Masuk“Mau ke mana?”
Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.
“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.
Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”
“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”
Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”
“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”
Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.
Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”
“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”
“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aja? Yang benar kamu, Bar!”
“Mas nggak ngerti posisi aku!” Bara membalas dengan suara bergetar antara marah dan panik. “Aku nikah sama Risa karena tekanan keluarga. Bukan karena cinta! Dan Mas Damar tau itu!”
Damar membeku sesaat, lalu berjalan mendekat.
“Kamu pikir aku nggak ngerti? Aku lebih ngerti dari siapa pun di rumah ini.”
Bara menatapnya, wajahnya menegang. “Iya, tapi Mas bukan kakak kandungku! Mas nggak ngerti rasanya jadi aku!”
Kata-kata itu menampar Damar lebih keras daripada pukulan mana pun. Damar kecil adalah anak yang tak diharapkan oleh keluarganya, dan ia diangkat anak oleh orang tua Bara, beberapa tahun sebelum kelahiran Bara. Setelah tumbuh dewasa, ia diberi kewenangan untuk mengurus cabang perusahaan yang berada di Berlin, sementara Bara melanjutkan perusahaan pusat, setelah kematian ibunya.
Senyumnya terasa getir. “Bener. Aku cuma anak angkat. Tapi justru karena itu, aku belajar nggak kabur dari tanggung jawab cuma karena hidup nggak sesuai mauku.”
Bara terdiam. Napasnya berat.
“Kalau kamu kayak gini terus,” lanjut Damar, suaranya makin rendah, “bukan cuma Risa dan Sara yang kamu kehilangan, tapi juga dirimu sendiri.”
Bara memejamkan mata. “Justru karena Mas di sini, aku bisa tenang ninggalin mereka. Seenggaknya, Risa sama Sara aman.”
Damar menatapnya tajam, ekspresinya mengeras. “Kamu dengar ucapanmu barusan, Bar?” desisnya. “Kamu bangga ninggalin keluargamu cuma karena tau ada orang lain yang bakal jagain?”
“Nggak usah lebay, Mas,” Bara menatap sinis, senyum miringnya muncul lagi. “Aku cuma butuh waktu. Bentar aja.”
Damar mengusap wajahnya frustasi, rahangnya mengeras. “Kamu lama-lama pengecut mirip bapakmu.”
Bara mendadak diam.
Ada jeda panjang di antara mereka, hanya terdengar suara napas berat dan koper yang tergeser sedikit di lantai.
“Mas udah kelewatan.” Suara Bara akhirnya keluar, dingin.
Tapi Damar tak menjawab. Ia hanya menatap, dan kali ini, yang terlihat di matanya bukan lagi amarah—melainkan kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Suara mesin mobil meraung dari luar. Ban berdecit pelan di jalanan berbatu halaman rumah, lalu makin menjauh.
Damar berdiri di depan pintu, memandangi punggung Bara yang kian kecil di kejauhan. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin karena amarah yang belum sempat reda.
Langkah lembut dari arah dapur membuatnya menoleh.
“Mas— mas Bara ke mana?”
Suara Risa lirih, nyaris tenggelam oleh dengung kendaraan yang makin menjauh.
Damar menatapnya lama, sebelum akhirnya menjawab pelan, “Dia gak izin ke kamu?”
Risa menggeleng kecil.
“Luar negeri, katanya. Urusan investor.”
Tak ada penjelasan lebih, tak ada alasan.
Risa menghela nafas, hanya itu. Tak bertanya lebih jauh, seolah sudah terlalu lelah untuk berharap atau marah. Matanya redup, wajahnya pucat, dan di pelukannya, Sara mulai merengek pelan.
Damar menghela napas, menahan sesuatu di dadanya yang terasa ganjil. “Kamu udah kompres?” tanyanya, berusaha netral.
Risa menggeleng. “Aku... Mas, bisa anter aku ke rumah sakit?”
Damar menegakkan tubuhnya, alisnya berkerut. “Kenapa? Makin sakit?”
“Cuma... nyeri,” jawabnya pendek, menunduk, matanya menghindar. “Payudaraku bengkak. ASI-nya keluar banyak, aku takut infeksi.”
Hening sejenak.
Damar memandangi wajah lelah perempuan itu, lalu mengangguk pelan. “Tunggu bentar, aku ambil kunci.”
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. “Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.“Ris—”Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mul
Risa duduk di kursi tunggu ruang laktasi dengan wajah sedikit menahan nyeri.Blusnya basah di bagian dada, sementara Sara tertidur pulas di gendongan.Damar berdiri di sampingnya, canggung. Tangannya disilangkan di depan dada, tak tahu harus melakukan apa.Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama Risa, lalu membawanya masuk ke ruangan pemeriksaan.Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Mas, nanti kalo Mas Bara pulang—”“Dia bilang meeting luar negeri. Mungkin nggak balik cepat.” Jawaban itu datar, tapi ada nada lain yang tak ia ucapkan.Risa hanya mengangguk. Ia tahu, tak ada gunanya bertanya lebih jauh.Sesampainya di pintu, Damar membantu mengambil alih tas dan menggendong Sara tanpa banyak bicara. Risa menatap sekilas. Mengapa rasanya makin tak karuan?“Bu Risa Prameswari?”Risa berdiri, lalu menoleh ke Damar. “Mas, tunggu sini aja—”Belum sempat ia melangkah, perawat menatap ke arah Damar. “Bapak ikut aja, ya. Dokternya mau jelasin juga soal p
“Mau ke mana?”Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aj
Semalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.“Risa!”Suara Bara memecah pagi.Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat. “Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”BRAK!Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”“Alasan terus!”Bentakan itu menampar telinganya.Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.“Cukup, B
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”Hentakkan itu membuat Risa mendongak. Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. “Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.Risa menatap suaminya lama







