"Kamu mau bicara apa sih sebenarnya, Mas?" sinisku dengan jantung yang mulai berdetak cepat. Mas Dewa memandang tajam padaku hingga menghunus iris mataku. "Jawab yang jujur! Sudah berapa kali kamu tidur dengan Devan?" "Apaaa?" Sontak aku berdiri. Plaak!! Reflek tanganku menampar wajah tampan menyebalkan yang saat ini berada tepat di hadapanku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang semakin memuncak. Sungguh aku tak terima suamiku sendiri menuduhku serendah itu. Napasku memburu karena detak jantungku yang semakin cepat . Aliran darahku seakan naik hingga ke ubun-ubun. "Kurang ajar!' Mas Dewa sontak berdiri seraya memegang pipinya yang memerah. Sepertinya dia tidak terima karena aku baru saja menamparnya cukup keras. "Mas Dewa keterlaluan. Jangan samakan aku dengam istri barumu itu, Mas!Berbagi ranjang seenaknya sebelum ada ikatan pernikahan!" geramku dengan dada kembang kempis menahan amarah yang meluap-luap. Pria di hadapanku ini menyeringai. "Aku tidak habis pikir dengan Deva
Pintu lift perlahan tertutup. Ingin rasanya menoleh. Tapi aku harus menahan diri. Aku harus menjaga hati dan sikap. Apalagi saat ini kami hanya berdua saja di dalam lift ini. Tarik napas, Zahra! "Kenapa tadi nggak ikut meeting?" Aku terlonjak kala mendengar suara bariton itu. Suara yang membuat jiwaku bergetar di setiap kata yang diucapkannya. Suara yang tanpa kusadari selalu membuatku rindu akan pemiliknya. "Zahra ..." panggilnya lagi karena aku masih bergeming. Tak mungkin aku menjawab pertanyaan atasanku ini dengan cara memunggunginya seperti ini. Yaa, kan? Akhirnya aku putuskan membalikkan badan dan berhadapan dengannya. Tubuhku menegang saat memutar badan, ternyata Devan sedang memandangku dari belakang. Dadaku bergedup kencang. Lagi-lagi debaran tak biasa itu berpacu di dalam jantungku. "Zahra ..." "Iy-iyaaa ...." Aku langsung menunduk. Tak sanggup bertemu mata dengannya. "Kenapa tadi tidak ikut meeting?" Devan mengulang pertanyaannya. Pelan, namun penuh penekanan. "M
Zahra, tunggu!" langkahku terhenti. Aku menoleh padanya. "Percepat urus perceraianmu! Kata-kataku tadi siang tidak main-main. Aku menunggumu!" ucapnya tegas. Tak ada keraguan di sana. Aku tertegun. Tak mampu berkata-kata. Mataku memanas. Tanpa menjawab aku kembali berbalik badan dan terus berjalan mengikuti langkah kakiku, tentunya bukan menghampiri Mas Dewa seperti yang aku katakan pada Devan tadi. Sesampainya di halte dekat kantor, aku meraih ponselku dan memesan taksi online. Dengan air mata yang tak kunjung berhenti aku duduk menunggu pesanan taksiku tiba. Sesekali aku tersenyum mengingat kata-kata terakhir Devan tadi. Berkali-kali aku menyeka air mata dengan punggung tanganku. Entah kenapa ada rasa haru dan bahagia bergelayut manja di hati ini. "Atas nama Mbak Zahra? Mbak ... Mbak." Aku tersentak kala seorang laki-laki paruh baya berdiri seraya melambaikan tangannya di depan wajahku. Sepertinya dia sejak tadi di sana, namun aku tak menyadarinya. "Iy-iyaa. Saya Zahra. M-ma
Aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak ada yang aku bawa kecuali beberapa pakaian yang aku perlukan. "Apa-apaan ini? Mau ke mana kamu?" Aku mendongakkan kepala dan melihat Mas Dewa sudah berdiri di depan pintu kamar. "Zahra, mau ke mana kamu?" Suara Mas Dewa bergetar. Perlahan dia mendekat. "Mulai besok aku tidak tinggal di sini lagi. Aku harap kamu tidak mempersulit proses perceraian kita, Mas." "Tidak, Zahra! Aku tidak akan pernah menceraikanmu." Mas Dewa berlutut mensejajarkan diriku yang sedang posisi setengah jongkok di lantai. "Zahra, dengar! Aku akan menceraikan Liana setelah dia melahirkan anakku." Mas Dewa berkata setengah berbisik. Berarti Liana tidak tau rencananya ini. Atau ini hanya akal-akalan dia saja untuk menahanku agar tetap berada di sini. "Keputusanku sudah bulat, Mas!" sahutku lagi tanpa menoleh padanya sesaat, kemudian meneruskan kembali proses packing. Laki-laki itu berdiri, kemudian menutup rapat pintu kamar. "Buka aja pintunya, Mas!"pintaku. Namu
