[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]
Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan. Kalimatnya sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya.
Pagi itu, dia duduk di meja kerjanya, baru saja tiba di kantor. Langit di luar masih cerah, dan suara mesin kopi dari pantry menyatu dengan bunyi ketikan dari ruangan. Di depannya, layar laptop menyala, tapi pikirannya justru sibuk pada satu hal: pria yang kini sah menjadi suaminya.
Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara merasa tidak bisa datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.
“Hei, pengantin baru udah masuk kerja aja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.
Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.
“Dari kemarin juga aku udah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang paling ingin dia hindari pagi ini.
Monika memang tidak tahu. Wajar saja, mengingat perempuan itu baru masuk hari ini setelah mengambil cuti beberapa hari. Jadi, dia tidak tahu Isvara sudah masuk kerja dari kemarin.
Namun tetap saja, mendengar sebutan ‘pengantin baru’ pagi-pagi begini cukup untuk membuat perut Isvara kembali terasa melilit.
Bagaimana tidak? Rencana pernikahan yang sudah disusun bertahun-tahun bersama Tara, runtuh seketika di detik terakhir. Dan kini, entah karena keputusan impulsif atau semata demi menyelamatkan wajah keluarga, Isvara justru terikat secara sah dengan pria asing yang bahkan tidak dia kenal.
“Tapi, kenapa kamu nggak mengambil cuti menikah?” tanya Monika sambil menarik kursi di sebelah Isvara.
Isvara diam sesaat. Cuti menikah? Untuk apa? Dia bahkan tidak tahu harus menghabiskan waktu dengan siapa. Tidak ada bulan madu, tidak ada rencana khusus.
Isvara hanya menunduk, jari-jarinya sibuk merapikan berkas yang sebenarnya tidak butuh dirapikan.
“Terus gimana? Malam pertamamu dengan suamimu lancar? Gimana rasanya?” goda Monika lagi, menyikut pelan lengan Isvara sambil menyeringai jahil.
Kalimat itu sukses membuat tenggorokan Isvara tercekat.
Malam pertama? Kalau yang dimaksud Monika adalah momen romantis seperti di drama-drama, maka jawabannya jelas: tidak ada. Bahkan mereka tidur di kamar berbeda.
Isvara tidak mengharapkan apa-apa. Dia sendiri yang menarik pria asing itu untuk menikahinya di detik terakhir. Cinta? Jangankan cinta, saling kenal saja nyaris tidak. Jadi saat pria itu setuju berdiri di pelaminan bersamanya, itu saja sudah lebih dari cukup.
“Yah ... begitulah,” ujar Isvara singkat, menggantung. Tidak membantah, tapi juga tidak membenarkan.
Bagaimanapun, seluruh kantor memang tahu dia akan menikah. Namun, soal siapa yang dinikahinya, tidak satu pun tahu pasti. Isvara memang tidak pernah memperkenalkan Tara pada siapa pun di kantor, meskipun pria itu beberapa kali menjadi fotografer freelance untuk proyek mereka.
Dan karena pernikahan itu hanya sebatas akad tanpa resepsi, tidak ada satu pun rekan kerja yang diundang.
Semuanya mengira pernikahan itu tetap berlangsung sesuai rencana.
Padahal, pria yang kini menjadi suaminya … sama sekali bukan orang yang mereka kira.
“Yaudah, yuk kita persiapan. Malam ini kita ke acara peluncuran produk di Hotel Aluna, ‘kan?” kata Monika sambil berdiri dan merapikan rambutnya di layar ponsel.
__
Malam itu, Ballroom Hotel Aluna dipenuhi cahaya lampu kristal dan dekorasi elegan bernuansa putih dan emas. Para tamu undangan dari berbagai media dan mitra bisnis sudah ramai berdatangan. Tim marketing, termasuk Isvara, sibuk memastikan jalannya acara peluncuran produk skincare terbaru perusahaan mereka berjalan lancar.
Namun, di tengah keramaian itu, Isvara justru merasa semakin asing. Setelah menyelesaikan tanggung jawab menyambut beberapa tamu penting, dia perlahan melangkah menjauh dari pusat acara. Langkahnya tenang, menyusuri sisi ballroom yang kini dipenuhi suara musik lembut dan percakapan ringan antartamu.
Wanita itu sedang tidak ingin berbasa-basi. Tidak juga ingin berpura-pura ramah. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah ... jeda. Dan sedikit makanan.
Pikirannya terlalu penuh untuk diisi percakapan kosong. Sejak dulu, Isvara memang lebih nyaman mengamati ketimbang ikut terlibat. Bukan karena sombong, dia hanya merasa energi sosial cepat menguras tenaganya. Keramaian yang bagi orang lain menyenangkan, baginya justru melelahkan.
