"A-apa? Cuti? S-sejak kapan, Mey?" Marwa terkejut setengah mati mendengar pengakuan Meysie, yang merupakan sekretaris suaminya itu.
Siang ini wanita itu sudah berada di kantor Ammar. Maksud hati ingin memberi kejutan untuk sang suami, tetapi malah dia yang mendapat kejutan. Sebenarnya, kedatangannya ke sini ingin memergoki suami dan selingkuhannya itu. Mungkin saja mereka juga mencuri-curi kesempatan untuk berbuat mesum di kantor ini. Jika sudah dimabuk asmara, biasanya apa saja bisa dilakukan tanpa memedulikan situasi dan kondisi. "Sudah sejak lima hari yang lalu, Bu," sahut wanita berkaca mata tebal itu dengan dahi mengkerut. "Loh, memangnya Bu Marwa nggak tau soal Pak Ammar yang sedang mengambil cuti tahunan?" "Hah?" Marwa terperangah dengan mulut menganga. Benar-benar tak siap menerima kejutan yang baru saja ia dapatkan. Namun, detik berikutnya ia seakan tersadar dan segera berakting agar tak terlihat ganjil. "O-oh, hahaha ... aduh, kok saya bisa lupa, ya, kalau suami saya sekarang sedang cuti? Astaga! Mulai pikun saya ini kayaknya, Mey." Marwa menepuk-nepuk pelan dahinya sambil menertawakan diri sendiri yang tampak bodoh. Dan itu sengaja ia lakukan untuk menutupi aib rumah tangganya. Apa jadinya jika orang-orang tahu kenyataan yang sebenarnya? "A-anu ... tadi saya hanya kebetulan lewat sini, dan saya pikir nggak ada salahnya mampir. Ya, ampun! Saya benar-benar lupa, Mey." "Hahaha." Mereka serempak tertawa. 'Ya, Tuhan! Kebohongan apa lagi yang diciptakan suamiku? Tiap pagi dia berangkat ke kantor dan pulang hingga larut malam. Dia bilang sibuk mengurusi pekerjaan kantor, padahal nyatanya dia sedang cuti. Apa, sih, maunya dia? Benar-benar keterlaluan!' "Bu Marwa ... Bu! Anda baik-baik saja?" Meysie cemas melihat raut wajah istri atasannya yang tampak sedih bercampur emosi. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Marwa, membuat wanita itu terjaga dari lamunan. "Eh, saya nggak apa-apa, kok, Mey." Marwa menghela napas berusaha membesarkan hatinya, lalu mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Oya, gimana kinerja si Alena selama bekerja di sini?" Meysie diam sejenak. Ia tampak ragu untuk menjawab. "Ya, cukup baik, sih, Bu. Memangnya kenapa, ya, Bu?" "Sudah lama saya nggak ketemu sama dia. Ruangannya sebelah mana, Mey? Sekalian saya mau tegur dia. Masa pindah rumah nggak bilang-bilang!" "Waduh! Sayang banget, Bu. Dia juga sedang cuti sekarang," jelas Meysie. "Hah? D-dia juga cuti, Mey?" Marwa mendapat kejutan lagi. Kenapa tak ada habisnya? Rasanya amarah itu sudah mulai mencapai ke ubun-ubun. Pasti mereka telah merencanakan semua ini agar bisa terus berduaan menghabiskan waktu bersama untuk melampiaskan nafsu bejat mereka. 'Ya, Tuhan! Sakit sekali hatiku. Suami yang kukira begitu menyayangiku dengan segenap jiwa raga, ternyata pendusta. Pengkhianat. Dia sudah membohongi dan mempermainkanku dengan keji. Dasar lelaki tak tahu diri! Lupa dia, siapa selama ini yang membuat namanya besar dan sukses seperti sekarang? Kejam ... kau kejam, Mas!' batinnya. Tangan lentik itu mengepal disertai rahang yang mengeras. Tanpa sadar matanya pun mulai berembun. "Bu Marwa, Anda menangis?" Pertanyaan Meysie membuyarkan lamunan. Marwa menggeleng cepat dan meraih tisu yang disodorkan Meysie padanya untuk menghapus jejak air mata, yang tanpa ia sadari telah jatuh membasahi pipi. "Jika butuh