Di luar, cuaca cerah, tetapi tidak terik. Bagus. Sama bagusnya dengan suasana hati Siera sore ini. Bagaimana tidak? Ia sedang berada di rumah mertua, menikmati berbagai kue lezat.
Ana menelepon siang tadi. Katanya akan datang untuk mengantar bolu kukus, bolu pisang dan bubur kacang hijau yang sengaja si mertua buat untuknya. Tak ingin membuat ibunya Dean kerepotan, Siera putuskan untuk menjemput semua makanan itu sepulang bekerja.
Kebetulan, di rumah juga tidak ada orang. Dean yang sebenarnya demam bersikukuh pergi mengajar tadi pagi. Pasti pria itu belum pulang. Sempatkan singgah, bukan masalah.
"Masakan Mama super enak." Gadis itu menelan potongan bolu pisang terakhir yang bisa perutnya tampung.
Mike yang menyesap kopi, menoleh pada menantunya. "Kamu berlebihan." Senyumnya terlihat mekar.
Siera menggeleng. "Ini serius, Pa. Kapan-kapan ajari Siera buat yang begini, Ma. Biar bisa buatin untuk De--" Perempuan itu mengatupkan bibir sebelum rampung menyebut nama sang suami. Mendadak ia ingat bahwa hubungannya dengan pria itu tidak sebaik itu.
Mereka bahkan tidak dekat. Bagaimana bisa Siera terpikir untuk membuat sesuatu yang bis Dean nikmati? Agaknya, penilaian sang suami benar. Siera cukup profesional sebagai istri pura-pura.
Ana yang duduk di samping Siera memeluk dari samping. "Dean tidak suka makanan manis seperti ini," jelasnya sembari mengingat si anak.
Alis si menantu menyatu. Bagaimana bisa ada orang yang tidak suka makanan seenak buatan Ana? "Gimana bisa? Pantas ekspresinya selalu gitu. Masam." Tawanya muncul saat ingat seberapa seringnya Dean menampilkan raut datar dan terkesan dingin.
Ana membenarkan. Katanya, sejak kecil, sang putra memang bukan tipe yang ekspresif. Itulah, mengapa setelah Dean dewasa dan siap menikah, ia mencarikan perempuan yang berkepribadian ceria. Namun, si anak terlalu keras kepala dan tak menyetujui semua sarannya.
"Dia malah lebih memilih perempuan itu." Ana menoleh pada sang menantu. "Dulu, Dean sempat punya pacar. Namanya Nara. Mereka bahkan sempat akan menikah katanya. Tapi, mama tidak setuju."
Topik yang mertuanya cetuskan menarik atensi Siera. Ternyata, Ana juga mengenal Nara. "Kenapa? Kenapa Mama enggak setuju?" tanyanya langsung.
Dean belum pernah menjelaskan mengapa orang tua pria itu menentang hubungannya dengan si perempuan yang dicintai. Ini kesempatan bagus untuk memperoleh informasi, Siera pikir.
Ana menerangkan pengalamannya selama mengenal Nara. "Di pertemuan pertama, mama langsung tidak yakin sama dia karena dia memarahi Dean tepat di hadapan mama."
Dulu, Dean pernah mengatur pertemuan Nara dengan Ana secara diam-diam. Di sebuah restoran. Rencananya mereka akan makan malam bersama agar Ana bisa lebih mengenal Nara.
Rencana Dean itu tidak berjalan mulus, karena ternyata Nara tidak terima. Perempuan itu mengaku belum siap bertemu ibunya Dean. Dia marah pada Dean, tepat di hadapan Ana. Setelahnya, Nara malah pamit pulang.
Sikap tersebut tidak bisa Ana maklumi. Ia merasa Nara sudah menginjak harga diri anaknya, bahkan saat mereka belum berstatus suami-istri. Nara tidak mencerminkan sikap seorang calon istri yang harusnya menghormati dan menjaga kehormatan pria yang akan dinikahi.
"Karena itu mama langsung suka kamu di pertemuan pertama kita."
