LOGINSinar matahari pagi menyusup dari celah tirai, jatuh tepat di wajah Ivan. Ia menggeliat pelan, terbangun dari tidur nyenyaknya. Hal pertama yang ia lakukan adalah meraba tempat tidur di sampingnya. Tidak ada kehampaan seperti pagi kemarin. Tangannya menyentuh kehangatan, merasakan helai rambut yang lembut, dan sebuah napas teratur yang menenangkan.
Ivan membuka matanya. Di sebelahnya, Agnia terlelap dengan damai. Gaun putih yang dikenakannya terlihat sedikit kusut, dan senyum tipis masih terukir di wajahnya. Ivan mengamati setiap detail, dari bulu matanya yang lentik hingga bibir yang sedikit terbuka. Ini nyata. Bukan mimpi.
Ia mencondongkan tubuh, mencium kening Agnia dengan lembut. Agnia sedikit menggeliat, namun tidak terbangun. Ivan mengecupnya lagi, kali ini sedikit lebih lama, menikmati momen ketenangan ini.
“Selamat pagi,” bisik Ivan, suaranya serak karena baru bangun. “Selamat pagi, cintaku.”
Agnia mengerjapkan matanya perlahan. Senyumnya langsung merekah saat melihat wajah Ivan. “Selamat pagi,” balasnya, suaranya lembut seperti melodi. Ia mengangkat tangannya, mengelus pipi Ivan. “Ini nyata, bukan?”
“Sangat nyata,” jawab Ivan, mencium telapak tangan Agnia. “Aku sempat berpikir kau akan menghilang lagi. Kau tidak tahu betapa kacau pikiranku kemarin.”
Agnia tertawa kecil. “Aku tahu. Aku melihatmu dari jauh.”
“Kau sungguh melihatku?” Ivan terkejut.
“Ya,” Agnia mengangguk. “Aku melihatmu di taman. Aku ingin menghampirimu, tapi aku harus menyelesaikan urusanku. Aku ingin kembali sebagai Agnia yang utuh, bukan lagi wanita yang rapuh dan ketakutan. Aku ingin kembali padamu dengan keberanian.”
Ivan memeluk Agnia dengan erat. “Kau sudah lebih dari itu. Kau adalah wanita paling berani yang pernah kutemui.”
“Dan kau adalah pria yang selama ini selalu kuimpikan,” balas Agnia, membenamkan wajahnya di dada Ivan.
Ivan melepaskan pelukannya perlahan. Ia menatap Agnia, senyumnya begitu tulus hingga matanya ikut tersenyum. Agnia membalas tatapan itu, hatinya dipenuhi rasa nyaman dan aman. Setelah semua kekacauan yang ia alami, akhirnya ia menemukan tempat yang terasa seperti rumah.
“Kau pasti lapar,” ucap Ivan lembut, mengusap pipi Agnia. “Aku akan membuatkan sarapan.”
Agnia menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu repot-repot, Ivan.”
“Tidak repot sama sekali,” bantah Ivan. Ia beranjak dari tempat tidur, mengenakan celana tidur. “Kau tamu pertamaku yang menginap, dan aku ingin menjadi tuan rumah yang baik.”
“Sejak kapan aku jadi tamu?” Agnia menggoda, menarik selimut hingga menutupi dagunya. “Aku sudah kembali. Aku bukan lagi tamu.”
Ivan tertawa pelan. “Benar. Kalau begitu, izinkan aku membuatkan sarapan untuk ‘wanita di dalam novelku’.”
Agnia tertawa, tawa yang lepas dan penuh kebahagiaan. “Apa yang akan kau masak, Tuan Penulis?”
“Bagaimana kalau... pancake?” tawar Ivan. Ia melangkah menuju dapur, namun pandangannya terus tertuju pada Agnia. “Aku punya tepung, telur, dan madu. Aku juga punya sirup maple.”
Agnia tersenyum lebar. “Pancake terdengar sempurna. Apakah kau juga akan membuat kopi? Aku sangat butuh kopi.”
“Tentu,” jawab Ivan, kini meraih bubuk kopi dari lemari. “Pagi yang sempurna tidak akan lengkap tanpa kopi, bukan?”
“Tidak,” balas Agnia, suaranya dipenuhi rasa lega. “Tapi, kau tahu apa yang membuat ini benar-benar sempurna?”
Ivan memiringkan kepalanya, menunggu.
“Kau ada di sini, bersamaku,” jawab Agnia. “Dan aku tahu kau tidak akan menghilang saat aku terbangun nanti.”
Ivan menghentikan langkahnya, menatap Agnia. Matanya dipenuhi emosi. “Tidak akan pernah, Agnia. Aku tidak akan pernah menghilang.”
Agnia tersenyum, senyum yang begitu indah hingga membuat Ivan terpaku. Ia membenamkan dirinya lebih dalam di selimut, merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pagi itu, di dalam kamar yang sunyi, kebahagiaan terasa begitu nyata, tercium dari aroma kopi dan janji yang terucap di antara tawa.
“Sayang, bagaimana jika setelah sarapan kita pergi ke taman menikmati pagi ini?” ucap Ivan.
“Boleh. Aku rasa ide yang bagus,” balas Agnia.
