Share

ibu

''Ibu!' Aku menghampiri dan coba menggoyangkan tubuhnya. Tapi ibu tidak merespon, matanya yang sembab itu tertutup, ibu hanya diam.

''Zahra, apakah ibumu pernah pingsan seperti ini sebelumnya?'' tanya Pak RT melihatku.

''Setahu saya tidak, Pak. Tapi, akhir-akhir ibu memang sering  terlihat minum obat, katanya itu hanya obat sakit kepala biasa. Jadi saya tidak terlalu khawatir,''

''Ibumu itu menderita kanker darah,'' sahut Tante Mia tiba-tiba.

''A`apa! Ka~kanker? Itu tidak mungkin, karna ibu tidak pernah menceritakan kalau dia sedang sakit padaku.''

Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tante Mia, wanita itu pasti mengarang cerita lagi, tidak mungkin ibu sakit. Ibu tidak mungkin menyembunyikan hal seperti ini padaku, ibu juga terlihat baik-baik saja sebelum aku pindah.

''Ibumu memang sengaja merahasiakan tentang penyakit yang diderita. Aku juga baru tahu saat melihat hidung Fatimah mengeluarkan darah ketika pemakaman ayahmu dua bulan lalu. Saat itu dia menceritakan semuanya, dia juga berpesan agar tidak ada satu orang pun yang mengetahui tentang penyakitnya. Terutama kamu, dia takut kamu bertambah sedih,'' ucap Tante Mia.

''Aku tidak percaya dengan semua yang kau katakan! Kau pasti berbohong! Ini tidak mungkin, ibu tidak mungkin sakit!'' Aku berteriak memeluk tubuh lemah ibu. ''Ibu bangunlah, buka matamu, katakan pada wanita itu bahwa ibu tidak sakit, ibu sehat,  dan ibu baik-baik saja,''

'Zahra, tenangkan dirimu. Ayo kita bawa Bu Fatimah ke rumah sakit, di sana kita semua akan tahu yang sebenarnya,'' Pak RT menepuk pelan bahuku berusaha menenangkan, lalu menyuruh para warga yang  sudah mengerumuni kami semenjak ibu jatuh pingsan membantu.

Kami semua membawa ibu ke rumah sakit, termasuk Tante Mia. Aku juga melihat  Sang preman yang tadi berusaha mencelakaiku juga ikut bersama kami, bahkan dia juga ikut menolong mengangkat tubuh ibu bersama warga. Ternyata di balik tampilan kasar dengan tato dan otot besarnya itu, dia memiliki hati yang lembut dan baik.  

''Bu Fatimah, apa yang sudah terjadi? Kenapa Beliau sampai seperti ini?'' tanya seorang Dokter wanita yang melihat ibu saat kami baru saja sampai di rumah sakit.

Kenapa Dokter ini tahu nama ibu? apa Beliau teman ibu? Tapi, setahuku ibu tidak punya teman seorang Dokter. Ah, sudahlah nanti saja aku tanyakan kalau ibu sadar, ibu pasti sadar, kan? aku masih yakin apa yang dikatakn Tante Mia itu pasti bohong.

Ibu langsung dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat, Dokter wanita tadi langsung memeriksa keadaan ibu. Namun tiba-tiba saja dia langsung menyuruh Para Perawat untuk segera menyiapkan ruangan yang ntah apa namanya, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, yang jelas saat ini rasa takut sudah mulai datang membayangiku. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa sampai sekarang ibu belum bangun juga.

Beberapa menit kemudian Para Perawat yang tadi kembali datang, atas instruksi yang di berikan Dokter wanita itu mereka langsung membawa ibu yang masih belum sadar. Aku mengikuti mereka yang mendorong tempat tidur ibu. Saat ini aku hanya mampu mengikuti kemanapun ibu mereka bawa, dan menyerahkan kondisi ibu kepada mereka. Aku hanya ingin ibu kembali sadar dan sehat.

''Maaf, Dik. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Untuk Bu Fatimah, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menolongnya, kamu jangan khawatir,'' ucap Dokter wanita itu saat melihatku juga akan mengikutinya masuk ke kamar yang betuliskan ruang ICU ini.

''Tapi, saya hanya ingin menemani ibu,''

''Zahra, kita tunggu di sini saja, ya. Biarkan Bu Dokter menolong ibumu, mereka pasti tahu apa yang akan dilakukan,'' ucap Pak RT kembali berusaha menenangkanku.

Ya, Pak RT dari tadi selalu bersamaku. Sedangkan Tante Mia sudah tak terlihat semenjak ibu di pindahkan ke ruangan ini, Abang preman tadi juga sudah pergi ntah kemana. Mungkin mereka berdua sudah pulang.