Bukan saat itu Ana tidak marah pada Siera karena sudah ikut menyembunyikan pernikahan. Namun, sikap yang gadis itu tunjukkan di perjumpaan pertama berhasil meluluhkan hati. "Kamu datang ke mama, meski Dean melarang pagar dibuka. Kamu juga yang pertama minta maaf daripada suamimu itu."
Mike ikut bercerita. Tentang kesan kurang baiknya terhadap Nara. Ayahnya Dean itu pernah mengaku tak sengaja mencuri dengar pertengkaran Dean dengan Nara lewat telepon. Dulu, saat Dean masih kuliah.
"Aku capek menghadapi kamu yang selalu tidak percayaan dan menuntut aku mengerti. Aku capek, Ra."
Begitu yang si ayah dengar sore itu. Karenanya, ia menyimpulkan, sebenarnya, Dean juga tersiksa akan hubungannya dengan Nara. Apa yang membuat anaknya bertahan sampai sejauh ini, ia juga tak paham.
"Karena itu, tolong kamu rawat Dean dengan baik. Mama percaya sama kamu. Bantu dia melupakan Nara sepenuhnya."
Ucapan Ana itu Siera respon dengan anggukkan tak percaya diri. Bagaimana bisa ia melakukan itu? Sedang dirinya saja dinikahi agar Dean bisa selalu bersama Nara.
***
Sepulangnya dari kediaman mertua, Siera menemukan Dean sudah ada di rumah. Pria itu tampaknya habis mandi, karena rambutnya basah.
"Memang udah enggak demam?" Siera duduk di samping si suami yang menyandarkan kepala ke punggung sofa.
Dean menoleh, tanpa menegakkan kepala. "Kalau tidak mandi, rasanya tidak nyaman. Kamu dari mana?" Ia melirik pada plastik coklat di meja.
"Dari rumah Mama. Dibuatin bolu sama kacang hijau. Mau?"
Pria yang ditanyai menggeleng. "Tapi saya lapar."
Siera bergegas menuju dapur. Sebelum pergi tadi, ia sudah memasak bubur dan sup ayam untuk Dean. Perempuan itu memanaskannya sebentar, lalu dibawa ke ruang tamu. Bersama dengan obat dan plester penurun demam.
Merawat Dean. Siera mengartikan permintaan Ana tadi dengan melakukan hal seperti ini. Membantu pria itu makan, minum obat dan memakaikan kompres penurun demam.
"Lihat sini, bentar." Siera berdiri dengan lutut di atas sofa. Perlahan, ia tempelkan plester tadi di kening si pria.
Masih di posisinya, setelah kompres demam terpasang, Siera menatapi wajah Dean di bawah.
"Apa? Kali ini kamu akan saya tuntut jika melakukan kontak fisik lagi." Dean tidak serius, hanya waspada.
Siera kembali duduk di samping suaminya, tanpa memindahkan tatapan. "Aku dengar cerita soal Nara dari Mama."
Sedikit tidak terkejut, biasa saja. Ia yakin cepat atau lambat orang tuanya pasti akan bercerita. "Apa kata mereka? Apa pun, Nara tidak seburuk itu."
Si perempuan membantah dengan cepat. "Mereka enggak menjelekkan Nara. Hanya mengungkapkan penilaian mereka. Aku juga enggakk sepenuhnya meyakini, sampai ikut-ikutan membenci Nara." Siera baru sadar jika nadanya naik satu oktaf. Dia marah? Karena apa? Dean menuduh Mike dan Ana? Atau karena suaminya itu membela perempuan lain?
"Lalu, apa yang kamu pikirkan setelah mendengar cerita mereka?"
Siera membuang wajah. "Kasihan. Aku kasihan sama Bapak. Cintanya terhalang restu. Pasti nyesek." Seketika air mukanya mendung.
Entah sejak kapan, Dean mulai sering merasakan ini. Selalu nyaman saat bicara dengan Siera. Meski perempuan itu sedang sedih, kesal atau marah. Selalu ada sesuatu yang keluar dari mulut yang mampu membuat hati tenang dan nyaman.
