Happy reading 🥳
PART 8
POV FIRMAN
"Selamat siang, Pak Firman. Ini calon sekretaris baru Bapak sudah datang," ujar Shinta, tim marketing yang bertindak sebagai sekretaris sementara, pengganti Ayu yang resign karena melahirkan.
"Suruh dia masuk sekarang."
"Baik, Pak."
Tak lama berselang, wanita cantik bertubuh langsing namun padat berisi masuk ke ruangan. Melihat penampilan calon sekretaris baruku yang serba ketat hingga membentuk setiap lekuk tubuhnya, darahku mendadak berdesir. Astaga, perasaan apa ini?
"Selamat siang, Pak," ucapan seraya menunduk hormat.
"Selamat siang. Silahkan duduk!"
Wanita berparas ayu dengan rambut hitam tergerai itu, duduk tepat di hadapanku. Hanya sebuah meja yang menjadi penghalang di tengah kami.
"Sudah pernah bekerja menjadi sekretaris sebelumnya?"
"Sudah, Pak, di perusahaan pertambangan selama empat tahun."
Konsentrasiku buyar melihat pesona gadis bernama Karlina itu. Berkali-kali kubenahi duduk yang mulai gelisah, saat melontarkan beberapa pertanyaan. Apalagi melihat cara berpakaiannya. Mendadak gair*hku bergejolak. Apalagi sudah beberapa tahun belakangan ini, Jane--istriku harus mengurus papanya yang sakit di Singapura.
"Baiklah, kamu sudah mulai bisa bekerja mulai besok. Jam delapan lagi, jam kantor sudah dimulai. Usahakan jangan sampai telat."
"Terima kasih, Pak. Besok saya jamin, saya tidak akan terlambat. Sekali lagi terima kasih," Lina mengulurkan tangan ke arahku. Wajahnya terlihat begitu sumringah.
Kusambut uluran tangannya. Kembali darah berdesir hebat, ketika kulit tangan kami saling bersentuhan.
"Ba-baik, saya tunggu kamu besok."
Keesokan harinya, Lina benar-benar menepati ucapannya. Jam setengah delapan, ia sudah sampai. Bahkan kata OB, Lina sendiri yang menyiapkan kopi di atas meja.
"Ini kopi kamu yang buat sendiri?" tanyaku sembari meletakkan tas kerja di atas meja.
"Iya, Pak. Coba deh. Mudah-mudahan Bapak suka dengan kopi buatan saya ya," Gayanya yang ceria dan senyum yang senantiasa terukir di wajahnya, membuat semangat pagiku ikut bangkit rasanya.
Kusesap pelan kopi yang masih hangat itu. Benar-benar nikmat. Takaran gula dan kopinya sangat tepat, sesuai dengan seleraku.
"Bagaimana, Pak, kopi buatan saya?" Ia menanti dengan harap-harap cemas.
Aku terkekeh melihat ekspresi Lina. Matanya membulat sambil mengerjap lucu.
"Kopinya enak."
"Beneran, Pak?"
"Hu'um. Cocok jadi OB," Kembali aku tergelak.
Bibirnya mencucu. "Yah, memangnya cuma OB aja yang bisa buat kopi, Pak?"
"Ya, udah, hari ini saya ada meeting. Bantu saja buat proposal ya. Nanti saya bantu."
Intensitas pertemuan kami semakin sering. Tentu saja, namanya dia sekretarisku. Dan itu pula kedekatan kami semakin terjalin seiring waktu.
Karlina yang cantik, seksi, sangat berbeda dengan Jane--istriku yang gendut dan sangat membosankan. Apalagi masalah ranj*ng, Karlina benar-benar luar biasa. Lagi-lagi jika dibandingkan dengan Jane, tentu saja istriku itu tidak ada apa-apanya.
Ah, dosa apa yang sudah aku lakukan? Yang pasti rasanya tak ingin kuakhiri. Sebab terlalu indah untuk disudahi.
"Mas …."
"Hu'um."
"Apa nanti Mas mau bertanggung jawab atas apa yang sudah Mas lakukan?" tanyanya. Kepala dengan rambut hitam itu, diletakkan di atas dadaku. Malam ini kami menghabiskan waktu berdua di kamar kost Lina.
"Tentu aja. Mas itu mencintaimu. Apa alasan mas untuk meninggalkan kamu? Kamu itu cantik, seksi, menggaira*kan. Beda jauh dengan istri mas. Dia gendut, permainan di ranjangnya pun kalah jauh jika dibandingkan denganmu," imbuhku sambil menjawil hidung bangirnya.
"Ah, Mas bisa aja. Gombal!" Lina tersipu malu, sembari membetulkan rambut yang jatuh menutupi wajahnya.
"Mas nggak gombal. Mas beneran. Kamu udah membuat mas tergila-gila."
