[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]
Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan sebelum akhirnya menekannya dengan ragu. Kalimat yang sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya. Pesan itu dia kirimkan pada pria yang kini sah menjadi suaminya.
Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara tidak bisa sembarangan datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.
“Hei, pengantin baru sudah masuk kerja saja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.
Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.
“Dari kemarin juga aku sudah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang paling ingin dia hindari pagi ini.
Monika memang tidak tahu. Wajar saja—perempuan itu baru masuk hari ini setelah mengambil cuti beberapa hari. Jadi, dia tidak tahu Isvara sudah masuk kerja dari kemarin.
Namun tetap saja, mendengar sebutan ‘pengantin baru’ pagi-pagi begini cukup untuk membuat perut Isvara kembali terasa melilit.
Bagaimana tidak? Rencana pernikahan yang sudah disusun bertahun-tahun bersama Tara, runtuh seketika di detik terakhir. Dan kini, entah karena keputusan impulsif atau semata demi menyelamatkan wajah keluarga, Isvara justru terikat secara sah dengan pria asing yang bahkan tidak dia kenal.
“Tapi, kenapa kamu tidak mengambil cuti menikah?” tanya Monika sambil menarik kursi di sebelah Isvara.
Isvara diam sesaat. Cuti menikah? Untuk apa? Dia bahkan tidak tahu harus menghabiskan waktu dengan siapa. Tidak ada bulan madu, tidak ada rencana khusus.
Isvara hanya menunduk, jari-jarinya sibuk merapikan berkas yang sebenarnya tidak butuh dirapikan.
“Terus gimana? Malam pertamamu dengan suamimu lancar? Gimana rasanya?” goda Monika lagi, menyikut pelan lengan Isvara sambil menyeringai jahil.
Kalimat itu sukses membuat tenggorokan Isvara tercekat.
Malam pertama? Kalau yang dimaksud Monika adalah momen romantis seperti di drama-drama, maka jawabannya jelas: tidak ada. Bahkan mereka tidur di kamar berbeda.
Isvara tidak mengharapkan apa-apa. Dia sendiri yang menarik pria asing itu untuk menikahinya di detik terakhir. Cinta? Jangankan cinta, saling kenal saja nyaris tidak. Jadi saat pria itu setuju berdiri di pelaminan bersamanya, itu saja sudah lebih dari cukup.
“Yah ... begitulah,” ujar Isvara singkat, menggantung. Tidak membantah, tapi juga tidak membenarkan.
Bagaimanapun, seluruh kantor memang tahu dia akan menikah. Namun, soal siapa yang dinikahinya, tidak satu pun tahu pasti. Isvara memang tidak pernah memperkenalkan Tara pada siapa pun di kantor, meskipun pria itu beberapa kali menjadi fotografer freelance untuk proyek mereka.
Dan karena pernikahan itu hanya sebatas akad tanpa resepsi, tidak ada satu pun rekan kerja yang diundang.
Semuanya mengira pernikahan itu tetap berlangsung sesuai rencana.
Padahal, pria yang kini menjadi suaminya … sama sekali bukan orang yang mereka kira.
“Yaudah, yuk siap-siap. Hari ini kita ke acara peluncuran produk di Hotel Aluna, ‘kan?” kata Monika sambil berdiri dan merapikan rambutnya di layar ponsel.
--
Ballroom Hotel Aluna dipenuhi cahaya lampu kristal dan dekorasi elegan bernuansa putih dan emas. Para tamu undangan dari berbagai media dan mitra bisnis sudah ramai berdatangan. Tim marketing, termasuk Isvara, sibuk memastikan jalannya acara peluncuran produk skincare terbaru perusahaan mereka berjalan lancar.
Namun, di tengah keramaian itu, Isvara justru merasa semakin asing. Setelah menyelesaikan tanggung jawab menyambut beberapa tamu penting, dia perlahan melangkah menjauh dari pusat acara. Langkahnya tenang, menyusuri sisi ballroom yang kini dipenuhi suara musik lembut dan percakapan ringan antartamu.
Wanita itu sedang tidak ingin berbasa-basi. Tidak juga ingin berpura-pura ramah. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah ... jeda. Dan sedikit makanan.
Pikirannya terlalu penuh untuk diisi percakapan kosong. Sejak dulu, Isvara memang lebih nyaman mengamati ketimbang ikut terlibat. Bukan karena sombong, dia hanya merasa energi sosial cepat menguras tenaganya. Keramaian yang bagi orang lain menyenangkan, baginya justru melelahkan.
Isvara mengambil satu piring kecil, mengisinya dengan salad dan sepotong kue cokelat, lalu menepi ke sudut ruangan yang lebih tenang. Berdiri di sana, menyendok makanannya perlahan, Isvara diam-diam menikmati sejenak ketenangan di antara riuhnya pesta.
Namun, suara yang familiar kembali menembus ruang pribadinya.
