“Pak Al manggil saya?” tanya Jerfi, sang asisten, sambil menyeimbangkan tablet di tangannya.
Alvano tidak segera menjawab. Fokusnya masih pada sosok Isvara yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi dia segera tersadar. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke Jerfi dan menggelengkan kepala.
“Lupakan,” jawab Alvano singkat, datar. Seolah baru saja menepis pikiran yang tidak seharusnya mengganggu.
Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Alvano kembali melangkah, kali ini menuju pusat acara.
Di sana, Dylan sudah berdiri, tampak santai sambil berbicara dengan beberapa tamu. Pria itu adalah pemilik acara sekaligus orang yang sampai beberapa waktu lalu, nyaris menjadi kakak iparnya.
Begitu melihat kedatangannya, Dylan tersenyum lebar dan menyambut dengan antusias.
“Akhirnya, calon adik iparku datang juga,” ujar Dylan sembari merentangkan tangan, seolah tak terjadi apa-apa.
Alvano hanya mengulas senyum tipis. Dingin. Tidak ada sapaan balik.
Mungkin Dylan belum tahu, tentang apa yang sudah adiknya perbuat.
Ketika akhirnya mereka larut dalam obrolan, Livia tiba-tiba datang. Dia langsung berdiri di hadapan Alvano dan Dylan, wajahnya dihiasi senyum cerah yang dibuat-buat.
“Kak, maaf aku telat. Tadi ada sedikit masalah sama gaunku, jadi aku harus ganti yang baru,” ucap Livia dengan nada manja. Bibirnya sedikit manyun, matanya sekilas melirik ke arah Alvano, mencari celah dan berharap sesuatu.
Alvano hanya menatap sekilas, sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah minuman di tangannya. Sikapnya dingin, tenang, terlalu terlatih untuk tidak meledak di depan umum.
“Gak telat kok,” jawab Dylan riang. “Oh iya, kalian ngobrol aja dulu. Aku harus cek booth sebelah, ada vendor yang baru datang. Liv, temenin dulu ya.”
“Dengan senang hati,” balas Livia cepat, suaranya naik setengah oktaf. Dia sudah mengambil alih situasi.
Begitu Dylan pergi, keheningan sempat tercipta. Livia melirik Alvano dari ujung mata, lalu berdehem pelan.
“Kamu marah sama aku?” tanya Livia, suara lirih, tetapi cukup terdengar.
Alvano meneguk sedikit minumannya, lalu menjawab datar, “Kenapa harus marah?”
“Al … soal yang kemarin itu …” Livia bergeser lebih dekat, jaraknya nyaris menyentuh lengan jas Alvano. “Itu semua gak bener. Aku sama sekali gak ada hubungan sama laki-laki itu, jadi mana mungkin aku sampai hamil.”
Alvano menatapnya sebentar. Matanya tajam, tetapi tak mengandung amarah, hanya dingin seperti permukaan kaca. “Aku gak peduli.”
Belum sempat Livia membalas, seorang waitress lewat membawa tray berisi gelas minuman. Salah satu gelas oleng saat seseorang tak sengaja menabrak pelan, dan….
PRANK!
Cairan berwarna bening langsung menyiram sebagian dada Livia.
“Astaga!” pekik Livia refleks.
Bagian atas gaunnya yang berpotongan open-shoulder dan berbahan satin kini tampak jelas basah. Kainnya melekat, memperlihatkan lebih dari seharusnya. Beberapa tamu melirik penasaran. Livia refleks memeluk tubuhnya sendiri, panik.
Beberapa orang yang ada di sekitar sana langsung menoleh terkejut.
Alvano mendesah pendek, lalu melepas jasnya dengan gerakan cepat. Tanpa bicara, ia menyampirkannya ke bahu Livia dan menariknya pelan agar menutup bagian depan tubuhnya.
“Pakai ini,” ucap Alvano pendek.
Livia menunduk, menerima jas itu dengan tangan gemetar. Ada rona malu sekaligus kemenangan samar di matanya. Ia bisa mencium aroma parfum Alvano dari jas itu.
“Terima kasih,” kata Livia pelan.
Pandangan semua orang seketika tampak berbinar, seolah sedang memperhatikan pasangan kebanggan mereka sedang bermesraan. Selama ini, publik memang tidak tahu pasti soal hubungan Alvano dan Livia, tetapi melihat kedekatan dan latar belakang keluarga mereka, banyak orang mendukung mereka untuk bersatu.
