Bosnya datang tanpa membawa kartu undangan.
Ini adalah pukulan besar bagi Jeremy selaku asistennya. Dia sudah menjadi asisten selama 9 tahun dan dia paham betul akan karakter bosnya. Dia juga tidak pernah melihatnya begitu keluar dari karakter sehingga ketika Hansa Adiwinata mengatakan di pagi ini untuk mengantarkannya ke pesta pernikahan, Jeremy hampir terjungkal dari tempatnya.
Bosnya tidak dikenal sebagai orang yang suka mengunjungi pernikahan atau hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Dia sangat menghargai betapa pentingnya waktu dan perusahaan sehingga dia tidak punya waktu untuk 'main-main' dan menghadiri pernikahan termasuk dalam kamus 'main-main' di mata Hansa. Sepengetahuan Jeremy, selama 9 tahun ia mengabdi, ia hanya pernah melihat bosnya menghadiri dua pesta pernikahan. Yang pertama adalah pernikahan anak dari bibinya, dan yang terakhir itu sudah dua tahun yang lalu, saat menghadiri pernikahan mantan tunangannya yang gila. Itupun bosnya tidak memiliki ketertarikan seperti ini.
Jeremy menatap tampilan bosnya sekali lagi. Dari atas sampai bawah ia memakai barang bermerek premium.
Dia mungkin lebih bergaya daripada pengantin pria sendiri. Batin Jeremy.
Jeremy belum tahu siapa pesta yang akan bosnya hadiri hari ini. Tapi sangat tidak mungkin dari klan Adiwinata, keluarga bosnya. Adiwinata yang belum menikah hanyalah bosnya dan sepupunya yang masih kuliah, Karna Adiwinata. Tidak mungkin pangeran manja itu memutuskan untuk menikah dini. Bosnya juga tidak punya mantan tunangan atau pacar lain selain wanita itu. Semua kemungkinan dicoret dan Jeremy sangat penasaran siapa orang yang sebegitu penting di mata bosnya sehingga dia sendiri datang ke pernikahannya.
Mungkin teman rahasia?
"Jeremy."
Panggilan bosnya dengan nada datarnya seperti biasa sukses menyadarkannya dari lamunan iseng. "Eh iya, tuan."
"Pakai mobil nomor satu." Perintah Hansa, pria itu tengah menyemprotkan parfum Caron Poivre ke tubuhnya. Harganya cukup untuk membuat orang biasa terkejut.
Jeremy yang mendengarnya terkejut sekali lagi. Hari ini bosnya begitu di luar karakter. Tidak tahan lagi, dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Kalau boleh tahu tuan, pernikahan siapa yang akan tuan hadiri?"
Tuannya masih dengan santai berdiri di ruang pakaiannya, dengan serius menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.
Tuannya tidak pernah melakukan itu dan sekarang Jeremy sangat khawatir mungkin saja ada sistem error di otaknya. Ia dengan cepat menepis pikiran mengenai tuannya yang sudah gila keluar dari otaknya secepatnya.
"Kau akan tahu nanti." Balas Hansa, lalu dia menoleh kebelakang dan menatap tajam Jeremy. "Kenapa kau masih disini? Pergi siapkan mobil."
Mobil nomor satu berarti mobil BMW M7 yang dibeli bosnya satu tahun yang lalu. Jeremy jarang menyetirnya karena memang mobil ini lebih banyak mendekam di garasi rumah bosnya dibanding hidup di jalan raya. Jeremy mencuri pandang diam-diam kearah bosnya lewat dasbor kaca mobil.
Mereka melaju dengan lancar di jalanan ibukota yang lengang, efek dari peristiwa mudik tahunan. Perjalanan dilakukan dengan suasana hening seperti biasa. Hansa telah memberinya alamat yang akan mereka tuju.
Hansa Adiwinata tahu asistennya tengah mengamatinya. Ia tidak menyalahkannya untuk itu. Hari ini dia memilih setelan paling baik dan mobil terbaiknya. Ia memiliki reputasi yang harus ia tampilkan dengan sempurna.
Tempat berlangsungnya acara berada di aula hotel bintang lima Lamia Grande. Seluruh hotel itu menampilkan tampilan arsitektur eropa, alasan kenapa para Aslein memilihnya.
Dia tidak memiliki surat undangan.
