasil membuat Siera paham. Ia tak melanjutkan tanya. Beranjak dari duduk, kemudian berjalan ke arah kamar. 

Ditinggalkan begitu saja, Dean sedikit bingung. Ia sudah akan ikut beranjak, sampai akhirnya Siera muncul lagi di sana, dengan sebuah kotak putih di tangan. Gadis itu menyeretnya untuk berpindah duduk di sofa yang tadi dipakai tidur agar muat berdua. 

Tak bicara dan memandangi Siera, Dean meringis saat jemari gadis itu mengoleskan alkohol ke luka di pelipis. 

"Ini kenapa?" Siera mengusapkan alkohol ke luka itu sembari meniup pelan. 

"Kena lemparan asbak kaca." Dean terpaku, pada dahi Siera yang mengernyit. Jarak mereka sekitar satu jengkal, bisa pria itu rasakan dirinya sedikit canggung. 

Siera berusaha mencerna. Dean bilang ia punya urusan dengan Nara. Itu artinya, selama tidak pulang, pria itu bersama Nara. Lantas, mengapa sampai bisa ada kegiatan melempar asbak kaca? 

"Kalian bertengkar?" tebaknya asal. 

Dean mengangguk. Ikut menundukkan kepala demi bisa memerhatikan ekspresi yang Siera buat saat sedang membereskan kotak P3K. 

Dua alis tipis Siera menyatu. "Orang pacaran, bertengkarnya sampai lempar-lempar asbak?" Ia mengangkat wajah, melempar tatapan tak paham pada pria di sebelah. 

Mereka berpandangan sejenak, Dean memundurkan punggung, bersandar pada sofa. "Dia marah karena saya menikah. Padahal, saya sudah jelaskan bahwa pernikahan ini hanya untuk melindungi dia. Nara tidak paham." 

Siera mengangguk. "Aku juga enggak paham dengan jalan pikiran Bapak. Apa aku juga boleh lempar asbak ke muka Bapak?" 

Gadis itu tertawa. Ya, inilah yang bisa dilakukannya sekarang. Menghibur diri. Sebab meratap tak akan pernah bisa mengubah keadaan. 

Kepala Dean miring. Tanpa sadar lelaki itu membingkai wajah Siera yang tengah tersenyum. Apa yang gadis itu pertontonkan entah mengapa berhasil membuat ia menunjukkan ekspresi tenang di wajah sendiri. 

Tangan Dean bergerak menuju Siera. Telapak tangannya mendarat pelan di kening gadis itu. "Dari mana kamu bisa menebak kapan akan demam atau tidak?" Ia sedikit lega saat mendapati suhu tubuh Siera sudah normal. 

Sempat terperangah, Siera kembali pada kesadaran. "Kalau aku nangis hari ini, besoknya pasti demam. Aku ini jarang sakit, tapi kalau nangis, pasti besoknya demam." 

"Bohong." Ujung bibir Dean menjungkit saat mengatakan tuduhan itu. Jelas ia tidak percaya. Mana ada hal seperti itu. 

Siera terpaku dengan mata tak berkedip. Senyum kecil yang barusan dilihat benar-benar bagus. Untuk sesaat gadis itu kembali pada kodratnya, pengagum pria tampan. Namun, cepat-cepat Siera menggelengkan kepala. 

"Huh! Kalau aja Bapak bukan orang jahat, aku pasti enggak segan-segan pegang-pegang itu bibir." 

Mata Dean membola. "Pegang apa?" 

"Tadi Bapak senyum. Bagus. Untung aku cepat sadar kalau Bapak itu orang jahat. Kalau enggak, huh! Enggak-enggak!" Siera menepuk-nepuk pipinya sendiri. Menggeleng kuat-kuat dan berulang, berusaha meraih kewarasan. 

Kali ini sikap aneh Siera berhasil membuat dua sudut bibir tipis Dean membentuk kurva sempurna. Ini pertama kalinya pria itu menyaksikan orang memuji dan menghina di saat bersamaan. 

"Pergilah tidur lagi. Ini masih dini hari." 

Siera mengangguk, lantas berdiri. "Ini P3K-nya aku tinggal. Nanti band-aid-nya Bapak ganti sendiri." 

Tidak menjawab, Dean memandangi punggung sempit di depannya. 

"Bapak juga tidur. Tapi jangan lupa ganti baju dulu. Kemejanya udah kucel dan pasti banyak kuman." Sempat-sempatnya Siera memperhatikan itu tadi. Baginya, penampilan Dean sekarang tidak mencerminkan profesinya sebagai dosen. Berantakan dan terlihat lelah. 

Mendengar itu, Dean penasaran. "Kenapa kamu melakukan semua ini? Bukannya kata kamu saya ini orang jahat?" 

Siera berbalik dan menatap wajah Dean. "Orang jahat pasti punya alasan kenapa dia jahat." Sedetik kemudian gadis itu tertawa hambar, menggaruk kening yang tidak gatal. "Aku sok bijak. Jijik." 

Dean menyandarkan kepala tanpa memindahkan tatap dari gadis di hadapan. Suasana rumah barunya mendadak berubah dari yang terakhir diingat. Mengapa di sini jadi lebih tenang dan nyaman? 

Menggigit ibu jari, Siera yang berusaha menemukan jawaban membalas tatapan dari lelaki di depan. "Peduli? Itu emosi dasar yang dipunya semua manusia, 'kan? Anggap aja begitu." 

Si lelaki berkedip pelan. Lelah yang mendera perlahan membuatnya mengantuk. "Saya tidak. Saya biarkan kamu sendirian saat demam kemarin." 

Siera mengangguk, mengamini dengan ekspresi paham. "Mungkin, Bapak bukan manusia. Kita anggap aja begitu." Ia tertawa pelan. Puas, karena sudah dua kali mengatai Dean. 

Tawa itu menularkan senyum di bibir Dean. Semakin lama ia semakin betah menatapi Siera. Apalagi ketika gigi gingsul gadis itu tampak seperti saat ini. Pria itu agaknya setuju atas pujian Ana kemarin. Siera itu cantik saat tersenyum. Mirip anak kecil yang lugu. 

 "Hah! Puas aku ngatain orang jahat kayak Bapak. Udah, sekarang mau tidur. Dah, Pak Dean." Siera berbalik dan melambaikan tangan di atas kepala. 

Dean terus memandangi Siera hingga gadis kurus itu menghilang di balik pintu kamar. Ia menyadari sesuatu. Hatinya sedikit lega. Sikap yang Siera tunjukkan sedikit bisa menghalau rasa bersalahnya pada gadis itu. Entah Siera yang terlalu polos atau memang gadis itu punya hati yang kuat. 

"Malam, Siera. Tidur yang nyenyak. Terima kasih," gumamnya dengan mata mulai terpejam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status