Drrrt drrrttt.
Suara getaran ponsel di atas nakas mengejutkanku. Bergegas kuraih gawai tersebut di nakas. Biasanya Jane selalu menelepon di jam-jam begini.
Terlihat nama di layar ponsel. Benar saja, nama Jane tertera di sana, tengah meminta panggilan video.
Telunjukku bergerak menggeser tombol ke arah tolak. Mana mungkin panggilan video itu kuterima. Sementara dengan kondisi latar belakang di kamar kost Lina. Pasti Jane bakalan curiga dan bertanya yang macam-macam.
Kuhubungi Jane kembali, dengan panggilan telepon tanpa video. Setelah sebelumnya kuberi isyarat pada Lina untuk tidak bersuara, selama aku menelepon.
"Halo, Mas, kok panggilan VC-ku ditolak?" Terdengar suara lembut Jane di seberang. Tersirat amarah di suaranya.
"Tadi itu-anu-mas lagi BAB di kamar mandi. Masa sambil VC-an sih," Aku mencoba tergelak untuk menutupi rasa gugup yang ada. Semoga terdengar biasa saja.
"Ya, ampun, kamu ke toilet sambil bawa hp, Mas?"
"Hu'um. Biasalah, sambil nge-game."
Terdengar Jane tergelak di sana.
"Oh ya, gimana keadaan Papa?" elakku cepat.
"Alhamdulillah, Mas. Sudah jauh lebih baik. Kamu di sana gimana?"
"Mas juga baik-baik aja di sini kok, Sayang. Jangan khawatir," Kulirik Lina di atas ranjang. Wajahnya cemberut dengan bibir dimajukan. Aku menjadi serba salah.
"Eng, Sayang, udahan dulu ya. Mas mendadak mules lagi nih. Mau ke kamar mandi," Aku meringis berpura-pura sakit perut, supaya Jane mengakhiri percakapannya.
"Kamu diare, Mas?" Tersirat kekhawatiran di suaranya.
"Kayaknya sih begitu, aduh, mules banget."
"Ya udah, habis itu kamu minum obat, terus istirahat ya, Mas," pesan Jane.
"Siap, Bos! Udah dulu ya, Sayang."
"Iya, Mas. Jangan lupa minum obat. Love you, Mas."
"Love you too, Sayang."
Lina kembali melirik tajam ke arahku, lalu membuang pandangannya ke samping.
Duh, aku jadi serba salah. Setelah menutup telepon, segera kuhampiri kekasih gelapku itu.
"Jangan ngambek dong, Sayang. Kamu itu nggak ada gantinya kok," Aku berusaha membujuk Lina yang memunggungiku.
"Bohong!"
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Susah sekali sih, menghadapi wanita yang tengah merajuk.
"Beneran, mas nggak bohong. Sebagai bukti kesungguhan mas, besok kita ke toko perhiasan ya."
"Nggak mau!"
"Terus, mas harus gimana dong?"
"Aku mau mas carikan tempat tinggal yang baru untukku. Aku bosan di sini!"
Aku mendengkus pasrah. "Ya udah, besok kita cari ya, Sayang."
Lina berbalik dengan wajah sumringah. "Beneran, Mas?"
"Iya, beneran."
"Aaah, makasih, Mas," Ia segera menghambur dalam pelukanku.
"Satu lagi," Lina menguraikan pelukannya.
Dahiku mengernyit. "Apa itu?"
"Kamu harus segera menikahiku dan tinggalkan gorila itu. Aku nggak mau digantung seperti ini. Kalau nggak, aku akan menyebarkan semua bukti perselingkuhan kita pada istrimu."
****
Thor, mana penggerebekannya?
Sabaaarrr, Zheyeeenk, POV Firman dulu yaa. Iklan buat tarik napas. Kan mau ikutan gerebek Firman sama Lina😁 Biar pada tahu juga, Firman kok bisa ketemu sama Lina.