Theodorus tidak mengundangnya karena mereka hanya relasi jauh yang hanya sebatas kenal satu sama lain sebagai pemimpin perusahaan masing-masing. Satu-satunya Aslein yang memiliki hubungan mitra kerja dengannya adalah Jonathan Aslein, kakak laki-laki Theodorus yang banting setir dengan membuka usaha dibidang ekspor-impor.
"Tuan," panggilan Jeremy menyadarkannya dari lamunan singkatnya.
"Apa benar ini tempatnya?" Jeremy tidak bisa tidak bertanya. Bagaimana tidak, lokasi yang bosnya berikan mengarah ke tempat pernikahan artis terkenal. Bahkan dia yang tidak terlalu mengikuti dunia perfilman tahu bahwa hari ini artis sensasional spesialis antagonis, Rhea akan menikahi tunanganya yang non selebriti.
Jeremy sangsi artis itu bisa mengenal Hansa dan bahkan bisa membuatnya datang ke pestanya.
"Ya."
Dia mengikutinya dari belakang menuju meja daftar tamu. Resepsionis itu tampaknya mengenali bosnya. Duh, wajah tuannya terpampang dimana-mana sebagai penguasa ekonomi dan sempat menyasar di majalah hiburan sebagai pria bujangan nomor satu paling diminati. Tuannya bahkan berhasil mengalahkan deretan selebritas terkenal.
"M-maaf, tuan. Tidak ada nama Hansa Adiwinata dalam daftar tamu."
Jeremy bagai tersambar petir disiang bolong. Tidak hanya dia terkejut bahwa Hansa secara mengejutkan menghadiri pernikahan seorang artis, bosnya ternyata datang tanpa diundang!
Hansa disisi lain masih berpenampilan tenang. Dia memang tidak diundang dan pagi ini dia datang atas inisiatifnya sendiri.
Resepsionis itu menjadi canggung ditempat. Dia terkejut bahwa Hansa Adiwinata, salah satu dari sepuluh konglomerat berpengaruh di Asia Tenggara datang ke pesta pernikahan tertutup sang artis dan tanpa undangan.
"Pasti ada kesalahan. Tolong cek kembali." Jeremy masih yakin tidak ada nama bosnya adalah kesalahan.
"Tidak apa-apa. Kurasa Theodorus lupa menambahkan nama" Hansa berkata. Dia melirik jamnya dan menatap tepat ke mata resepsionis. "Pernikahannya hampir dimulai. Bolehkah saya masuk?"
"Y-ya silahkan." Resepsionis itu menjawab. Setelah dipikir-pikir tidak mungkin orang se penting Hansa datang ke pernikahan tanpa diundang. Pasti ada kesalahan cetak di list tamu.
Pernikahannya sudah dimulai. Setidaknya alunan musik sudah terdengar ketika mereka tiba dan duduk di bangku terakhir yang tersedia. Tamu di sekitar mereka yang menyadari profil bosnya langsung menyalami dan bosnya seperti biasa hanya mengangguk ringan, hampir tak kentara sebagai balasan.
Pengantin wanita bersama ayahnya berjalan menuju ujung altar dimana calon suaminya menunggunya. Jalannya pernikahan ini tampak normal. Ini pertama kalinya Jeremy melihat artis itu secara langsung setelah hanya melihatnya di beberapa film yang ia tonton, dia tampak cantik dengan gaun pengantinnya.
Ketika ia mulai bosan, drama sesungguhnya terjadi. Jeremy ternganga ketika melihat adegan yang ia kira hanya terjadi di drama sekarang terjadi tepat didepannya. Real, tanpa dibuat-buat. Ia melirik bosnya untuk mengetahui reaksinya dan... Tunggu? Kenapa bosnya tersenyum?
Dan tibalah bagian klimaksnya.
"Siapapun pria layak yang berani maju kedepan mendatangiku. Aku akan menikahinya sekarang juga!"
Seluruh ruangan hening selepas putusan itu diucapkan dari bibir si pengantin wanita.
Senyum Hansa berubah menjadi sunggingan seringai. Dia masih duduk di kursinya. Belum, belum saatnya. Dia hanya ingin menghadiri pernikahan dengan damai dan inilah yang dia dapatkan, melebihi prakiraannya.
Menarik, batinnya.
"Jeremy, kuberikan kamu waktu sepuluh menit untuk mengurus dokumen yang dibutuhkan." Katanya.
"A-ap?"
Sebelum Jeremy sempat bertanya lebih lanjut, bosnya telah berdiri dan jelas-jelas tengah berjalan ke depan.
