Dahiku terbentur pintu yang tertutup.
Aku mengaduh merasakan sakit didahi sebelah kiriku. Sontak hal itu membuat Azka tertawa sampai terbatuk-batuk. Aku memegangi dahiku yang terasa berdenyut sambil menatap Azka dengan cemberut. Ibu menatapku seolah bertanya ‘apa kamu baik-baik saja’. Aku hanya menggeleng pertanda baik, lalu aku bergegas membuka pintu dan langsung masuk ke kamar. Aku menggantung tas dibelakang pintu, lalu duduk dipinggir ranjang. Lalu mengambil cermin untuk melihat dahiku yang tadi terbentur pintu. ‘huuuff’ beruntung hanya merah sedikit, ini semua gara-gara Azka, aku menggerutu dalam hati.Aku bangkit mengambil handuk dan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rampung dari membersihkan diri aku melaksanakan shalat. Aku merebahkan diri diatas ranjang sambil melamun, tiba-tiba terdengar notifikasi dari ponsel yang ada disampingku. Lantas aku meraih benda pipih itu dan membuka room chat.Tertera nama bang Ikhsan disana, aku membuka chat darinya.[Apa kamu sudah sampai dirumah Zhi?].[Selamat beristirahat Zhi].Dua chat darinya yang membuatku mengernyitkan dahi. Mengapa dia perhatian padaku? monologku. Lalu kemudian aku membalas pesan itu,[Iya bang, aku sudah sampai rumah, selamat beristirahat juga]Terlihat dibawah namanya tulisan ‘online’ yang membuat chatku langsung centang dua biru. Lalu dengan cepat dia mengirimiku emoticon senyum. Aku hanya melihatnya dan tidak berniat membalas chat itu. Aku menghela nafas, aku merasa perhatian dari bang Ikhsan tidaklah biasa. Ya, aku tidak terlalu polos untuk mengartikan perhatian kecil dari lawan jenis. Terlebih perhatian secara langsung ketika bertemu. Aku memejamkan mata menetralkan perasaan juga mengistirahatkan badan yang terasa lelah setelah seharian beraktifitas. Namun tidak lama kemudian ponselku bordering pertanda ada panggilan masuk, aku membuka mata malas karena merasa terganggu ketika beristirahat. Aku meraih ponsel dengan setengah hati, kemudian tanpa melihat siapa yang menelpon aku langsung menjawabnya. “Zhia,” panggil seseorang disebrang telpon.Aku yang semula berbaring terlonjak kaget karena mendengar suaranya. Ya, aku hafal betul siapa pemilik suara ini. Jantungku berdetak cepat, kemudian aku bangkit untuk duduk. Pikiranku dipenuhi pertanyaan mengapa dia bisa menghubungiku lagi, sedangkan aku telah mengganti nomor ponselku dan memblokir semua media sosialnya. “Zhi, ini aku Asraf,” ucapnya lagi yang membuatku tersadar dari pikiranku.Aku hanya menghela nafas kasar, membuat pemilik suara disana juga menghela nafas menerima sikapku yang demikian. Aku bingung harus bersikap seperti apa, aku sudah benar-benar lelah dengan semuanya.Sejujurnya rasa ini memang masih ada, namun aku sadar jika aku tidak lagi berhak mempertahankannya. Dia sendiri yang membawa perempuan masuk kedalam hidupnya, dan aku cukup tau diri untuk menepi dan menghilangkan segala sesuatu tentangnya. Meski kehilangan itu mengguncang jiwaku, tapi mungkin inilah takdirku. Asraf telah memiliki seorang istri, dan tak pantas rasanya jika masih ada hubungan diantara kami. Aku juga perempuan, mengerti rasanya ditinggalkan. Aku tidak boleh egois hanya karena sebuah perasaan.“Zhi, maafkan aku karena telah melukaimu. Tapi ini sungguh diluar kendaliku. Maaf, maafkan aku, aku tak akan membiarkan siapapun memilikimu. Hanya aku, hanya aku yang boleh,” lirihnya disertai isakkan kecil disebrang sana.Tes, air mataku mulai berderai membasahi pipi. Apa yang dia katakan membuatku terluka. Sungguh egois, dia telah melukaiku dan sekarang dia tidak membiarkan aku mencari bahagiaku.“Tunggu aku Zhi, akad yang pernah kujanjikan akan segera aku wujudkan.” Sambungnya dengan pelan, namun terasa perih dihatiku. Aku memutuskan sambungan telpon dengan sepihak, tak sanggup lagi mendengar apa yang dia katakan. Aku menenggelamkan wajah diantara dua lututku, menangis tanpa suara. Dadaku rasanya sesak, hatiku terluka. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, jelas aku masih belum benar-benar mengikhlaskannya. Aku memukul-mukul dadaku, berharap sesak ini berkurang. Sekuat tenaga aku meredam tangis karena tidak ingin ibu mendengarnya. Ibu akan menangis melihatku seperti ini, sudah cukup beberapa bulan ku lalui dengan tangis dan raga yang sakit, tidak lagi untuk kali ini. Lelah merasuki jiwaku, aku hampir kehilangan diriku karenanya. Beruntung orang disekitarku peduli hingga aku bisa melanjutkan hidup kembali meski dengan hati yang hampir mati.Aku mengangkat wajah, mengusap air mata dengan kasar.‘Tidak, aku tidak boleh rapuh lagi hanya karena apa yang dia katakan tadi’. Batinku menguatkan. Aku sudah memantapkan hati untuk mengikhlaskannya, aku tidak boleh mengorbankan hidupku untuk sesuatu yang justru menghancurkanku. Ada ibu yang harus aku perjuangkan kebahagiaanya.Aku menghela nafas berkali-kali untuk menetralkan perasaan yang kacau, kemudian meraih ponsel. Aku membukanya, kemudian segera menghapus nomor yang dipakai oleh Asraf untuk menghubungiku. Aku harus belajar untuk tidak peduli pada apapun yang dia lakukan.Adzan isya berkumandang.Aku bangkit, melangkah menuju pintu untuk keluar mengambil air wudhu. Namun aku berbalik menuju cermin yang kugantung ditembok, lalu merapikan rambut yang kusut serta menghapus sisa air mata yang masih terlihat. Aku khawatir jika ibu melihat keadaanku yang kacau lalu bertanya, aku tidak ingin berbohong lagi padanya.Aku berbalik lalu kemudian keluar menuju kamar mandi, ketika melewati dapur aku melihat ibu tengah membuat teh.“Zhi, jangan lupa makan,” ucap ibu padaku“Hm, nggak bu Zhi masih kenyang.” Kilahku pada ibu, padahal aku tidak berselera untuk makan gara-gara tadi. Ibu hanya menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku. Aku berlalu menuju kamar mandi, setelahnya langsung masuk ke kamar dan melaksanakan shalat.Aku berniat untuk langsung tidur setelah shalat, namun notifikasi dari ponsel mengurungkan niatku. Aku meraihnya sambil menggerutu, lalu membuka room chat.Deg, aku tercengang melihat isi dari chat tersebut, terlebih nama dari si pengirim..Aku menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, ‘kamu bisa Zhi’ ucapku dalam hati. Saat sampai aku langsung meletakkan piring miliknya di atas meja, begitu juga dengan milikku.“Aku temani ya bang, kebetulan aku juga belum makan,” ucapku padanya.Dia tersenyum lalu mengangguk menanggapi perkataanku.Lalu aku duduk tidak jauh darinya, menarik piring agar lebih dekat lalu perlahan mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut.Hatiku berdegup tidak seperti biasanya, kegugupan menguasaiku sampai-sampai aku tidak tahu apa rasa dari makanan yang ada di mulutku.Bang Ikhsan juga mulai makan, aku terus memperhatikannya, caranya makan terlihat sangat berwibawa.Pandangan kami bertemu, ah aku ketahuan jika sedari tadi memperhatikannya. Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku, wajahku memanas menahan malu. Dalam hati aku merutuki kebodohanku kali ini.Dia tersenyum melihat tingkahku, lalu kemudian kembali fokus untuk makan.Untuk perta
Yasudahlah, berbicara dengan dia membuatku lelah juga ternyata. Tapi lumayan juga untuk melatih kesabaran, secara sifat dia menyebalkan sudah berada di tingkat paling atas.“Mbak kita ini tetangga kelas tapi kenapa baru kenal kemarin-kemarin ya?” tanyanya mengalihkan topik.“Memang kenapa kalo baru kenal?” Aku balik bertanya.“Tak kenal maka tak sayang mbak, kan kalo aku kenalnya udah lama berarti sayangnya juga udah lama,” gombalnya dengan wajah santai.Sungguh tidak habis pikir siapa sebenarnya yang ada di hadapanku saat ini, bisa-bisanya dia melempar gombalan seperti itu padaku. Aku langsun memeriksa sekitar, untunglah di sini tidak ada siapa-siapa, jika tidak aku akan menanggung malu nantinya.Tidak ada tanggapan yang aku berikan untuk ucapannya tadi, lagipula mau menanggapi seperti apa aku juga bingung.Perbincangan kami berlanjut meski hanya sekitar mata kuliah ataupun dosen galak tapi cara dia menyampaikan membuatku tidak jenuh, sekali-kali dia melayangkang