Jangan lupa gemnyaa yaa, biar Mak Othor makin semangaaat ngetiknya. Kamsamidaaa🤞
Kamsamida udah mampir, saranghae💜
PART : 9 "Satu lagi," Lina menguraikan pelukannya. Dahiku mengernyit. "Apa itu?" "Kamu harus segera menikahiku dan tinggalkan gorila itu. Aku nggak mau digantung seperti ini. Kalau nggak, aku akan menyebarkan semua bukti perselingkuhan kita pada istrimu." Aku diam tak menjawab. Permintaan yang sulit untuk dipenuhi sebenarnya. Jane--anak komisaris utama, dan perusahaan ini memiliki cabang dalam berbagai bidang. Apapun ceritanya, Jane pasti memiliki bagian yang cukup besar. Terlebih Papa sedang sakit-sakitan saat ini. Umur tidak ada yang tahu. Kondisinya yang terus menerus menurun, bisa saja semakin memburuk dan … meninggal. Sementara aku belum mendapatkan apa-apa. Tentu saja aku keberatan. Toh, aku juga memiliki andil atas kemajuan perusahaan ini. "Mas!" "Ya!" Aku tersentak kaget, ketika Lina mencubit perutku. "Kenapa diam? Jawab dong pertanyaanku tadi." "Mas belum bisa menjawab apa-apa. Saat ini kita jalani aja dulu, sambil mas memikirkan cara untuk meninggalkan si gendut
Rasa curiga mulai menyergap. Tapi, tak berani untuk bertanya apalagi memeriksa ponselnya. Benda berlayar sentuh itu hampir tak pernah lepas dari genggamannya."Mas," Suara manja Lina menyadarkanku dari lamunan. "Hum," jawabku, malas. Pikiran ini masih menerawang tentang Jane.Lina yang duduk di pinggir meja kerjaku, menelengkan kepalanya."Kamu kenapa, Mas? Sakit?" Tangannya diletakkan di atas dahiku. Namun, dengan cepat kutepis."Apaan sih kamu, Lin?""Kamu aneh deh, Mas. Kamu sakit?" Lagi, Lina mencoba meraba pipiku.Aku berdecak sebal. "Nggak, aku nggak sakit. Aku cuma lagi nggak pengen diganggu."Lina menatapku nyalang. "Kamu kok ketus begitu sih, Mas? Aku perhatikan, sejak kepulangan si gorilla, kamu jadi berubah.""Jaga bicaramu, Lina. Dia masih istriku. Atasan kamu di perusahaan ini."Wajah Lina berubah murung. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu bentak aku, Mas?"Kuhela napas kasar. Terbersit rasa kasihan sebenarnya. Tapi, Jane benar-benar sedang sangat mengganggu pikiranku saat
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS PART : 10[Oke, abang segera ke sana. Kamu jangan masuk dulu. Tunggu abang datang. Kebetulan banget, Revan baru sampai naik pesawat terakhir tadi.][Bang Revan? Kok bisa?][Katanya besok dia ada meeting penting dadakan. Sekalian aja dia abang ajak buat menggerebek Firman.]Aku tersenyum miring. Tamatlah sudah riwayatmu kali ini, Mas![Oke, Bang. Aku tunggu!]Aku berinisiatif untuk mendatangi RT setempat. Karena khawatir dianggap membuat kerusuhan.Kuputar mobil menuju pos jaga tadi. Pasti pihak keamanan komplek tahu di mana rumah RT setempat."Ya, Bu, ada yang bisa dibantu?" tanya salah seorang petugas jaga."Saya mau ketemu nih sama Pak RT. Rumahnya di mana ya, Pak?"Security tersebut ke luar dari pos jaga untuk menunjukkan arah. "Oh, Ibu cukup ke luar dengan belok ke kanan. Hanya beberapa meter aja kok dari sini. Nanti di sebelah kanan, ada papan namanya. Pak Samsul namanya.""Baik, terima kasih, Pak.""Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya, Bu, malam-m
"Sebenarnya saya kurang begitu yakin. Tapi mereka terus mendesak saya dan berusaha meyakinkan. Alasan mereka, kartu keluarga sedang diurus, karena saat itu mereka masih baru menikah. Ketika saya minta buku nikah, mereka beralasan masih tertinggal di Bandung." "Setelah itu, Bapak tidak minta lagi data-data mereka?" Pak Samsul menghela napas sambil membuka kaca matanya. "Itulah kecerobohan saya, Dik. Beberapa kali saya ingin menemui mereka, tapi selalu gagal. Mereka jarang di rumah. Kabar yang saya terima, mereka sering pulang larut malam. Lama kelamaan, saya jadi lupa," sesalnya. "Lalu, apa rencana Adik?" Istri Pak Samsul bersuara. "Saya dan abang-abang saya berencana menggerebek mereka. Makanya saya ke mari. Supaya Bapak bisa menyaksikan sendiri kelakuan salah satu warga Bapak. Setelah itu, tinggal Bapak yang memutuskan. Masih menerima mereka kumpul kebo di sini atau tidak." "Sebenarnya rumah itu bukan rumah Pak Firman." Mataku membelalak kaget. "Terus, rumah siapa, Pak?" "Itu r