“Kamu harus ganti,” sahut Alvano tegas.
Livia menggigit bibirnya, lalu mengangguk kecil. “Kamu mau nemenin aku?”
Alvano menatapnya datar. “Tidak.”
Sementara itu, di sudut keramaian, sepasang mata Isvara menangkap pasangan tersebut. Telinganya jelas mendengar bisik-bisik para tamu yang mayoritas mengatakan bahwa apa yang dilakukan Alvano sangat manis, sangat mencerminkan pasangan sejati.
Mendengar itu, entah kenapa rasanya Isvara seolah merasa tak terima. Jika bisa, dia ingin berteriak, “Alvano itu suamiku! Lagipula Livia sedang hamil anak mantan pacarku!”
Namun, Isvara buru-buru menghapus perasaan aneh itu. Dia menggelengkan kepalanya cepat, seolah mengusir pikiran kecil itu.
Untuk apa juga dia melakukan itu?
Dia ‘kan hanya istri kontrak. Kenal dengan Alvano saja baru beberapa hari.
__
Beberapa jam kemudian, acara akhirnya usai. Isvara yang sejak tadi tak banyak bicara kini melangkah keluar dari hotel, menggenggam ponselnya sambil membuka aplikasi jadwal bus.
Isvara menghela napas kecil saat melihat jadwal berikutnya masih cukup lama. Namun, tidak masalah. Dia lebih memilih pulang naik kendaraan umum daripada ikut mobil kantor. Apalagi, dia kini tinggal di rumah Alvano. Akan terlalu mencolok, dan tidak nyaman, jika rekan-rekannya tahu dia pulang ke sebuah rumah mewah.
Langkahnya pelan, kepala menunduk, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel. Dia menyeberangi area drop-off hotel menuju halte di seberang jalan, tanpa benar-benar memperhatikan sekitar.
Hingga … suara klakson melengking. Disusul seruan panik dari salah satu satpam hotel.
Kepalanya terangkat cepat. Matanya membelalak saat mendapati sebuah mobil hitam meluncur dari arah parkiran, terlalu cepat, terlalu dekat.
Tubuhnya menegang. Namun, sebelum dia sempat bergerak, sebuah tangan mencengkeram lengannya dan menariknya kuat ke sisi trotoar.
Isvara nyaris menabrak dada seseorang. Nafasnya tercekat. Aroma parfum maskulin langsung memenuhi inderanya.
Alvano.
"Aku ..." Suara Isvara nyaris tak keluar. "Aku nggak lihat jalan."
Alvano tidak langsung menjawab . Mata pria itu menatap wanita di hadapannya tenang tapi tajam, seolah sedang menilai kerusakan yang mungkin saja terjadi.
“Lain kali, simpan ponselmu saat berjalan,” ucap Alvano datar. Lalu, pelan, pria itu melepas genggaman tangannya.
Isvara menunduk, menggigit bibir bawahnya. Entah harus merasa bersalah, tersinggung, atau ... malu.
Pria itu kemudian menoleh sekilas ke arah parkiran.
“Kita pulang bersama saja.”
Belum sempat Isvara membalas, Alvano sudah lebih dulu melangkah, memberi isyarat agar dia mengikutinya.
__
Suasana dalam sedan hitam itu sunyi. Hanya terdengar deru mesin dan suara lalu lintas malam yang tembus samar dari luar.
Isvara duduk di kursi belakang, menyandar setengah hati, tangannya terlipat rapi di pangkuan. Jaraknya dengan Alvano cukup lebar—sengaja diciptakan. Entah untuk menjaga sopan santun, atau sekadar refleks alami dari hubungan mereka yang tidak biasa.
Di kursi depan, Jefri menolehkan kepala melalui kaca spion tengah. Pandangannya menyapu kursi belakang dengan cepat, lalu kembali fokus ke jalan. Namun tak lama, matanya kembali naik ke spion, memandangi pantulan sosok wanita yang duduk di samping bosnya.
Jefri sudah lama bekerja bersama Alvano. Bukan sekadar asisten pribadi, dia adalah teman masa kecil Alvano, juga putra dari sopir keluarga Narendra yang dulu mengabdi bertahun-tahun pada ayah Alvano.