teman cerita, saya siap kapan saja Ibu membutuhkan," ujar Meysie menggenggam jemari wanita di hadapannya. "Oh, hahaha. Saya baik-baik saja, kok, Mey. Nggak ada yang perlu diceritakan juga." Meski terbaca dari raut wajahnya, Marwa tetap berusaha menyembunyikan luka batin yang ia rasakan. "Saya permisi dulu, ya. Titip salam buat Alena jika dia sudah kembali masuk kerja!" Meysie menatap kepergian istri dari atasannya itu dengan perasaan iba. Sebenarnya ia paham betul dengan apa yang tengah terjadi pada rumah tangga mereka. Hubungan gelap antara seorang direktur personalia dengan seorang staff marketing eksekutif itu, sudah bukan rahasia lagi baginya. Ia kerap memergoki kemesraan mereka. Di ruangan Ammar, di pantry, di kantin, bahkan di kafe langganannya saat ia sedang dinner bersama suaminya pada suatu malam. Namun, ia tak berani melaporkan hal itu pada Marwa. Berulang kali Ammar memperingatkannya, agar menyimpan rapat-rapat rahasia busuknya itu. Baik dari istrinya maupun seluruh staff dan karyawan di perusahaan. Jika rahasia itu sampai bocor, maka ia akan dipecat dari pekerjaannya. Tak ada pilihan lain. Meski terbebani, ia harus tetap merahasiakannya. Biarlah waktu yang akan mengungkap semua ini. Bagaimanapun menyimpan bau busuk, pasti suatu saat akan tercium juga, pikirnya. *** Pintu lift terbuka. Dengan langkah gontai Marwa berjalan menyusuri koridor lantai dasar hingga ia tiba di basement. Di dalam mobil ia menggulir layar pada ponsel dan membuka aplikasi g****e maps. Tak ingin berlama-lama, ia pun melajukan kendaraannya menuju ke suatu tempat. 'Tunggu kedatanganku dan akan kuberikan kalian kejutan terindah yang tak kan bisa kalian lupakan seumur hidup!' gumamnya sambil terus melaju. Hanya memakan waktu setengah jam perjalanan, kini ia sudah tiba di depan sebuah rumah megah bergaya eropa yang menjulang tinggi, di kawasan perumahan elite. Ia berdecak kagum. Matanya menyisir sekeliling. 'Jadi wanita brengsek itu sekarang tinggal di rumah gedongan ini? Hebat sekali dia! Baru 2 tahun jadi orang kantoran sudah bisa punya rumah di kawasan elite seperti ini. Apa jangan-jangan rumah ini pemberian Mas Ammar?' Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumah itu tampak sepi. Tak ada kendaraan terparkir di garasi. Ia berpikir sejenak. Teringat informasi yang diberikan Nanda, bahwa suaminya mampir ke sini tadi pagi. Tetapi kenapa sepi? Apa mereka sudah pergi? Lalu kemana perginya? Ah, shit! Marwa berniat pergi ke rumah mertuanya. Entah mengapa, feeling-nya mengatakan bahwa mungkin suaminya tengah berada di sana bersama wanita selingkuhannya itu, melakukan perbuatan haramnya lagi seperti kemarin. Marwa mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil, ketika tiba-tiba melihat seorang wanita paruh baya ke luar dari dalam rumah. Ia langsung menghampiri dan mengajukan beberapa pertanyaan pada wanita berdaster hijau itu. "Oh, jadi sudah dari tadi perginya, Mbok?" tanya Marwa ketika wanita itu mengatakan bahwa majikannya sedang tak ada di rumah. "Terus si Mbok tau, nggak, mereka perginya ke mana?" "Tadi, sih, pamitnya mau nginap di rumah calon mertua katanya. Sekalian titip pesan juga ke saya supaya hari ini saya jaga rumah dan nggak usah pulang. Begitu, Non," jelas wanita itu dengan lembut. "Ya, sudah. Kalau begitu saya permisi, deh, Mbok. Bilang saja ke Bu Alena, kalau tadi ada temannya yang datang," pamit Marwa sembari memakai kacamata hitamnya yang sejak tadi bertengger di atas kepala. "Baik, Non," ucap si Mbok. Kemudian ia pun bergegas masuk ke dalam mobil dan melesat dengan kencang menuju tujuan. 