Di taman, “Ini terasa seperti mimpi,” bisik Agnia, menatap Ivan dengan mata berbinar. “Aku tidak pernah membayangkan akan bangun di pagi hari yang seindah ini.”
Ivan tersenyum. “Aku juga. Kemarin, aku pikir kau benar-benar menghilang. Aku bahkan pergi ke taman ini, berharap bisa menemukanmu.”
“Aku melihatmu,” kata Agnia, tawa kecilnya terdengar merdu. “Aku melihatmu berjalan dengan anjingmu. Aku ingin memanggilmu, tapi aku takut kau akan berpikir aku gila. Lagipula, aku harus menyelesaikan urusanku dulu.”
“Aku bersyukur kau kembali,” Ivan mengucap, menggenggam tangan Agnia lebih erat. “Aku rasa aku tidak akan bisa melanjutkan ceritaku tanpamu. Kau adalah karakter utamanya, Agnia.”
“Jadi, aku akan selamanya ada di dalam novelmu?” tanya Agnia, tersenyum jahil.
“Tidak,” jawab Ivan, menatapnya dengan serius. “Kau bukan hanya ada di dalam novelku. Kau ada di dalam hidupku. Novel itu hanya... cerminan dari apa yang terjadi di antara kita. Aku tidak lagi menulis fiksi, Agnia. Aku menulis kisah nyata.”
Mereka tiba di taman. Anak-anak bermain di ayunan, pasangan-pasangan duduk di bangku. Semuanya terlihat begitu hidup, begitu nyata. Agnia memandang sekeliling, matanya dipenuhi rasa takjub. “Semuanya terlihat begitu berbeda. Dulu, aku tidak pernah bisa menikmati hal-hal seperti ini. Hidupku hanyalah satu lingkaran yang membosankan.”
“Semua itu sudah berakhir,” ucap Ivan, menatap Agnia. “Kau kini bebas. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau. Apa yang ingin kau lakukan?”
Agnia berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. “Aku ingin berjalan denganmu. Sepanjang hari, sepanjang malam. Aku ingin kita melakukan hal-hal yang tidak pernah bisa aku lakukan sebelumnya. Kita akan menulis kisah baru kita sendiri.”
Ivan dan Agnia berjalan beriringan di antara pepohonan rindang. Tawa dan senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Ivan merasa seperti ia telah menemukan potongan puzzle yang hilang dalam hidupnya.
Di tengah obrolan mereka yang asyik, dua anak kecil berlari melintas di samping mereka. Tiba-tiba, kedua anak itu tertawa kencang, menunjuk ke arah Ivan. Ivan merasa aneh. Ia menoleh ke belakang, ke arah Agnia, lalu kembali ke arah anak-anak itu. Mereka sudah jauh, tetapi tawa mereka masih terdengar.
“Kenapa mereka tertawa saat melihatku?” tanya Ivan, dahi berkerut.
Agnia memandang Ivan, lalu tersenyum tipis. “Mereka cuma anak-anak, Ivan. Anak-anak memang kadang aneh.”
“Tapi... mereka tertawa kencang sekali. Aku tidak melakukan apa-apa,” gumam Ivan, merasa sedikit tidak nyaman.
“Mungkin mereka sedang bermain, dan tawa itu tidak ada hubungannya denganmu,” jawab Agnia santai, mengusap lengan Ivan. “Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo kita terus berjalan. Aku ingin melihat danau di ujung sana.”
Ivan dan Agnia berjalan hingga sampai di tepi danau yang tenang. Permukaan airnya memantulkan birunya langit dan hijaunya pepohonan. Di tengah danau, sepasang angsa berenang beriringan, lalu saling mendekat, kepala mereka beradu membentuk simbol hati.
Ivan menghentikan langkahnya, menatap pemandangan indah itu. Hatinya dipenuhi kebahagiaan yang meluap. Ia menoleh ke arah Agnia, menggenggam tangannya dengan erat.
“Lihat itu, Agnia,” bisik Ivan, suaranya dipenuhi haru. “Mereka… mereka membentuk hati. Apakah itu tanda? Apakah itu berarti kita akan selamanya bersama, seperti mereka?”
Agnia membalas tatapan Ivan, senyumnya lembut dan tulus. “Tentu saja. Kita akan selamanya bersama.” Ia mengusap pipi Ivan dengan ibu jarinya. “Ivan, cinta itu bukan seperti angsa di danau yang kebetulan membentuk simbol hati. Cinta itu butuh perjuangan, butuh pengorbanan, dan butuh keyakinan. Malam itu, aku berlari, dan kau menjadi bentengku. Kau tidak tahu siapa aku, tapi kau melindungiku. Kau percaya padaku.”
“Kau memberiku keberanian untuk menghadapi hidupku. Kau adalah pria yang kuimpikan. Dan aku… aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kita tidak akan pernah berpisah, Ivan. Kita akan menjadi selamanya.”
Agnia mengakhiri ucapannya, memeluk Ivan dengan erat. "Aku berharap cinta kita akan selamanya sayang" bisik Ivan.
Agnia memeluk Ivan, senyumnya masih merekah.
“Ivan,” ucap Agnia, suaranya lembut namun penuh arti. “Bisakah kita kembali ke rumah sekarang?”
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







