LOGIN“Eum, Mas—”
Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.
“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.
Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.
“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”
Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri.
“Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.
Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah.
Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.
Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.
“Ris—”
Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat Damar berjalan mengarahnya. refleks menangkapnya.
Laki-laki itu memejamkan mata, tapi gerakannya terlalu cepat sampai air di mangkuk hampir tumpah.
“Sorry, sorry—”
Ia menaruh mangkuk dengan cepat di meja, nyaris membentur.
“Aku ... nggak bisa, Mas. Sakit banget.”
“Mau… dibantu?” Suaranya rendah, hampir berat, seperti ia sendiri sedang menahan sesuatu.
Risa bergumam kecil dan mengangguk.
Damar mendekat ke belakangnya, duduk tepat di balik tubuh Risa yang bersandar di sandaran sofa.
Ia mengambil handuk kecil dari tangan Risa, mencelupkannya ke mangkuk air hangat, lalu memeras perlahan. Gerakannya teratur, hati-hati… seolah ia takut menyakitinya.
Risa menarik napas, memejamkan mata.
Damar menunduk sedikit dari belakang, berada cukup dekat sehingga embusan napasnya menyentuh tengkuk Risa.
“Boleh?” bisiknya.
Ia hanya mengangguk.
Perlahan, Damar menyelipkan salah satu tangannya ke depan, di sepanjang sisi tubuh Risa, berhenti tepat di atas perutnya—menopang tubuhnya agar tidak goyah. Sentuhan itu membuat Risa mengencangkan jari-jarinya pada lutut sendiri.
Dengan tangan satunya, Damar menempelkan handuk hangat itu ke bagian dada Risa yang memar dari samping, lalu perlahan mendorongnya ke titik nyeri yang sebenarnya.
Sentuhannya ringan—terlalu hati-hati, seakan takut melukai kulitnya. “Gini?”
Risa mengangguk, tak mampu lagi untuk berbicara.
Damar melakukan dengan napas tertahan, jantung berdetak kencang dan desiran darah yang mengalir lebih deras. Ia mencoba bertahan dalam kesadarannya, meskipun hatinya berkali-kali memberontak.
“Ssssh,” rintih Risa ketika Damar menempelkan handuk di area yang bengkak.
“Maaf.”
Risa menahan napas, lima menit berlalu, tapi nyerinya tak kunjung reda. “Mas,” panggilnya menggeleng. “Nggak bisa.”
Risa menarik napas panjang, “Kayaknya harus dipijet,” ujarnya lirih.
Damar terdiam, kemudian mengangguk. Ia menimba ulang apakah ini benar? Apakah ini tidak apa apa?
“Kamu sandaran dulu, aku ambil minyak zaitun—”
“Di kamar dekat botol susu,” potong Risa cepat.
Damar mengangguk, ia bergerak cepat mengambil kedua barang itu, tak ingin membuat Risa semakin kesakitan.
“Sini,” pinta Damar menepuk dadanya sesaat dia kembali.
Dengan ragu, Risa menghampiri Damar, duduk di depannya dan merasakan jantung Damar yang berdetak keras.
Jarak mereka dekat. Amat dekat. Membuat udara di sekitarnya semakin panas.
“Tahan, ya.”
Risa mengangguk, menahan napasnya.
Damar mulai menekan ringan di area yang bengkak dengan gerakan memutar, lalu mengarahkan ke depan untuk membantu membuka saluran ASI. Gerakannya pelan, tapi ada sesuatu yang bergetar.
“Ris, gapapa?”
Ia mengangguk kecil. Risa memejamkan mata, menggigit bibirnya untuk meredam suaranya. Tangannya meremas ujung sofa, keras, dan sesekali menahan napas ketika Damar kembali menyentuh di area bengkak.
“Eungh,” rintih Risa yang mulai bergerak tak beraturan, menahan nyeri yang semakin terasa.
Gerakan tangan Damar terhenti, ia menatap wajah Risa dari samping, memastikan wanita itu tak semakin sakit. Tangannya yang semula mencengkeram pinggiran sofa, kini berganti mencengkeram celana yang dipakainya. Matanya terpejam, menggigit bibirnya, menggambarkan nyeri yang ia rasakan.
