Share

Tabrakkan

Penulis: Anavya
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-08 11:18:43

Rasanya ingin mati saja, itulah pikiran Rara sepanjang ia berjalan di koridor sekolah. Ia tentu saja jadi pusat perhatian.

“Menjijikan.”

“Bau banget.”

“Itu si anak beasiswa?”

“Emang iya? Kok kaya gitu sih?”

“Kenapa dia?”

Kata – kata yang menyakitkan menyerang pendengaran Rara. Rara makin menundukkan kepalanya. Rasa semangat dirinya menguap begitu saja.

“Loh nak kamu kenapa?”

Rara mengangkat wajahnya, seorang satpam menyapanya. Satpam itu menatapnya dengan tatapan khawatir. Rara tak sadar, rupanya ia sudah sampai di gerbang sekolah.

“Gak apa - apa kok pak,” Rara tersenyum tipis.

“Ya ampun nak, kamu kacau sekali. Kamu yakin pulang dalam keadaan begitu?” tanya satpam itu memperhatikan dari atas ke bawah.

Rara menyinggungkan senyumnya, ia mengangguk sebagai jawaban.

“Saya pulang duluan ya pak,” pamit Rara.

Satpam itu mengangguk ragu.

Rara berjalan ke arah halte. Orang – orang yang di halte menatapnya aneh. Rara terlihat kacau sekali, rambutnya bau amis, seragamnya kotor, sehingga orang – orang akan otomatis menjauhinya.

Bus berhenti di halte. Orang – orang yang sedang menunggu bus segera masuk ke bus.

“Jangan masuk mba. Bus saya gak nerima mba. Kayanya penumpang juga gak mau,” kata supir bus menatap Rara jijik. Rara menatap penumpang yang menatapnya aneh, penasaran, dan kasihan. 

“Maaf pak.” Rara mundur perlahan. Bus itu segera pergi. Rara kembali duduk di bangku halte.

Rara menatap sepatunya yang sudah kusam. Cairan bening mengalir begitu saja dari matanya.

“Sial.” Rara menggigit bibir bawahnya. Rara menutup wajahnya dengan telapak tangannya, ia sudah tidak kuat menahan tangisnya. Nasibnya menyedihkan sekali hari ini.

Rara mendongkak saat seseorang berdiri di hadapannya. Rara mengangkat wajahnya, matanya sudah memerah.

“Hai,” sapa seseorang.

“Lo?” Rara terkejut bertemu lagi dengan lelaki bertopi itu.

“Nih ambil.” Orang di depan Rara memberikkan jaket warna hitam ke Rara.

“Gak us-“

“Pake aja.” Lelaki bertopi duduk di samping Rara

“Lo keliattan kacau banget. Hari lo buruk ya?” tanya lelaki bertopi itu sambil memberikkan tisu kepada Rara.

“Kayanya iya…” jawab Rara sembari memakai jaket hitam pemberian lelaki bertopi itu. Rara menerima tisu itu kemudian menghapus air matanya.

Lelaki itu menatap Rara. Kemudian ia tersenyum tipis.

“Lo punya harapan gak sih?” tanya lelaki itu tiba – tiba.

“Hah? Random banget…” tanggap Rara.

Lelaki itu tertawa kecil, “gak papa…ayo jawab.”

Rara mengangkat bahunya, “mungkin gue berharap hidup gue bahagia.”

“Itu harapan semua orang ya…” lelaki bertopi itu kini fokus menatap kendaraan berlalu lalang.

Rara mengangguk sebagai jawaban.

“Sebentar lagi hujan kayanya,” kata lelaki itu.

Rara mendongkak ke atas, langit tampak mendung. Awan memang tampak berwarna kelabu dan terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Tetesan hujan mulai turun ke bumi.

Rara cemberut, sepertinya ia akan datang terlambat ke panti asuhan.

“Busnya kok lama banget gak datang – datang…” gumam Rara.

“Gue balik ya,” lelaki bertopi itu berdiri. Lelaki itu berlari meninggalkan Rara begitu saja. Rara menatap punggung lelaki itu yang berlari.

“Kayanya ada yang kelupaan…” pikir Rara, “namanya…oh iya! Nama dia siapa ya?” lanjut Rara.

