Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys :)
Alvano menunduk sopan. “Baik.”Isvara berdiri tegak di sisi suaminya, berusaha menjaga sikap meski jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam cara wanita itu memandangnya–bukan tajam atau sinis, tapi penuh perhitungan. Rasanya seperti berdiri di hadapan seseorang yang bisa membaca siapa dia hanya dalam satu kedipan mata. Bukan intimidasi, tapi status. Dan Isvara sadar, dirinya masih pendatang di dunia sebesar ini.Perempuan itu tidak berkata apa-apa lagi. Hanya melirik Isvara sekilas, lalu melanjutkan langkah dengan tenang menyusuri lorong lain, hingga akhirnya menghilang di balik pintu kayu besar di ujung kanan.Begitu langkahnya lenyap dari pendengaran, Isvara melirik suaminya, pelan dan penuh tanya.Hanya satu dalam benak Isvara. ‘Siapa perempuan tadi?’“Dia istri muda Opa,” ucap Alvano langsung, seolah bisa membaca isi pikiran Isvara.Isvara spontan menoleh cepat, matanya membulat kecil. “Hah?” gumamnya lirih.“Berarti tadi itu ... nenek kamu?” gumam Isvara, masih b
Isvara spontan menoleh. “Apa?”Mobil sempat tersentak ringan sebelum kembali stabil. Sabuk pengaman Isvara sedikit tertarik, tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, suami yang tiba-tiba bertanya aneh.Suasana jadi hening selama beberapa detik.Isvara masih menatap Alvano, berusaha memahami maksud kalimat yang baru saja dilontarkan suaminya. “Maksudnya apa?” tanya Isvara lagi, pelan tapi tak menyembunyikan keterkejutan.Namun, Alvano tidak tersenyum. Wajahnya tetap serius. Matanya menatap jauh ke depan, ke arah lampu-lampu jalan yang seolah berpendar lebih cepat malam ini.“Karena kadang aku mikir ... semua ini bisa hilang dalam semalam. Uang, bisnis, reputasi. Aku tahu dunia yang kita pijak sekarang nggak stabil.”Isvara diam. Tidak menginterupsi. Menunggu dengan sabar.“Aku cuma mau tahu,” lanjut Alvano, suara lebih pelan. “Kalau aku kehilangan semuanya ... kamu masih akan tetap di samping aku?”Isvara diam beberapa detik. Mencari kata yang tepat, bukan yang manis. Tangannya naik
Kini, Isvara dan Alvano berdiri di depan sebuah butik eksklusif di pusat kota. Tempat itu disebut Alvano beberapa jam lalu sebagai lokasi persiapan. Dari luar, kaca jendela butik memantulkan cahaya senja, memperlihatkan interior yang lengang, bersih, dan elegan. Butik ini tidak menerima tamu umum hari ini. Hanya untuk mereka.Seorang staf membukakan pintu."Ayo masuk," ucap Alvano pelan namun tegas.Isvara mengangguk pelan. Langkahnya sedikit ragu. Sejak wajah mereka muncul di media, semuanya terasa terlalu cepat. Terlalu sempit untuk bernapas. Namun, saat telapak tangan Alvano menyentuh punggungnya dengan tekanan ringan, tubuhnya ikut bergerak. Seperti diberi aba-aba diam-diam bahwa dia tidak sendiri.Isvara tidak sadar bahwa sejak mereka meninggalkan gedung Valora, dua pria berbadan tegap ada di belakang mereka. Jarak mereka cukup jauh untuk tidak mencolok, tapi cukup dekat untuk bereaksi cepat.Alvano tidak mau ambil risiko, tidak hari ini.Mobil yang mereka gunakan pun bukan kenda
Beberapa menit kemudian.Di lorong belakang studio yang lebih sepi, Isvara bersandar di dinding, menggenggam ponselnya erat-erat. Jemarinya kembali menekan tombol panggilan.“Van, angkat dong telepon aku ...,” gumam Isvara nyaris memohon, suara lirih tapi penuh tekanan. Sudah tiga kali dia mencoba, tapi tetap tidak ada jawaban.Sudah bisa ditebak, Alvano pasti masih tenggelam dalam rapat. Dan jelas, belum tahu bahwa berita soal mereka telah menyebar seperti api disiram bensin.Isvara menahan napas, mencoba tetap waras di tengah kepanikan. Namun, ponsel di tangannya terasa semakin berat. Seberat semua rahasia yang selama ini dia jaga sendirian.Sebuah suara lembut memecah keheningan.“Ra.”Isvara menoleh cepat. Renjiro berdiri di ujung lorong, tampak sedikit terengah, seperti baru saja mencarinya ke seluruh sudut studio.“What’s going on?”Isvara tidak langsung menjawab. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya sesaat, lalu mengusap cepat sudut matanya sebelum kembali menatap pria itu.Ren
Setelah hampir setengah jam berkendara, Isvara akhirnya tiba di studio Valora Group. Suaminya sudah meluncur lebih dulu ke lokasi meeting di luar kantor. Tentu saja ditemani oleh Jefri, sang asisten pribadi yang setia seperti bayangan.Begitu masuk ke area produksi yang masih sibuk oleh kru dan staff, Citra langsung menghampirinya sambil membawa clipboard dan senyum lebar.“Ra! Udah sehat?” sapa Citra ceria, mengingat kemarin Isvara sempat izin tidak masuk kerja.“Udah, Cit. Nggak drama lagi kok, janji,” jawab Isvara sambil menggulung lengan bajunya. “Talent udah datang semua?”“Kai Ren sama Aruna lagi di ruang makeup,” jawab Citra, lalu menambahkan dengan nada dramatis, “Dan kayaknya Aruna nggak berhenti nempel dari tadi. Cemburu deh aku.”Isvara nyaris tertawa, tapi berhasil menahannya. “Sabar ya, Cit. Banyak-banyak berdoa, siapa tahu Kai Ren tiba-tiba sadar kamu jodohnya.”Citra mendelik, separuh kesal, tapi juga berharap. “Amin yang kenceng, Ra. Tapi kayaknya Tuhan harus ngebut dik
“Bohong apa?” Isvara mengerjap pelan, matanya masih berkabut antara sadar dan melayang. “Bilang kita nggak akan begadang,” ujar Alvano enteng, membuat Isvara terkekeh kecil karena tahu maksudnya apa.Namun, tawa Isvara segera berubah jadi desahan saat suaminya kembali mencium lehernya. Pelan. Panjang. Penuh niat yang tak bisa disalahartikan.“Van …,” desisnya, setengah protes.Memangnya Isvara bisa protes? Tentu saja tidak.Kalau Aruna tadi bilang akan memeluk pria seperti Alvano semalaman, maka Isvara akan melakukan lebih dari itu. Karena pria ini memang benar-benar menggoda iman.“Aku masih on,” gumam Alvano, bibirnya turun ke tulang selangka, lalu lebih rendah lagi, ke dada. “Dan kamu masih terlalu cantik buat ditinggal tidur.”Jemari Isvara mencengkeram sprei saat lidah Alvano mengitari bagian paling sensitif di tubuhnya. Menghisap dalam, menggigit pelan, lalu menatap naik ke arah wajah istrinya yang mulai kehilangan kendali untuk kedua kalinya malam ini.“Van … tadi kamu bilang n