Apa? Tidak salah dengarkah aku?
Dengan gemetar, diam-diam aku terus mendengarkan percakapan Mas Dewa-suamiku dengan ibunya dari balik pintu kamar ini. Bukan maksud ingin menguping. Namun Aku tak tau kalau ada Mas Dewa di dalam saat aku hendak mengambil pakaian kotor ibu di dalam kamarnya.
"Tega sekali kamu mengkhianati istrimu, Dewa!. Zahra wanita yang baik. Dia tidak hanya mengurusmu, tapi dia juga mengurus ibu yang sedang sakit ini." Jelas terdengar suara Ibu bergetar menahan sesak.
Sama sepertiku. Sangat sesak. Bahkan saat ini aku sangat sulit bernapas.
Liana adalah sekretaris Mas Dewa di kantor. Wanita itu memang sangat cantik dan menarik. Kebersamaan mereka hingga sering keluar kota, membuat mereka lupa diri. Ya, sebenarnya aku telah lama menduga ada hubungan khusus diantara mereka. Namun karena kesibukanku yang terlalu banyak di rumah, membuatku tak sempat untuk memikirkan hal itu.
"Aku bosan dengan Zahra, Bu. Lihat saja dia, semakin hari nampak tidak menarik saja. Zahra tidak pandai mempercantik dirinya untuk menyenangkanku."
Bagai petir menggelegar di siang hari, Aku sangat terkejut mendengar alasan yang Mas Dewa utarakan pada Ibu. Selama ini aku pikir Mas Dewa tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Kenapa dia tak pernah mengatakan langsung padaku?
"Zahra tak sempat, Dewa. Dia terlalu lelah mengurus ibu dan kamu. Seharusnya kamu mengerti!" Ibu masih terus membelaku.
"Masa cuma dandan aja nggak sempat, Bu? Sudahlah, Bu. mulai besok aku akan membawa Liana tinggal di sini. Dia berhenti bekerja. Secepatnya Aku akan menikahi Liana."
Tubuhku semakin lemas. Kedua kakiku gemetar seakan tak sanggup lagi menopang tubuh rampingku ini.
Tidak! Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah. Aku harus bisa menghadapi semua ini dengan elegan. Dengan menarik napas panjang secara perlahan, aku mencoba untuk tenang.
"Kamu harus minta izin Zahra dulu! Ibu tak ingin kamu pisah dengan Zahra. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kita. Orang tuanya menitipkannya pada Ibu. Oleh sebab itu Ibu menjodohkan Zahra denganmu dulu.
Mas Dewa membuang napas kasar. Mungkin dia merasa berat untuk meminta izin padaku.
"Tidak perlu, Bu. Aku sudah mendengar semuanya."
"Zahra ...?"
Mas Dewa dan Ibu terkejut melihatku tiba-tiba muncul dari balik pintu.
'Seizinku atau tidak, kamu pasti akan tetap menikahi Liana. Ya,kan, Mas?"
"Zahra ... maksud Mas ...."
"Silakan, Mas. Tapi ada satu syarat. Ceraikan aku dulu!"
"Zahra ..." Kali ini Ibu menyebut namaku dengan suara parau.
"Tidak. Aku tidak akan menceraikanmu!"
Aku mendengkus kesal. Sebenarnya aku tidak tega dengan Ibu.
"Baiklah, Mas. tapi tetap aku punya satu syarat. Izinkan aku bekerja!"
Spontan Mas Dewa terbahak-bahak.
"Mau kerja apa kamu? Cleaning service? Pelayan toko? Atau Office girl? Jangan mimpi ketinggian kamu, Zahra! Kamu beda dengan Liana. Dia itu memang berpengalaman dan terpelajar. Sedangkan kamu ..., memangnya kamu pernah kerja apa, hah?"
Laki-laki yang sudah dua tahun menjadi suamiku itu kembali terkekeh. Tega-teganya dia membanding-bandingkan diriku dengan selingkuhannya. Sejak awal kami dijodohkan, memang Mas Dewa tidak pernah dan tidak mau peduli dengan latar belakangku. Dia hanya tinggal beres saja saat akan akad nikah. Semua Ibu yang mengurus. Ketika itu Ibu masih sehat dan sangat bersemangat menjodohkan kami.
"Tidak usah kamu pikirkan, Mas. Aku mau kerja apa biar menjadi urusanku!" ketusku.
"Kalau kamu kerja, siapa yang mengurus Ibu?" tanya Mas Dewa.
"Bukankah kamu bilang Liana berhenti bekerja? Jadi, biar dia yang menggantikanku. Toh dia juga calon menantu ibu, bukan?"
Sebenarnya aku tidak tega mengatakan hal ini di depan ibu. Tapi hatiku sudah terlanjur sakit. Semoga Ibu dapat memahami perasaanku.
"Iya, Dewa. Izinkan saja Zahra bekerja. Biar Liana yang menjaga ibu nanti."
Aku tersenyum puas mendengar ucapan Ibu.
"Terserah kamu saja! Lagian memangnya gampang cari kerja. Siapa juga yang mau terima orang nggak berpengalaman kayak kamu!" Mas Dewa terlihat frustasi.
Dia tau Liana pasti akan menolak untuk merawat Ibu yang sudah tidak bisa bangun dari ranjang. Ibu mengalami stroke pada separuh tubuhnya. Tapi beruntung Ibu masih bisa lancar berbicara.
Setelah lelah bersitegang dengan Mas Dewa, diam-diam aku mengirim pesan pada seseorang.
[ Ivan, tawaran posisi manager pemasaran untukku apa masih berlaku?]
Ternyata pesanku langsung di baca oleh sahabatku itu.
[ Masih, Ra, cuma kamu yang pas untuk jabatan ini. Apa kamu berubah pikikan?]
[ Ya, Aku terima tawaranmu. Kapan aku mulai kerja?]
[ Alhamdulilah. Akhirnya perusahaanku bisa merekrut orang cerdas dan berpengalaman sepertimu. Lusa kamu sudah bisa mulai kerja. ]
Untunglah belum ada yang mengisi posisi itu. Manager pemasaran adalah posisi yang aku tinggalkan saat aku akan menikah dengan Mas Dewa. Karena aku ingin sepenuhnya berbakti pada suamiku. Seperti Ibuku berbakti pada Ayah. Hingga Ayah makin mencntai Ibu.
Namun Mas Dewa ternyata berbeda dengan Ayah. Aku justru membosankan untuknya.
Siap-siaplah menangis maduku. Kamu akan menerima karmamu. Karena kamu akan tinggal dirumah dengan penampilan yang membosankan. Sementara aku akan merubah diriku seperti ketika sebelum mengenal Mas Dewa. Menjadi seorang wanita karier yang selalu mengutamakan penampilan.
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu