Share

Pagi Yang Nyata

Penulis: Millanova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-26 01:00:54

Sinar matahari pagi menyusup dari celah tirai, jatuh tepat di wajah Ivan. Ia menggeliat pelan, terbangun dari tidur nyenyaknya. Hal pertama yang ia lakukan adalah meraba tempat tidur di sampingnya. Tidak ada kehampaan seperti pagi kemarin. Tangannya menyentuh kehangatan, merasakan helai rambut yang lembut, dan sebuah napas teratur yang menenangkan.

Ivan membuka matanya. Di sebelahnya, Agnia terlelap dengan damai. Gaun putih yang dikenakannya terlihat sedikit kusut, dan senyum tipis masih terukir di wajahnya. Ivan mengamati setiap detail, dari bulu matanya yang lentik hingga bibir yang sedikit terbuka. Ini nyata. Bukan mimpi.

Ia mencondongkan tubuh, mencium kening Agnia dengan lembut. Agnia sedikit menggeliat, namun tidak terbangun. Ivan mengecupnya lagi, kali ini sedikit lebih lama, menikmati momen ketenangan ini.

“Selamat pagi,” bisik Ivan, suaranya serak karena baru bangun. “Selamat pagi, cintaku.”

Agnia mengerjapkan matanya perlahan. Senyumnya langsung merekah saat melihat wajah Ivan. “Selamat pagi,” balasnya, suaranya lembut seperti melodi. Ia mengangkat tangannya, mengelus pipi Ivan. “Ini nyata, bukan?”

“Sangat nyata,” jawab Ivan, mencium telapak tangan Agnia. “Aku sempat berpikir kau akan menghilang lagi. Kau tidak tahu betapa kacau pikiranku kemarin.”

Agnia tertawa kecil. “Aku tahu. Aku melihatmu dari jauh.”

“Kau sungguh melihatku?” Ivan terkejut.

“Ya,” Agnia mengangguk. “Aku melihatmu di taman. Aku ingin menghampirimu, tapi aku harus menyelesaikan urusanku. Aku ingin kembali sebagai Agnia yang utuh, bukan lagi wanita yang rapuh dan ketakutan. Aku ingin kembali padamu dengan keberanian.”

Ivan memeluk Agnia dengan erat. “Kau sudah lebih dari itu. Kau adalah wanita paling berani yang pernah kutemui.”

“Dan kau adalah pria yang selama ini selalu kuimpikan,” balas Agnia, membenamkan wajahnya di dada Ivan.

Ivan melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap Agnia, senyumnya begitu tulus hingga matanya ikut tersenyum. Agnia membalas tatapan itu, hatinya dipenuhi rasa nyaman dan aman. Setelah semua kekacauan yang ia alami, akhirnya ia menemukan tempat yang terasa seperti rumah.

“Kau pasti lapar,” ucap Ivan lembut, mengusap pipi Agnia. “Aku akan membuatkan sarapan.”

Agnia menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu repot-repot, Ivan.”

“Tidak repot sama sekali,” bantah Ivan. Ia beranjak dari tempat tidur, mengenakan celana tidur. “Kau tamu pertamaku yang menginap, dan aku ingin menjadi tuan rumah yang baik.”

“Sejak kapan aku jadi tamu?” Agnia menggoda, menarik selimut hingga menutupi dagunya. “Aku sudah kembali. Aku bukan lagi tamu.”

Ivan tertawa pelan. “Benar. Kalau begitu, izinkan aku membuatkan sarapan untuk ‘wanita di dalam novelku’.”

Agnia tertawa, tawa yang lepas dan penuh kebahagiaan. “Apa yang akan kau masak, Tuan Penulis?”

“Bagaimana kalau... pancake?” tawar Ivan. Ia melangkah menuju dapur, namun pandangannya terus tertuju pada Agnia. “Aku punya tepung, telur, dan madu. Aku juga punya sirup maple.”

Agnia tersenyum lebar. “Pancake terdengar sempurna. Apakah kau juga akan membuat kopi? Aku sangat butuh kopi.”

“Tentu,” jawab Ivan, kini meraih bubuk kopi dari lemari. “Pagi yang sempurna tidak akan lengkap tanpa kopi, bukan?”

“Tidak,” balas Agnia, suaranya dipenuhi rasa lega. “Tapi, kau tahu apa yang membuat ini benar-benar sempurna?”

Ivan memiringkan kepalanya, menunggu.

“Kau ada di sini, bersamaku,” jawab Agnia. “Dan aku tahu kau tidak akan menghilang saat aku terbangun nanti.”

Ivan menghentikan langkahnya, menatap Agnia. Matanya dipenuhi emosi. “Tidak akan pernah, Agnia. Aku tidak akan pernah menghilang.”

Agnia tersenyum, senyum yang begitu indah hingga membuat Ivan terpaku. Ia membenamkan dirinya lebih dalam di selimut, merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pagi itu, di dalam kamar yang sunyi, kebahagiaan terasa begitu nyata, tercium dari aroma kopi dan janji yang terucap di antara tawa.

“Sayang, bagaimana jika setelah sarapan kita pergi ke taman menikmati pagi ini?” ucap Ivan.

“Boleh. Aku rasa ide yang bagus,” balas Agnia.

Di taman, “Ini terasa seperti mimpi,” bisik Agnia, menatap Ivan dengan mata berbinar. “Aku tidak pernah membayangkan akan bangun di pagi hari yang seindah ini.”