“Tahan bentar, ya,” bisik Damar setelah memastikan wajah Risa tak lagi tegang.
Risa mengangguk, paham dengan perintah Damar, meskipun air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.
Damar kembali memijatnya pelan, kali ini dengan kedua tangannya, membuat Risa tak sengaja mengeluarkan desahan kecil dari bibirnya. Desahan antara rasa nyeri dan nikmat yang bercampur menjadi satu. Ia bergerak tak karuan, seolah tak nyaman dengan posisi itu.
Damar refleks menoleh tanpa menghentikan pijatannya, memastikan Risa baik-baik saja.
“Kenapa? Sakit banget, ya?” tanyanya cepat.
Risa menggeleng, tetapi wajahnya memanas, ia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Cengkeraman tangannya semakin kuat, membuat Damar ikut menahan rasa sakit.
“Bentar, ya.” Damar terus memijatnya, membuat gerakan-gerakan kecil agar Risa kembali rileks, meskipun ia sendiri tengah mati-matian menahan sesuatu di dalam dirinya. Hingga, jemarinya tak sengaja menyentuh puncak dada Risa, membuat wanita itu terperanjat.
“Eum,” desah Risa tertahan. Ia spontan menahan napasnya, tubuhnya menegang, membuat tubuhnya mundur tiba-tiba, menabrak tubuh Damar sepenuhnya. Tubuhnya bergerak gelisah begitu menyadari miliknya menegang di bawah sana, membuat Damar refleks terkejut.
Pria itu memejamkan matanya dan menelan ludah kasar, menahan sesuatu yang kini mulai menegang di dalam tubuhnya. “Ris … kamu jangan gerak.” bisiknya dengan nada rendah.
Gerakannya yang semula hanya memijit, kini berubah sedikit meremas, seolah kesadarannya mulai menghilang.
Tubuh Risa membeku, mendengar suara Damar yang serak dan pijitannya yang berubah, tapi, ia hanya diam dan memejamkan matanya.
Damar menggigit bibirnya keras ketika melihat wajah Risa yang semakin memerah, merasakan hawa panas yang mulai menguasai tubuhnya. Napasnya semakin tak beraturan, dan dadanya naik turun cepat.
“Ris.” Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Risa dengan lembut dan membuat keduanya berhadapan, membuat jarak di antara keduanya semakin tipis dengan napas saling beradu.
Pandangannya tertuju pada bibir tipis milik Risa, jemarinya mengusap lembut, “Jangan di gigit,” ujarnya membuat Risa refleks melepaskan gigitannya.
“Mas, ini kayanya gabisa kalau dipijet aja. Kalau mas bantu hisap— mas bisa, gak ya?”
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. “Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.“Ris—”Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mul
Risa duduk di kursi tunggu ruang laktasi dengan wajah sedikit menahan nyeri.Blusnya basah di bagian dada, sementara Sara tertidur pulas di gendongan.Damar berdiri di sampingnya, canggung. Tangannya disilangkan di depan dada, tak tahu harus melakukan apa.Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama Risa, lalu membawanya masuk ke ruangan pemeriksaan.Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Mas, nanti kalo Mas Bara pulang—”“Dia bilang meeting luar negeri. Mungkin nggak balik cepat.” Jawaban itu datar, tapi ada nada lain yang tak ia ucapkan.Risa hanya mengangguk. Ia tahu, tak ada gunanya bertanya lebih jauh.Sesampainya di pintu, Damar membantu mengambil alih tas dan menggendong Sara tanpa banyak bicara. Risa menatap sekilas. Mengapa rasanya makin tak karuan?“Bu Risa Prameswari?”Risa berdiri, lalu menoleh ke Damar. “Mas, tunggu sini aja—”Belum sempat ia melangkah, perawat menatap ke arah Damar. “Bapak ikut aja, ya. Dokternya mau jelasin juga soal p
“Mau ke mana?”Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aj
Semalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.“Risa!”Suara Bara memecah pagi.Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat. “Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”BRAK!Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”“Alasan terus!”Bentakan itu menampar telinganya.Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.“Cukup, B
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”Hentakkan itu membuat Risa mendongak. Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. “Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.Risa menatap suaminya lama