"Bagaimana kamu? Bagaimana kisah cinta kamu?" Dean mendadak ingin tahu. "Kamu pernah pacaran sebelum ini?"
Perempuan itu menggeleng. Kembali menghadapkan wajah pada Dean, duduk bersila di atas sofa. "Pacaran belum. Jatuh cinta pernah. Sama laki-laki yang enggak akan pernah bisa dimiliki." Ia menyandarkan bahu yang lesu pada sofa.
"Suami orang? Pacar sahabatmu?" tebak Dean antusias.
Bibir Siera melengkung sempurna, hingga matanya menyipit. "Sama penyanyi K-pop."
Sebelumnya memasang ekspresi penasaran, seketika mimik Dean menjadi datar. "Ha." Ia tertawa sumbang satu kali.
Hal itu berhasil membuat si istri tertawa pelan. "Kayaknya, Mama sedikit keliru. Bapak enggak sedatar yang beliau bilang. Itu barusan ketawa. Bagus pula, walau itu ejekan."
Dean berdecak geli. "Saya bereaksi sesuai siapa lawan bicara dan apa topiknya." Jelas. Pada ibunya, mana mungkin ia tertawa sinis seperti tadi.
Lekat Siera pandangi wajah itu. Alih-alih kening, ia menyentuh lengan suaminya untuk memeriksa suhu. "Kalau demamnya belum turun nanti malam, kita ke dokter, ya? Besok juga, jangan ke kampus dulu."
Dean tersenyum puas. "Kenapa? Kamu khawatir lagi?" Ia melirik tangan si istri yang mengusap lengan pelan.
Jawaban Siera adalah desahan lelah. "Bisa enggak jangan senyum begitu?" Satu pukulan ia beri di lengan Dean. "Aku beneran oleng, Bapak mau tanggung jawab?"
Cinta lahir karena terbiasa. Siera takut itu akan terjadi padanya. Serumah dengan pria yang ia nilai menarik, bukan tidak mungkin hal demikian terjadi.
Dean menanggapi dengan senyum sinis. "Apa cinta bisa terjadi secepat itu? Berlebihan kamu." Ia mengacak rambut si istri. "Bersabar sebentar. Saya akan cari jalan keluar agar kamu terbebas dari semua hal buruk ini."
Terpaku akan tatapan teduh yang Dean berikan, Siera menghela napas berat. "Jalan keluar apanya? Aku akan jadi janda kalau Bapak berhasil menemukan jalan keluar."
Itu benar. Solusi apa pun yang coba Dean temukan, tetap saja Siera tak akan mendapat hal baik. Ia memang jahat karena sudah menarik gadis itu ke dalam jurang derita.
"Apa maaf akan cukup?" tanya pria itu sendu.
Santai, Siera menggeleng. "Bapak harus mendapat yang lebih buruk. Jatuh cinta sama aku misalnya." Gadis itu tertawa puas, kemudian beranjak dari sana.