Wajah Jeremy pias. Dia panik di tempat dan ingin seseorang untuk menyadarkannya. Ini pasti halusinasi, pikirnya. Tidak mungkin bosnya benar-benar akan menikahi pengantin wanita didepan. Sebanyak kecantikan Rhea dan kelebihannya, reputasi wanita itu telah menyebar dari Aceh hingga Papua. Tidak, bosnya terlalu mulia untuk menikahi selebritas.
Tapi disinilah dia, melihat dengan mata kepalanya sendiri. Melihat bosnya yang adalah pria paling diinginkan se indonesia tengah maju ke depan secara sukarela dalam rangka melamar pengantin wanita yang ditinggal pergi pasangannya tepat sebelum acara berlangsung.
"Saya Hansa Adiwinata, CEO grup Prisma, lajang, umur 32 tahun. Apakah saya bernilai dimata anda?"
Jeremy yakin bosnya sudah gila.
"…."Rhea berkedip, dengan tatapan menyelidik dia menatap pria didepannya ini.Tampan. Itu kata pertama yang terlintas di benaknya. Kata kedua adalah uang. Menjadi artis membuatnya melek terhadap produk produk fashion dan segala ke eksklusivitasnya. Pria ini, dari atas dan bawah memancarkan uang, banyak uang. Jenis laki-laki yang memiliki keduanya bisa dipastikan tidak pernah kekurangan wanita, hal terakhir yang Rhea inginkan adalah keluar dari lubang buaya dan masuk ke mulut singa. Tapi dia tidak berada di situasi yang menguntungkan. Dia akan menikahi pria ini.Sudut mulutnya tersungging untuk membentuk senyuman. "Anda bernilai dimata saya, Hansa.""Jadi sekarang?"Hal lain dari Hansa yang disukai Rhea adalah suaranya. Suaranya dalam dan tenang.Rhea melirik ke arah orangtuanya. Mereka memolototinya, bukan- mereka memolototi Hansa.Yah, satu-satunya pria yang berani mendatanginya bukan ora
Mereka tidak pergi ke luar pulau atau ke luar negeri. Sebenarnya mereka memutuskan untuk menyewa kamar premium selama dua malam di hotel Lamia itu sendiri. Alasannya, Hansa punya pertemuan penting yang akan dilaksanakan besok dan sejujurnya Rhea tidak peduli.Bulan madu hanya untuk pernikahan asli yang penuh bunga-bunga cinta. Sedangkan pernikahannya? Rhea tersenyum miris. Hal paling utama yang ia butuhkan adalah tidur dan tidur. Sehingga ketika mereka telah tiba di kamar berdekorasi mawar, Rhea tidak peduli untuk sekedar mengaguminya sejenak dan langsung membuang tatanan kelopak mawar yang membentuk huruf cinta di kasurnya ke lantai dan segera menelungkupkan diri di ranjang yang empuk.Tidur.Rhea mendengar sayu-sayup suara air gemericik, tanda bahwa Hansa tengah mandi. Itu berhasil membuatnya setengah terjaga dan memutuskan bahwa mandi dan berganti menjadi piyama serta menghapus rias wajah adalah pilihan terbaik sebelum tidur.Jadi dia menunggu. S
Sinar pagi berhasil menembus masuk melalui sela-sela gorden putih kamar suit nomor 607 di lantai lima. Rhea mengerjap-erjapkan matanya untuk menyesuaikan keadaan. Selain sensitif terhadap suara, dia juga sensitif terhadap sinar matahari. Suara hembusan nafas dibelakangnya membuat ia seketika menoleh ke sisi lain dan tersentak ketika melihat pemandangan disampingnya. Rupanya gerakannya membuat pria itu terbangun. Dia membuka mata dan langsung berada dibawah tatapan tajam. "Kenapa kamu disini?" Rhea bertanya dalam nada defensif. "Bukankah seharusnya aku memang berada disini?" Hansa membalas. Dia bangkit dari tempat tidurnya, membiarkan daging tubuh bagian atasnya terekspos, dia hanya memakai boxer. Sama seperti sebelumnya, Rhea mengawasi Hansa dengan tatapan tajamnya. Dia akan membuat laki-laki itu tidak nyaman berada disini sehingga dia akan menyewa kamar lain nanti malam. Ini adalah perang dingin yang ia coba untuk menangkan. Dia akan membuat
