“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”
Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.
Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.
Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.
Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?
Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.
“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”
Semua mata langsung tertuju padanya.
Sejenak suasana membeku.
‘Dia mau membantuku mencari alasan?’ batin Isvara terkejut, tidak menyangka dengan langkah Alvano.
Ibu Isvara menyipitkan mata, wajahnya berubah merah karena menahan amarah.
“Pacar? Tapi kenapa baru sekarang kami tahu?” katanya sinis, matanya menelusuri Alvano dari atas ke bawah seakan menilai kekurangannya. “Tidak seperti Tara yang sudah mapan dan jelas masa depannya.”
Isvara buru-buru memegang tangan ibunya, mencoba menenangkan. “Bu, Ayah, Alvano orang baik. Dia mungkin belum lama kalian kenal, tapi aku percaya dia bisa menjadi suami yang baik untukku. Dan ...”
Isvara menarik napas dalam, berusaha menyisipkan sedikit desakan dalam suaranya, “Penghulu sudah menunggu. Kita tidak bisa menunda lagi.”
Baskara dan Anita saling berpandangan, ragu, tetapi tekanan waktu dan kekhawatiran akan malu di hadapan tetangganya nanti membuat mereka akhirnya mengalah.
Baskara mengangguk kaku. “Ya sudah, kalau itu keputusanmu, kami ikutkan saja. Yang penting, jangan sampai mempermalukan keluarga.”
Anita mendengus pelan, masih tampak kesal, tapi tak lagi membantah. Dia juga tidak bisa membiarkan pernikahan anaknya batal karena pasti akan membawa omongan tetangga yang tidak baik untuknya.
Mereka pun berdiri, bersiap untuk melangsungkan akad, meski hati mereka masih dipenuhi tanda tanya tentang pria bernama Alvano itu.
--
Setelah prosesi pernikahan selesai, Alvano berdiri di hadapan kedua orang tua Isvara dengan sikap tenang.
“Selesai ini, saya akan membawa Isvara tinggal di rumah saya,” ucap Alvano dengan suara datar, tetapi cukup mantap.
Baskara mengangguk pelan, menatap Alvano dalam-dalam. Dia lalu menghela napas berat, sebelum berkata, “Kalau begitu, kami titipkan Isvara padamu.”
Suara Baskara terdengar berat, penuh tekanan emosional yang dia tahan.
“Dia mungkin tidak sempurna, tapi dia anak kami. Kami hanya ingin satu hal: jangan sakiti dia,” lanjutnya, menepuk bahu Alvano dengan kuat.
“Saya mengerti, Pak. Saya akan menjaga Isvara sebaik mungkin,” balas Alvano singkat.
Anita yang berdiri di sisi suaminya, menatap Isvara dengan sorot mata sendu. Dia tersenyum kecil, meski ada banyak kekhawatiran yang tak terucap.
“Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya lembut kepada putrinya.
Isvara hanya mengangguk, menahan semua gejolak di dadanya.
Segalanya terasa terlalu cepat, terlalu asing, tapi kini semuanya sudah terlanjur berjalan.
Setelah orang tua Isvara pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Isvara melirik Alvano yang sedang mengecek ponselnya dengan ekspresi datar. Dia mengusap jemarinya yang terasa dingin, lalu mencoba mengucapkan sesuatu yang sejak tadi mengganjal di benaknya.
“Terima kasih sudah setuju dengan ini semua. Saya akan lakukan apa pun untuk membalas semua ini,” kata Isvara akhirnya.
Alvano mendongak, menatap wanita di depannya dengan datar. “Tidak perlu memikirkan soal balas budi. Kita hanya perlu bermain peran sebagai suami istri di depan orang lain. Selebihnya, kita hidup masing-masing.”
Kata-kata itu terasa begitu dingin. Membuat Isvara menelan ludahnya. Ini bukan pernikahan impian yang pernah dia bayangkan. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada kehangatan—hanya sebuah kesepakatan yang dipaksakan oleh keadaan.
“Apa setelah ini saya langsung tinggal di rumah Anda?” tanya Isvara ragu.