Ivan tersenyum. “Aku juga. Kemarin, aku pikir kau benar-benar menghilang. Aku bahkan pergi ke taman ini, berharap bisa menemukanmu.”

“Aku melihatmu,” kata Agnia, tawa kecilnya terdengar merdu. “Aku melihatmu berjalan dengan anjingmu. Aku ingin memanggilmu, tapi aku takut kau akan berpikir aku gila. Lagipula, aku harus menyelesaikan urusanku dulu.”

“Aku bersyukur kau kembali,” Ivan mengucap, menggenggam tangan Agnia lebih erat. “Aku rasa aku tidak akan bisa melanjutkan ceritaku tanpamu. Kau adalah karakter utamanya, Agnia.”

“Jadi, aku akan selamanya ada di dalam novelmu?” tanya Agnia, tersenyum jahil.

“Tidak,” jawab Ivan, menatapnya dengan serius. “Kau bukan hanya ada di dalam novelku. Kau ada di dalam hidupku. Novel itu hanya... cerminan dari apa yang terjadi di antara kita. Aku tidak lagi menulis fiksi, Agnia. Aku menulis kisah nyata.”

Mereka tiba di taman. Anak-anak bermain di ayunan, pasangan-pasangan duduk di bangku. Semuanya terlihat begitu hidup, begitu nyata. Agnia memandang sekeliling, matanya dipenuhi rasa takjub. “Semuanya terlihat begitu berbeda. Dulu, aku tidak pernah bisa menikmati hal-hal seperti ini. Hidupku hanyalah satu lingkaran yang membosankan.”

“Semua itu sudah berakhir,” ucap Ivan, menatap Agnia. “Kau kini bebas. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau. Apa yang ingin kau lakukan?”

Agnia berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. “Aku ingin berjalan denganmu. Sepanjang hari, sepanjang malam. Aku ingin kita melakukan hal-hal yang tidak pernah bisa aku lakukan sebelumnya. Kita akan menulis kisah baru kita sendiri.”

Ivan dan Agnia berjalan beriringan di antara pepohonan rindang. Tawa dan senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Ivan merasa seperti ia telah menemukan potongan puzzle yang hilang dalam hidupnya.

Di tengah obrolan mereka yang asyik, dua anak kecil berlari melintas di samping mereka. Tiba-tiba, kedua anak itu tertawa kencang, menunjuk ke arah Ivan. Ivan merasa aneh. Ia menoleh ke belakang, ke arah Agnia, lalu kembali ke arah anak-anak itu. Mereka sudah jauh, tetapi tawa mereka masih terdengar.

“Kenapa mereka tertawa saat melihatku?” tanya Ivan, dahi berkerut.

Agnia memandang Ivan, lalu tersenyum tipis. “Mereka cuma anak-anak, Ivan. Anak-anak memang kadang aneh.”

“Tapi... mereka tertawa kencang sekali. Aku tidak melakukan apa-apa,” gumam Ivan, merasa sedikit tidak nyaman.

“Mungkin mereka sedang bermain, dan tawa itu tidak ada hubungannya denganmu,” jawab Agnia santai, mengusap lengan Ivan. “Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo kita terus berjalan. Aku ingin melihat danau di ujung sana.”

Ivan dan Agnia berjalan hingga sampai di tepi danau yang tenang. Permukaan airnya memantulkan birunya langit dan hijaunya pepohonan. Di tengah danau, sepasang angsa berenang beriringan, lalu saling mendekat, kepala mereka beradu membentuk simbol hati.

Ivan menghentikan langkahnya, menatap pemandangan indah itu. Hatinya dipenuhi kebahagiaan yang meluap. Ia menoleh ke arah Agnia, menggenggam tangannya dengan erat.

“Lihat itu, Agnia,” bisik Ivan, suaranya dipenuhi haru. “Mereka… mereka membentuk hati. Apakah itu tanda? Apakah itu berarti kita akan selamanya bersama, seperti mereka?”

Agnia membalas tatapan Ivan, senyumnya lembut dan tulus. “Tentu saja. Kita akan selamanya bersama.” Ia mengusap pipi Ivan dengan ibu jarinya. “Ivan, cinta itu bukan seperti angsa di danau yang kebetulan membentuk simbol hati. Cinta itu butuh perjuangan, butuh pengorbanan, dan butuh keyakinan. Malam itu, aku berlari, dan kau menjadi bentengku. Kau tidak tahu siapa aku, tapi kau melindungiku. Kau percaya padaku.”

“Kau memberiku keberanian untuk menghadapi hidupku. Kau adalah pria yang kuimpikan. Dan aku… aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kita tidak akan pernah berpisah, Ivan. Kita akan menjadi selamanya.”

Agnia mengakhiri ucapannya, memeluk Ivan dengan erat. "Aku berharap cinta kita akan selamanya sayang" bisik Ivan.

Agnia memeluk Ivan, senyumnya masih merekah.

“Ivan,” ucap Agnia, suaranya lembut namun penuh arti. “Bisakah kita kembali ke rumah sekarang?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Agnia dan Cermin Pecah   Buku gambar

    Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hubungan baru

    Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,

  • Agnia dan Cermin Pecah   Benar benar hilang

    Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hilang

    Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib

  • Agnia dan Cermin Pecah   Cermin yang Retak

    Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany

  • Agnia dan Cermin Pecah   Kenangan dan kenyataan

    “Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status