Tebakkan Panji benar. Tira terkesiap setelah mendengar ucapan Panji. “Maksud kamu apa?” tanyanya. Ia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih.
“Kemungkinan Nona Laras ada di hotel tersebut, Tuan,” jawab Panji.
Tira pun langsung berdiri. “Maaf, saya ada urusan mendesak. Selebihnya bisa kita atur ulang jadwal untuk membahas hal ini lagi,” ucap Tira. Kemudian ia berlalu.
“Kenapa kamu tidak mengatakan sejak tadi?” tanya Tira, kesal.
“Maaf, Tuan. Saya pun baru mendapat laporan. Tadi mereka melihat orang tua Nona Laras masuk ke hotel dan ketika mereka keluar dari hotel, kondisi mereka terlihat seperti sedang kesal serta bersedih,” jelas Panji sambil membuntuti Tira.
Tira langsung mengehntikan langkahnya. “Jadi, maksud kamu kemungkinan mereka bersedih dan kesal karena mengetahui kehamilan Laras?” tebak Tira.
“Jangan khawtair! Aku sudah menyewa jet pribadi dan data kamu akan aman,” ujar Yoga.Ayas ternganga mendengar jawaban Yoga. “Serius, Mas? Ngapain Mas buang-buang uang kayak gitu, sih?” Ayas tahu berapa biaya untuk menyewa pesawat jet.“Pake nanya lagi, ya demi kamu, lah,” sahut Yoga sambil tersenyum.Raut wajah Ayas langsung berubah. “Mas ini susah banget dibilangin, ya? Lagian heran, deh. Apa sih bagusnya aku? Udah bukan gadis, lagi hamil pula,” keluh Ayas.Ia tak habis pikir mengapa Yoga masih menaruh hati padanya. Padahal dilihat dari segi mana pun dia merasa tidak ada hal yang istimewa darinya. Justru Ayas merasa memiliki banyak kekurangan.“Kelebihan kamu itu bisa mengusik yang ada di sini, Vi,” ucap Yoga sambil menyentuh dadanya.“Sejak pertama kali kita ketemu di bandara, kamu udah narik
“Laras, kenapa kamu meninggalkan aku? Aku tersiksa hidup tanpa kamu, Ras,” lirih Tira.“Bagaimana caranya agar kamu mau memaafkan aku? Aku akan melakukan apa pun demi kamu dan anak kita.” Tira bersimpuh di hadapan Ayas. Ia memohon agar Ayas mau menerimanya.Namun, Ayas tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya bergeming sambil memalingkan wajahnya. Seolah tak sudi melihat Tira. Ia bahkan menggendong erat anaknya. Seakan Tira hendak merebut anak itu dari tangannya.“Tolong izinkan aku menggendong anak kita! Aku mohon,” ucap Tira dengan wajah memelas.Akan tetapi, bukannya memberikan anak itu, Ayas justru pergi menjauh, meninggalkan Tira.“Ras, jangan pergi! Aku ingin menggendong anak kita!” Tira berusaha mengejar Ayas.Ayas seolah tak mendengar ucapan Tira. Ia terus melangkah meninggalkan pria itu dan lama ke l
Yoga menelan salivanya. “I-iya, Dok,” jawabnya, gugup. Ia tak berani menolak permintaan dokter. Padahal Yoga belum siap jika harus mendampingi Ayas melahirkan.Akhirnya Yoga beranjak dan masuk ke ruang bersalin. Saat melihat Ayas sedang terbaring dengan kaki yang terbuka lebar, Yoga langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat sesuatu yang tidak pantas ia lihat. Lututnya pun terasa lemas.Sementara itu, Ayas yang sedang kesakitan sudah tidak dapat memikirkan apa pun. Ia hanya fokus pada rasa sakit dan memikirkan cara agar rasa itu segera hilang.Yoga diarahkan untuk duduk di dekat kepala Ayas. “Silakan duduk di sini, Pak!” ucap suster.“Iya, Sus,” jawab Yoga, kikuk. Jantungnya berdebar hebat. Ini kali pertama Yoga mendampingi orang melahirkan. Padahal dirinya sendiri belum menikah.“Bapak bisa beri treatment Ibu supaya lebih tenan
"Kamu sudah cari di mana saja, Ji?" tanya Tira saat mereka sedang berada di perjalanan."Saya sudah meminta mereka untuk mencari di seluruh rumah sakit Bali, Jakarta dan beberapa kota besar seperti Bogor, Surabaya serta Bandung, Tuan," jelas Panji."Oke, fokuskan di Bali dan Jakarta lebih dulu. Mungkin sebenarnya dia memang masih berada di Jakarta," pinta Tira.Mereka sama sekali tidak dapat menebak di mana Ayas bersembunyi. Shingga Tira dan Panji tidak terpikirkan sama sekali dengan kota Solo. Terlebih selama ini Tira meyakini bahwa Ayas ada di Bali.***“Vi, kamu gak mungkin kan ngurus bayi sendirian? Gimana kalau pulang dari rumah sakit, kamu tinggal di rumah aku dulu?” tawar Yoga.Ayas tersenyum mendengar pernawaran Yoga. Sampai kapan pun ia tidak akan mau tinggal di rumah pria itu. Sebab, Ayas tidak ingin memberi harapan palsu pada Yoga.&ldqu
