Share

Bab 2: Setelah Akad

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-04-30 14:38:41

“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”

Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.

Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.

Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.

Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?

Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.

“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”

Semua mata langsung tertuju padanya.

Sejenak suasana membeku.

‘Dia mau membantuku mencari alasan?’ batin Isvara terkejut, tidak menyangka dengan langkah Alvano.

Ibu Isvara menyipitkan mata, wajahnya berubah merah karena menahan amarah.

“Pacar? Tapi kenapa baru sekarang kami tahu?” katanya sinis, matanya menelusuri Alvano dari atas ke bawah seakan menilai kekurangannya. “Tidak seperti Tara yang sudah mapan dan jelas masa depannya.”

Isvara buru-buru memegang tangan ibunya, mencoba menenangkan. “Bu, Ayah, Alvano orang baik. Dia mungkin belum lama kalian kenal, tapi aku percaya dia bisa menjadi suami yang baik untukku. Dan ...”

Isvara menarik napas dalam, berusaha menyisipkan sedikit desakan dalam suaranya, “Penghulu sudah menunggu. Kita tidak bisa menunda lagi.”

Baskara dan Anita saling berpandangan, ragu, tetapi tekanan waktu dan kekhawatiran akan malu di hadapan tetangganya nanti membuat mereka akhirnya mengalah.

Baskara mengangguk kaku. “Ya sudah, kalau itu keputusanmu, kami ikutkan saja. Yang penting, jangan sampai mempermalukan keluarga.”

Anita mendengus pelan, masih tampak kesal, tapi tak lagi membantah. Dia juga tidak bisa membiarkan pernikahan anaknya batal karena pasti akan membawa omongan tetangga yang tidak baik untuknya.

Mereka pun berdiri, bersiap untuk melangsungkan akad, meski hati mereka masih dipenuhi tanda tanya tentang pria bernama Alvano itu.

--

Setelah prosesi pernikahan selesai, Alvano berdiri di hadapan kedua orang tua Isvara dengan sikap tenang.

“Selesai ini, saya akan membawa Isvara tinggal di rumah saya,” ucap Alvano dengan suara datar, tetapi cukup mantap.

Baskara mengangguk pelan, menatap Alvano dalam-dalam. Dia lalu menghela napas berat, sebelum berkata, “Kalau begitu, kami titipkan Isvara padamu.”

Suara Baskara terdengar berat, penuh tekanan emosional yang dia tahan.

“Dia mungkin tidak sempurna, tapi dia anak kami. Kami hanya ingin satu hal: jangan sakiti dia,” lanjutnya, menepuk bahu Alvano dengan kuat.

“Saya mengerti, Pak. Saya akan menjaga Isvara sebaik mungkin,” balas Alvano singkat.

Anita yang berdiri di sisi suaminya, menatap Isvara dengan sorot mata sendu. Dia tersenyum kecil, meski ada banyak kekhawatiran yang tak terucap.

“Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya lembut kepada putrinya.

Isvara hanya mengangguk, menahan semua gejolak di dadanya.

Segalanya terasa terlalu cepat, terlalu asing, tapi kini semuanya sudah terlanjur berjalan.

Setelah orang tua Isvara pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan.

Isvara melirik Alvano yang sedang mengecek ponselnya dengan ekspresi datar. Dia mengusap jemarinya yang terasa dingin, lalu mencoba mengucapkan sesuatu yang sejak tadi mengganjal di benaknya.

“Terima kasih sudah setuju dengan ini semua. Saya akan lakukan apa pun untuk membalas semua ini,” kata Isvara akhirnya.

Alvano mendongak, menatap wanita di depannya dengan datar. “Tidak perlu memikirkan soal balas budi. Kita hanya perlu bermain peran sebagai suami istri di depan orang lain. Selebihnya, kita hidup masing-masing.”