Dean memarkirkan mobil di depan rumah Nara. Mematikan mesin, ia menoleh pada gadis di kursi sebelah. Perempuan dengan dress biru itu masih memalingkan wajah. Enggan bertukar tatap. Tampaknya masih kesal. Siang tadi, sepulangnya ia mengajar dan diskusi soal proyek penelitian, Dean mendatangi Nara. Biasa, awalnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sekadar bicara--meski tahu akan berakhir dengan debat--atau menonton drama kesukaan perempuan itu. Pokoknya meluangkan waktu, agar sang pacar tidak mengatai pilih kasih. Satu kesamaan Nara dan Siera yang baru Dean ketahui. Selain punya akhirnya nama yang sama, mereka juga penyuka K-Pop. Namun, Nara tidak seheboh Siera yang bisa berteriak atau senyum-senyum du. Depan layar TV atau ponsel. Kembali pasa Nara, rencana Dean yang ingin menghabiskan waktu bersama, tak bisa direalisasikan karena saat datang, Dean disambut wajah tertekuk si kekasih. "Tetangga nanyain kamu itu siapanya aku. Mereka
Mendengar suara pintu dibuka, Siera yang sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak dari kegiatannya. Gadis itu menarik napas, meski tangan yang memegang piring berisi telur dadar diremas kuat. Tak lama Dean muncul di ruang makan. Dengan kemeja yang kemarin pagi pria itu kenakan untuk pergi bekerja. Kali ini tampak kusut di sana-sini. Rambut pria itu juga berantakan. "Saya mau mandi dulu. Setelahnya baru sarapan." Dean mengurungkan niat untuk menjelaskan ke mana ia semalaman ini. Pria itu terlalu lelah, jadi memutuskan untuk membersihkan diri dulu. Tadi, tidak sempat di rumah Nara, karena Dean ingin cepat-cepat pulang. Pun, Nara adalah jadwal mengajar pagi. Tidak menyahut, Siera menatapi suaminya dengan amarah di mata. Agaknya Dean bisa membaca, karena pria itu mengurungkan niat melangkah pergi. "Ada apa?" tanya Dean setelah memastikan Siera tampak ingin mengatakan sesuatu. Bibir perempuan itu tertutup rapat, tetapi sedik
Tidak punya pendirian. Siera mengatai dirinya bodoh. Sebelumnya, ia marah. Sangat. Bersumpah tak akan bicara pada Dean, walau pria itu minta maaf. Namun, hati tiba-tiba gamang kala mendapati setumpuk kertas berada di atas meja ruang tamu. Pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Siera belum pergi bekerja, suaminya sudah. Dan benda yang barusan di pandangi adalah milik Dean. Tumpukan kertas yang diklip itu adalah draft proposal skripsi milik mahasiswa suaminya, yang tadi malam sudah diperiksa. Siera tahu bahwa itu sudah dikoreksi Dean, karena ia terbangun dini hari kemarin. Sekitar pukul satu dan menemukan si lelaki ada di sofa dengan tumpukan kertas yang sama. Siera sempat mengintip sembari lewat. Sebenarnya penasaran, ingin bertanya, tetapi karena ia dan sang suami belum berbaikan, maka Siera hanya lewat. Pagi ini, menemukan benda itu di rumah, sedangkan Dean sudah pergi, Siera gamang. Haruskah menghubungi dan memberitahu? Atau mengantar
Dean tampak berjalan menuju pintu dengan wajah ditekuk sore ini. Pintu rumah dibuka, ia mendengar suara palu diketuk ke atas paku. Suaranya dari samping rumah, pria itu mengurungkan niat untuk masuk. "Sedang apa kamu?" Dean berkacak pinggang pada Siera yang tampak berjongkok di sepetak tanah kosong di samping rumah mereka. Di tangan istrinya itu ada sebuah palu. Belum dijawab, hanya dilempari tatapan heran, lelaki itu memalingkan wajah sesaat. Ia baru ingat bila dirinya dan sang istri belum berbaikan. Kenapa malah mengajak bicara duluan? "Mau bikin kotak tanaman," jawab Siera asal, kembali memukulkan kepala palu pada paku di atas balok kayu yang coba ia rangkai menjadi bentuk persegi panjang. Dean menoleh lagi, melepas kedua sepatunya. "Kotak tanaman? Untuk apa?" Pukulannya meleset dan malah mengenai ibu jari, Siera meringis, spontan melempar alat tukang di tangan ke tanah. "Kalau tahu, memang mau apa? Jangan ikut campu
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Makasih banyak untuk risolesnya." Memeluk Ana sekali lagi, Siera melambai pada kedua orang tua Dean itu. Senyum tak berhenti terkembang di wajahnya yang seterang bintang di langit malam ini."Papa masih kuat kendarai mobil, loh, Siera. Papa antar aja, ya?" Mike lagi-lagi menahan lengan Siera yang sudah hendak meninggalkan teras rumah. Ia cemas harus membiarkan menantunya itu pulang sendirian di larut begini.Siera menggeleng. "Aku enggak mau merepotkan. Serius. Kalau Papa maksa mau antar, aku enggak bakal datang lagi ke sini."Seperti beberapa kali sebelumnya, hari ini Siera yang mendapat jatah libur mingguan menghabiskan harinya di rumah Mike dan Ana. Mereka melakukan banyak hal. Bercerita soal masa kecil Dean, memasak bersama Ana, menikmati masakan Ana yang super lezat, juga membantu mertuanya itu mengurusi tanaman bunga di taman belakang.Sekarang sudah pukul delapan, mau tak mau Siera harus pulang.
