Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal.
Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih.
Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel.
Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih.
"Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka bahkan nuduh aku ini simpanan karena beberapa kali lihat kamu menginap."
Aduan itu disampaikan si perempuan dengan wajah marah. Jelas, Nara pasti tak senang digunjingkan demikian. Dean sendiri bingung harus menenangkan dengan kalimat apa. Membantah? Lalu, hubungan merek harus dinamai apa? Maka, Dean memilih diam.
Karena kebungkaman itu, Nara semakin berang. Dean sempat diusir pergi tadi. Maka itu, si lelaki menempuh cara terakhir yang biasa digunakan untuk menenangkan. Yakni, diajak belanja.
Nara setuju. Meski sepanjang mereka berkeliling pusat perbelanjaan tadi, beberapa kali perempuan itu menanggapi tanya Dean dengan ketus. Bukan masalah. Tidak sekali dua kali si pria harus menghadapi sikap pemarah kekasihnya. Dean bisa bertahan.
"Jangan marah lagi. Biar saja mereka mau bilang apa. Toh, kita enggak mendapat keuntungan apa-apa juga dari mereka." Dean mengambil tangan Nara untuk digenggam. Bekas sayatan di lengan dalam perempuan itu ia usap pelan.
"Kamu nggak akan ngerti, An. Aku yang malu." Nara akhirnya menatap wajah si pria. "Sampai kapan kamu akan bikin aku di posisi begini? Aku bahkan nggak bisa menjelaskan apa hubungan kita." Si perempuan berderai air mata. Dadanya sesak.
Hubungan kita. Hubungan mereka. Dean tersenyum kecut. Itu benar. Lelaki itu juga bingung harus menamai apa pada hubungannya dengan Nara.
Pacaran? Tetapi Dean tak pernah mengenalkan Nara lebih jauh pada seluruh keluarga. Ditambah, saat ini ia sudah terikat pernikahan. Selingkuh? Nara adalah simpanan? Memikirkannya Dean tidak terima.
Bila ditanya apa yang pria itu rasakan sesungguhnya pada Nara , maka Dean juga akan sulit untuk menjelaskan.
Mereka bertemu pertama kali di taman belakang kampus. Saat itu, tanpa sengaja Dean memergoki Nara tengah menggoreskan ujung pisau ke lengan. Spontan saja, pria itu menghalangi dan merebut pisau.
"Apa ini bisa menyelesaikan masalah?" Dean membuang cutter milik Nara sembarangan. Meraih lengan Nara yang sempat tergores, kemudian menutup luka di sana dengan sapu tangan.
Nara yang menerima perlakukan tiba-tiba itu hendak kabur sebenarnya. Namun, lelaki asing yang ditemui tidak mengizinkan ia pergi.
Itulah awal perkenalan mereka. Sejak itu, Dean tahu bahwa ia dan Nara sekelas. Setiap ada kesempatan, lelaki itu sengaja ikut di kelompok belajar atau tugas yang ada Nara. Ia iba, ingin memastikan si perempuan tak nekat seperti perjumpaan pertama.
Peduli? Ya, Dean peduli atas keselamatan Nara. Memang, dari yang ia tahu--secuil--perilaku self injury tidak bertujuan untuk melenyapkan diri pelakunya. Namun tetap berbahaya. Siapa yang tahu kapan Nara akan kebablasan?
"Sebenarnya, kamu seperti ini karena apa?"
Suatu hari, saat mereka berada di semester enam, Dean memberanikan diri bertanya. Dari sana ia tahu bahwa Nara merasa kesepian.
Perempuan itu anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya seorang dokter, kebanggan keluarga. Adiknya, karena bungsu, menjadi kesayangan di rumah. Nara merasa tak punya tempat hanya untuk sekadar berbagi cerita.
