Share

tawaran

Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.

Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter  sedang  menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu.  Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi  kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?

''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.

Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan  Bu Dokter? 

Pintu  ruangan itu tiba-tiba terbuka, Dokter yang tadi masuk memeriksa keadaan ibu sudah keluar. Aku dan Pak RT  menghampirinya dan langsung menanyakan bagaimana keadaan ibu.

''Maaf Pak, Zahra, Bu Fatimah tidak bisa kami selamatkan. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menolongnya, tapi Sang Mahakuasa ternyata punya rencana lain yang lebih baik,''

Jawaban Dokter itu bagaikan petir yang menyambar dengan keras di telingaku,  pikiran positif yang dari tadi berusaha kubangun tiba-tiba roboh seketika. Tubuhku terasa lemas, dunia serasa berputar. Kalimat yang paling kutakutkan sekarang terdengar jelas.

Aku terdiam, air mata yang dari tadi berusaha kujaga agar tidak tumpah, sekarang sudah mulai mengalir deras dari tempatnya. Ternyata sebuah keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja memang tidak akan mampu menahan takdir yang sudah di gariskan.

''Aku ingin menemui ibu,''

''Silahkan,''

Aku berlari masuk ke dalam ruangan itu, Terlihat tubuh ibu baru saja ditutup dengan selimut putih oleh salah seorang Perawat.

''A~apa yang kalian lakukan pada ibuku? Ke~kenapa kain itu sampai menutupi wajahnya?  ibu tidak suka tidur dengan wajah tertutup, katanya itu bisa membuat ibu kesulitan bernafas,'' ucapku menurunkan kain itu sampai ke dada ibu.

''Ya, begini baru benar. Kalau begini ibu tidak akan kesulitan ber …'' Aku melihat wajah ibu yang begitu pucat, matanya sudah tertutup. Aku masih tidak percaya dengan semua yang kulihat, ini tidak mungkin terjadi, ibu  pasti hanya tertidur sebentar.

''Zahra, cobalah untuk mengikhlaskan ibumu, biarkan dia pergi dengan tenang,'' Pak RT menepuk pelan bahuku.

''Pergi kemana? Ibu akan selalu bersamaku. Tadi dia sendiri yang mengatakan akan pulang bersama,' jawabku memeluk tubuh ibu.

''Zahra, tenanglah. Sikapmu ini malah akan membuat Bu Fatimah tidak tenang,''

''Tapi a~aku …'' 

Ntah apa yang saat ini kurasakan, rasa takut, sedih, khawatir, serta amarah juga mulai datang.  Tapi yang  jelas rasanya saat ini aku belum siap untuk kehilangan ibu. Aku baru saja pulang setelah satu bulan tinggal bersama Tante Mia, kami belum sempat bertukar cerita, Ibu  juga belum memasakkan telur gulung favoritku. Dan sekarang tiba-tiba ibu pergi begitu saja?

Ini semua salah Tante Mia! Wanita itulah yang harus bertanggung jawab sekarang, karena semua ini tidak akan terjadi jika dia tidak datang ke rumah. Semua baik-baik saja sebelum dia mengamuk tidak jelas menuntut balas atas kesalahan anaknya sendiri dan mengarang kebohongan-kebohongan yang membuat ibu shock dan jatuh pingsan.

***

Aku masih duduk sambil melihat dua buah pusara yang masing-masing betuliskan nama dua orang yang paling kusayangi. Air mata sudah enggan untuk keluar, atau bahkan  mungkin sudah habis kugunakan seluruhnya semenjak orang-orang yang biasa menahannya untuk rumpah tidak ada lagi.

''Zahra, kamu masih  di sini?''

Aku menoleh sekilas ke arah sumber suara, tapi setelah mengetahui orang yang tadi bicara segera kupalingkan  wajah kembali melihat nisan ibu.

''Zahra, ayo pulang. Sudah satu jam kamu di sini,'' ajak orang itu.

Aku hanya diam tidak menanggapi apa yang dia katakan, bahkan tidak peduli sama sekali.

''Zahra, ayo pulang. Hari sudah mulai gelap, sepertinya akan turun hujan, nanti kamu bisa sakit.''

''Tidak usah berpura-pura peduli padaku, itu membuatku muak,'' ucapku tanpa melihatnya.

''Kenapa malah berbicara seperti itu? Padahal aku adalah  satu-satunya keluarga yang kau miliki sekarang, harusnya kau bisa bersikap sedikit lebih ramah. Apalagi tadi aku sudah berusaha untuk bersikap layaknya seorang Tante yang baik.''

Tante yang baik katanya? Orang ini sungguh lucu, setelah semua yang dia lakukan padaku dan ibu? Apakah dia tidak sadar apa yang sudah dia lakukan, bahkan sekarang dia masih berdiri di hadapan pusara ibu yang masih basah.

Dia juga mengatakan aku harus bersikap ramah kepadanya yang merupakan satu-satunya keluarga, begitu? Aku lebih memiih tidak memiliki keluarga daripada harus mengakui orang ini sebagai Tante. Lagipula aku  tidak suka berpura-pura seperti yang dia lakukan.

''Menurutku sekarang kita sudah impas, dendamku sudah terbalaskan. Jadi sekarang aku datang untuk mencoba mengajakmu untuk berdamai, kita lupakan masa lalu, mari kita mulai lembaran baru antara seorang Tane dan keponakannya.'' Tante Mia menepuk pelan bahuku, namun segera kutepis tangannya. Rasanya aku tidak sudi disentuh oleh orang ini.

Orang ini sungguh tidak tahu malu, apakah sekarang dia sedang menguji kesabaranku? Kalau saja aku tidak ingat akan janji pada ibu untuk bisa memaafkannya, mungkin sekarang wanita ini sudah bersama dengan anak brengs*knya itu terbaring koma di rumah sakit.

''Kau sudah membunuh ibuku, dan sekarang malah mengatakan ingin berdamai? Bahkan jika kau kubunuh sekarang tidak akan bisa menyeimbangkan perbuatan yang kau lakukan.'' Aku menatap tajam padanya.

''Kamu tidak tahu apa yang sudah di lakukan Fatimah padaku di masa lampau. Tapi …  sudahlah. Padahal aku sudah berusaha untuk bersikap baik, tapi sepertinya kamu tidak menginginkannya. Lagipula apa yang sudah kulakukan? Tidak ada. Bahkan seharusnya kamu berterimakasih padaku, karna sudah memberitahukan penyakit Fatimah padamu, dan  mengabaikan janjiku untuk tidak memberitahumu. Malah seharusnya aku yang harus marah, anakku sekarang masih di rumah sakit. Ingat, kan?''

Bagaimana mungkin orang ini bisa berbicara seperti itu? Di sini, di depan pusara adiknya sendiri. Astaga … rasanya kesabaranku sudah mulai habis. Memangnya kejahatan apa yang bisa dilakukan wanita sebaik ibu padanya? Selama ini yang kulihat justru ibu sangat baik pada adiknya itu. Ntah kebohongan apalagi yang sekarang direncanakan wanita tidak tahu diri itu.

''Sekarang apa yang kau inginkan dariku?''

''Aku hanya ingin kita berdamai, itu saja.  Cobalah menerima kenyataan, aku saja bisa melakukannya,'' Wanita itu tersenyum lebar padaku. Tapi bagiku senyumannya itu justru malah terlihat seperti seringai aneh yang menambah kebencianku padanya.

''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''  

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status