Jefri mengenal betul karakter pria itu: dingin, profesional, dan selalu menjaga jarak dari siapa pun. Selama ini, satu-satunya wanita yang pernah terlihat dekat dengannya hanyalah Livia.
Namun kini, seorang wanita asing duduk di kursi belakang bersama Alvano. Jelas bukan tamu biasa. Apalagi, ketika tadi Jerfi bertanya mereka akan ke mana, Alvano hanya menjawab satu kata, pulang.
Aneh, bukan? Memangnya wanita ini siapa, sampai-sampai Alvano membawanya pulang?
Dengan hati-hati, Jerfi memberanikan diri bertanya, “Maaf, Pak Al … ini siapa?”
Alvano tak langsung menjawab. Namun, tak butuh lama baginya untuk mengucapkan kata itu, tanpa sedikit pun intonasi.
“Istriku.”
Isvara terbelalak mendengar ucapan singkat Alvano.
‘Dia mengakuiku?’
Namun, belum sempat pikiran itu berkelana lebih jauh, tiba-tiba–
CIIIITT!!
Mobil mendadak berhenti. Alvano refleks mengulurkan tangan untuk menahan tubuh Isvara agar tidak terdorong ke depan. Gerakan itu spontan, cepat, tapi cukup kuat untuk menarik tubuh Isvara lebih dekat ke arahnya.
Dalam sekejap, mereka nyaris seperti orang yang saling berpelukan. Jarak di antara wajah mereka begitu tipis, hanya beberapa sentimeter.
Isvara sontak menatap ke atas dan langsung bertemu dengan mata Alvano. Tatapan dingin yang biasanya membuat orang segan, kini justru terasa membungkusnya dalam sesuatu yang aneh.
Deg!
Isvara tidak bergerak. Tidak juga menjauh. Seolah-olah waktu membeku hanya untuk mereka berdua.
Isvara bisa merasakan degup jantungnya menjadi lebih cepat, apalagi saat tatapannya turun ke bibir Alvano yang hanya sejengkal darinya—garis tegas dan tenang, tapi entah kenapa terlihat sangat menggoda dalam jarak sedekat ini.
“Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul
Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend
Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b
Alvano memutar keran shower, dan suara air yang jatuh dari atas terdengar menenangkan di antara desah napas mereka. Dia menoleh, menatap Isvara yang perlahan menanggalkan kain terakhir yang menempel di tubuhnya.Air mulai mengalir dari kepala mereka, menuruni bahu, menurunkan suhu tegang yang sejak tadi menggantung di udara.“Aku bantu bersihin jahitannya, boleh?” tanya Alvano meminta izin.Isvara sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. Ada sesuatu di tatapan suaminya, bukan keinginan yang tergesa, melainkan rasa hormat yang membuatnya merasa aman, seolah seluruh dirinya diterima tanpa syarat.Alvano mengambil handuk kecil, lalu menyapukannya perlahan di kulit perut Isvara. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah yang disentuhnya bukan luka, melainkan sesuatu yang suci. Saat tangannya berhenti di dekat bekas sayatan operasi yang sudah menutup sempurna, dia menunduk.“Nggak nyeri?” tanya Alvano rendah.Isvara menggeleng. “Udah nggak. Cuma kadang masih takut aja.”Alvano tida
“Untuk aktivitas suami istri, sekarang sudah boleh dilakukan, asal tidak berlebihan dan tetap perhatikan kondisi luka, ya.”Kalimat dari dokter Ratna itu terdengar biasa saja di ruang praktik. Tapi di telinga Alvano? Itu seperti pengumuman pembebasan setelah dua bulan masa tahanan suci. Senyum menahan diri di wajahnya nyaris berubah jadi sorak sorai kalau saja dia tidak sedang duduk di hadapan sang dokter.Begitu keluar dari ruang praktik, Alvano masih menahan senyum di wajahnya. “Kamu dengar sendiri, ‘kan?”Isvara melirik geli, tahu betul arah pikirannya. “Mas, tolong jaga ekspresinya. Kita masih di rumah sakit.”“Ekspresi bahagia dilarang, ya? Soalnya dokter barusan nyelametin pernikahan kita,” balas Alvano santai.Mereka berjalan beriringan menuju area parkir.Dari luar, mungkin orang akan mengira keduanya sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.Isvara mengenakan dress bermotif bunga lembut yang bergoyang pelan tertiup angin sore. Sementara Alvano tampil sederhana dengan kaus