Belum lagi, pengakuan Nara soal ayah dan ibunya yang hobi membandingkan Nara dengan sang kakak. Merasa diabaikan, Nara menganggap dirinya rendah, jelek dan menyalurkan rasa sakit dan kecewa itu kepada tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Simpati, peduli, sejak itu Dean memutusukan untuk mendampingi Nara. Meminta perempuan itu menjadi kawan dan pada akhirnya membuat Nara salah paham.
"Aku mau kamu jadi pacar aku. Aku yakin nggak ada orang lain yang bisa nerima aku seperti yang kamu lakuin. Aku cuma mau sama kamu. Selamanya."
Saat itu, meski sudah berusaha menjadi pendengar dari semua masalah Nara, kebiasaan menyakiti diri sendiri Nara belum sepenuhnya sembuh. Hanya sedikit berkurang. Karenanya, dengan alasan tidak ingin melukai hati perempuan itu rapuh itu, Dean bersedia menjalin hubungan asmara. Status mereka berubah dari teman menjadi sepasang kekasih.
Bersama bertahun-tahun mereka cukup jauh menjalani hubungan itu. Bukan hanya pacaran ala orang biasa, Dean dan Nara juga sudah pernah tidur seranjang bahkan tinggal seatap. Dan setelah semua itu, Dean masih bingung harus mendeskripsikan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Nara.
Cinta? Entah si lelaki tak pandai menilai, tetapi menurutnya tak ada debar seperti itu tiap kali bersama sang kawan. Ia ingin melindungi, peduli, tetapi cinta?
Dean memanfaatkan Nara? Tetap bersama gadis itu karena senantiasa mendapat kenikmatan? Dean membenarkan, tetapi setengah hati. Setengah lagi tak terima dikatai berengsek.
Kemudian, masalah lain muncul. Ibu Dean tidak setuju akan kehadiran Nara. Awalnya sudah pasrah saja diajak menikah oleh Nara, Dean akhirnya menyerah pada rencana itu karena orang tuanya. Jadilah, seperti sekarang. Ia memperistri Siera.
"Dean?"
Panggilan itu membawa Dean kembali ke keadaan kini. Ia menatap Nara dengan keraguan di dada.
"Kamu cinta aku, An?"
Si pria membasahi bibir. Memilih menatap kemudi di hadapan. Sulit sekali menjawab tanya itu, meski bertahun-tahun sudah berlalu.
Di bangkunya, Nara tersenyum pedih. Terkadang, perempuan ini sangat yakin. Kehadiran Dean di sisinya karena karena pria itu merasa iba. Kasihan, pada manusia sakit sepertinya. Namun, perasaan yang telanjur sungguh untuk lelaki itu membuat Nara membodohi diri sendiri, menepis semua dugaan tadi.
"Kamu sungguh nggak bersedia menikahi aku, An?" Tak ada hal lain yang Nara inginkan, kecuali Dean. Hanya pria itu yang sabar menghadapi sikapnya selama ini.
Melepas tangan Nara, Dean menyugar rambut. Pria itu melepas napas berat lewat mulut. "Bukan aku enggak ingin, Ra. Kita bahkan sudah pernah berencana ke sana. Tapi, kamu tahu. Ibuku enggak setuju."
"Kamu bisa menentang mereka. Ini hidupmu, mengapa mereka harus ikut campur? Tinggalkan saja mereka, seperti yang aku lakukan pada orang tuaku. Kita menikah, hidup bahagia." Tatapan mata Nara dipenuhi amarah dan juga kesedihan di waktu yang bersamaan.
"Kamu tahu itu enggak mungkin. Ayah dan Ibu hanya punya aku." Meladeni Nara dengan emosi hanya akan memperparah keadaan. Maka, Dean berusaha menekan egonya, menurunkan nada suara.
Laki-laki itu merengkuh si perempuan dalam pelukan. "Aku menikahi Siera agar Ayah dan Ibu berhenti memaksaku menikahi orang lain. Bersabarlah. Aku akan membujuk Ayah dan Ibu sekali lagi, lalu kita akan menikah." Dean bisa merasakan kalimatnya tawar. Tak dibarengi perasaan apa-apa.