Kata-kata itu terasa begitu dingin. Membuat Isvara menelan ludahnya. Ini bukan pernikahan impian yang pernah dia bayangkan. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada kehangatan—hanya sebuah kesepakatan yang dipaksakan oleh keadaan.

“Apa setelah ini saya langsung tinggal di rumah Anda?” tanya Isvara ragu.

“Ya, tapi saya harus ke kantor karena masih ada urusan.” Alvano mengambil dompet dari saku jasnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan secarik kertas. “Ini untuk pesan taksi online dan ini alamat rumahku.”

Isvara buru-buru menggeleng. “Saya tidak bisa ambil uang itu. Saya ... tidak mau merepotkan. Lagi pula, Anda sudah banyak membantu saya.”

Alvano menghela napas, pendek tapi berat. “Tolong, jangan buat semuanya lebih repot lagi.”

Alvano menyelipkan uang itu ke telapak tangan Isvara, memaksa, tapi tidak kasar. Meski ragu, Isvara menerimanya dengan jari yang sedikit gemetar.

“Ngomong-ngomong, saya belum punya nomor Anda,” ucap Isvara kemudian.

Alvano mengeluarkan ponselnya. Lalu mereka bertukar nomor tanpa banyak kata. “Jangan bicara terlalu formal lagi, orang tidak akan percaya kalau kita suami istri.”

Sampai akhirnya Alvano berbalik dan pergi tanpa menoleh. Sementara Isvara hanya bisa menatap punggung pria yang kini menjadi suaminya itu, menghilang di balik pintu.

Setelah Alvano pergi, Isvara memesan taksi online lewat ponselnya.

Sesampainya di rumah, Isvara langsung membereskan barang-barang yang perlu dibawa. Tidak banyak, hanya pakaian secukupnya, beberapa buku, dan beberapa barang pribadi. Toh, kalau ada yang tertinggal, dia masih bisa bolak-balik ke rumah ini.

“Isvara,” panggil Anita pelan. Nada suaranya lembut, meski sorot matanya belum sepenuhnya tenang. “Apapun yang terjadi, bersikaplah baik pada Alvano dan keluarganya. Kamu harus jaga nama baik keluarga kita.”

Isvara hanya mengangguk, tak sanggup membalas dengan kata-kata. Setelah berpamitan, dia berjalan keluar rumah, menuju taksi online yang sudah dipesan sebelumnya.

Perjalanan menuju rumah Alvano terasa sunyi, meski jalanan ramai. Begitu mobil melewati gerbang besar bertuliskan Aurora Hill Estate, Isvara merapatkan jaketnya. Udara mendadak terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya karena gugup.

Isvara turun di pinggir jalan perumahan, mencoba mencocokkan angka di pagar dengan alamat di secarik kertas. Namun, semuanya tampak mirip. Halaman bersih, pagar hitam elegan, dan nomor rumah yang kecil dan sulit terlihat.

Isvara mencoba menelepon Alvano. Sekali. Dua kali. Namun, tidak diangkat. Lalu, dia mencoba mengirim pesan.

[Aku sudah sampai. Rumahmu yang mana?]

Centang satu.

Kemudian, Isvara mencoba menelepon Alvano lagi, tetapi tetap tidak diangkat.

Isvara memandang sekeliling, berdiri ragu di depan salah satu rumah yang dia curigai sebagai milik Alvano. Namun, dia tidak begitu yakin. Tak mungkin juga dia sembarangan mengetuk pintu orang tanpa kepastian.

Dia menghela napas panjang dan mencoba lagi menghubungi Alvano lewat ponselnya. Namun, berkali-kali panggilannya hanya berujung pada suara operator. Pesan yang ia kirim pun tak kunjung dibaca.

Rasa cemas mulai merayap di dada Isvara. Dia melirik sekeliling, bingung harus bagaimana. Tidak mungkin dia terus berdiri di depan rumah orang dan menarik perhatian.