Isvara mengambil satu piring kecil, mengisinya dengan salad dan sepotong kue cokelat, lalu menepi ke sudut ruangan yang lebih tenang. Berdiri di sana, menyendok makanannya perlahan, Isvara diam-diam menikmati sejenak ketenangan di antara riuhnya pesta.
Namun, suara yang familiar kembali menembus ruang pribadinya.
"Kamu tahu tidak? Katanya CEO Valora Group juga akan datang ke acara ini," gumam Monika sambil muncul tiba-tiba di sebelahnya, mulutnya tak berhenti mengunyah dan bergosip sekaligus.
Isvara menoleh sekilas.
Valora Group? Bukankah itu perusahaan tempat Alvano bekerja?
"Aku tidak tahu," jawab Isvara singkat, lalu kembali menatap kuenya, berusaha mengabaikan pembicaraan Monika.
Monika terus berbicara. "Aku dengar-dengar dia itu ganteng banget, loh. Kalau tidak salah, namanya ... Pak Al?"
Al?
Isvara membeku sejenak, sendoknya terhenti di udara.
Monika tidak sedang membicarakan Alvano, ‘kan?
Namun ... Al? Bukankah nama panggilan itu terlalu umum?
Isvara menepis pikirannya yang mulai bercabang. Dia kembali menyendok kuenya perlahan, berusaha terlihat biasa saja.
Tanpa disadari, dari arah pintu ballroom, seorang pria melangkah masuk dengan langkah yang penuh wibawa. Setelan jasnya rapi, tubuhnya tegap, dan sikapnya penuh kontrol.
Tatapan pria itu menyapu ruangan sejenak. Namun, ketika matanya menangkap satu sosok wanita berseragam kerja yang berdiri di sudut ruangan sambil menikmati kue cokelat, langkahnya melambat.
Pria itu berdiri diam beberapa detik. Hanya matanya yang bergerak, mengamati.
“Isvara?”
Alvano mengangkat alis. “Apa?”“Hairpin aku. Bisa tolong bukain?” pinta Isvara.“Dengan senang hati, Nyonya Narendra.” Alvano tersenyum, bangkit, dan berjalan mendekat. Pria itu kini berdiri di belakang Isvara. Tangannya sempat terangkat, hendak langsung melepas jepit rambut kecil berlapis perak itu, tapi urung.Sebagai gantinya, Alvano menunduk lebih dekat, lalu tanpa peringatan, mengecup pelan ceruk leher Isvara yang terbuka.Ciumannya bukan sekadar iseng. Ada ketulusan yang dibungkus keusilan kecil. Namun, cukup membuat bulu kuduk Isvara meremang.“Van …,” tegur Isvara setengah berbisik. Tubuhnya refleks menegang sesaat.“Hm?” sahut Alvano dari belakang, sambil senyam-senyum. “Kan tadi kamu minta tolong bukain hairpin. Aku bantu ... sekaligus kasih bonus.”Isvara menghela napas, berusaha menahan tawa. “Kalau kayak gini caranya, besok-besok aku buka sendiri aja.”“Sayang banget. Padahal ini bagian favoritku,” balas Alvano sambil mulai melepas jepit rambut perak itu dengan hati-hati
Konferensi pers berakhir, begitu pula dengan pesta ulang tahun Giri. Musik tradisional yang sejak sore mengalun lembut kini telah dihentikan. Tinggal suara pelayan yang membereskan meja-meja panjang dan obrolan kecil dari keluarga yang mulai masuk ke kamar masing-masing.Rumah Giri yang bergaya kolonial itu malam ini benar-benar terasa seperti vila keluarga kerajaan. Ramai, hangat, dan penuh jejak tawa yang masih menggantung di sepanjang lorong-lorong panjangnya.Dewangga berjalan pelan di sisi Isvara, melewati koridor timur yang sunyi menuju area kamar tamu. Ya, Isvara memutuskan untuk menginap malam ini. Karena seluruh keluarga pun begitu.Langkah mereka melambat saat tiba di depan sebuah pintu kayu berukir klasik. Cahaya lampu gantung di lorong memantul hangat di permukaan lantai marmer yang mengilat.“Ayo masuk, Ra,” ujar Dewangga, memberi isyarat halus pada pelayan yang berjaga tak jauh dari sana untuk membuka pintu. “Nanti ada staf yang bawain pakaian ganti, peralatan mandi, se