Sementera itu, sebaliknya, Nara terenyuh. Ia balas memeluk Dean lebih erat. "Kamu janji? Aku nggak rela kamu sama perempuan lain. Nggak akan."
Dean mengangguk. Ia melukis senyum di wajah untuk Nara.
"Kamu menginap, 'kan? Aku kangen." Nara kembali mengalungkan lengan ke leher kekasihnya. Membawa lelaki itu dalam pelukan yang lebih menuntut. "An? Kamu menginap, 'kan?"
Menatapi kaca jendela mobil, Dean mengamini. "Iya, Ra." Dean putuskan hari ini, sampai di sini saja memikirkan kerumitan yang ada. Jika tidak, kepalanya bisa pecah.
Mendengar suara pintu dibuka, Siera yang sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak dari kegiatannya. Gadis itu menarik napas, meski tangan yang memegang piring berisi telur dadar diremas kuat. Tak lama Dean muncul di ruang makan. Dengan kemeja yang kemarin pagi pria itu kenakan untuk pergi bekerja. Kali ini tampak kusut di sana-sini. Rambut pria itu juga berantakan. "Saya mau mandi dulu. Setelahnya baru sarapan." Dean mengurungkan niat untuk menjelaskan ke mana ia semalaman ini. Pria itu terlalu lelah, jadi memutuskan untuk membersihkan diri dulu. Tadi, tidak sempat di rumah Nara, karena Dean ingin cepat-cepat pulang. Pun, Nara adalah jadwal mengajar pagi. Tidak menyahut, Siera menatapi suaminya dengan amarah di mata. Agaknya Dean bisa membaca, karena pria itu mengurungkan niat melangkah pergi. "Ada apa?" tanya Dean setelah memastikan Siera tampak ingin mengatakan sesuatu. Bibir perempuan itu tertutup rapat, tetapi sedik
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa. Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat. Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk. "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan? "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang. Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?" Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Makasih banyak untuk risolesnya." Memeluk Ana sekali lagi, Siera melambai pada kedua orang tua Dean itu. Senyum tak berhenti terkembang di wajahnya yang seterang bintang di langit malam ini."Papa masih kuat kendarai mobil, loh, Siera. Papa antar aja, ya?" Mike lagi-lagi menahan lengan Siera yang sudah hendak meninggalkan teras rumah. Ia cemas harus membiarkan menantunya itu pulang sendirian di larut begini.Siera menggeleng. "Aku enggak mau merepotkan. Serius. Kalau Papa maksa mau antar, aku enggak bakal datang lagi ke sini."Seperti beberapa kali sebelumnya, hari ini Siera yang mendapat jatah libur mingguan menghabiskan harinya di rumah Mike dan Ana. Mereka melakukan banyak hal. Bercerita soal masa kecil Dean, memasak bersama Ana, menikmati masakan Ana yang super lezat, juga membantu mertuanya itu mengurusi tanaman bunga di taman belakang.Sekarang sudah pukul delapan, mau tak mau Siera harus pulang.
Keluar dari kamar, Siera menoleh ke arah jendela di kiri rumah. Masih sambil mengunyah, perempuan yang baru selsai mandi itu memastikan waktu dengan melirik pada jam. Sekitar pukul lima.Berjalan hingga ke ruang tamu, ia berhenti di dekat meja TV. Di depannya, ada Dean yang sedang memegang pel. Tatapan Siera penuh rasa ingin tahu."Tolong, remahan wafermu." Dean memindahkan pel dari dekat kaki istrinya. Melanjutkan kegiatannya, membersihkan lantai hingga mengkilap.Menghabiskan lima wafer cokelat di tangan, Siera menatapi punggung Dean yang bergerak. Ini aneh. Sungguh aneh.Bayangkan, beberapa saat lalu, suaminya itu datang ke Ramaji. Bukan untuk nongkrong atau bertemu Pak Rama, melainkan untuk menjemput. Tidak sampai di sana, pria itu bahkan mengambil jatah pekerjaan sore Siera. Menyapu dan mengepel rumah.Pantas tidak dipertanyakan? Siera yakin iya. Untuk apa Dean melakukan semua ini? Tiba-tiba sekali."
