Share

Bab 6: Pengantin Baru

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-05-02 13:18:32

[Sepertinya hari ini aku terlambat pulang. Aku ada acara di kantor.]

Isvara mengetik pesan itu pelan-pelan. Kalimatnya sederhana, tapi entah kenapa terasa canggung di ujung jarinya.

Pagi itu, dia duduk di meja kerjanya, baru saja tiba di kantor. Langit di luar masih cerah, dan suara mesin kopi dari pantry menyatu dengan bunyi ketikan dari ruangan. Di depannya, layar laptop menyala, tapi pikirannya justru sibuk pada satu hal: pria yang kini sah menjadi suaminya.

Meski Alvano sudah menegaskan bahwa mereka tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, tetap saja, Isvara merasa tidak bisa datang dan pergi begitu saja. Bagaimanapun juga, dia sekarang tinggal di rumah pria itu. Ada batas-batas tak tertulis yang tetap ingin dia jaga.

“Hei, pengantin baru udah masuk kerja aja,” celetuk suara ceria di sebelahnya.

Fokus Isvara langsung buyar. Monika, rekan satu timnya di bagian pemasaran, baru saja datang sambil menaruh tasnya dengan gaya khas yang selalu ramai.

“Dari kemarin juga aku udah masuk,” sahut Isvara tanpa menoleh. Suaranya datar, jelas-jelas tidak menanggapi obrolan itu lebih jauh. Sedikit kesal karena Monika justru menyinggung topik yang paling ingin dia hindari pagi ini.

Monika memang tidak tahu. Wajar saja, mengingat perempuan itu baru masuk hari ini setelah mengambil cuti beberapa hari. Jadi, dia tidak tahu Isvara sudah masuk kerja dari kemarin.

Namun tetap saja, mendengar sebutan ‘pengantin baru’ pagi-pagi begini cukup untuk membuat perut Isvara kembali terasa melilit.

Bagaimana tidak? Rencana pernikahan yang sudah disusun bertahun-tahun bersama Tara, runtuh seketika di detik terakhir. Dan kini, entah karena keputusan impulsif atau semata demi menyelamatkan wajah keluarga, Isvara justru terikat secara sah dengan pria asing yang bahkan tidak dia kenal.

“Tapi, kenapa kamu nggak mengambil cuti menikah?” tanya Monika sambil menarik kursi di sebelah Isvara.

Isvara diam sesaat. Cuti menikah? Untuk apa? Dia bahkan tidak tahu harus menghabiskan waktu dengan siapa. Tidak ada bulan madu, tidak ada rencana khusus.

Isvara hanya menunduk, jari-jarinya sibuk merapikan berkas yang sebenarnya tidak butuh dirapikan.

“Terus gimana? Malam pertamamu dengan suamimu lancar? Gimana rasanya?” goda Monika lagi, menyikut pelan lengan Isvara sambil menyeringai jahil.

Kalimat itu sukses membuat tenggorokan Isvara tercekat.

Malam pertama? Kalau yang dimaksud Monika adalah momen romantis seperti di drama-drama, maka jawabannya jelas: tidak ada. Bahkan mereka tidur di kamar berbeda.

Isvara tidak mengharapkan apa-apa. Dia sendiri yang menarik pria asing itu untuk menikahinya di detik terakhir. Cinta? Jangankan cinta, saling kenal saja nyaris tidak. Jadi saat pria itu setuju berdiri di pelaminan bersamanya, itu saja sudah lebih dari cukup.

“Yah ... begitulah,” ujar Isvara singkat, menggantung. Tidak membantah, tapi juga tidak membenarkan.

Bagaimanapun, seluruh kantor memang tahu dia akan menikah. Namun, soal siapa yang dinikahinya, tidak satu pun tahu pasti. Isvara memang tidak pernah memperkenalkan Tara pada siapa pun di kantor, meskipun pria itu beberapa kali menjadi fotografer freelance untuk proyek mereka.

Dan karena pernikahan itu hanya sebatas akad tanpa resepsi, tidak ada satu pun rekan kerja yang diundang.

Semuanya mengira pernikahan itu tetap berlangsung sesuai rencana.

Padahal, pria yang kini menjadi suaminya … sama sekali bukan orang yang mereka kira.

“Yaudah, yuk kita persiapan. Malam ini kita ke acara peluncuran produk di Hotel Aluna, ‘kan?” kata Monika sambil berdiri dan merapikan rambutnya di layar ponsel.

__

Malam itu, Ballroom Hotel Aluna dipenuhi cahaya lampu kristal dan dekorasi elegan bernuansa putih dan emas. Para tamu undangan dari berbagai media dan mitra bisnis sudah ramai berdatangan. Tim marketing, termasuk Isvara, sibuk memastikan jalannya acara peluncuran produk skincare terbaru perusahaan mereka berjalan lancar.

Namun, di tengah keramaian itu, Isvara justru merasa semakin asing. Setelah menyelesaikan tanggung jawab menyambut beberapa tamu penting, dia perlahan melangkah menjauh dari pusat acara. Langkahnya tenang, menyusuri sisi ballroom yang kini dipenuhi suara musik lembut dan percakapan ringan antartamu.

