“Pak Al manggil saya?” tanya Jerfi, sang asisten, sambil menyeimbangkan tablet di tangannya.
Alvano tidak segera menjawab. Fokusnya masih pada sosok Isvara yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi dia segera tersadar. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke Jerfi dan menggelengkan kepala.
“Lupakan,” jawab Alvano singkat, datar. Seolah baru saja menepis pikiran yang tidak seharusnya mengganggu.
Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Alvano kembali melangkah, kali ini menuju pusat acara. Di sana, Dylan sudah berdiri, tampak santai sambil berbicara dengan beberapa tamu. Pria itu adalah pemilik acara sekaligus orang yang sampai beberapa waktu lalu, nyaris menjadi kakak iparnya.
Begitu melihat kedatangannya, Dylan tersenyum lebar dan menyambut dengan antusias.
“Akhirnya, calon adik iparku datang juga,” ujar Dylan sembari merentangkan tangan, seolah tak terjadi apa-apa.
Alvano hanya mengulas senyum tipis. Dingin. Tidak ada sapaan balik.
Mungkin Dylan belum tahu, tentang apa yang sudah adiknya perbuat.
--
Beberapa jam kemudian, acara akhirnya usai. Isvara yang sejak tadi tidak banyak bicara kini melangkah keluar dari hotel, menggenggam ponselnya sambil membuka aplikasi jadwal bus.
Wanita itu menghela napas kecil saat melihat jadwal berikutnya masih cukup lama. Namun, tidak masalah. Dia lebih memilih pulang naik kendaraan umum daripada ikut mobil kantor.
Apalagi, wanita itu kini tinggal di rumah Alvano. Akan terlalu mencolok, dan tidak nyaman, jika rekan-rekannya tahu dia pulang ke sebuah rumah mewah.
Langkahnya pelan, kepala menunduk, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel. Isvara menyeberangi area drop-off hotel menuju halte di seberang jalan, tanpa benar-benar memperhatikan sekitar.
Hingga … suara klakson melengking. Disusul seruan panik dari salah satu satpam hotel.
Kepalanya terangkat cepat. Matanya membelalak saat mendapati sebuah mobil hitam meluncur dari arah parkiran, terlalu cepat, terlalu dekat.
Tubuhnya menegang. Namun, sebelum dia sempat bergerak, sebuah tangan mencengkeram lengannya dan menariknya kuat ke sisi trotoar.
Isvara nyaris menabrak dada seseorang. Nafasnya tercekat. Aroma parfum maskulin langsung memenuhi inderanya.
Alvano.
Suaminya. Setidaknya secara hukum dan kesepakatan, pria ini adalah suaminya.
"Aku ..." Suara Isvara nyaris tak keluar. "Aku tidak lihat jalan."
Alvano tidak langsung menjawab . Mata pria itu menatap wanita di hadapannya tenang tapi tajam, seolah sedang menilai kerusakan yang mungkin saja terjadi.
“Lain kali, simpan ponselmu saat berjalan,” ucap Alvano datar. Lalu, pelan, pria itu melepas genggaman tangannya.
Isvara menunduk, menggigit bibir bawahnya. Entah harus merasa bersalah, tersinggung, atau ... malu.
Pria itu kemudian menoleh sekilas ke arah parkiran.
“Kita pulang bersama saja.”
Belum sempat Isvara membalas, Alvano sudah lebih dulu melangkah, memberi isyarat agar dia mengikutinya.
---
Suasana dalam sedan hitam itu sunyi. Hanya terdengar deru mesin dan suara lalu lintas malam yang tembus samar dari luar.
Isvara duduk di kursi belakang, menyandar setengah hati, tangannya terlipat rapi di pangkuan. Jaraknya dengan Alvano cukup lebar—sengaja diciptakan. Entah untuk menjaga sopan santun, atau sekadar refleks alami dari hubungan mereka yang tidak biasa.
Di kursi depan, Jerfi menolehkan kepala melalui kaca spion tengah. Pandangannya menyapu kursi belakang dengan cepat, lalu kembali fokus ke jalan. Namun tak lama, matanya kembali naik ke spion, memandangi pantulan sosok wanita yang duduk di samping bosnya.
Jerfi sudah lama bekerja bersama Alvano. Bukan sekadar asisten pribadi, dia adalah teman masa kecil Alvano—putra dari sopir keluarga Narendra yang dulu mengabdi bertahun-tahun pada ayah Alvano.
Jefri mengenal betul karakter pria itu: dingin, profesional, dan selalu menjaga jarak dari siapa pun. Selama ini, satu-satunya wanita yang pernah terlihat dekat dengannya hanyalah Livia.
Namun kini, seorang wanita asing duduk di kursi belakang bersama Alvano. Jelas bukan tamu biasa. Apalagi, ketika tadi Jerfi bertanya mereka akan ke mana, Alvano hanya menjawab satu kata: pulang.