“Ya, tapi saya harus ke kantor karena masih ada urusan.” Alvano mengambil dompet dari saku jasnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan secarik kertas. “Ini untuk pesan taksi online dan ini alamat rumahku.”
Isvara buru-buru menggeleng. “Saya tidak bisa ambil uang itu. Saya ... tidak mau merepotkan. Lagi pula, Anda sudah banyak membantu saya.”
Alvano menghela napas, pendek tapi berat. “Tolong, jangan buat semuanya lebih repot lagi.”
Alvano menyelipkan uang itu ke telapak tangan Isvara, memaksa, tapi tidak kasar. Meski ragu, Isvara menerimanya dengan jari yang sedikit gemetar.
“Ngomong-ngomong, saya belum punya nomor Anda,” ucap Isvara kemudian.
Alvano mengeluarkan ponselnya. Lalu mereka bertukar nomor tanpa banyak kata. “Jangan bicara terlalu formal lagi, orang tidak akan percaya kalau kita suami istri.”
Sampai akhirnya Alvano berbalik dan pergi tanpa menoleh. Sementara Isvara hanya bisa menatap punggung pria yang kini menjadi suaminya itu, menghilang di balik pintu.
Setelah Alvano pergi, Isvara memesan taksi online lewat ponselnya.
Sesampainya di rumah, Isvara langsung membereskan barang-barang yang perlu dibawa. Tidak banyak, hanya pakaian secukupnya, beberapa buku, dan beberapa barang pribadi. Toh, kalau ada yang tertinggal, dia masih bisa bolak-balik ke rumah ini.
“Isvara,” panggil Anita pelan. Nada suaranya lembut, meski sorot matanya belum sepenuhnya tenang. “Apapun yang terjadi, bersikaplah baik pada Alvano dan keluarganya. Kamu harus jaga nama baik keluarga kita.”
Isvara hanya mengangguk, tak sanggup membalas dengan kata-kata. Setelah berpamitan, dia berjalan keluar rumah, menuju taksi online yang sudah dipesan sebelumnya.
Perjalanan menuju rumah Alvano terasa sunyi, meski jalanan ramai. Begitu mobil melewati gerbang besar bertuliskan Aurora Hill Estate, Isvara merapatkan jaketnya. Udara mendadak terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya karena gugup.
Isvara turun di pinggir jalan perumahan, mencoba mencocokkan angka di pagar dengan alamat di secarik kertas. Namun, semuanya tampak mirip. Halaman bersih, pagar hitam elegan, dan nomor rumah yang kecil dan sulit terlihat.
Isvara mencoba menelepon Alvano. Sekali. Dua kali. Namun, tidak diangkat. Lalu, dia mencoba mengirim pesan.
[Aku sudah sampai. Rumahmu yang mana?]
Centang satu.
Kemudian, Isvara mencoba menelepon Alvano lagi, tetapi tetap tidak diangkat.
Isvara memandang sekeliling, berdiri ragu di depan salah satu rumah yang dia curigai sebagai milik Alvano. Namun, dia tidak begitu yakin. Tak mungkin juga dia sembarangan mengetuk pintu orang tanpa kepastian.
Dia menghela napas panjang dan mencoba lagi menghubungi Alvano lewat ponselnya. Namun, berkali-kali panggilannya hanya berujung pada suara operator. Pesan yang ia kirim pun tak kunjung dibaca.
Rasa cemas mulai merayap di dada Isvara. Dia melirik sekeliling, bingung harus bagaimana. Tidak mungkin dia terus berdiri di depan rumah orang dan menarik perhatian.
Akhirnya, Isvara memilih untuk berjalan kembali ke depan gerbang kompleks. Di dekat pintu masuk, ada sebuah pos satpam kosong yang tampak tak terpakai. Di sana ada bangku panjang yang tampak berdebu, tapi setidaknya cukup untuk duduk.
Isvara menurunkan tubuhnya di bangku itu. Ia merapatkan jaket tipis yang dipakainya, berusaha mengusir dingin malam yang mulai menusuk.
Matahari perlahan tenggelam, dan lampu-lampu jalan satu per satu mulai menyala.
