Share

Dia kembali

Author: Millanova
last update Huling Na-update: 2025-08-25 01:00:03

Keheningan kembali menyelimuti rumah. Ivan kembali duduk di sofa, membiarkan pikirannya mengembara. Ia membuka laptopnya kembali, meletakkan pita merah di samping keyboard. Malam itu, Agnia memberinya bukan hanya inspirasi, melainkan juga harapan.

Ivan menulis hingga sore menjelang, sampai rasa lelah akhirnya menguasai. Ivan pun tertidur di depan laptopnya. Tiba tiba ada kehangatan menyelimuti tubuh Ivan, menariknya keluar dari alam mimpi yang pekat. Bukan kehangatan dari selimut biasa, melainkan sentuhan yang terasa begitu familier. Ivan mengerjapkan matanya, berusaha melawan kantuk yang masih tersisa. Di tengah pandangan yang masih kabur, ia menangkap bayangan seseorang yang tersenyum padanya.

Seiring matanya yang perlahan fokus, bayangan itu berubah menjadi sosok yang begitu ia kenali. Senyum itu, mata itu, kecantikan itu… itu adalah Agnia. Agnia berdiri di samping sofa, menatapnya dengan senyum yang menenangkan. Tangannya memegang ujung selimut yang baru saja ia letakkan di tubuh Ivan.

"Agnia? Ini... ini benar-benar kau?" bisik Ivan, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.

Agnia tertawa pelan, tawanya merdu seperti melodi yang hilang. "Ya, Ivan. Ini aku. Aku kembali."

Rasa tak percaya itu berubah menjadi kelegaan yang luar biasa. Ivan langsung bangkit dari sofa dan memeluk Agnia dengan erat. Ia membenamkan wajahnya di bahu wanita itu, menghirup aroma yang sudah ia rindukan sepanjang hari. Pelukan itu adalah jawaban atas segala pertanyaan, penghapus segala kekhawatiran. Agnia benar-benar kembali.

"Jangan tinggalkan aku lagi," bisik Ivan, suaranya bergetar. Air mata kelegaan menetes, membasahi bahu Agnia. Selama seharian ia hidup dalam ketidakpastian antara fiksi dan kenyataan, dan kini Agnia ada di sini, di pelukannya.

Agnia hanya membalas pelukan Ivan, tangannya mengusap lembut rambutnya. Ivan melepaskan pelukan itu perlahan, menangkup wajah Agnia dengan kedua tangannya. Matanya masih berkaca-kaca, tetapi kini dipenuhi rasa ingin tahu. Ia melihat ada sedikit perubahan pada penampilan Agnia. Rambutnya terurai rapi dan ia mengenakan gaun putih sederhana, bukan lagi gaun merah yang basah semalam.

“Ke mana saja kau tadi?” tanya Ivan, suaranya masih serak. “Aku mencarimu. Kukira kau… menghilang.”

Agnia tersenyum lembut. “Aku tahu. Aku melihatmu di taman.” Ia mengusap pipi Ivan dengan ibu jarinya. “Maaf, Ivan. Aku tidak bisa tinggal. Aku harus memastikan semuanya baik-baik saja.”

“Apa maksudmu?” Ivan mengerutkan kening.

“Aku harus kembali ke acara itu,” jawab Agnia, matanya menatap Ivan dengan sorot penuh tekad. “Aku harus menghadapi mereka, memberitahu bahwa aku tidak akan pernah menikah dengan pria itu. Aku harus jujur pada diriku sendiri.”

“Setelah berhasil, aku tidak tahu harus ke mana,” lanjut Agnia, senyumnya semakin lebar. “Tetapi, ada sesuatu yang menarikku kembali ke sini, ke rumahmu. Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tetapi hatiku menyuruhku kembali padamu.”

Ivan bangkit dari sofa, beranjak selangkah lebih dekat ke Agnia. Ia memandangnya lekat-lekat, seolah ingin memastikan setiap detailnya. Gaun putih sederhana yang kini ia kenakan, rambutnya yang terurai rapi, dan senyum tulus yang tak pernah Ivan lihat sebelumnya. Semua itu membuat Agnia terlihat berbeda, tetapi di saat yang sama, terasa begitu nyata.

"Kau... kau benar-benar pergi ke sana?" tanya Ivan, takjub. "Dan kau berhasil?"

Agnia mengangguk. "Aku harus melakukannya. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan lagi. Aku tidak akan membiarkan orang lain mengendalikan hidupku."

Ivan tersenyum. Di hadapannya kini bukan lagi wanita yang rapuh dan ketakutan, melainkan seseorang yang kuat dan berani. Keberaniannya untuk menghadapi takdirnya sendiri membuat Ivan semakin mengaguminya.

"Kau sudah makan?" tanya Ivan, mengalihkan pembicaraan, tetapi matanya tak lepas dari wajah Agnia.

Agnia menggeleng. "Belum."

"Kalau begitu, mari kita makan. Aku akan memasak sesuatu untukmu," ajak Ivan sambil menggenggam tangan Agnia. "Dan setelah itu, kau harus menceritakan semuanya."