Dia terus tertawa sementara aku masih bingung untuk memahami yang terjadi.“Sebenarnya dari awal aku udah tahu kamu bilang apa, cuma pura-pura nggak denger aja,” ucapnya yang tentu saja membuatku terkejut.Bisa-bisanya dia mengerjaiku, membuatku teriak-teriak di jalan. Aku teringat bagaimana jika pengendara lain mendengar teriakanku tadi, apa yang mereka pikirkan tentangku nanti. Ah, aku malu sendiri mengingat hal tadi, Zidan memang benar-benar menyebalkan.“Ih kamu nyebelin sih banget Zidan,” Kataku kemudian.“Iya maaf-maaf, tapi nyebelin juga tetap ganteng kan?” ucapnya dengan percaya diri.Aku yang mendengarnya hanya melengos sambil menggerutu pelan, tapi memang iya juga sih dia tampan walaupun menyebalkan, eh. Tidak-tidak, apa yang aku pikirkan ini, aku merutuki diri sendiri.Dia masih terkekeh pelan, bisa aku lihat ada air di sudut matanya akibat tertawa sedari tadi.Tapi setelah itu obrolan terus meng
“Nggak papa kok biar aku saja, ini berat nanti tangan mbak berotot kalo harus angkat yang berat-berat,” dia berucap sambil terkekeh.Bibirku mengerucut mendengar hal itu, aku melihat tanganku yang masih sama seperti sebelumnya.Dia berjalan, lalu aku mengikutinya dari belakang. Tapi tiba-tiba dia berhenti, aku heran apa mungkin dia salah mengambil jalan juga pikirku.“Jalan di sampingku saja mbak, biar romantis,” ujarnya disertai cengiran.Aku yang mendengar hal itu langsung melotot ke arahnya, dia justru tertawa.“Bercanda aja mbak, aku cuma takut nanti mbak tertinngal nanti nyasar lagi,”Dia ada benarnya juga sih, bagaimana jika aku tertinggal jauh di belakangnya dan tersesat lagi. Akhirnya aku mendekat padanya untuk mensejajarkan langkah.Tidak ada kata yang aku ucapkan selama berjalan di sampingnya, hanya terus melangkah dan mendengar beberapa instruksi darinya tentang jalan yang harus kami ambil.Cukup
Cukup lama mencari akhirnya aku menemukan toko yang menjual barang tadi.Kemudian aku menghampiri toko itu dan menyebutkan apa yang akan ku beli. Menunggu sesaat sambil mengistirahatkan kaki yang mulai pegal akibat berkeliling. Tidak lama pedagang itu memberikan apa yang aku cari.Belanjaanku bertambah banyak, dua liter minyak dan dua kilogram terigu membuatnya semakin berat.Aku mengecek daftar belanjaan tadi, ternyata semuanya telah aku beli. Uang tadi tersisa sedikit, aku ingat tadi melihat jajanan pasar, sepertinya enak pikirku.Akhirnya aku kembali berjalan mencari jajanan pasar yang aku lihat tadi., tidak berapa lama aku melihat seorang Ibu yang menjajakan aneka jajanan pasar, gegas aku menghampirinya.Terlihat berbagai makanan yang menarik menurutku, kue-kue tradisional yang sudah jarang ditemukan. Aku memilih beberapa jajanan lalu Ibu tadi dengan sigap memasukannya ke dalam plastik.Huufft,, aku menghela nafas. Akhirnya selesai juga, setel
[Terimakasih telah memberikan kesempatan padaku Zhi, akan aku usahakan kebahagiaanmu][Iya sama-sama]. Balasku singkat.Aku meletakkan kembali benda itu disampingku, lalu diam menatap langit-langit kamar.Pikiranku tertuju pada keputusan yang tadi ku berikan padanya, benarkah apa yang aku lakukan? Aku takut jika pada akhirnya semua terulang, rasanya tak sanggup jika harus kembali menanggung perih karena kehilangan.Kehilangan sosok Ayah sejak kecil membuat jiwaku rapuh, terlebih setelah kehilangan Asraf yang membuatku makin terluka.Apa aku mampu menyuguhkan hati padanya? Pertanyaan itu berkeliaran dipikiranku.Aku menarik nafas pelan, mengingat kembali apa yang telah Tiara sampaikan padaku. Ini tidak mudah, tapi aku harus bisa keluar dari kungkungan masa lalu, sudah saatnya aku mencari bahagiaku karena tidak mungkin selamanya aku seperti ini.Aku berbalik ke sebelah kanan, tidur dengan posisi miring. Foto ayah juga diriku terpampang di bingkai kec