Akhirnya, Isvara memilih untuk berjalan kembali ke depan gerbang kompleks. Di dekat pintu masuk, ada sebuah pos satpam kosong yang tampak tak terpakai. Di sana ada bangku panjang yang tampak berdebu, tapi setidaknya cukup untuk duduk.

Isvara menurunkan tubuhnya di bangku itu. Ia merapatkan jaket tipis yang dipakainya, berusaha mengusir dingin malam yang mulai menusuk.

Matahari perlahan tenggelam, dan lampu-lampu jalan satu per satu mulai menyala.

Isvara tetap bertahan di pos kosong itu, sesekali memandang jalanan, berharap mobil Alvano akan melintas atau sosok pria itu akan muncul.

___

Sementara itu di sisi lain, Alvano melemparkan tubuhnya ke kursi mobil begitu keluar dari gedung kantor. Jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Hari ini pekerjaannya lebih gila dari biasanya.

Dia menghela napas berat sambil menyalakan mesin mobil. Refleks, tangannya merogoh saku dan mengambil ponsel.

Layar menyala menunjukkan belasan panggilan tak terjawab.

Semua dari satu nama: Isvara.

Alvano mendadak terdiam. Dia bahkan lupa bahwa dia telah menyuruh Isvara datang ke rumahnya sore ini.

Alvano menghela napas berat, lalu menggaruk kepala belakangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
sabar sabar Isyana
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus jalan ceritanya
goodnovel comment avatar
Nila Wahyuni
agak konyol sih ceritanya agak ngga masuk di akal
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 331: Program

    “Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 330: Mungkin

    Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 329: Punya Adik?

    Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 328: Monster Kecil

    Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 327: Boleh?

    Alvano memutar keran shower, dan suara air yang jatuh dari atas terdengar menenangkan di antara desah napas mereka. Dia menoleh, menatap Isvara yang perlahan menanggalkan kain terakhir yang menempel di tubuhnya.Air mulai mengalir dari kepala mereka, menuruni bahu, menurunkan suhu tegang yang sejak tadi menggantung di udara.“Aku bantu bersihin jahitannya, boleh?” tanya Alvano meminta izin.Isvara sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. Ada sesuatu di tatapan suaminya, bukan keinginan yang tergesa, melainkan rasa hormat yang membuatnya merasa aman, seolah seluruh dirinya diterima tanpa syarat.Alvano mengambil handuk kecil, lalu menyapukannya perlahan di kulit perut Isvara. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah yang disentuhnya bukan luka, melainkan sesuatu yang suci. Saat tangannya berhenti di dekat bekas sayatan operasi yang sudah menutup sempurna, dia menunduk.“Nggak nyeri?” tanya Alvano rendah.Isvara menggeleng. “Udah nggak. Cuma kadang masih takut aja.”Alvano tida

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 326: Sepasang Kekasih

    “Untuk aktivitas suami istri, sekarang sudah boleh dilakukan, asal tidak berlebihan dan tetap perhatikan kondisi luka, ya.”Kalimat dari dokter Ratna itu terdengar biasa saja di ruang praktik. Tapi di telinga Alvano? Itu seperti pengumuman pembebasan setelah dua bulan masa tahanan suci. Senyum menahan diri di wajahnya nyaris berubah jadi sorak sorai kalau saja dia tidak sedang duduk di hadapan sang dokter.Begitu keluar dari ruang praktik, Alvano masih menahan senyum di wajahnya. “Kamu dengar sendiri, ‘kan?”Isvara melirik geli, tahu betul arah pikirannya. “Mas, tolong jaga ekspresinya. Kita masih di rumah sakit.”“Ekspresi bahagia dilarang, ya? Soalnya dokter barusan nyelametin pernikahan kita,” balas Alvano santai.Mereka berjalan beriringan menuju area parkir.Dari luar, mungkin orang akan mengira keduanya sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.Isvara mengenakan dress bermotif bunga lembut yang bergoyang pelan tertiup angin sore. Sementara Alvano tampil sederhana dengan kaus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status