LOGINIvan sedikit terkejut, namun ia mengangguk. “Ada apa? Kau lelah?”
Agnia menggeleng, menggenggam tangan Ivan dengan erat. “Tidak. Aku hanya… ingin segera pulang. Aku ingin kita kembali ke rumah kita.”
Kata ‘kita’ yang terucap dari bibir Agnia membuat jantung Ivan berdebar kencang. Itu bukan hanya sebuah kata, melainkan sebuah janji.
“Aku ingin kita menulis cerita kita sendiri,” lanjut Agnia, menatap Ivan dengan tulus. “Tidak lagi di novel, tapi di rumahmu. Aku ingin kita membangun dunia kita sendiri, Ivan. Di mana hanya ada kita berdua.”
Ivan tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah menyangka, kata-kata yang ia tulis semalam akan menjadi kenyataan yang paling indah dalam hidupnya.
“Mari kita pulang,” bisik Ivan, mencium kening Agnia. “Mari kita pulang ke rumah.”
Sore itu, hujan kembali turun. Ivan dan Agnia sudah berada di rumah, menikmati kehangatan yang kontras dengan dinginnya rintik hujan di luar. Mereka duduk di sofa, Agnia menyandarkan kepalanya di bahu Ivan. Suara hujan yang jatuh ke jendela menjadi melodi yang menenangkan.
Setelah lama terdiam, Agnia mendongak, menatap mata Ivan. Senyum kecil terukir di bibirnya.
“Ivan,” ucapnya pelan, “Jika kau bisa menginginkan satu hal yang paling gila dariku, apa itu?”
Pertanyaan itu membuat Ivan terkejut. Ia berpikir sejenak, menimbang-nimbang setiap kata. Pertanyaan ini bukan tentang keinginan sesaat, melainkan tentang impian yang paling tersembunyi.
“Hal paling gila?” Ivan mengulang, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. “Aku… aku ingin kau tetap di sini. Selamanya. Tanpa batas waktu, tanpa syarat. Aku ingin kau menjadi bagian dari setiap bab di sisa hidupku.”
Agnia tertawa, tawanya terdengar seperti melodi. “Itu bukan hal yang gila, Ivan. Itu adalah hal yang sangat nyata.”
Ivan tersenyum, lalu menatap Agnia dengan pandangan serius. “Kalau begitu, aku ingin kau menikah denganku. Bukan dalam mimpi, bukan di novel, tapi di dunia nyata.”
“Tidak kah… kau ingin jika aku menjadi budakmu?” tanya Agnia lagi, suaranya lembut, namun matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Kau tidak harus membalasku. Kau bisa memiliki aku seutuhnya. Kau bisa menguasai aku. Tidakkah itu… hasrat terdalammu?”
Ivan menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab. Bagaimana mungkin Agnia tahu? Ia tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun. Ini adalah rahasia tergelapnya, sebuah fantasi yang ia anggap hanya akan ada di dalam imajinasinya. Ivan menatap Agnia, mencari kebohongan di matanya, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan yang menakutkan.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa tahu?” bisik Ivan, suaranya nyaris tak terdengar. “Itu… itu hanya sebuah pikiran gila.”
Agnia menggeser tubuhnya lebih dekat, mengusap pipi Ivan dengan lembut. “Aku tahu. Aku bisa merasakannya. Saat kau menatapku, saat kau menawariku perlindungan, aku tahu kau ingin memiliki aku, bukan hanya sebagai kekasih, tapi lebih dari itu. Kau ingin aku menjadi milikmu, seutuhnya.”
“Ini gila, Agnia,” ucap Ivan, suaranya serak. “Aku tidak bisa… aku tidak mungkin….”
“Mengapa tidak?” tanya Agnia, senyumnya kini menghilang, digantikan oleh tatapan serius. “Kau pikir aku melarikan diri dari takdirku, hanya untuk kembali ke takdir yang lain? Kau salah. Aku tidak lari. Aku kembali. Aku memilihmu, Ivan. Aku ingin menjadi bagian dari duniamu, dan aku tahu, agar aku bisa benar-benar bebas, aku harus menyerahkan diriku seutuhnya padamu. Aku ingin menjadi wanitamu, budakmu, dan segala yang kau inginkan.”