"Kamu tahu tidak? Katanya CEO Valora Group juga akan datang ke acara ini," gumam Monika sambil muncul tiba-tiba di sebelahnya, mulutnya tak berhenti mengunyah dan bergosip sekaligus.
Isvara menoleh sekilas.
Valora Group? Bukankah itu perusahaan tempat Alvano bekerja?
"Aku tidak tahu," jawab Isvara singkat, lalu kembali menatap kuenya, berusaha mengabaikan pembicaraan Monika.
Monika terus berbicara. "Aku dengar-dengar dia itu ganteng banget, loh. Kalau tidak salah, namanya ... Pak Al?"
Al?
Isvara membeku sejenak, sendoknya terhenti di udara.
Monika tidak sedang membicarakan Alvano, ‘kan?
Namun ... Al? Bukankah nama panggilan itu terlalu umum?
Isvara menepis pikirannya yang mulai bercabang. Dia kembali menyendok kuenya perlahan, berusaha terlihat biasa saja.
Tanpa disadari, dari arah pintu ballroom, seorang pria melangkah masuk dengan langkah yang penuh wibawa. Setelan jasnya rapi, tubuhnya tegap, dan sikapnya penuh kontrol.
Tatapan pria itu menyapu ruangan sejenak. Namun, ketika matanya menangkap satu sosok, wanita berseragam kerja yang berdiri di sudut ruangan sambil menikmati kue cokelat—langkahnya melambat.
Pria itu berdiri diam beberapa detik. Hanya matanya yang bergerak, mengamati.
“Isvara?”
“Pak Al manggil saya?” tanya Jerfi, sang asisten, sambil menyeimbangkan tablet di tangannya.Alvano tidak segera menjawab. Fokusnya masih pada sosok Isvara yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi dia segera tersadar. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke Jerfi dan menggelengkan kepala.“Lupakan,” jawab Alvano singkat, datar. Seolah baru saja menepis pikiran yang tidak seharusnya mengganggu.Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Alvano kembali melangkah, kali ini menuju pusat acara. Di sana, Dylan sudah berdiri, tampak santai sambil berbicara dengan beberapa tamu. Pria itu adalah pemilik acara sekaligus orang yang sampai beberapa waktu lalu, nyaris menjadi kakak iparnya.Begitu melihat kedatangannya, Dylan tersenyum lebar dan menyambut dengan antusias.“Akhirnya, calon adik iparku datang juga,” ujar Dylan sembari merentangkan tangan, seolah tak terjadi apa-apa.Alvano hanya mengulas senyum tipis. Dingin. Tidak ada sapaan balik.Mungkin Dylan belum tahu, tentang apa yang sud
“Aku tidak bisa menikah sama kamu, ada perempuan lain yang sedang mengandung anakku.”Isvara terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Tara, pria yang seharusnya menikah dengannya sekarang, dari sambungan telepon.“Maksud kamu apa, Tara?” tanya Isvara lemah, seolah masih tidak bisa memahami semua itu dengan baik.“Kita tidak jadi menikah, Isvara!” jawab Tara dari seberang.Isvara sedikit terperanjat, lalu menunduk, menatap dirinya sendiri yang sudah rapi dengan baju pengantin berwarna putih, lalu mengalihkan pandangannya ke area KUA. Semua keluarganya telah datang, tetapi sekarang pengantin pria malah membatalkan pernikahan.“Ta–tapi aku dan keluargaku sudah siap, kita tidak mungkin membatalkan semua ini begitu saja,” kata Isvara sambil menahan air matanya. Tangannya mulai bergetar, detak jantungnya mulai terpacu lebih cepat.“Aku tidak peduli, Ra. Lagipula, aku tidak mencintai kamu lagi.”“Kenapa kamu tega? Tiga tahun kita selama ini kamu anggap apa?” Suara Isvara terdengar lebi
“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”Semua mata langsung tertuju padanya.Sejenak suasana membeku.‘Dia ma
"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar.Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen.Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal.Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas.Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan.Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas.Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain.Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yan
Isvara menunduk. Matanya kini tertuju pada cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.Kemudian, Isvara diam sebentar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya, dan akhirnya dia putuskan untuk mengatakannya juga.“Aku tahu kamu tidak minta apa-apa,” ucap wanita itu pelan. “Tapi, aku juga tidak bisa duduk diam begitu saja. Kamu sudah menolongku. Aku tidak mau kelihatan seperti orang yang cuma numpang hidup.”Tatapannya masih mengarah ke cangkir, tapi suaranya mantap. “Aku tetap akan bantu urus rumah. Masak, beresin ruang kerja, apa pun yang bisa aku lakukan. Itu bukan soal uang, cuma ... aku butuh merasa aku juga berkontribusi.”Alvano tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap wanita di hadapannya beberapa detik sebelum kembali pada sarapannya.Isvara mengerti. Itu bukan persetujuan, tapi juga bukan penolakan.Setelah selesai sarapan dan membereskan piring di depannya, Isvara berdiri sambil merapikan tas kerjanya.“Aku berangkat kerja dulu,” ucap wanita itu sambil meraih
“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah kehening