Ivan bergegas menuju dapur, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang luar biasa, tetapi juga rasa tidak percaya yang masih menyelimuti. Ia membuka lemari es, mengeluarkan bahan-bahan seadanya. Di antara kesibukannya, ia sesekali melirik ke ruang tamu.

Ivan kembali dari dapur, kedua tangannya memegang dua piring pasta yang mengepulkan asap harum. Ia meletakkannya di meja, di depan Agnia.

“Ayo, kita makan,” ajak Ivan, tersenyum lebar. “Aku harap kau suka pasta.”

Agnia membalas senyumnya, matanya berbinar. “Aku suka apa pun yang kau buat.”

Ivan mengambil tempat di hadapan Agnia. Ia menatapnya, merasa sangat bersyukur. “Agnia,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh makna. “Mari kita rayakan malam ini.”

Ia bangkit, berjalan menuju lemari kecil di sudut ruangan, dan mengambil sebotol anggur merah. “Ini wine yang kusimpan untuk momen spesial. Rasanya... ini adalah momen paling spesial dalam hidupku.”

Ivan menuangkan anggur ke dalam dua gelas. Ia menyodorkan salah satunya pada Agnia, dan mata mereka bertemu.

“Terima kasih, Ivan,” bisik Agnia. Ia menerima gelas itu, jari-jari mereka bersentuhan.

Ivan mengangkat gelasnya. “Untuk pertemuan kita yang tak terduga, untuk keberanianmu, dan untuk cinta yang tidak pernah kuduga akan kutemukan.”

“Untuk cinta kita,” timpal Agnia, suaranya bergetar.

Setelah makan malam yang terasa begitu istimewa, mereka membersihkan piring-piring bersama. Tawa dan percakapan ringan mengisi setiap sudut ruangan, membuat Ivan merasa bahwa Agnia adalah bagian yang telah hilang dari rumahnya. Setelah semua bersih, mereka kembali duduk di sofa. Agnia merebahkan diri dengan nyaman di samping Ivan, dan Ivan melingkarkan lengannya di bahu wanita itu.

“Sekarang… ceritakan padaku,” pinta Ivan, suaranya pelan dan serius. “Aku ingin tahu semuanya. Ke mana kau pergi? Apa yang terjadi setelah kau keluar dari sini?”

Agnia menghela napas panjang, menatap Ivan. Matanya yang jernih memancarkan campuran antara kelegaan dan keteguhan.

“Aku… aku kembali ke acara itu,” Agnia memulai. “Gaunku basah, rambutku berantakan. Saat aku masuk, semua orang menatapku seperti melihat hantu. Keluargaku panik, calon tunanganku terkejut.”

Ivan membiarkan Agnia melanjutkan. “Ayahku menarikku ke samping, bertanya apa yang terjadi. Dia marah. Dia bilang aku sudah mempermalukannya di depan semua orang penting. Dia mengancam akan menghukumku.”

Wajah Agnia terlihat sedih saat ia mengenang. “Selama ini, aku selalu takut pada Ayah. Aku selalu menuruti semua keinginannya. Tetapi, semalam… saat aku berada di sini bersamamu, saat kau memberitahuku tentang novelmu, tentang seorang pria yang melindungi wanita rapuh, aku merasa… aku tidak sendiri. Aku merasa ada seseorang yang mengerti kerapuhanku, dan itu membuatku kuat.”

Agnia menoleh, menatap Ivan dengan tulus. “Jadi, aku memberanikan diri. Aku bilang pada Ayah, aku tidak akan pernah menikah dengan pria itu. Aku bilang, aku tidak mencintainya. Dan aku bilang, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan hidupku lagi.”

“Apa yang terjadi setelah itu?” tanya Ivan penasaran.

“Ayahku sangat marah,” jawab Agnia. “Dia mengancam akan mencoretku dari warisan, bahkan mengusirku. Tetapi anehnya… aku tidak takut. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak takut. Aku tersenyum. Kukatakan padanya, itu tidak masalah. Aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.”

“Aku langsung pergi setelah itu,” Agnia melanjutkan. “Aku naik taksi. Aku tidak tahu harus ke mana. Tetapi, hatiku terus menarikku kembali. Aku melihat mobilmu, aku melihat rumahmu. Aku tahu aku harus kembali, Ivan. Aku harus kembali padamu, ke rumah ini, tempat aku menemukan keberanian untuk menjadi diriku sendiri.”

“Aku tahu ini gila,” bisik Agnia sambil memegang tangan Ivan. “Tetapi, kau… kau adalah kunci yang membuka penjara itu. Kau memberiku keberanian untuk lari dari takdir yang tidak kuinginkan. Dan kau… adalah alasan aku kembali.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Agnia dan Cermin Pecah   Dunia yang Menyempit

    itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k

  • Agnia dan Cermin Pecah   Terkunci Rapat

    Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele

  • Agnia dan Cermin Pecah   Langkah Pertama Menuju Bantuan

    Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat

  • Agnia dan Cermin Pecah   Pelukan Sang Ilusi

    Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan

  • Agnia dan Cermin Pecah   Konflik yang Meruncing

    Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju

  • Agnia dan Cermin Pecah   Retakan Halus

    Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status