Dean kecelakaan.Satu kalimat yang berhasil membuat Siera lupa cara bernapas untuk sesaat. Tadi, gadis itu sedang memandangi bunga matahari di samping rumah. Lalu, telepon datang. Dari seorang perempuan yang adalah perawat rumah sakit. Memberitahu jika suaminya ada di ruang IGD, karena kecelakaan dan belum sadarkan diri.Tunggang-langgang, Siera berangkat ke sana. Pikirannya berkecamuk. Ingatan soal peristiwa memilukan beberapa tahun lalu berkeliaran di benak. Membuatnya tak segan menangis di dalam taksi yang ditumpangi.Bertanya pada petugas rumah sakit, Siera sampai di depan sebuah ruangan, yang katanya di sana Dean sudah dipindahkan. Sangat beruntung, luka Dean tidak parah. Pria itu hanya pingsan karena terkejut.Tidak langsung masuk ke ruang rawat, Siera terpaku menemukan sesosok perempuan duduk di depan ruangan. Sama sepertinya, perempuan itu menangis. Tampak pucat, satu perban kecil juga tertempel di
Berulang kali Siera berusaha mencerna keadaan hati. Bertanya soal apa yang sebenarnya ia rasakan. Sembari sesekali menyeka air mata, perempuan itu masih terduduk di balik pintu rumah.Tiba di rumah--setelah diusir Dean--beragam pertanyaan berkelebat di benak. Semarah itukah ia pada Nara? Kenapa? Berhak memangnya bersikap begitu? Mengapa harus secemas itu?Bermacam pertanyan, satu ujung yang bisa perempuan itu temukan. Sesuatu. Sesuatu yang tidak seharusnya itu sudah terjadi. Sesuatu yang tak pernah ia sangka itu sudah terjadi.Sesuatu yang menyebabkannya amat ketukutan saat mendengar berita kecelakaan Dean. Bukan sekadar dejavu akan peristiwa nahas yang orang tuanya alami. Ini berbeda.Kesimpulan yang Siera buat itu semakin membuat hati nelangsa. Teringat bagaimana perlakukan Dean tadi. Begitu saja, pria itu mengusirnya. Terlihat marah karena Siera sudah berani menampar Nara.Lantas, sekarang, apa yang akan terjadi? Je
"Siera. Siera. Kamu bisa mendengar saya?"Membuka mata perlahan, Siera mengerjap demi menyesuaikan sinar yang masuk ke mata.Sepenuhnya terjaga dari tidur, sakit kepala yang luar biasa menghantamnya. Perempuan itu tersenyum."Paksu jemput?"Bukan demam yang membuat Siera jadi sedikit tidak masuk akal begini. Mengulas senyum, sat seharusnya meringis karena ngilu di sekujur tubuh atau pusing dan sakit di kepala. Namun, kehadiran Deanlah alasannya."Kamu bisa jalan?" Dean mencoba tidak menanggapi pertanyaan atau ekspresi si perempuan.Di belakang Dean, Mike yang melihat binar di mata sayu Siera mengulum senyum. "Apa kamu sebegitu senangnya melihat Dean datang, Siera?" tanya pria itu sekadar ingin menggoda.Siera mengangguk lemah, mendudukan tubuh yang terasa lemas. Jelas ia senang.Dean tidak pulang semalam. Kenyataan bahwa sekarang pria itu ada di sini, datang untuk menjemputn