***

Sudah dua jam ibu di dalam ruangan itu, aku tidak tau bagaimana keadaan ibu sekarang. Perawat yang sesekali keluar  hanya mengatakan agar bersabar dan menunggu saat kutanyakan bagaimana keadaan ibu. Sebenarnya ibu kenapa? Apakah yang dikatakan Tante Mia itu benar?

''Apakah kamu Zahra? Anaknya Bu Fatimah?'' tanya Bu Dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu melihatku.

''Iya, Dok. Apa ibu saya sudah sadar? Bagaimana keadaannya? Ibu baik-baik saja, kan? apakah sekarang aku boleh masuk dan melihatnya?''

''Bu Fatimah sudah sadar, dan dia mengatakan ingin bertemu denganmu,''

''Syukurlah, aku sudah yakin ibu pasti akan sadar dan baik-baik saja. Ibu tidak mungkin sakit seperti yang dikatakan Tante Mia, wanita itu memang hobi sekali berbohong.'' Aku melihat Dokter itu dengan tatapan berbinar, rasa takut yang tadi sempat datang sudah pergi saat mendengar ibu sudah sadar. Itu berarti ibu baik-baik saja, kan?

''Silahkan masuk,'' ucap Dokter itu membukakan pintu untukku.

Akhirnya aku bisa juga menemui ibu, kenapa tidak dari tadi  saja aku di biarkan masuk. Toh, ibu juga akhirnya ingin menemuiku. Akan aku sampaikan keluhanku ini pada ibu, dan sekaligus aku akan pura-pura ngambek padanya karna sudah membuatku sangat khawatir seperti ini.

''I~ibu, apa yang sudah dilakukan Dokter itu padamu? Kenapa tubuhmu dipasangi banyak benda aneh seperti ini?'' tanyaku heran.

''Zahra, maafkan Ibu.'' ucap ibu pelan.

''Loh, Ibu sudah tau kalau aku mau ngambek karna sudah membuatku khawatir dan menunggu lama?''

''Iya, Ibu minta maaf. Lain kali Ibu tidak akan membuat Zahra khawatir lagi,'' jawab ibu masih dengan suara pelan. Mungkin itu karna terhalang oleh alat aneh yang ada di mulutnya.''Zahra, apakah kamu mau berjanji beberapa hal kepada ibu?''

''Eh, ber~berjanji?''

''Iya, Ibu mau Zahra berjanji untuk selalu jaga kesehatan, kurangi makanan manis terutama coklat, kurangi makan gorengan, cobalah untuk memperbanyak makan sayuran, jangan tidur terlampau malam.'' Suara ibu bergetar, kulihat buliran bening mengalir dari sudut matanya.

''Jangan menyimpan dendam dan cobalah memaafkan kesalahan orang lain terutama Tante Mia, jangan larut dalam kesedihan apapun yang terjadi, jangan tinggalkan sholat di manapun Zahra nanti berada, dan nanti kalau Zahra mau menikah pilihlah laki-laki yang selalu mengingat Sang Mahakuasa, karena dia pasti bisa membimbing dan menjaga Zahra.''

''I~ibu kenapa? Kenapa berkata seperti itu dan ingin aku berjanji segala? Bukankah kita akan selalu bersama?''

''Zahra, Ibu akan pulang,'' jawab ibu lirih.

''Tentu saja kita akan pulang, bukankah ibu sekarang sudah baik-baik saja? Kita akan pulang bersama.'' Aku menggengam tangan ibu dan memintanya untuk kembali tersenyum.

Aku berusaha untuk tetap tenang, walaupun sebenarnya ucapan Tante Mia kembali mengganggu pikiranku.

Apakah salah jika aku masih berfikir kalau ucapan wanita itu adalah suatu kebohongan setelah melihat kondisi ibu sekarang? Apakah aku salah jika hanya mencoba untuk berfikir positif dan selalu berharap semua akan baik-baik saja?

Aku memang hanyalah seorang bodoh yang berusaha untuk berpaling dari kenyataan, berusaha untuk bersembunyi karna takut akan kebenaran yang sudah jelas. Aku hanya terlampau takut,  aku takut jika ibu benar-benar menderita penyakit itu, aku takut penyakit itu sampai membuat aku kehilangan ibu.

''Zahra, Ibu menyayangimu,''

''Aku juga sangat menyayangi Ibu.''

Aku memeluk tubuh ibu, ini selalu kulakukan jika hati sedang tidak tenang atau takut. Biasanya ibu akan selalu mengatakan bahwa aku tidak usah khawatir, karena dia akan selalu ada menjagaku.

''Ibu?'' Aku memanggil ibu saat tangannya yang tadi berada di punngungku tiba-tiba terjatuh.

''Ibu? kenapa diam saja?'' ucapku melepaskan pelukan dan beralih menggengam tangannya.

''Ibu? apa yang …''

Aku berlari keluar untuk menemui Dokter, untunglah Beliau masih berada di sana bersama beberapa orang Perawat Pak RT. ''Dok, ibu …''

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status