"Bos, Sisca udah meninggal dunia."
"Kau yakin?" "Yakin Bos. Orang tuanya semaput ngeliat anaknya meninggal." "Cek mayatnya!" "Tapi Bos." "Cek mayatnya. Aku curiga pada Dokter mata empat itu. Dia sudah terlalu jauh ikut campur ke dalam urusanku. Sekarang kalian cek mayatnya di kamar mayat. Pastiin dia udah beneran mati." "Baik Bos." "Satu lagi, awasi Hengky! Jangan sampai dia bocorin apapun tentang kejadian malam itu. Buat dia bungkam. Kalau perlu, teror keluarganya agar dia ngga bisa berkutik! Paham?" "Baik Bos, kami paham. Kami akan menjalankan semua perintah Bos. Setelah selesai kami akan menginformasikannya pada Anda Bos." "Bagus, aku tunggu kabar baik dari kalian semua. Kerjakan dengan benar, jangan sampai terendus polisi!" Telepon diakhiri~ ***Di tempat yang jauh berbeda dari ketenangan vila_kediaman sementara Sisca.Saat ini Yuli sedang membesuk seseorang di lapas. Wajah yang biasanya terlihat arogan, seketika terlihat memelas ketika ia duduk berhadapan dengan pria bertubuh tinggi besar."Bang, aku butuh bantuanmu untuk mencari keberadaan Mas Anugrah.""Kau tidak melihat aku ada di dalam lapas, hah? Kalau ingin meminta bantuan, pakai otakmu!""Maaf Bang, tapi aku tahu Abang bisa membantu meskipun Abang ada di dalam lapas. Aku tahu power Abang.""Power apa? Kau salah menilai kemampuanku. Aku ini hanya napi biasa, sama seperti yang lain."Yuliana menghela napas panjang, menatap kakak laki-lakinya yang sudah puluhan tahun mendekam di dalam penjara.Selama ini ia tidak pernah datang menjenguk sang kakak karena malu, tetapi kali ini ia menyempatkan datang untuk meminta bantuan. "Aku benar-benar sedang kebingungan Bang. Ngga ada yang bisa bantu aku selain
Di sebuah vila mewah milik keluarga Bramanto, yang berada jauh dari pusat kota. Sisca disembunyikan di tempat aman itu dan dibawa ke kamar oleh Barta dan salah satu asisten rumah tangga. "Akhirnya Aden Dokter datang juga," ucap Bi Innah dengan senyuman senang. Wanita baya itu membantu Barta membaringkan tubuh Sisca ke atas tempat tidur. "Iya, Bi. Akhirnya kami bisa ke sini, meskipun perjalanan menuju ke vila ini ngga mudah," balas Barta. "Tinggalin Sisca di kamar. Biar Bi Innah yang ganti baju dia. Masa kamu mau juga bantuin dia ganti baju?" celetuk Bramanto. Pria baya yang tengah berdiri di ambang pintu itu, menyandarkan tubuhnya sambil menatap sang anak yang masih berada di dalam kamar. Barta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mendadak salah tingkah. "Iya ngga gitu juga Pa, aku 'kan cuma mau mastiin pasien aku aman." "Dia udah aman di sini. Udah cepet keluar
"Iya benar, anak kalian masih hidup dan sekarang dia sudah berada di tempat aman. Kalian jangan sedih lagi, ya," ucap dokter Gunawan menjelaskan.Agung dan Innaya terdiam mematung. Penjelasan dokter Gunawan tentang anaknya belum bisa diyakini oleh mereka.Namun saat mereka melihat peti mati yang kosong, mereka berdua saling tatap kemudian mulai percaya dengan ucapan dokter Gunawan.Untuk memastikannya lagi, mereka kembali bertanya pada Dokter yang ikut mengantar ke Bandung. Namun, jawaban Dokter Gunawan sama seperti tadi. "Anak kalian masih hidup." Wajah Dokter Gunawan terlihat serius. Tak menunjukkan kebohongan sama sekali.Agung menyandarkan punggungnya ke jendela mobil ambulance sambil menarik napas pelan. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua sangat membingungkan.Begitu juga dengan Innaya, yang belum percaya dengan ucapan Dokter Gunawan. Namun, jenazah anaknya memang tidak ada di dalam peti.
Petugas Polisi terus memperhatikan gelagat Rico. Sadar dirinya diperhatikan, Rico bergegas pergi menjauh dari kamar mayat."Anda tahu dia siapa Dok?" tanya salah satu anggota Polisi pada dokter Antoni."Namanya Rico, dia salah satu Nakes di rumah sakit ini," jawab dokter Antoni, masih memperhatikan Rico meski pria itu sudah semakin hilang dari pandangan."Agak mencurigakan kalau dia tidak tahu jenasah Sisca sudah dibawa ke kampung halaman. Apa mungkin dia memiliki tujuan lain?" gumam Polisi. Dokter Antoni menatap polisi tersebut. "Bukannya menyelidiki kejanggalan dari semua yang terjadi di rumah sakit ini adalah tugas Anda? Polisi yang berjaga di sini diminta untuk melindungi kami semua. Terutama pasien yang bernama Sisca tapi kenapa kalian bisa kecolongan, hingga membuat pasien nyaris meninggal dunia."Polisi terdiam mendengar ungkapan kekecewaan dokter Antoni. Mereka hanya menundukkan kepala, menyadari keteledoran yang mereka lakukan.
Fandi shock berat saat mengetahui keponakan istrinya meninggal dunia. Ia terpukul dan jatuh pingsan. Ayah satu anak yang lahir sebatang kara itu, sudah menganggap Sisca seperti anak keduanya. Sejak Sisca lahir, dia yang paling antusias menyambut kedatangan Bidadari setelah Febby. Kabar kematian Sisca benar-benar membuatnya hampir meninggal juga. Namun akhirnya pria baya itu sadar setelah dua jam pingsan. "Bu, Sisca Bu," tangis Fandi menatap istrinya yang terlihat santai. "Bu, Sisca meninggal!" Ia membulatkan mata, kebingungan. Apa mungkin aku masih mimpi? batinnya. Fandi memutari mata, melihat sekitar kamar dan orang-orang yang duduk di pinggir tempat tidur. Wajah mereka terlihat biasa saja, seperti tidak ada kejadian memilukan. "Kalian semua belum tahu kalau Sisca meninggal?" Akhirnya Fandi emosi. Ia mengubah posisi menjadi duduk. "Febby! Inneke! Kalian tahu
Yang dijelaskan Barta sangat mudah dipahami. Dokter Antoni, Gunawan dan perawat tersenyum kagum pada kecepatan berpikir Barta. Namun sebenarnya, ada seseorang yang berada di belakang sang Dokter. Ya, Barta meminta bantuan Bramanto yang juga berada di rumah sakit. Bramanto membayar beberapa petugas kebersihan rumah sakit untuk melancarkan rencananya dengan sang anak. "Sebelum kita semua keluar dari ruangan ini. Sebaiknya kita berdoa bersama agar semua rencana berjalan mulus," ucap dokter Gunawan. Semuanya menganggukkan kepala. Dring! Suara ponsel Barta berdering, Dokter Tampan itu menjauh dari rekannya lalu menerima telepon dari sang ayah. "Jenazah sudah ada di koridor tiga belas, Nak. Waktu kamu hanya sepuluh menit. Mulai bergerak! Cepat!" titah Bramanto. "Baik Pa, terima kasih banyak," ucap Barta. "Tanpa Papa, aku ngga akan bisa melakukan ini." "Buk