Isvara tetap bertahan di pos kosong itu, sesekali memandang jalanan, berharap mobil Alvano akan melintas atau sosok pria itu akan muncul.
___
Sementara itu di sisi lain, Alvano melemparkan tubuhnya ke kursi mobil begitu keluar dari gedung kantor. Jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Hari ini pekerjaannya lebih gila dari biasanya.
Dia menghela napas berat sambil menyalakan mesin mobil. Refleks, tangannya merogoh saku dan mengambil ponsel.
Layar menyala menunjukkan belasan panggilan tak terjawab.
Semua dari satu nama: Isvara.
Alvano mendadak terdiam.
Dia bahkan lupa bahwa dia sudah menikah dengan Isvara hari ini.
Alvano menghela napas berat, lalu menggaruk kepala belakangnya.
“Bodoh,” desisnya kesal pada diri sendiri.
Tentu, tindakan Alvano bisa dibilang gegabah. Menantang duel minum di klub bukan tindakan CEO waras di tengah malam. Namun, semua itu bukan tanpa perhitungan.Proyek kolaborasi Valora X Tenka sudah terlalu banyak menemui kendala. Penjadwalan ulang photoshoot bisa menyebabkan kerugian besar, bukan hanya finansial, tapi juga reputasi brand. Mengganti model dengan waktu sesingkat ini? Tidak realistis.Ini bukan hanya tentang melindungi istrinya.Ini tentang menyelamatkan proyek yang sudah nyaris sempurna, yang Alvano bangun dengan kerja keras dan detail.Maka ya, ini mungkin gila.Namun, gila yang strategis.Dan jika harus meneguk beberapa gelas tequila demi mengamankan semuanya?Alvano siap. Bukan hanya untuk istrinya, tapi untuk perusahaannya juga.Dengan sedikit anggukan dari Aruna, salah satu pria bertubuh besar di sofa bangkit. Namanya Genta, dan dari postur tubuh serta kaos ketat yang dikenakan, sepertinya dia merasa cukup percaya diri untuk menghadapi siapa pun di meja itu.“Dia,
Tidak sampai dua puluh menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil. Sebelumnya, mereka sempat berganti pakaian terlebih dulu.Isvara tidak mungkin pergi ke klub malam hanya mengenakan daster yang tadi dia pakai untuk memasak. Bisa-bisa dia diusir sebelum sempat masuk.Alvano menyetir, sementara Isvara tengah sibuk menelepon manajer Aruna untuk memastikan lokasi klub yang dimaksud.Sesekali Isvara juga mengecek ponselnya, memastikan tidak ada pesan darurat dari tim produksi yang masih berjaga di studio untuk persiapan pemotretan esok hari.Sepanjang perjalanan, Alvano lebih banyak diam. Wajahnya tetap menghadap ke jalan, tapi setiap kali mobil berhenti di lampu merah atau melambat di persimpangan, sorot matanya melirik ke arah Isvara. Wajah datar itu tidak bisa menyembunyikan gelisah, juga sedikit jengkel.Begitu tiba di depan klub, Alvano segera turun lebih dulu. Dia berjalan memutari mobil dan membukakan pintu untuk Isvara. Tanpa berkata apa-apa, tangannya langsung melingkar d
Beberapa menit kemudian, Alvano kembali muncul, menuruni tangga dengan kantong kecil di tangan. Plastik bergambar pisang berwarna kuning cerah itu langsung mencuri perhatian Isvara.“Tokyo Banana!” seru Isvara, nyaris melengking karena terlalu senang. Alvano mengangguk kecil. “Yang kamu pesen itu, ‘kan? Harusnya semalam aku kasih, tapi …” Dia tidak melanjutkan, hanya mengedikkan dagu, jelas merujuk pada pertengkaran semalam tanpa perlu menyebutkannya secara langsung.Isvara hampir saja mengulurkan tangan, refleks ingin merebut oleh-oleh yang dia pesan. Namun dia buru-buru berhenti, menatap kedua telapak tangannya yang masih belepotan bumbu dari ayam yang sedang dia siapkan.“Nanti deh, aku cuci tangan dulu–”“Nggak usah.” Alvano sudah kembali duduk di sebelahnya. Dia membuka bungkusnya pelan-pelan, seperti menyuguhkan sesuatu yang lebih dari sekadar camilan. Dengan hati-hati, dia memotong sepotong kecil dan menyuapkan ke mulut istrinya.Perempuan itu sempat terkejut, tapi tentu saja t