'Kali ini tak ada ampun. Aku akan pergoki kalian, manusia-manusia kotor!' Mobil terus melaju membawa wanita yang hatinya tengah hancur berantakan itu sampai di depan rumah mertuanya. Ia terpelongo melihat keadaan rumah itu. Rumah yang ia pikir masih tak berpenghuni, kini dalan keadaan terbuka. Di halaman terparkir sebuah mobil yang ia yakini milik suaminya, dan beberapa kendaraan roda dua yang entah kepunyaan siapa. Kedua alisnya bertaut. Kenapa ramai sekali? Ada apa ini dan siapa mereka?Alena yang masih mengintip dari balik dinding, bersiap-siap menjalankan misinya. Pewarna bibir yang selalu ada di saku, ia poleskan ke bibir. Membuat bibir tipisnya semakin merah menyala.Tak lama William yang sudah selesai memberikan perintah pada si office girl pun mulai mengayun langkah ke luar pantry.Tiba-tiba ...."Arghhh ...." pekik Alena, yang memang sengaja menabrakkan tubuhnya dengan sangat keras ke arah William."Eeh eehhh ...." William pun terhuyung, membuat mereka berdua akhirnya terjatuh dalam keadaan yang tak pantas untuk dilihat.Kejadian yang begitu cepat itu membuat William sangat terkejut, dan benar-benar tak menyangka bahwa wanita yang berada di atas tubuhnya saat ini adalah Alena. Saling tatap pun tak dapat terelakkan. Seakan seketika waktu berhenti dan membekukan suasana.William benar-benar terkejut. Sementara Alena benar-benar terpana. Baru kali ini ia melihat wajah William dengan jarak hanya beberapa inchi saja dari wajahnya.Beberapa pasang mata tertuju pada
"Kenapa telat? Baru hari pertama kerja kamu sudah tidak disiplin!" bentak seorang wanita bertubuh subur. Ia melirik arloji di tangan kanannya. "Kamu tau ini sudah jam berapa, hah? Kamu itu sudah telat setengah jam. Kalau tidak serius ingin bekerja di sini, ya, sudah, pergi saja!""M-maaf, Mbak!""Mbak? Kamu panggil saya Mbak? Hello, ini kantor, bukan toko. Panggil saya Ibu. Dasar tidak sopan!""I-iya, maaf maaf, Bu! T-tadi saya kejebak macet di jalan. Saya janji besok-besok nggak akan telat lagi," sahut Alena tertunduk sembari memilin ujung kemejanya.Seumur-umur baru kali ini dibentak atasan. Dulu, ia bagai anak emas. Bisa berbuat sekehendak hati karena Ammar akan selalu menjadi tamengnya."Ya, sudah. Sekarang kamu naik ke lantai 3 dan bersihkan semuanya!" titah wanita itu."A-apa? B-bersih-bersih, Bu?""Iya. Apa kata-kata saya kurang jelas?""M-maksudnya saya ke lantai 3 untuk bersih-bersih?" tanya Alena setengah tak percaya."Nggak. Main sirkus! Ya, iyalah!""J-jadi saya bekerja di
"Kamu yakin, Nak, dengan keputusanmu untuk memasukkan wanita itu bekerja di perusahaan ini? Kamu tidak lupa, kan, dengan apa yang sudah dia lakukan pada rumah tanggamu?" tanya Pak Najib, CEO di perusahaan tempat Marwa bekerja, ketika mereka sedang menunggu pesanan makanan di sebuah kafe."Iya, nih. Hati-hati, loh! Jangan-jangan dia punya niat nggak baik lagi sama kamu." William yang duduk bersisian dengan Marwa pun merasa heran. Memang ia tahu, bahwa sekarang calon istrinya itu sudah memaafkan perbuatan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Akan tetapi, apakah itu juga berlaku pada wanita pelakor itu?Marwa menghela napas, lalu menyeruput segelas jus melon yang ada di hadapannya. "Tadinya saya juga sempat negative thinking sama dia, Pak. Tapi setelah saya pikir-pikir, setiap orang bisa berubah, kan? Ya, mungkin saja dengan kesengsaraan yang dia alami selama ini, bikin dia bertobat dan mau berubah menjadi lebih baik.""Mudah-mudahan saja. Tapi sebetulnya saya heran. K