Aneh, bukan? Memangnya wanita ini siapa, sampai-sampai Alvano membawanya pulang?
Dengan hati-hati, Jerfi memberanikan diri bertanya, “Maaf, Pak … ini siapa?”
Alvano tak langsung menjawab. Namun, tak butuh lama baginya untuk mengucapkan kata itu, tanpa sedikit pun intonasi.
“Istriku.”
Hening mendadak menggantung di udara.
Mata Jerfi sedikit membelalak. Dia menoleh ke belakang sekilas, lalu kembali memandang jalan, mengerjap pelan seolah memastikan dia tidak salah dengar.
Namun, dia tahu, Alvano tidak pernah bicara sembarangan.
Di kursi belakang, Isvara menunduk sedikit. Jemarinya menggenggam ponsel lebih erat. Bibirnya mengatup rapat, seolah takut mengeluarkan suara napas sekalipun.
Kata ‘istriku’ itu masih berputar-putar di kepala wanita itu. Terdengar asing. Terasa nyata. Dan entah kenapa ... membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Ponsel Isvara tiba-tiba berbunyi. Nama Monika terpampang di layar.
Mungkin ingin memastikan, apakah Isvara sudah sampai rumah atau belum. Wajar saja, dia pergi tanpa sempat berpamitan.
Namun, dalam kondisi seperti ini, Isvara memilih untuk tidak menjawab. Dia ragu. Canggung. Masih mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
“Angkat saja,” ucap Alvano, datar.
Isvara menggeleng pelan. “Nanti saja,” gumamnya.
Begitu nada dering berhenti, Isvara meletakkan ponselnya di sisi tubuhnya, menghadap ke atas.
Cahaya layar yang meredup perlahan justru menampilkan gambar latar ponsel itu dengan lebih jelas.
Alvano yang duduk hanya beberapa jengkal dari wanita itu, melirik sekilas. Dan pandangannya langsung terpaku.
Sebuah foto lama. Agak buram, tapi cukup jelas.
Dua anak kecil berdiri berdampingan di depan sebuah rumah sakit. Bocah laki-laki mengenakan kemeja biru laut. Di sampingnya, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua memeluk boneka kelinci lusuh di dadanya. Senyum mereka lebar dan polos. Seolah dunia mereka belum mengenal luka.
Dan Alvano mengenali bocah itu.
Itu dirinya, di masa kecil. Di hari yang tidak pernah pria itu pikir akan diingat siapa pun.
Alvano membeku.
Pandangan pria itu bergeser ke arah Isvara—yang kini tengah memandang keluar jendela, tanpa menyadari apa pun.
Alvano kembali melirik ponsel itu. Matanya menajam. Napasnya tertahan.
Kenapa … Isvara bisa punya foto itu?
“Aku tidak bisa menikah sama kamu, ada perempuan lain yang sedang mengandung anakku.”Isvara terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Tara, pria yang seharusnya menikah dengannya sekarang, dari sambungan telepon.“Maksud kamu apa, Tara?” tanya Isvara lemah, seolah masih tidak bisa memahami semua itu dengan baik.“Kita tidak jadi menikah, Isvara!” jawab Tara dari seberang.Isvara sedikit terperanjat, lalu menunduk, menatap dirinya sendiri yang sudah rapi dengan baju pengantin berwarna putih, lalu mengalihkan pandangannya ke area KUA. Semua keluarganya telah datang, tetapi sekarang pengantin pria malah membatalkan pernikahan.“Ta–tapi aku dan keluargaku sudah siap, kita tidak mungkin membatalkan semua ini begitu saja,” kata Isvara sambil menahan air matanya. Tangannya mulai bergetar, detak jantungnya mulai terpacu lebih cepat.“Aku tidak peduli, Ra. Lagipula, aku tidak mencintai kamu lagi.”“Kenapa kamu tega? Tiga tahun kita selama ini kamu anggap apa?” Suara Isvara terdengar lebi
“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”Semua mata langsung tertuju padanya.Sejenak suasana membeku.‘Dia ma
"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar.Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen.Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal.Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas.Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan.Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas.Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain.Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yan
Isvara menunduk. Matanya kini tertuju pada cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.Kemudian, Isvara diam sebentar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya, dan akhirnya dia putuskan untuk mengatakannya juga.“Aku tahu kamu tidak minta apa-apa,” ucap wanita itu pelan. “Tapi, aku juga tidak bisa duduk diam begitu saja. Kamu sudah menolongku. Aku tidak mau kelihatan seperti orang yang cuma numpang hidup.”Tatapannya masih mengarah ke cangkir, tapi suaranya mantap. “Aku tetap akan bantu urus rumah. Masak, beresin ruang kerja, apa pun yang bisa aku lakukan. Itu bukan soal uang, cuma ... aku butuh merasa aku juga berkontribusi.”Alvano tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap wanita di hadapannya beberapa detik sebelum kembali pada sarapannya.Isvara mengerti. Itu bukan persetujuan, tapi juga bukan penolakan.Setelah selesai sarapan dan membereskan piring di depannya, Isvara berdiri sambil merapikan tas kerjanya.“Aku berangkat kerja dulu,” ucap wanita itu sambil meraih