"Maafkan aku, Sayang. Aku- " "Nggak usah banyak alasan!" potongku cepat. "Mendingan sekarang turun dan bicara langsung!" Suara napas Mas Firman terdengar dihela panjang. "Tunggu … Aku turun," Suaranya tercekat, serak. Sambungan telepon terputus. Kutatap nanar mobil paj*ro hitam yang terparkir. Bisa-bisanya tadi dia memeluk dan mencumbu, setelah itu dia berpindah ke pelukan wanita lain untuk dicumbu juga. "Gimana, Jane, mana si Firman?" tegur Bang Revan. "Sebentar, Bang. Katanya dia akan turun." "Udah gatal tangan abang ini. Pengen nonjok aja rasanya," Tangan Bang Revan mengepal keras. Tak lama suara anak kunci terdengar diputar lalu pintu kayu bercat putih itu membuka. Mas Firman dengan mengenakan kaos putih dan celana boxer pendek, melangkah tertunduk menuju pagar yang hanya setinggi dada orang dewasa. Tubuhku bergetar di dalam rangkulan Bang Revan. Kakak keduaku itu mengeratkan rangkulannya. Berharap bisa memberikan kekuatan pada adik perempuannya yang tengah terluka. Tiba-t
"Dulu, setiap aku mau perawatan ke salon, mau beli obat pelangsing, selalu kamu larang. Kamu bilang itu berbahaya lah, nggak baik untuk kesehatan lah, kamu menerimaku apa adanya lah. Bullsh*t! Kenyataannya apa? Kamu malah menyimpan perempuan di belakangku," Kuungkapkan isi hati yang selama ini terpendam. Air mata menganak sungai. Hati ini benar-benar hancur. Lebih dari sekedar memergoki mereka dari kolong meja saat itu. Kali ini, bahkan aku melihat sendiri penghianatan suami yang selama ini kukira benar-benar tulus. Bagaimana nanti jika Zahwa mengetahui kelakuan ayah yang selama ini ia puja? Pasti hancur. Dan aku tidak bisa membayangkan itu. Tapi aku juga tidak mau dimadu. Melihat kelakuan suami seperti ini, sungguh tidak bisa untuk diberi maaf.Tungkaiku seakan lemas dan tak mampu berdiri. Hingga terhuyung ke belakang, tersandar ke dada Bang Revan."Aku minta maaf, Jane," ucapnya dengan tampang memelas. Wajah yang sudah dipenuhi luka lebam di mana-mana itu, dibuat sesedih mungkin.
"Jaaane!" pekik Bang Yudha dan Bang Revan berlari menghampiri.Darah mengucur deras dari tangan kiri yang sempat tergores pisau, saat aku mencoba menangkis serangan Lina. "Sia*an!" geram Lina dan kembali mencoba menyer4ngku."Awas, Jane!" Tiba-tiba Mas Firman bergerak kilat, dan mendorong tubuh Lina dari samping hingga tersungkur."Aduh," pekik Lina karena sikunya menghantam lantai.Mas Firman menendang pis4u yang terlepas dari genggaman Lina."Amankan Lina, cepat, Bang!" teriaknya pada Bang Yudha."Bantu abang, Man!" "Cepat cari tali!""Mas, kamu tega melakukan ini padaku?" ujar Lina pada Mas Firman. Ia tak menyangka, lelaki yang dikira mencintainya, justru lebih membelaku."Perasaanku udah berubah, Lina. Aku nggak nyangka, kamu bisa sejahat itu."Bang Yudha yang dibantu Pak RT, meringkus Lina dengan mengikat tang4n wanita itu menggunakan tali."Lepaskan aku!" teriak Lina seraya meronta-ronta dalam ringkusan Bang Yudha dan Pak RT."Cepat telepon polisi!" perintah Pak RT."Sudah, Pa
"Nggak usah sok perhatian, Mas! Aku muak! Sumpah, aku muak melihat tingkahmu!""Jane, mas benar-benar khawatir dan peduli sama kamu.""Bohong! Kamu nggak pernah benar-benar peduli padaku, Mas.""Nggak, Jane. Mas peduli dan khawatir. Mas masih mencintaimu.""Diaaam!" Kututup telingaku dengan menggunakan tangan kanan. "Sebaiknya kamu pergi, Mas. Aku nggak mau lihat kamu lagi. Aku udah muak! Aku benci! Pergi, Mas, pergiiii!" teriakku seraya mendorong tubuhnya, meski gerakanku masih sangat lemah."Jane, tolong jangan usir mas.""Pergi, Mas. Pergiii!"Tiba-tiba pintu membuka. Bang Yudha, Bang Revan, dan Kak Vera masuk ke dalam ruang rawat inapku. "Ada apa ini ribut-ribut? Astaga, kenapa ada gelas pecah di sini?" tanya Bang Yudha."Ah, itu tadi aku nggak sengaja menyenggolnya, Bang," jawab Mas Firman. "Aku panggil petugas kebersihan dulu." Lelaki berkulit putih itu ke luar dari ruangan."Gimana keadaan kamu, Dik?" tanya Bang Yudha."Alhamdulillah, jauh lebih baik, Bang. Walaupun masih saki