Isvara sampai rumah tidak lama setelah langit mulai meremang jingga. Dia sibuk merapikan belanjaan di dapur, menata sayur dan daging ayam sambil bersenandung pelan. Kepalanya lumayan ringan, jauh lebih lega dibanding pagi tadi.Baru saja Isvara selesai membersihkan sayuran ketika suara pintu depan terbuka. Isvara sontak menoleh cepat, dan mendapati Alvano berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan kemeja kerja yang tampak kusut dan dasi yang longgar di lehernya. Wajahnya lelah, tapi riak wajahnya berbeda, dan Isvara tidak tahu kenapa.“Van? Tumben udah pulang?” tanya Isvara hati-hati. Heran juga, karena biasanya Alvano pulang lebih malam.Alvano tidak langsung menjawab. Tatapannya tidak terputus pada istrinya, lama, dalam, seperti tengah menafsirkan sebuah teka-teki rumit. Lalu dalam beberapa langkah panjang, dia sudah ada di hadapan istrinya.Sebelum Isvara sempat mundur atau bahkan bertanya lebih jauh, tubuhnya sudah direngkuh erat. Lengan Alvano melingkar kokoh pada bahu Isvara, men
Sementara itu, Isvara kini sedang berada di supermarket terdekat dari rumah. Setelah seharian mencoba tidur, atau lebih tepatnya berusaha menenangkan pikirannya yang penuh setelah semalam pingsan. Dia memutuskan keluar sebentar.Hari ini Isvara memang tidak masuk kerja. Alvano dengan tegas memintanya untuk istirahat penuh. Namun, diam terlalu lama di kamar hanya membuat pikirannya makin keruh, terus-menerus terisi ulang oleh kata-kata dari ibu mertuanya.Maka, dia memilih sesuatu yang sederhana: belanja bahan makanan. Melihat deretan sayur dan buah yang tertata rapi membuatnya merasa sedikit lebih waras.Dalam hati, Isvara ingin memasak ayam panggang rosemary, makanan favorit Alvano. Entah kenapa, ada keinginan dalam dirinya untuk membuat suaminya tersenyum malam ini. Setelah hampir dua minggu terpisah, tidakkah wajar bila dia rindu? Dan ingin menebus semua jarak, semua luka?Saat berbelok ke lorong buah. Pandangannya tertumbuk pada seorang pria tua yang sedang berjuang mengangkat sema
‘Wah, jangan-jangan Kak Al mau nanya soal uang yang aku pinjam dari Kak Isvara,’ pikir Aksara cepat, jantungnya sempat melompat, tapi wajahnya tetap dipasang santai.“Nanya apa, Kak Al?” tanya Aksara, ragu-ragu sambil menarik kursi dan duduk.“Mau pesan minum dulu?” tawar Alvano.“Nggak usah. Nanti aja. Hausnya belum ngalahin deg-degan,” celetuk Aksara mencoba mencairkan suasana. Namun, Alvano hanya menatapnya. Tenang, tapi tajam.Alvano mengangguk, lalu diam sejenak. Menimbang. Apakah pantas menanyakan hal ini? Namun siapa lagi kalau bukan Aksara? Dia tidak mungkin bertanya pada orang tua Isvara, atau lebih parah lagi pada Isvara sendiri, yang masih tidur lelah setelah semalam tumbang karena emosi.“Aksara …” Akhirnya Alvano bersuara.“Iya, Kak?” Aksara mengerutkan kening. Dia tahu Alvano sedang merumuskan kata-kata. “Tanya aja, Kak. Aku jawab sebisanya.”Alvano menarik napas panjang. Lalu, dengan suara rendah yang terdengar lebih rapuh dari biasanya, dia akhirnya mengutarakan, “Kalau