“Pak Al manggil saya?” tanya Jerfi, sang asisten, sambil menyeimbangkan tablet di tangannya.Alvano tidak segera menjawab. Fokusnya masih pada sosok Isvara yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi dia segera tersadar. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke Jerfi dan menggelengkan kepala.“Lupakan,” jawab Alvano singkat, datar. Seolah baru saja menepis pikiran yang tidak seharusnya mengganggu.Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, Alvano kembali melangkah, kali ini menuju pusat acara. Di sana, Dylan sudah berdiri, tampak santai sambil berbicara dengan beberapa tamu. Pria itu adalah pemilik acara sekaligus orang yang sampai beberapa waktu lalu, nyaris menjadi kakak iparnya.Begitu melihat kedatangannya, Dylan tersenyum lebar dan menyambut dengan antusias.“Akhirnya, calon adik iparku datang juga,” ujar Dylan sembari merentangkan tangan, seolah tak terjadi apa-apa.Alvano hanya mengulas senyum tipis. Dingin. Tidak ada sapaan balik.Mungkin Dylan belum tahu, tentang apa yang sud
[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan sebelum akhirnya menekannya dengan ragu. Kalimat yang sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya. Pesan itu dia kirimkan pada pria yang kini sah menjadi suaminya.Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara tidak bisa sembarangan datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.“Hei, pengantin baru sudah masuk kerja saja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.“Dari kemarin juga aku sudah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang palin
“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah kehening
Isvara menunduk. Matanya kini tertuju pada cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.Kemudian, Isvara diam sebentar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya, dan akhirnya dia putuskan untuk mengatakannya juga.“Aku tahu kamu tidak minta apa-apa,” ucap wanita itu pelan. “Tapi, aku juga tidak bisa duduk diam begitu saja. Kamu sudah menolongku. Aku tidak mau kelihatan seperti orang yang cuma numpang hidup.”Tatapannya masih mengarah ke cangkir, tapi suaranya mantap. “Aku tetap akan bantu urus rumah. Masak, beresin ruang kerja, apa pun yang bisa aku lakukan. Itu bukan soal uang, cuma ... aku butuh merasa aku juga berkontribusi.”Alvano tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap wanita di hadapannya beberapa detik sebelum kembali pada sarapannya.Isvara mengerti. Itu bukan persetujuan, tapi juga bukan penolakan.Setelah selesai sarapan dan membereskan piring di depannya, Isvara berdiri sambil merapikan tas kerjanya.“Aku berangkat kerja dulu,” ucap wanita itu sambil meraih
"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar.Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen.Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal.Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas.Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan.Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas.Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain.Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yan
“Mana Tara? Kenapa bukan Tara yang datang menikahimu, Isvara?”Suara berat Ayah Isvara, Baskara, memecah keheningan ruang tunggu setelah acara resepsi seharusnya dimulai. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, seolah menguliti Isvara hanya dengan sorot matanya.Ibu Isvara, Anita, duduk di samping suaminya dengan wajah tegang. Kedua tangannya erat bertaut di pangkuan, sesekali melirik ke arah putrinya dengan raut tak sabar menunggu jawaban.Isvara tercekat. Lidahnya kelu, pikirannya kacau.Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Tara, pria yang selama ini mereka kenal sebagai calon suaminya—telah mengkhianatinya? Bahwa kini, di hari pernikahannya, pria asinglah yang berdiri di sampingnya?Sebelum Isvara sempat mengumpulkan kata-kata, Alvano melangkah maju, suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.“Saya Alvano, Pak, Bu. Pacar Isvara,” kata Alvano langsung. “Memang saya yang sejak awal berniat menikah dengan Isvara.”Semua mata langsung tertuju padanya.Sejenak suasana membeku.‘Dia ma
“Aku tidak bisa menikah sama kamu, ada perempuan lain yang sedang mengandung anakku.”Isvara terdiam beberapa saat setelah mendengar ucapan Tara, pria yang seharusnya menikah dengannya sekarang, dari sambungan telepon.“Maksud kamu apa, Tara?” tanya Isvara lemah, seolah masih tidak bisa memahami semua itu dengan baik.“Kita tidak jadi menikah, Isvara!” jawab Tara dari seberang.Isvara sedikit terperanjat, lalu menunduk, menatap dirinya sendiri yang sudah rapi dengan baju pengantin berwarna putih, lalu mengalihkan pandangannya ke area KUA. Semua keluarganya telah datang, tetapi sekarang pengantin pria malah membatalkan pernikahan.“Ta–tapi aku dan keluargaku sudah siap, kita tidak mungkin membatalkan semua ini begitu saja,” kata Isvara sambil menahan air matanya. Tangannya mulai bergetar, detak jantungnya mulai terpacu lebih cepat.“Aku tidak peduli, Ra. Lagipula, aku tidak mencintai kamu lagi.”“Kenapa kamu tega? Tiga tahun kita selama ini kamu anggap apa?” Suara Isvara terdengar lebi