Meski bingung, Jeremy menghentikan mobilnya. Dia selalu memarkir mobilnya tepat di depan rumah Hansa untuk mengantar jemput Tuannya itu. Tapi dia tetap mematuhi perintah yang diucapkan Tuannya meski akhir-akhir ini banyak permintaan aneh.
Hansa segera keluar dan menyuruh Jeremy memakirkan mobilnya ke tempat biasa. Bukan tanpa alasan dia meminta turun disini. Dia melihat istrinya tengah bermain dengan anjingnya dan Hansa berniat untuk langsung menemuinya.
Dia melepaskan jasnya dan melampirkannya ke tangan kirinya. Semakin dia dekat dengan mereka, dia bisa mulai mendengar tawa kecil Rhea yang tengah bersenang-senang melempar boneka tulang untuk diambil anjingnya.
"Bersenang-senang?" Ia menghampiri.
Rhea menoleh kearahnya, "Little White Sangat pintar." Beritahunya.
Little White?
Anjing itu menginterupsi mereka dengan menempel ke kaki Rhea dan menjatuhkan mainannya. Menatapnya dengan ekor bergoyang-goyang, meminta perhatian Rhea.
Rhea tertawa geli merasakan bulu halus Little White di kakinya. Dia membungkuk dan merengkuh anjing besar itu dan menepuk-nepuk punggungya. "Goodjob boy." Pujinya.
Little White tampaknya mengerti bahasa manusia. Anjing itu bersolek mendengar pujiannya dengan berguling di rerumputan.
Hansa memandangi anjingnya dengan tatapan tajam. Anjingnya tidak tahu malu. Menggoda istrinya didepan wajahnya. Dia bahkan berhasil mendapatkan pelukan dari Rhea, yang mana Hansa sendiri tidak pernah. Hansa iri dengan anjingnya sendiri.
"Namanya Ares." Hansa memberitahu.
"Kau bercanda, dia tidak garang seperti dewa perang." Rhea berkomentar.
Hansa memilih untuk tidak memberitahunya kebenaran tentang Ares. Anjing itu tampaknya ingin memainkan fasad hewan peliharaan manis dan lucu didepan Rhea. Andai istrinya tahu, di rumah ini tidak ada yang berani mendekati Ares karena dia liar sehingga dia dibiarkan seenaknya sendiri.
"Ares," panggilnya. "Datang ke papa."
Anjing itu memberinya tatapan kotor sebelum menggonggong singkat dan melompat ke arahnya. Hansa membelai dahi Ares dan menatap istrinya. "Dia anak nakal."
Ares menyalak protes.
Rhea tertawa melihat interaksi mereka.
Mereka bertiga berjalan bersama dengan Ares yang memimpin. Setelah tiba di teras rumah. Rhea melompat ke arah tengah-tengah pintu dan menghadang Hansa."Apa? Aku tidak boleh masuk?" Hansa menggoda.
Rhea menggeleng-gelengkan kepala. Dia menjulurkan tangan ala penghormatan tamu ke arah pintu dan berkata, "Home sweet home."
Hansa melangkah masuk dan berhenti di satu langkah. "Aku melihat." Ucapnya.
Hansa tidak peduli isi rumahnya. Sejujurnya, dia menyerahkan semua penataan rumah ke salah satu start up interior rumah. Sekarang, setelah semuanya diganti oleh barang-barang pilihan Rhea, dia baru sadar kalau desain yang dulu terlihat kuno.
Dia berbalik,
"Nyonya Rhea, tampaknya kamu memiliki bakat artistik di bidang ini." Pujinya.
***
"Ini adalah sop matahari dengan jamur Matsutake selamat menikmati." Bi Asih datang dengan hidangan yang dari baunya saja sudah menggugah selera makan Rhea.
"Terimakasih." Ucapnya. Dia tidak sabar untuk segera mencicipinya.
"Hati-hati, itu masih panas." Hansa memperingatkan. Dia mengambil sesendok dan menunggunya selama sekian detik di udara sebelum menyerahkannya kepada Rhea. "Makanlah."
Tidak seperti ekspetasi Hansa yang ingin menyuapi istrinya, Rhea mengambil alih gagang sendok itu dan memilih menyuapi dirinya sendiri.
"Enak." Komentarnya.
"Makanlah yang banyak."
Rhea menghentikan kegiatan makannya. "Apa katamu tadi?" Dia bertanya.
Hansa tahu itu pertanyaan berbahaya dan menjebak. Dia hanya ingin Rhea makan sepuas yang ia mau. 'Wanita', ia menghela.
"Lupakan saja."
