MasukSemalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.
Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.
Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.
Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.
“Risa!”
Suara Bara memecah pagi.
Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat.
“Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”
BRAK!
Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.
“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”
“Alasan terus!”
Bentakan itu menampar telinganya.
Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.
“Cukup, Bar.”
“Mas jangan ikut campur!” Bara membentak, tapi Damar tak bergeming.
“Justru karena aku ngeliat Risa semaleman jagain anak kalian, makanya aku nggak bisa diem. Kalo kamu nggak siap tanggung jawab, jangan asal nyalahin.”
“Mas pikir gampang jadi suami?! Mas nggak ngerti apa-apa!”
“Cukup!”
Kali ini suara Risa yang memotong. Matanya memerah, air matanya sudah menetes di pipi Sara. “Aku yang salah, Mas. Aku yang bikin semuanya ribet. Jangan berantem lagi…”
Tapi Bara hanya mendengus, menendang sandal di dekat pintu dan pergi.
Keheningan yang tertinggal membuat rumah itu terasa lebih pengap daripada sebelumnya.
Risa menunduk, mengusap lembut punggung Sara yang masih meringkuk di pelukannya.
Dadanya kembali berdenyut nyeri—keras, penuh, seolah tubuhnya ikut memberontak atas semua yang ia tahan.
Ia menarik napas pendek, tapi rasa perih di sekitar payudaranya membuatnya meringis.
“Ya Tuhan…” desisnya pelan, berusaha memijat bagian yang terasa menegang. Tapi setiap sentuhan justru membuatnya semakin sakit.
Damar melangkah masuk ke ruang tamu dengan langkah pelan. Ia memperhatikan Risa yang duduk di sofa, wajahnya pucat, tangan kirinya menggenggam dada dengan ekspresi menahan perih.
“Ris, kamu kenapa?” tanyanya mendekat.
Risa buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa, Mas. Cuma nyeri dikit. Paling bentar lagi juga reda.”
Damar menatapnya, alisnya berkerut. “Kamu udah perah?”
Pertanyaannya membuat Risa terdiam. Bagaimana dia tahu mengenai ini?
Perah.
Kata itu seperti pisau kecil yang menyinggung rasa bersalahnya. “Belum,” jawabnya nyaris berbisik.
“Belum pernah.”
“Aku pikir udah nggak keluar lagi.”
Damar menghela napas, lalu menunduk, suaranya lembut tapi tegas.
“Aku ambilin air hangat, ya. Mau?”
Risa menatap punggungnya yang berbalik ke arah dapur. Ada sesuatu di dadanya yang lain dari nyeri barusan—semacam rasa hangat yang tak ia mengerti.
Ia hanya bisa memeluk Sara lebih erat, sambil menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar lagi.
Beberapa menit kemudian, Damar kembali membawa handuk kecil dan baskom berisi air hangat.
“Coba dikompres dulu, biar nggak makin bengkak,” ucapnya, meletakkannya di meja.
Risa terdiam. Ada rasa malu yang samar di sana, tapi juga rasa terima kasih yang sulit diungkapkan.
“Mas …,” panggilnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh degup hatinya sendiri.
“Ya?”
“Mas Damar … makasih, ya.”
Damar hanya tersenyum tipis, matanya mengabur ke arah lain. Lalu menaruh handuk kecil itu di bagian dada Risa. “Baju kamu basah. Jangan lupa kompress, ya.”
Risa menatapnya lama. Pipinya mulai memerah. Rasa malu menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. “Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.“Ris—”Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mul
Risa duduk di kursi tunggu ruang laktasi dengan wajah sedikit menahan nyeri.Blusnya basah di bagian dada, sementara Sara tertidur pulas di gendongan.Damar berdiri di sampingnya, canggung. Tangannya disilangkan di depan dada, tak tahu harus melakukan apa.Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama Risa, lalu membawanya masuk ke ruangan pemeriksaan.Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Mas, nanti kalo Mas Bara pulang—”“Dia bilang meeting luar negeri. Mungkin nggak balik cepat.” Jawaban itu datar, tapi ada nada lain yang tak ia ucapkan.Risa hanya mengangguk. Ia tahu, tak ada gunanya bertanya lebih jauh.Sesampainya di pintu, Damar membantu mengambil alih tas dan menggendong Sara tanpa banyak bicara. Risa menatap sekilas. Mengapa rasanya makin tak karuan?“Bu Risa Prameswari?”Risa berdiri, lalu menoleh ke Damar. “Mas, tunggu sini aja—”Belum sempat ia melangkah, perawat menatap ke arah Damar. “Bapak ikut aja, ya. Dokternya mau jelasin juga soal p
“Mau ke mana?”Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aj
Semalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.“Risa!”Suara Bara memecah pagi.Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat. “Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”BRAK!Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”“Alasan terus!”Bentakan itu menampar telinganya.Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.“Cukup, B
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”Hentakkan itu membuat Risa mendongak. Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. “Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.Risa menatap suaminya lama







