Share

Permainan Baru Akan Dimulai

"Zahra, kamar tamu sudah kamu bersihkan?" Tiba-tiba Mas Dewa menghampiriku yang sedang membuat sarapan. 

"Untuk apa, Mas?"

"Mulai hari ini Liana akan tinggal di sini."

"Tapi kalian belum menikah, Mas. Kalau nanti di gerebek warga gimana?" 

"Halah, jangan ngadi-ngadi kamu! Bilang aja kamu cemburu. Nanti kalau ada yang tanya, tinggal jawab aja kalau Liana itu calon istriku," sahutnya seenaknya.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Terserah dia saja. Semoga aja beneran di gerebek. Sukur-sukur sekalian ada yang viralin. Ya ampun, sakit hati yang kurasakan ini memang bisa merubahku menjadi jahat. 

"Hei, kok malah bengong! Sana bersihin, kasih pewangi ruangan yang banyak!" Aku terlonjak mendengar bentakannya. Belum juga Liana ada di rumah ini, Mas Dewa sudah bentak-bentak aku. Bagaimana jika nanti kami semua seatap. 

Aku mendengkus kesal. Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis Aku adalah Zahra, wanita kuat. Aku bisa hadapi semua ini secara elegan.

Berkali-kali berusaha menguatkan diri. Siapa yang tidak sakit jika suaminya menikah lagi? Siapa yang tidak hancur saat suaminya menghamili wanita lain?

Dengan rasa sesak aku membersihkan kamar tamu yang memang sangat jarang ditempati. Mengganti kain alas kasur dan sarung bantal dengan yang bersih. Tak lupa pewangi ruangan sesuai permintaan Mas Dewa. 

Setelah semua beres, aku kembali ke dapur menyiapkan sarapan untuk ibu. Kini saatnya memandikan dan menyuapi Ibu sarapan bubur. 

Selama setahun ini memang aku lebih banyak mengurus ibu. Namun aku tak pernah mengeluh. Karena ibu begitu baik dan menyayangiku. Aku merasa seakan merawat ibuku sendiri. 

"Dewa, ibu keberatan jika Liana tinggal di sini sebelum kalian menikah. Tidak baik di lihat orang." 

Aku kembali berhenti di depan pintu ketika hendak membawakan bubur ke kamar ibu. Sepertinya Ibu dan Mas Dewa sedang berbicara serius.

"Secepatnya kami akan menikah, Bu."

"Kenapa tidak tunggu setelah menikah saja?" pinta ibu lagi.

"Sudahlah, Ibu sama saja dengan Zahra. Tidak bisa melihat aku bahagia. Aku ini capek bekerja, Bu. Kalau Liana ada di rumah ini, aku semangat jika hendak pulang ke rumah."

Apa dia bilang? Jadi selama ini dia tidak pernah semangat jika pulang? Pantas saja Mas Dewa sering sekali pulang larut malam selama ini. Bahkan tak jarang hampir pagi. 

Lagi-lagi hatiku mencelos. Menyadari diriku yang kadang lupa untuk merias diri saat Mas Dewa pulang. 

Aku mengetuk pintu ketika mereka sudah tak membahas Liana. Sepertinya Ibu tak berhasil mengingatkan Mas Dewa. 

"Ibu, mau makan atau mandi dulu?" tanyaku seraya menyiapkan pakaian bersih untuk Ibu.

"Mandi dulu saja, Zahra."

"Ke kamar mandi, yuk!" 

Ibu hanya pasrah saat aku membantunya untuk duduk di kursi roda. Kemudian membawanya ke kamar mandi. Sementara Mas Dewa memperhatikan kami dari sudut kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Selama ini suamiku itu tak pernah mau tahu bagaimana merawat ibu. Karena jika hari libur seperti ini biasanya dia jarang di rumah, atau sibuk dengan ponselnya. 

Aku semakin terheran menemukan Mas Dewa masih berada di kamar ibu saat kami keluar dari kamar mandi. Sesekali suamiku itu menatapku dengan tatapan seakan tidak percaya. Aneh. Hampir setahun aku merawat ibu, baru kali ini Mas Dewa seperti ini. 

Dengan telaten aku memakaikan pakaian juga diapers untuk Ibu. Wanita yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu mengernyitkan dahinya padaku setelah melirik pada anak laki-lakinya. Seolah bertanya tentang sikap Mas Dewa yang tidak seperti biasanya.

"Mungkin Mas Dewa nanti ingin memberitahu Liana bagaimana merawat ibu di rumah," bisikku pada ibu.

Ibu terkikik, kemudian mengangguk paham.

"Dewa, nanti kalau Zahra sudah kerja, biar Liana yang merawat ibu. Dia pasti bisa telaten dan sabar seperti Zahra ini." Ibu tersenyum memandangku. 

Entah kenapa wajah Mas Dewa berubah gusar. Kemudian berlalu meninggalkan kami.

"A-aku jemput Liana dulu." 

Ibu hanya memandang sedih pada anak laki-laki satu-satunya itu.

"Zahra ..., maafkan Ibu. Dewa ternyata tidak bisa membahagiakanmu, Nak. Ibu telah melanggar janji pada ibumu. Jika kamu ingin mencari kebahagiaan di tempat lain, ibu ikhlas, Nak. Kamu anak baik. Kamu berhak untuk bahagia." Tiba-tiba ibu tergugu di hadapanku. 

"Apa maksud Ibu? Ibu tidak perlu minta maaf. Ini bukan salah Ibu." Akupun tak sanggup menahan air mata yang lolos begitu saja dari kedua sudut mataku.

Kamipun berpelukan. Justru aku lebih berat jika harus berpisah dengan ibu. Wanita yang selalu membelaku di depan Mas Dewa. 

Setelah kembali tenang, dengan penuh kesabaran, Aku kembali menyuapi Ibu bubur. 

♡♡♡

Menjelang sore, Mas Dewa belum pulang juga. Tidak hanya ibu, sebenarnya sejak tadi aku pun gelisah menunggu kepulangannya. Sekuat tenaga menyiapkan hati untuk menerima wanita lain dirumah ini. Wanita lain yang dicintai suamiku.

Menjelang malam terdengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Jantungku berdegup kencang kala mengetahui itu adalah mobil Mas Dewa. Sejujurnya aku juga seorang wanita yang punya perasaan. Kucoba menepis semua rasa sakit itu. Semua harus aku hadapi dengan tegar.

Baiklah Calon maduku, permainan baru akan dimulai. 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Miemy Bintang
awal baca di TikTok ...asyik ceritanya...semangat Zahra..
goodnovel comment avatar
Icha Qazara Putri
Dasar laki nggak punya otak
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Dewa ga tau diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status