Rara hendak mengejar lelaki bertopi itu, tapi sosok itu sudah pergi dari pandangannya.

Telepon masuk dari Bu Unike mengalihkan fokus Rara. Rara hanya menatap ponselnya, tanpa berniat menjawabnya. Ia bisa menebak pasti Bu Unike menanyakan posisinya sekarang. Ia yakin anak – anak disana sudah bertanya – tanya kehadirannya.

Dengan terpaksa Rara berjalan kaki ke rumahnya. Sudah jelas, ia akan pulang dengan keadaan basah kuyup. Hujan tak kunjung reda, malah semakin besar dan suara petir bersahutan.

Rara menyebrang perlahan dengan melihat kanan kiri. Ia yakin, kendaraan akan memberikkan jalan untuknya.

"Tiiinnnnnnn...," klakson panjang berbunyi mengagetkan Rara. Mobil Sedan hitam berkecepatan tinggi tampaknya lepas kendali.

Semua berlalu dengan cepat

“Brraakkkkk..!!” Rara tertabrak mobil sedan hitam.

Rara dapat merasakan dunianya berputar. Darah menetes deras di wajahnya. Dinginnya hujan dan suara teriakan terdengar bersahutan. Rara menutup matanya, tak kuat untuk membuat dirinya sadar.

+++

Rara membuka matanya, dengan perlahan mengerjapkan matanya beberapa kali agar matanya bisa beradaptasi. Rara memperhatikan sekelilingnya, bau obat dan alat medis tertangkap olehnya. Tidak salah lagi, Rara berada di rumah sakit.

“Aku pikir aku mati…” gumam Rara mengingat ia tertabrak cukup keras. Rupanya, tuhan masih sayang pada dirinya.

Rara turun dari ranjang rumah sakit dengan mendorong infus. Dengan hati – hati ia berjalan ke cermin yang ada disana. Saat itu juga Rara melotot kaget melihat dirinya berganti pakaian dengan pakaian rumah sakit.

“Si-siapa yang ganti?” Rara merinding sendiri.

Klek

Rara menoleh ke pintu. Seorang perawat bertatapan dengan Rara.

Perawat itu tersenyum dan mendekati Rara, “anda sudah sadar? Kenapa langsung berjalan – jalan?”

Perawat itu perlahan menuntun Rara agar kembali ke ranjang. Rara menurutinya tanpa bertanya apapun.

“Sus, siapa yang gantiin baju saya?” Tanya Rara setelah ia duduk di ranjang.

“Saya non.” Jawab Perawat itu ramah.

“Non?” Rara menatap perawat itu dengan tatapan bertanya.

“Saya panggil dokter dulu ya non. Jangan dulu banyak bergerak,” perawat itu pergi meninggalkan Rara yang kebingungan dengan panggilan non untuk dirinya.

“Perawatnya kenapa sih?”

Rara menatap jam rumah sakit, jam sudah menunjukkan jam makan malam. Bu Unike pasti dilanda kebingungan, Rara tak mengabari apapun sejak ia akan meninggalkan halte.

“Dimana yaa?” Rara celingukkan tanpa turun dari ranjangnya, mencari ponselnya.

“Non, dokternya sudah datang,” kata Perawat itu, disampingnya seorang dokter muda tersenyum padanya.

“Baik, saya periksa dulu ya…” dokter muda itu memakai stetoskopnya.

Rara hanya menuruti perintah dokter dengan name tag “Jaydan Samudra” itu.

“Wali anda belum datang ya?” tanya dokter Jaydan.

Rara mengangguk ragu, tapi ia merasa tak menelopon siapapun.

“Apa sebaiknya menunggu Tuan Jevan dulu saja dok?” tanya perawat dengan name tag “Sarah”.

“Siapa Tuan Jevan?” tanya Rara bingung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Akhir Yang Bahagia   Akhir

    Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga

  • Akhir Yang Bahagia   Bahagia

    Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Bisa Kembali

    “Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini

  • Akhir Yang Bahagia   Masa Lalu Mereka

    Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Sabar

    Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang

  • Akhir Yang Bahagia   Terus Terang

    Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status