Keluar dari kamar, Siera menoleh ke arah jendela di kiri rumah. Masih sambil mengunyah, perempuan yang baru selsai mandi itu memastikan waktu dengan melirik pada jam. Sekitar pukul lima.Berjalan hingga ke ruang tamu, ia berhenti di dekat meja TV. Di depannya, ada Dean yang sedang memegang pel. Tatapan Siera penuh rasa ingin tahu."Tolong, remahan wafermu." Dean memindahkan pel dari dekat kaki istrinya. Melanjutkan kegiatannya, membersihkan lantai hingga mengkilap.Menghabiskan lima wafer cokelat di tangan, Siera menatapi punggung Dean yang bergerak. Ini aneh. Sungguh aneh.Bayangkan, beberapa saat lalu, suaminya itu datang ke Ramaji. Bukan untuk nongkrong atau bertemu Pak Rama, melainkan untuk menjemput. Tidak sampai di sana, pria itu bahkan mengambil jatah pekerjaan sore Siera. Menyapu dan mengepel rumah.Pantas tidak dipertanyakan? Siera yakin iya. Untuk apa Dean melakukan semua ini? Tiba-tiba sekali."
Dean kecelakaan.Satu kalimat yang berhasil membuat Siera lupa cara bernapas untuk sesaat. Tadi, gadis itu sedang memandangi bunga matahari di samping rumah. Lalu, telepon datang. Dari seorang perempuan yang adalah perawat rumah sakit. Memberitahu jika suaminya ada di ruang IGD, karena kecelakaan dan belum sadarkan diri.Tunggang-langgang, Siera berangkat ke sana. Pikirannya berkecamuk. Ingatan soal peristiwa memilukan beberapa tahun lalu berkeliaran di benak. Membuatnya tak segan menangis di dalam taksi yang ditumpangi.Bertanya pada petugas rumah sakit, Siera sampai di depan sebuah ruangan, yang katanya di sana Dean sudah dipindahkan. Sangat beruntung, luka Dean tidak parah. Pria itu hanya pingsan karena terkejut.Tidak langsung masuk ke ruang rawat, Siera terpaku menemukan sesosok perempuan duduk di depan ruangan. Sama sepertinya, perempuan itu menangis. Tampak pucat, satu perban kecil juga tertempel di
Berulang kali Siera berusaha mencerna keadaan hati. Bertanya soal apa yang sebenarnya ia rasakan. Sembari sesekali menyeka air mata, perempuan itu masih terduduk di balik pintu rumah.Tiba di rumah--setelah diusir Dean--beragam pertanyaan berkelebat di benak. Semarah itukah ia pada Nara? Kenapa? Berhak memangnya bersikap begitu? Mengapa harus secemas itu?Bermacam pertanyan, satu ujung yang bisa perempuan itu temukan. Sesuatu. Sesuatu yang tidak seharusnya itu sudah terjadi. Sesuatu yang tak pernah ia sangka itu sudah terjadi.Sesuatu yang menyebabkannya amat ketukutan saat mendengar berita kecelakaan Dean. Bukan sekadar dejavu akan peristiwa nahas yang orang tuanya alami. Ini berbeda.Kesimpulan yang Siera buat itu semakin membuat hati nelangsa. Teringat bagaimana perlakukan Dean tadi. Begitu saja, pria itu mengusirnya. Terlihat marah karena Siera sudah berani menampar Nara.Lantas, sekarang, apa yang akan terjadi? Je