Wanita itu sedang tidak ingin berbasa-basi. Tidak juga ingin berpura-pura ramah. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah ... jeda. Dan sedikit makanan.

Pikirannya terlalu penuh untuk diisi percakapan kosong. Sejak dulu, Isvara memang lebih nyaman mengamati ketimbang ikut terlibat. Bukan karena sombong, dia hanya merasa energi sosial cepat menguras tenaganya. Keramaian yang bagi orang lain menyenangkan, baginya justru melelahkan.

Isvara mengambil satu piring kecil, mengisinya dengan salad dan sepotong kue cokelat, lalu menepi ke sudut ruangan yang lebih tenang. Berdiri di sana, menyendok makanannya perlahan, Isvara diam-diam menikmati sejenak ketenangan di antara riuhnya pesta.

Namun, suara yang familiar kembali menembus ruang pribadinya.

"Kamu tahu tidak? Katanya CEO Valora Group juga akan datang ke acara ini," gumam Monika sambil muncul tiba-tiba di sebelahnya, mulutnya tak berhenti mengunyah dan bergosip sekaligus.

Isvara menoleh sekilas.

Valora Group? Bukankah itu perusahaan tempat Alvano bekerja?

"Aku tidak tahu," jawab Isvara singkat, lalu kembali menatap kuenya, berusaha mengabaikan pembicaraan Monika.

Monika terus berbicara. "Aku dengar-dengar dia itu ganteng banget, loh. Kalau tidak salah, namanya ... Pak Al?"

Al?

Isvara membeku sejenak, sendoknya terhenti di udara.

Monika tidak sedang membicarakan Alvano, ‘kan?

Namun ... Al? Bukankah nama panggilan itu terlalu umum?

Isvara menepis pikirannya yang mulai bercabang. Dia kembali menyendok kuenya perlahan, berusaha terlihat biasa saja.

Tanpa disadari, dari arah pintu ballroom, seorang pria melangkah masuk dengan langkah yang penuh wibawa. Setelan jasnya rapi, tubuhnya tegap, dan sikapnya penuh kontrol.

Tatapan pria itu menyapu ruangan sejenak. Namun, ketika matanya menangkap satu sosok wanita berseragam kerja yang berdiri di sudut ruangan sambil menikmati kue cokelat, langkahnya melambat.

Pria itu berdiri diam beberapa detik. Hanya matanya yang bergerak, mengamati.

“Isvara?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
is kamu tu ga oeka bed
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
ternyata Alvaro pimpinan perusahaan saingan kantormu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 331: Program

    “Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 330: Mungkin

    Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 329: Punya Adik?

    Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 328: Monster Kecil

    Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 327: Boleh?

    Alvano memutar keran shower, dan suara air yang jatuh dari atas terdengar menenangkan di antara desah napas mereka. Dia menoleh, menatap Isvara yang perlahan menanggalkan kain terakhir yang menempel di tubuhnya.Air mulai mengalir dari kepala mereka, menuruni bahu, menurunkan suhu tegang yang sejak tadi menggantung di udara.“Aku bantu bersihin jahitannya, boleh?” tanya Alvano meminta izin.Isvara sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. Ada sesuatu di tatapan suaminya, bukan keinginan yang tergesa, melainkan rasa hormat yang membuatnya merasa aman, seolah seluruh dirinya diterima tanpa syarat.Alvano mengambil handuk kecil, lalu menyapukannya perlahan di kulit perut Isvara. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah yang disentuhnya bukan luka, melainkan sesuatu yang suci. Saat tangannya berhenti di dekat bekas sayatan operasi yang sudah menutup sempurna, dia menunduk.“Nggak nyeri?” tanya Alvano rendah.Isvara menggeleng. “Udah nggak. Cuma kadang masih takut aja.”Alvano tida

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 326: Sepasang Kekasih

    “Untuk aktivitas suami istri, sekarang sudah boleh dilakukan, asal tidak berlebihan dan tetap perhatikan kondisi luka, ya.”Kalimat dari dokter Ratna itu terdengar biasa saja di ruang praktik. Tapi di telinga Alvano? Itu seperti pengumuman pembebasan setelah dua bulan masa tahanan suci. Senyum menahan diri di wajahnya nyaris berubah jadi sorak sorai kalau saja dia tidak sedang duduk di hadapan sang dokter.Begitu keluar dari ruang praktik, Alvano masih menahan senyum di wajahnya. “Kamu dengar sendiri, ‘kan?”Isvara melirik geli, tahu betul arah pikirannya. “Mas, tolong jaga ekspresinya. Kita masih di rumah sakit.”“Ekspresi bahagia dilarang, ya? Soalnya dokter barusan nyelametin pernikahan kita,” balas Alvano santai.Mereka berjalan beriringan menuju area parkir.Dari luar, mungkin orang akan mengira keduanya sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.Isvara mengenakan dress bermotif bunga lembut yang bergoyang pelan tertiup angin sore. Sementara Alvano tampil sederhana dengan kaus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status