“Agnia, kau… kau tidak tahu apa yang kau bicarakan,” ucap Ivan, suaranya dipenuhi kegelisahan. Ia melepaskan genggaman Agnia, melangkah mundur seolah-olah ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang berbahaya. “Ini… ini tidak benar. Aku tidak pernah menginginkan hal seperti itu.”
Agnia tidak bergerak. Ia hanya menatap Ivan, senyum penuh pengertian kembali ke wajahnya. “Aku tidak akan memaksamu, Ivan. Tapi jangan berbohong padaku. Jangan berbohong pada dirimu sendiri.”
“Aku… aku hanya ingin kau bahagia, Agnia,” bantah Ivan, suaranya meninggi. Ia mencoba meyakinkan Agnia, dan juga dirinya sendiri. “Aku ingin kau bebas. Itu tujuanku. Aku ingin kau memiliki hidupmu sendiri.”
“Aku sudah bebas, Ivan,” Agnia berucap, suaranya tenang dan tegas. “Dan pilihan bebasku adalah menjadi milikmu. Kau adalah orang pertama yang membuatku merasa aman. Kau tidak melihatku sebagai objek, kau melihat jiwaku. Dan di hadapanmu, aku tidak ingin menjadi siapa pun. Aku ingin menjadi Agnia, yang seutuhnya milikmu.”
Ivan menoleh, menatap ke arah jendela, di mana rintik hujan masih membasahi kaca. Pikirannya kacau. Di satu sisi, ia takut. Takut akan hasratnya sendiri, takut akan fantasi yang kini terasa begitu nyata di depan matanya. Ia tidak tahu apakah ia bisa menanggungnya, tidak tahu apakah ia pantas. Namun, di sisi lain, sebuah hasrat yang selama ini ia kubur dalam-dalam kini berteriak, memintanya untuk mengatakan ya. Ia ingin memiliki Agnia, bukan hanya sebagai kekasih, tetapi sebagai wanita yang menyerahkan hidupnya seutuhnya pada dirinya.
“Aku… aku tidak bisa, Agnia,” gumam Ivan, matanya terpejam. “Aku terlalu takut.”
“Ivan, dengarkan aku,” suara Agnia pelan, tapi tegas, membuat Ivan perlahan-lahan menoleh ke arahnya. “Aku tidak memintamu untuk menjawab sekarang. Aku tidak memintamu untuk membuat keputusan sekarang juga.”
Agnia melangkah mendekat, memegang tangan Ivan yang gemetar. “Aku tahu kau takut. Aku tahu kau tidak bisa mempercayai apa yang terjadi. Aku tahu, apa yang kau rasakan adalah hal yang paling menakutkan, tetapi di sisi lain kau sangat menginginkannya.”
“Kau bisa menolaknya, Ivan. Kau bisa menolakku, tetapi satu hal yang perlu kau tahu, aku akan selalu menunggu jawaban ‘ya’ darimu. Selamanya.” Agnia melanjutkan, matanya menatap Ivan dalam-dalam.
“Aku tidak peduli butuh berapa lama, satu tahun, lima tahun, atau bahkan sepuluh tahun. Aku akan menunggumu. Aku akan menjadi bayangan yang selalu mengikutimu, sampai kau siap untuk menerima diriku seutuhnya. Sampai kau siap untuk mewujudkan fantasi tergelapmu.”
Agnia memegang tangan Ivan, lalu mengecupnya. “Aku di sini, Ivan. Aku tidak akan pergi lagi. Aku akan membantumu. Aku akan memelukmu, dan kau akan aman di sini. Di sini, kau tidak perlu menjadi siapa-siapa. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, Ivan. Kau adalah Ivan, dan aku adalah wanitamu.”
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