Jantung Tira berdebar cepat setiap kali membayangkan bahwa dirinya sudah memiliki anak dari Ayas.“Kira-kira anakku laki-laki atau perempuan ya, Ji?” gumam Tira. Hatinya berbunga-bunga memikirkan anaknya. Ia yakin anaknya akan sangat lucu dan menggemaskan.Panji sangat bingung melihat sikap bosnya. Ia tidak tega jika sampai Tira tidak dapat menemukan Ayas. Selama ini Tira tidak pernah secinta itu pada seorang wanita. Terlebih hubungan mereka hanya kesalahpahaman.Pertemuan mereka pun masih bisa dihitung jari. Namun mengapa perasaan Tira begitu dalam untuk Ayas.Meski tidak dijawab oleh Panji, Tira tidak mempermasalahkannya. Ia memang hanya ingin mengungkapan pikirannya. Tidak membutuhkan jawaban apa pun.“Ji, bagaimana mengenai rencana pembangunan kantor cabang baru?” tanya Tira.“Saat ini masih tahap proses pembebasan lahan, Tua
Ayas terlihat panik dan bingung. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Aduh, gimana ini?” gumamnya. Kemudian Ayas pun menggigit jarinya sambil memikirkan cara agar bisa segera menyelesaikan administrasinya.“Apa aku telepon Mas Yoga aja?” gumam Ayas. Tidak ada orang lain yang dapat dimintai tolong selain Yoga. Sehingga saat ini hanya nama itu yang terlintas di pikirannya.Akhirnya Ayas pun memutuskan untuk menghubungi Yoga. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membantunya. Sementara saat ini Vano sedang butuh tindakan segera.“Semoga aku ingat nomornya,” gumam Ayas. Kemudian ia bicara pada kasir yang sejak tadi memperhatikannya. Kebetulan hari sudah tengah malam, sehingga bagian pendaftaran cukup sepi.“Maaf, Mbak, tadi saya buru-buru ke sini, jadi lupa bawa dompet,” ucap Ayas.“Lalu bagaimana?” tanya kasir. Ia
Yoga ternganga setelah mendengar ucapan kasir barusan. “Maksudnya apa?” tanya Yoga, dingin.“Iya, Pak. Kalau ruang VIP itu mahal. Bahkan satu malamnya saja bisa mencapai 5 juta. Jadi, saya sarankan lebih baik-”Ucapan staf itu terputus karena Yoga langsung mencekalnya.“Oh, jadi maksud Anda, kami tidak mampu?” tanya Yoga, sambil menahan emosi.Sebagai pemilik perusahaan, tentu saja Yoga sangat marah ketika ada seseorang yang meremehkannya seperti itu.“Maaf, bukan seperti itu, Pak. Tapi saya hanya menyarankan karena perbedaan harganya lumayan jauh antara VIP dan kelas 2,” jelas kasir.Ayas pun kesal karena staf itu telah membuang waktunya. Namun, ia hanya diam karena saat ini dirinya sedang tidak memegang apapun.Yoga tidak ingin berdebat lagi. Ia langsung mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu berw
Tira langsung menoleh ke arah Panji. “Apa kamu yakin?” tanyanya. Jantungnya hampir melompat saat mendengar nama Ayas disebut.“Yakin, Tuan. Mereka bahkan menyebutkan ciri-ciri yang sama,” jawab Panji.“Awasi orang itu! Kita ke sana sekarang!” ucap Tira. Ia pun langsung mengajak Panji untuk mendatangi rumah sakit yang telah disbutkan.Saat Tira beranjak, Sisca langsung menoleh ke arahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya, panik. Ia yakin anaknya akan meninggalkan acara tersebut.“Aku ada urusan mendesak, jadi harus pergi sekarang,” jawab Tira.“Hah? Ini kan acara kamu, Tir. Masa kamu mau pergi begitu aja, sih?” keluh mamah Tira. Ia kecewa karena anaknya ingin pergi di acara pentingnya sendiri.“Acara intinya kan sudah selesai, Mah. Lagi pula sebagian besar tamu ini kan tamu undangan Mama