"Mbak Alena?" Kania terperanjat melihat sosok wanita yang tengah berdiri tegak di hadapannya dengan dua buah koper di kanan dan kiri."Mas ...." Alena langsung menghambur masuk melewati Kania begitu saja, tanpa memedulikan keterkejutan gadis itu."Kamu sudah pulih, Mas? Kamu sekarang sudah bisa berjalan?" Alena memeluk erat tubuh Ammar.Merasa sangat bahagia melihat suaminya kini tak lagi duduk di kursi roda. Ia mengurai dekapan dan memerhatikan kondisi fisik Ammar dari atas hingga bawah. Rasanya tak percaya. Akhirnya lelaki yang pernah sangat ia cintai hartanya itu, kini sebentar lagi akan perkasa seperti dulu.Ammar yang masih terpelongo dengan kedatangan Alena, hanya mematung. Ada mimpi apa wanita yang sudah tega meninggalkannya itu sekarang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia bertanya-tanya di dalam hati, darimana wanita ini tahu kalau mereka tinggal di sini?"Eh, eh ... mau apa kamu tiba-tiba datang ke sini, hah?" Bu Salma segera menarik tubuh wanita yang pernah jadi asisten rumah
"Wow!" Kedua bola mata William membeliak. "Jadi ini rumahnya?"William yang sudah mendengar semuanya dari Marwa ketika di perjalanan tadi, terkesima melihat rumah mewah nan megah yang menjulang tinggi di hadapannya.Matanya menyisir setiap sudut dan lekukan rumah bercat putih bergaya itali itu. Ia berdecak kagum. Sungguh sempurna tanpa cela.Tak menyangka, ternyata sedalam ini rasa cinta Ammar terhadap Alena? Pantas saja Marwa begitu sakit hati dan menaruh dendam mendalam pada suaminya itu. Ia jadi merasa sangat kasihan pada wanita di sampingnya, meski kini wanita itu sudah tampak lebih tegar.Rumah yang sudah beberapa bulan terakhir tak berpenghuni itu tampak tak terawat. Di halaman terpancang sebuah tiang bertuliskan "Rumah ini disita oleh Bank". "Iya. Ini rumah pemberian Mas Ammar untuk Alena yang aku ceritakan tadi. Bagaimana menurutmu? Apa pembalasanku terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan apa yang sudah dia lakukan di belakangku?" Marwa tersenyum getir."Delapan juta. Dia
"Benar, kan, apa kataku?" William memulai percakapan sesaat setelah mereka berada dalam mobil, di area parkir rumah sakit.Sejak keluar dari ruangan Ammar, tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya mengayun langkah cepat dan ingin segera mencari udara segar. Kejadian yang baru saja terjadi membuat mereka sedikit syok."Perkataan yang mana?" tanya Marwa tak mengerti ke mana arah pembicaraan."Ammar akan cemburu berat dan nggak akan bisa terima kenyataan, ketika tahu bahwa akulah yang akan menggantikannya menjadi suamimu." William mulai menghidupkan mesin mobil."Kenapa kamu seyakin itu?""Tentu saja. Dia pasti merasa minder. Merasa dia nggak ada apa-apanya bila dibandingkan aku yang ... yaaa kamu tau sendirilah ... handsome, younger, and the ... hahaha!" William terbahak mendengar ucapannya sendiri. "Nggak bermaksud memuji diri sendiri, sih. Tapi seberapa pun kerasnya aku menyangkal, kenyataannya memang seperti itu, kan? Hahaha!"Marwa ikut terkekeh. "Jangan ge-er dulu, P