“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah kehening
[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan sebelum akhirnya menekannya dengan ragu. Kalimat yang sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya. Pesan itu dia kirimkan pada pria yang kini sah menjadi suaminya.Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara tidak bisa sembarangan datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.“Hei, pengantin baru sudah masuk kerja saja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.“Dari kemarin juga aku sudah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang palin
“Pak Al manggil saya?” tanya Jerfi, sang asisten, sambil menyeimbangkan tablet di tangannya.Alvano tidak segera menjawab. Fokusnya masih pada sosok Isvara yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi dia segera tersadar. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke Jerfi dan menggelengkan kepala.“Lupakan,” jawab Alvano singkat, datar. Seolah baru saja menepis pikiran yang tidak seharusnya mengganggu.Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Alvano kembali melangkah, kali ini menuju pusat acara. Di sana, Dylan sudah berdiri, tampak santai sambil berbicara dengan beberapa tamu. Pria itu adalah pemilik acara sekaligus orang yang sampai beberapa waktu lalu, nyaris menjadi kakak iparnya.Begitu melihat kedatangannya, Dylan tersenyum lebar dan menyambut dengan antusias.“Akhirnya, calon adik iparku datang juga,” ujar Dylan sembari merentangkan tangan, seolah tak terjadi apa-apa.Alvano hanya mengulas senyum tipis. Dingin. Tidak ada sapaan balik.Mungkin Dylan belum tahu, tentang apa yang sud
[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan sebelum akhirnya menekannya dengan ragu. Kalimat yang sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya. Pesan itu dia kirimkan pada pria yang kini sah menjadi suaminya.Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara tidak bisa sembarangan datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.“Hei, pengantin baru sudah masuk kerja saja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.“Dari kemarin juga aku sudah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang palin
“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah kehening
Isvara menunduk. Matanya kini tertuju pada cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.Kemudian, Isvara diam sebentar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya, dan akhirnya dia putuskan untuk mengatakannya juga.“Aku tahu kamu tidak minta apa-apa,” ucap wanita itu pelan. “Tapi, aku juga tidak bisa duduk diam begitu saja. Kamu sudah menolongku. Aku tidak mau kelihatan seperti orang yang cuma numpang hidup.”Tatapannya masih mengarah ke cangkir, tapi suaranya mantap. “Aku tetap akan bantu urus rumah. Masak, beresin ruang kerja, apa pun yang bisa aku lakukan. Itu bukan soal uang, cuma ... aku butuh merasa aku juga berkontribusi.”Alvano tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap wanita di hadapannya beberapa detik sebelum kembali pada sarapannya.Isvara mengerti. Itu bukan persetujuan, tapi juga bukan penolakan.Setelah selesai sarapan dan membereskan piring di depannya, Isvara berdiri sambil merapikan tas kerjanya.“Aku berangkat kerja dulu,” ucap wanita itu sambil meraih
"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar.Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen.Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal.Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas.Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan.Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas.Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain.Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yan
“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”Semua mata langsung tertuju padanya.Sejenak suasana membeku.‘Dia ma
“Aku tidak bisa menikah sama kamu, ada perempuan lain yang sedang mengandung anakku.”Isvara terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Tara, pria yang seharusnya menikah dengannya sekarang, dari sambungan telepon.“Maksud kamu apa, Tara?” tanya Isvara lemah, seolah masih tidak bisa memahami semua itu dengan baik.“Kita tidak jadi menikah, Isvara!” jawab Tara dari seberang.Isvara sedikit terperanjat, lalu menunduk, menatap dirinya sendiri yang sudah rapi dengan baju pengantin berwarna putih, lalu mengalihkan pandangannya ke area KUA. Semua keluarganya telah datang, tetapi sekarang pengantin pria malah membatalkan pernikahan.“Ta–tapi aku dan keluargaku sudah siap, kita tidak mungkin membatalkan semua ini begitu saja,” kata Isvara sambil menahan air matanya. Tangannya mulai bergetar, detak jantungnya mulai terpacu lebih cepat.“Aku tidak peduli, Ra. Lagipula, aku tidak mencintai kamu lagi.”“Kenapa kamu tega? Tiga tahun kita selama ini kamu anggap apa?” Suara Isvara terdengar lebi