Mereka makan malam dalam diam. Hansa baru dalam suapan ke tujuh sebelum Rhea meletakkan sendok dan garpunya lalu mengambil serbet, tanda bahwa ia telah selesai. Hansa melihat piringnya, makanannya masih tersisa banyak.Hansa tahu selebriti harus menjaga fisik tubuhnya. Salah satu caranya, makan dalam porsi kecil dan kadang melakukan diet. Tapi sisa di piring Rhea keterlaluan. Hansa pikir dia hanya makan dalam empat suapan. Itu tidak sehat.
"Sudah?" Ia bertanya.
"Aku lupa memberitahu Bi Asih untuk membuat porsi kecil untukku dan ya, aku sudah selesai."
Rhea tidak tahu kenapa Hansa mempermasalahkan pola makannya. Dia sedang diet sekarang setelah kemarin berat badannya menambah tiga kilogram.
Dia menoleh ke Bi Asih yang tengah membersihkan dapur. "Sajikan hidangan penutupnya." Katanya.
Hidangan penutup yang dibuat kali ini adalah puding jeruk. Rhea berhasil menghabiskan puding di mangkuk kecilnya. Itu membuat Hansa senang bahwa setidaknya dia mendapat asupan tambahan.
"Aku selesai." Rhea ingin beranjak berdiri tetapi tangannya ditahan oleh Hansa.
"Bisakah kau tinggal sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan." Hansa menjelaskan.
"Oke." Mata Rhea menatap tangannya yang masih dipegang Hansa meski dia telah kembali duduk dan bersiap untuk mendengarkan. Dia menarik tangannya.
"Maukah kamu besok pergi menemui orangtuaku?" Tanyanya.
"Besok aku harus ke agensi." Rhea menjawab. Tetapi kemudian dia menambahkan, "Tapi waktu sore kosong. Jika kau mau?"
Hansa senang mendengarnya. "Sore." Dia mengiyakan.
"Goodnight."
Rhea langsung ambruk merebahkan diri di kasurnya. Kegiatan hari ini melelahkannya. Dia hanya ingin rebahan untuk merilekskan tulang-tulang punggungnya. Dia menyalakan ponselnya dan membuka aplikasi g***l. Ada pesan yang harus ia balas.***Vancouver, Kanada
Seorang laki-laki berjaket hitam masuk ke dalam market retail yang tampak lengang di pagi hari ini. Dia mengambil keranjang dan memulai berbelanja barang. Dia mengabaikan rak yang berisi peralatan rumah dan langsung menuju ke rak makanan hewan dan memasukkan banyak ke keranjangnya. Kemudian melewati etalase buah-buahan, mengambil kaleng minuman secara acak dan pemberhentian terakhir berada didepan berbagai merek es krim.
"Totalnya 50 dolar."
Dia mengeluarkan kartu debitnya untuk membayar.
Sambil menjinjing barang pembeliannya, dia menyusuri jalanan yang ramai dengan orang-orang berlalu lalang dengan kepentingan masing-masing. Dia mengetatkan jaketnya, udara di masa pergantian musim gugur menuju musim dingin bisa sangat menusuk.
Dia masuk ke salah satu bangunan apartemen kelas atas yang berjajar. Menekan tombol lift ke lantai tiga dan menuju kamar bernomor 20. Dia mengeluarkan akses masuk apartemennya dan membukanya. Dia disambut oleh anjing Siberian Husky putih peliharaannya yang telah menanti kehadirannya.
"Sabar Little White." Dia membelai dahi teman kecilnya itu.
Dia membuka makanan anjing yang baru saja dibelinya ke dalam wadah hitam di sudut pintu. Anjingnya memakannya dengan cepat. Dia tertekeh melihat tingkah Little White, nama anjingnya.
Setelah merapikan barang belanjaannya ke tempat penyimpanan di dapur, dia mengambil minuman kopi instan dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia menyalakan komputernya dan melihat bahwa dia telah mendapat balasan dari teman penanya, Queen.
Senyumnya perlahan muncul saat membaca pesan balasan. Mereka dipertemukan secara tidak sengaja karena kecintaan mereka dengan bunga. Dia jarang bisa berteman, apalagi pertemanan jarak jauh dengan seseorang yang menggunakan profil anonimitas. Tapi yang ini berbeda. Setelah bertukar surat kurang lebih dua tahun. Dia yakin dia orangnya.
"Hey kiddo." Anjingnya melompat masuk kepangkuannya.
"Ingat Queen, teman kita?" Tanyanya. Dia sudah terbiasa berinteraksi satu arah dengan anjingnya.
Little White menjulurkan lidahnya dan menatap pemiliknya dengan netranya yang berbeda warna, biru dan cokelat.
"Kurasa sudah saatnya kita terbang ke Indonesia dan menemuinya."
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak