Share

Fish and Chips

Penulis: Millanova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-27 01:00:41

Ivan sedikit terkejut, namun ia mengangguk. “Ada apa? Kau lelah?”

Agnia menggeleng, menggenggam tangan Ivan dengan erat. “Tidak. Aku hanya… ingin segera pulang. Aku ingin kita kembali ke rumah kita.”

Kata ‘kita’ yang terucap dari bibir Agnia membuat jantung Ivan berdebar kencang. Itu bukan hanya sebuah kata, melainkan sebuah janji.

“Aku ingin kita menulis cerita kita sendiri,” lanjut Agnia, menatap Ivan dengan tulus. “Tidak lagi di novel, tapi di rumahmu. Aku ingin kita membangun dunia kita sendiri, Ivan. Di mana hanya ada kita berdua.”

Ivan tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah menyangka, kata-kata yang ia tulis semalam akan menjadi kenyataan yang paling indah dalam hidupnya.

“Mari kita pulang,” bisik Ivan, mencium kening Agnia. “Mari kita pulang ke rumah.”

Sore itu, hujan kembali turun. Ivan dan Agnia sudah berada di rumah, menikmati kehangatan yang kontras dengan dinginnya rintik hujan di luar. Mereka duduk di sofa, Agnia menyandarkan kepalanya di bahu Ivan. Suara hujan yang jatuh ke jendela menjadi melodi yang menenangkan.

Setelah lama terdiam, Agnia mendongak, menatap mata Ivan. Senyum kecil terukir di bibirnya.

“Ivan,” ucapnya pelan, “Jika kau bisa menginginkan satu hal yang paling gila dariku, apa itu?”

Pertanyaan itu membuat Ivan terkejut. Ia berpikir sejenak, menimbang-nimbang setiap kata. Pertanyaan ini bukan tentang keinginan sesaat, melainkan tentang impian yang paling tersembunyi.

“Hal paling gila?” Ivan mengulang, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. “Aku… aku ingin kau tetap di sini. Selamanya. Tanpa batas waktu, tanpa syarat. Aku ingin kau menjadi bagian dari setiap bab di sisa hidupku.”

Agnia tertawa, tawanya terdengar seperti melodi. “Itu bukan hal yang gila, Ivan. Itu adalah hal yang sangat nyata.”

Ivan tersenyum, lalu menatap Agnia dengan pandangan serius. “Kalau begitu, aku ingin kau menikah denganku. Bukan dalam mimpi, bukan di novel, tapi di dunia nyata.”

“Tidak kah… kau ingin jika aku menjadi budakmu?” tanya Agnia lagi, suaranya lembut, namun matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Kau tidak harus membalasku. Kau bisa memiliki aku seutuhnya. Kau bisa menguasai aku. Tidakkah itu… hasrat terdalammu?”

Ivan menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab. Bagaimana mungkin Agnia tahu? Ia tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun. Ini adalah rahasia tergelapnya, sebuah fantasi yang ia anggap hanya akan ada di dalam imajinasinya. Ivan menatap Agnia, mencari kebohongan di matanya, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan yang menakutkan.

“Bagaimana… bagaimana kau bisa tahu?” bisik Ivan, suaranya nyaris tak terdengar. “Itu… itu hanya sebuah pikiran gila.”

Agnia menggeser tubuhnya lebih dekat, mengusap pipi Ivan dengan lembut. “Aku tahu. Aku bisa merasakannya. Saat kau menatapku, saat kau menawariku perlindungan, aku tahu kau ingin memiliki aku, bukan hanya sebagai kekasih, tapi lebih dari itu. Kau ingin aku menjadi milikmu, seutuhnya.”

“Ini gila, Agnia,” ucap Ivan, suaranya serak. “Aku tidak bisa… aku tidak mungkin….”

“Mengapa tidak?” tanya Agnia, senyumnya kini menghilang, digantikan oleh tatapan serius. “Kau pikir aku melarikan diri dari takdirku, hanya untuk kembali ke takdir yang lain? Kau salah. Aku tidak lari. Aku kembali. Aku memilihmu, Ivan. Aku ingin menjadi bagian dari duniamu, dan aku tahu, agar aku bisa benar-benar bebas, aku harus menyerahkan diriku seutuhnya padamu. Aku ingin menjadi wanitamu, budakmu, dan segala yang kau inginkan.”

“Agnia, kau… kau tidak tahu apa yang kau bicarakan,” ucap Ivan, suaranya dipenuhi kegelisahan. Ia melepaskan genggaman Agnia, melangkah mundur seolah-olah ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang berbahaya. “Ini… ini tidak benar. Aku tidak pernah menginginkan hal seperti itu.”

Agnia tidak bergerak. Ia hanya menatap Ivan, senyum penuh pengertian kembali ke wajahnya. “Aku tidak akan memaksamu, Ivan. Tapi jangan berbohong padaku. Jangan berbohong pada dirimu sendiri.”

“Aku… aku hanya ingin kau bahagia, Agnia,” bantah Ivan, suaranya meninggi. Ia mencoba meyakinkan Agnia, dan juga dirinya sendiri. “Aku ingin kau bebas. Itu tujuanku. Aku ingin kau memiliki hidupmu sendiri.”

“Aku sudah bebas, Ivan,” Agnia berucap, suaranya tenang dan tegas. “Dan pilihan bebasku adalah menjadi milikmu. Kau adalah orang pertama yang membuatku merasa aman. Kau tidak melihatku sebagai objek, kau melihat jiwaku. Dan di hadapanmu, aku tidak ingin menjadi siapa pun. Aku ingin menjadi Agnia, yang seutuhnya milikmu.”

Ivan menoleh, menatap ke arah jendela, di mana rintik hujan masih membasahi kaca. Pikirannya kacau. Di satu sisi, ia takut. Takut akan hasratnya sendiri, takut akan fantasi yang kini terasa begitu nyata di depan matanya. Ia tidak tahu apakah ia bisa menanggungnya, tidak tahu apakah ia pantas. Namun, di sisi lain, sebuah hasrat yang selama ini ia kubur dalam-dalam kini berteriak, memintanya untuk mengatakan ya. Ia ingin memiliki Agnia, bukan hanya sebagai kekasih, tetapi sebagai wanita yang menyerahkan hidupnya seutuhnya pada dirinya.

“Aku… aku tidak bisa, Agnia,” gumam Ivan, matanya terpejam. “Aku terlalu takut.”

“Ivan, dengarkan aku,” suara Agnia pelan, tapi tegas, membuat Ivan perlahan-lahan menoleh ke arahnya. “Aku tidak memintamu untuk menjawab sekarang. Aku tidak memintamu untuk membuat keputusan sekarang juga.”

Agnia melangkah mendekat, memegang tangan Ivan yang gemetar. “Aku tahu kau takut. Aku tahu kau tidak bisa mempercayai apa yang terjadi. Aku tahu, apa yang kau rasakan adalah hal yang paling menakutkan, tetapi di sisi lain kau sangat menginginkannya.”

“Kau bisa menolaknya, Ivan. Kau bisa menolakku, tetapi satu hal yang perlu kau tahu, aku akan selalu menunggu jawaban ‘ya’ darimu. Selamanya.” Agnia melanjutkan, matanya menatap Ivan dalam-dalam.

“Aku tidak peduli butuh berapa lama, satu tahun, lima tahun, atau bahkan sepuluh tahun. Aku akan menunggumu. Aku akan menjadi bayangan yang selalu mengikutimu, sampai kau siap untuk menerima diriku seutuhnya. Sampai kau siap untuk mewujudkan fantasi tergelapmu.”

Agnia memegang tangan Ivan, lalu mengecupnya. “Aku di sini, Ivan. Aku tidak akan pergi lagi. Aku akan membantumu. Aku akan memelukmu, dan kau akan aman di sini. Di sini, kau tidak perlu menjadi siapa-siapa. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, Ivan. Kau adalah Ivan, dan aku adalah wanitamu.”

Agnia melepaskan tangan Ivan, memberikan ruang bagi Ivan untuk berpikir. Ivan masih terdiam, mencerna semua yang baru saja terjadi. Kegelisahan di hatinya belum sepenuhnya hilang, tetapi kata-kata Agnia "Aku akan selalu menunggu" memberikan ketenangan yang ia butuhkan.

“Aku… aku lapar,” kata Ivan, memecah keheningan. “Aku yakin kau juga. Bagaimana kalau kita makan malam di luar?”

Agnia tertawa kecil. “Kedengarannya menyenangkan. Aku sudah bosan dengan makanan di rumah. Tempat apa yang ada di dekat sini?”

“Ada restoran kecil di ujung jalan. Makanan di sana tidak terlalu mewah, tapi rasanya enak sekali,” jelas Ivan, bangkit dari sofa. “Ayo, kita pergi.”

Agnia mengangguk, ikut berdiri. Ia merapikan gaun putihnya. “Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana lagi padamu, Ivan. Kau… kau sangat baik padaku.”

“Kau tidak perlu berterima kasih,” balas Ivan. Ia menggenggam tangan Agnia, menuntunnya ke pintu. “Kau sudah memberiku inspirasi. Kau sudah memberiku sesuatu yang lebih berharga dari apa pun. Kau memberiku dirimu.”

Mereka berjalan keluar rumah. Rintik hujan sudah sepenuhnya berhenti. Aroma tanah basah dan dedaunan segar memenuhi udara. Lampu jalan mulai menyala, menerangi jalan setapak. Di bawah cahaya lampu yang temaram, Agnia dan Ivan berjalan beriringan, menuju restoran kecil di ujung jalan.

Mereka tiba di restoran cepat saji yang sederhana namun ramai. Lampu-lampu kuning hangat menerangi interior, menciptakan suasana nyaman. Aroma adonan pizza dan saus tomat memenuhi udara. Agnia dan Ivan memilih meja di sudut, dekat jendela.

“Kau suka shepherd’s pie atau fish and chips?” tanya Ivan, mengamati menu.

“Aku… tidak tahu,” jawab Agnia, tersenyum canggung. “Aku tidak pernah makan di tempat seperti ini.”

Ivan tersenyum lembut. “Kalau begitu, kita coba keduanya.”

Ivan memesan dua porsi lengkap: satu Shepherd’s Pie dan satu Fish and Chips. Sambil menunggu, mereka kembali tenggelam dalam percakapan. Tawa Agnia terdengar merdu, Ivan merasa seluruh dunianya kini berpusat pada wanita di hadapannya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan membawa pesanan mereka. Piring-piring besar berisi hidangan hangat itu diletakkan di atas meja.

“Pasti Anda sangat lapar, Tuan,” ucap pelayan itu, melihat porsi makanan yang besar.

“Ya, tentu saja,” jawab Ivan, matanya tak lepas dari Agnia. “Kami butuh energi untuk memulai hidup baru kami.”

Pelayan itu hanya tersenyum, lalu berbalik pergi. Di sana, di meja kecil yang sederhana, Ivan dan Agnia berbagi makanan, tawa, dan janji tentang masa depan yang akan mereka bangun bersama.

Selesai makan, Ivan membayar tagihan. Ia memperhatikan Agnia yang kini berdiri di dekat pintu, senyumnya cerah, tampak begitu nyaman dan bahagia di tengah keramaian.

"Kau terlihat sangat senang," ucap Ivan, menghampiri Agnia.

"Tentu saja," jawab Agnia, meraih tangan Ivan. "Ini pertama kalinya aku bisa makan malam dengan santai, tanpa tatapan mata menghakimi atau percakapan bisnis yang membosankan."

Di belakang mereka, seorang pelayan mulai membereskan meja bekas mereka. Ia melihat piring-piring yang masih menyisakan banyak makanan, lalu menggeleng pelan.

“Memang orang kayak gitu,” gumam pelayan itu, suaranya pelan dan sinis. “Makanan tidak dihabiskan, membuang-buang uang saja.”

Ivan dan Agnia tidak mendengar gumaman itu. Mereka terus berjalan, tenggelam dalam kebahagiaan mereka sendiri, seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua.

Mereka berjalan keluar dari restoran. Udara malam terasa segar, langit berbintang. Di bawah cahaya lampu jalan, Ivan merasa seolah-olah seluruh dunia adalah milik mereka berdua. Ia menghela napas panjang, sebuah napas kelegaan yang sudah lama ia simpan.

"Aku takut," bisik Agnia, suaranya sedikit bergetar.

Ivan menoleh, mengerutkan dahi. "Takut apa?"

Agnia memandang Ivan, matanya menatap dalam. "Takut jika ini hanyalah kebahagiaan sementara. Takut jika semua ini akan berakhir. Takut jika besok pagi... aku tidak akan terbangun di sampingmu."

"Itu tidak akan terjadi," jawab Ivan, meyakinkan. Ia memeluk Agnia, merasakan kehangatan tubuh wanita itu. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Tidak akan pernah."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Agnia dan Cermin Pecah   Buku gambar

    Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hubungan baru

    Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,

  • Agnia dan Cermin Pecah   Benar benar hilang

    Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hilang

    Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib

  • Agnia dan Cermin Pecah   Cermin yang Retak

    Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany

  • Agnia dan Cermin Pecah   Kenangan dan kenyataan

    “Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status