Dewangga tidak langsung menjawab. Namun, raut wajahnya tampak ragu.“Media udah standby. Beberapa mungkin belum tahu wajah kamu secara langsung,” kata Dewangga akhirnya, kini berdiri sedikit di depan, setengah menghalangi langkah Isvara. “Kalau kamu muncul di sana, kemungkinan besar mereka bakal makin gaduh. Fotomu bisa tersebar sebelum Mas Al sempat buka suara.”Isvara terdiam. Benar juga. Dia tidak pernah muncul ke publik sebagai istri Alvano. Kalau tiba-tiba dia terekam kamera hari ini … semuanya bisa berubah. Lagi pula, dia belum tahu apa rencana suaminya.“Tunggu di taman aja ya,” kata Dewangga, lebih lembut. “Itu yang paling aman. Dekat paviliun, tapi tenang. Nanti aku yang kabari kalau Mas Al sudah selesai.”Isvara menatap sepupu Alvano itu sebentar. Sebenarnya dia masih ingin bersikeras, tapi suara Dewangga terdengar tulus. Dan logikanya pun sepakat–ini bukan waktu yang tepat untuk gegabah.“Oke,” ucap Isvara pelan. “Tapi nanti kamu kabarin ya kalau ada masalah?.”“Siap, Mbak s
“Hey everyone!” sapa Aruna ceria, melangkah anggun ke arah mereka seperti sedang berjalan di atas runway.Dewangga refleks membuang muka ke arah lain. Alvano hanya mendengus, tidak berniat membalas sapaan itu. Jelas sekali pria itu masih kesal karena kejadian malam sebelumnya. Mahadera cepat-cepat mundur, beralasan ingin mencari minuman. Sangat terlihat, dia sengaja menghindari konfrontasi.“Ayo, Cantik. Kita makan dulu, sekalian aku juga mau cari Jefri,” bisik Alvano, menggamit tangan Isvara, hendak mengajaknya pergi.“Tunggu,” sela Aruna sambil menahan lengan Isvara. “Mbak Isvara, nemenin aku sebentar ya?”Alvano langsung berbalik, siap menolak, tapi Isvara memberi isyarat halus dengan sentuhan di lengannya. Sebuah kode agar Alvano membiarkannya. Tatapan mereka bertemu sebentar, dan Alvano akhirnya mengangguk pelan, menyerah, lalu pergi meninggalkan mereka dengan langkah berat.Kini, hanya Isvara, Dewangga, dan Aruna yang masih berdiri di situ.Suasana hening beberapa detik. Tegang,
Aula tempat acara ulang tahun Giri digelar begitu megah. Penuh kemewahan yang disamarkan dalam balutan tradisi. Lantainya marmer hitam mengilat, karpet merah keemasan terbentang sampai ke pelaminan khusus tempat Giri nanti akan duduk. Nuansanya tradisional, tapi aroma uangnya menyengat sekali.Para tamu mengenakan busana adat terbaik mereka. Kebaya sutra, beskap bordir, batik tulis. Semuanya seperti hasil karya desainer pribadi, bukan beli jadi di butik biasa. Musik gamelan mengalun pelan dari sisi panggung, dimainkan oleh pemusik profesional yang wajahnya lebih mirip profesor seni daripada pengamen jalanan.Di antara keramaian itu, Jefri muncul dari sisi kanan ruangan. Dia melangkah cepat dan tenang, menembus kerumunan para tamu yang sibuk bersalaman dan berfoto.“Permisi, Pak,” ucap Jefri begitu sampai di sisi Alvano. Dia membawa sebuah kotak kayu berukir, tampak berat dan eksklusif.Alvano mengangguk. “Terima kasih, Jef.”Lalu Jefri pun berlalu.Isvara menatap kotak itu. Dia tidak
Beberapa detik sunyi. Bahkan napas pun seakan tertahan.Alvano menoleh cepat ke arah istrinya. “Kamu kenal Opa?”Isvara membuka mulut, masih tampak terkejut. “Iya, Van.”Mata Giri menyipit sedikit, lalu seketika tawa kecil keluar dari mulutnya. “Iya, iya. Kau gadis penyelamatku waktu itu.”Giri menoleh ke Alvano, wajahnya kini penuh makna. “Dan ternyata kamu mencuri gadis yang tadinya ingin kujodohkan dengan sepupumu, Dewangga.”Kepala Marina dan Atma sontak menoleh ke arah Isvara. Ekspresi mereka antara syok dan bingung.Tunggu dulu ... Dewangga itu sepupu Alvano?Isvara sendiri tertegun. Dia tidak melihat pria itu saat para sepupu Alvano menyambutnya di depan rumah.Alvano masih diam. Kaget dan bingung jelas terlihat dari raut wajahnya. “Opa, jadi kalian pernah bertemu?” tanya Alvano masih saja penasaran.“Lebih dari sekali,” sahut Opa Giri ringan. Lalu menatap ke arah Isvara sambil mengangguk puas. “Dan waktu itu aku sudah suka dengan gadis ini. Sigap, sopan. Tidak menyangka ternya