Kevin adalah bencana nomor satu.Rhea tidak mengerti kenapa orang tua dan adiknya menganggap dia imut. Oke, dia memang imut, tetapi itu sebelum dia memulai mengeluarkan kata-kata puitisnya yang berdarah di setiap langkah yang Rhea buat. Jujur saja, pemujaan yang berlebihan membuat Rhea terkadang bertanya-tanya sendiri sisi mana dari dirinya yang berhasil membuat pria itu tergila-gila padanya. Serius, pasti ada semacam neuron yang error di otaknya."Ya Kevin?" Rhea memanggil ketika tidak ada suara yang terdengar."Harusnya aku yang ada disana." Kevin membalas dengan nada serak. Tidak memungkiri dia habis menangis ketika melihat berita dari resor yang ia sewa.Rhea tidak membalas. Ia sedikit memiliki simpati untuk Kevin. Dia terdengar sangat nelangsa di telepon. Sebanyak kejengkelannya terhadap pro player itu, memiliki Kevin sebagai suami lebih bagus dibanding Hansa. Setidaknya dia mengenal Kevin dan Kevin sangat mencintainya. Seperti yang kata-kata b
"Apa?!" Rhea berkacak pinggang dan menatap Hansa dengan pandangan melotot, meminta penjelasan."Kita tidak akan bercerai." Jelas Hansa dalam nada kalemnya yang biasa.Jawaban Hansa yang terlihat tenang dan santai semakin mengobarkan amarah artis itu. "Ha?!" Ia berkelakar. "Sangat lucu Hansa Adiwinata. Sangat lucu." Dia mengejek.Dia yakin laki-laki itu hanya membual dan mempermainkannya.Bedebah brengsek!"Aku tidak bercanda, istriku sayang." Hansa bersedekap dada dan memandang Rhea dengan pandangan geli."Jangan memanggilku seperti itu." Perintah Rhea."Tapi kamu memang istriku." Hansa menggodanya. Dia tidak tahan untuk itu. Dia ingin sekali memeluknya tetapi Hansa yakin jika dia melakukannya ia hanya akan mendapat tendangan mentah."Hansa!" Tangan Rhea menggebrak meja. Mengesampingkan rasa berdenyut sakit di telapak tangannya, dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya secara pelan-pelan, menco
Ini adalah situasi yang canggung. Rhea ingin merutuki kebodohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar mandi. Bukan, dia menyalahkan makanan pedas yang tadi malam ia makan. Bukan, ia lebih suka menyalahkan Hansa. Ya, dia lah yang bersalah dalam menciptakan adegan yang penuh kecanggungan ini. Mereka saling berpandangan. Wajah panik Rhea dan wajah kebingungan Hansa yang masih tidak mengerti keadaan. "Mesum!" Ia menyalak. Hansa segera tersadar dan sebelum botol sampo itu mendarat ke kepalanya, dia menutup kembali pintu kamar mandi secepat tangannya bisa. Pipi Rhea memerah meski dia tidak mandi uap hari ini. Sial! Hari paginya yang sempurna harus dihancurkan oleh kejadian memalukan. Ia mendengar gumaman dari balik pintu. Rhea mengerang kesal. Tuhan! Kenapa laki-laki itu masih berdiri di depan kamar mandi? Hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu kamar mandi adalah sosok Hansa yang berdiri didepannya. Tunggu, kenapa pipinya
Ibunya meninggalkannya sendirian. Rhea menyukai sifatnya yang penuh perhatian, tahu bahwa dia butuh waktu sendiri di kamarnya, tempat yang pernah menjadi tempat dia menghabiskan sebagian besar waktu di masa anak-anak hinggga remaja.Dia melihat-lihat sekelilingnya dan tatapannya berakhir di meja belajarnya. Kamarnya tidak berubah, bahkan letak penempatan deretan pulpennya yang ia atur sesuai warna tetap berbaris rapi di raknya.Rhea menyunggingkan senyum dan duduk di kursi belajarnya. Tidak ada debu yang melapisi furnitur telah memberikan jawaban bahwa kamarnya telah rutin dibersihkan secara berkala. Ia menyenderkan kepalanya ke alas meja, merasakan nostalgia.Rhea remaja selalu berteman dengan meja belajarnya. Tidak mengenal waktu dalam belajar dan menggambar hingga tangannya pegal dan sempat kram. Ia juga membaca naskah-naskah perannya di awal karirnya disini. Mengingat semua itu membuatnya menyesalkan diri karena dia jarang pulang ke rumah, pulang ke ka
"Sudah sampai." Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang. Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya. Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan. "Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut. Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lemb