Entah kenapa tak ada rasa nyaman dan bahagla seperti dulu. Biasanya aku paling suka jika dipeluk dan bersandar di dada bidangnya seperti sekarang ini. Namun saat ini rasa itu seakan hampa. Tak ada lagi getaran dan jantung yang melompat-lompat ketika dia mencium rambutku. Kami berpelukan cukup lama. Mas Dewa semakin mengeratkan pelukannya. Tak lama kemudian aku merasakan bahunya mengguncang. Mas Dewa menangis. Sungguh aku tak percaya. Aku merasakan sesuatu yang basah pada punggungnya. "Mas, tumben cengeng!" gumamku. "Aku menyesal, Zahra. Sungguh aku sangat menyesal." Suaranya serak dan parau. "Udah sejak dulu, Maas, kalau penyesalan itu datangnya belakangan," sahutku asal tanpa rasa apapun. Entah kenapa aku merasa biasa saja dan tidak terusik sama sekali dengan tangisnya. Terharu pun tidak. Rasanya sudah tak bisa percaya lagi dengan semua ucapannya. Aku selalu merasa dia membohongiku. Mas Dewa mengurai pelukan. Kedua tangannya menggenggam bahuku. Kini netranya terus menatapku sa
"Bu, Zahra mau bicara penting." "Kamu mau bicara apa, Nak? Jangan pernah bilang kalau kamu suatu saat akan pergi meninggalkan ibu." Mata ibu mulai berkaca-kaca. Tenggorokanku tercekat. Aku terdiam mendengar ucapan ibu barusan. Bagaimana caranya agar ibu tidak sedih. Tekadku sungguh sudah bulat untuk pergi dari rumah ini. Lagipula ibu akan memiliki seorang cucu. Pasti ibu akan senang sekali. "Zahra, apa yang hendak kamu katakan?" Pertanyaan Ibu membuyarkan lamunanku. "Ibu ..., Aku tidak pernah meninggalkan ibu. Aku hanya ingin pindah ke dekat kantorku yang berada di pinggir kota. Karena kalau bolak balik setiap hari akan memakan waktu lama dan sangat melelahkan." Ibu terdiam. Bulir bening telah mengalir dari kedua sudut matanya. Aku menahan sesak melihat kesedihan di wajah tua itu. Tak terasa air mata pun telah membendung juga di kedua pelupuk mataku. "Bagaimana dengan Dewa. Apa dia mengizinkan kamu pergi, Nak?" Tentu saja Mas Dewa melarangku. Namun sebentar lagi dia bukanlah s
Mas Dewa melajukan mobilnya membelah jalan menuju kantor. Sepanjang jalan kami hanya diam. Wajah laki-,laki di sampingku ini terlihat dingin. Justru ini menguntungkan aku agar tidak terjadi perdebatan yang melelahkan lagi sepanjang jalan. "Kamu akan tinggal di mana? Kalau kamu mau, aku akan mengontrakkan sebuah rumah untukmu. Dengan begitu akan mempermudah kita untuk memperbaiki hubungan kita ini." Apaaa? Apa aku tidak salah dengar? "Udah deh Mas, Aku udah nggak mau bahas ini lagi. Surat gugatan ceraiku sudah masuk pengadilan. Jadi kamu tunggu aja surat panggilan dari pengadilan.!" seruku kesal. "Prosesnya tidak semudah itu. Kita masih bisa memperbaiki semuanya. Sejujurnya aku tidak bisa kehilangan kamu." Sesaat Mas Dewa menatapku lekat. Kemudian matanya kembai tertuju pada jalanan. Aku menghela napas panjang. Tidak aku kira akan sesulit ini untuk melepaskan diri dari laki-laki ini. Sejujurnya walau aku tahu Mas Dewa tidak pernah mencintaiku, tapi dulu pernah ada rasa cinta yan
"Maafkan Aku, Zahra! Ternyata aku telah menyakitimu terlalu dalam!" ucap Mas Dewa di sisa isak tangisnya. Drama lagi. Aku memutar bola mataku. "Udah telat, Mas. Hatiku sudah keburu diambil orang!" sahutku malas. Wajahnya menegang. "Aku mohon, Zahra! Maafkan Aku!" Dia terus memohon seraya menggenggam paksa jemariku. "Mas, udah dong! Kalau Mas nggak jalan-jalan aku turun aja mau cari taksi." Karena tidak sabar aku pun menarik paksa tanganku dari genggamannya, kemudian bergerak hendak turun dari mobil. Namun, Mas Dewa kembali menarik lenganku. Mata kami bertemu dengan saling menatap tajam hingga menghunus ke dalam manik netra kami. Hingga beberapa saat tatapannya terlihat kembali sendu. Kini dia menatapku penuh harap dan kembali memohon. "Aku mohon jangan turun! Kita jalan sekarang," ujarnya lembut membujukku. Aku menghela napas panjang. Menuruti permohonannya. Kemudian duduk kembali dengan memandang lurus ke depan pada jalan raya. Kami hanya diam. Mas Dewa sesekali melirikku