Home / Young Adult / Akhir Yang Bahagia / Kesialan Hari Ini

Share

Kesialan Hari Ini

Author: Anavya
last update Last Updated: 2022-02-08 11:18:33

Dugaan Rara salah. Saat ia datang ke kantin, ia bisa melihat Raihan sedang asik berkumpul bersama teman – temannya. Kemudian, Raihan mendapatkan kunci mobil dari salah satu temannya. Raihan tertawa puas mendapatkan kunci mobil.

“Siallan lo, gue pikir dare-nya bakallan gagal,” salah satu teman Raihan memukul pundak Raihan.

Rara menghela nafas, ia jadi bahan dare ternyata. Rara berusaha tak mempedulikan Raihan dan teman – temannya. Ia duduk di bangku yang kosong. Rara duduk membelakangi meja Raihan dan teman – temannya.

“Ra, sini Ra!” panggil Amel, ia dengan lantang berteriak di kantin.

Rara menghentikkan kegiatan makannya. Ia menoleh ke sumber suara. Yang membuatnya kaget, ada ketiga murid kelasnya yang memang suka merudungnya bergabung bersama Raihan dan teman – temannya. Rara memegang erat sendok makannya.

“Jangan dipeduliin Ra…” monolog Rara dalam hati, ia memilih kembali fokus terhadap makanannya.

“Lo gimana sih Mel, katanya dia babu lo di kelas,” keluh salah satu lelaki yang berada di meja yang sama dengan Amel.

“Ra sini dong Ra!” Kali ini Lia yang berteriak.

Rara masih berpura – pura mendengar. Rara sadar bahwa dirinya jadi pusat perhatian. Suara langkah kaki melangkah mendekatinya. Rara berniat kabur, tetapi seseorang sudah memegang bahunya terlebih dahulu, memaksanya kembali duduk di bangku.

“Mau kabur lo?” ternyata Mia yang memaksanya duduk. Rara menatap sekelilingnya, kini semua mata tertuju pada mejanya. Ada Amel, Lia, dan Mia yang kini mengerubunginya. Raihan dan teman – temannya masih asik di meja ujung.

Curr

“Ayo lanjuttin makannya.” Kata Amel sambil menuangkan fanta ke nasi Rara. Rara menatap nasinya, ia menggeleng sebagai jawaban.

Lia mendekati Rara, berniat membisikkan sesuatu.

“Lo udah permaluin kita tau…”

“Makan! Kalau lo mau pulang dengan selamat!” paksa Amel.

Rara menggigit bibir bawahnya, rasanya ingin menangis saja. Rara dengan terpaksa mulai makan nasi dengan campuran fanta.

“Anak pinter~” kata Mia dengan nada mengejek sembari mengusap rambut Rara perlahan. Rara tak menanggapi apapun, ia tau Mia sedang mengejeknya.

“Gimana? dimakan?”

Rara mendongkak, kini Raihan dan teman – temannya mendatangi mejanya.

“Wow, hebat banget si anak beasiswa,” kata Nico, salah satu teman Raihan.

Rara menunduk ketika ia sadar Raihan kini menatapnya. Raihan menatap Rara yang kini menghentikkan kegiatan makannya.

“Kok berhenti?” tanya Raihan penasaran.

“Kenyang…” kata Rara pelan. Rara tak berani mengangkat wajahnya.

“Masih banyak ini..” Lia mengambil sendok Rara kemudian ia menyatukan nasi yang sebelumnya sudah dicampur fanta dengan sisa ayam lada hitam, sisa telur, dan salad wortel yang sama sekali belum disentuh Rara.

“Nah, sekarang kamu bisa lanjuttin makannya.” Kata Lia ceria ia memberikkan sendok Rara.

 “Ayo dimakan.” Bujuk Mia.

Rara menatap campuran makanan itu. Rara mengambil sendoknya dari tangan Lia. Dengan ragu, ia mengambil campuran makanan itu.

“Woah, segala dilakuin ya sama lo.” Komentar Raihan dengan nada mengejek. “Hebat banget,” lanjutnya.

Suapan petama, Rara mengunyahnya perlahan.

Suapan kedua, Rara menelannya dengan susah payah.

Suapan ketiga, Rara merasa perutnya akan meledak sebentar lagi.

Rara bangkit dari duduknya, sebaiknya ia kabur saja. Rara menutup mulutnya, ia berlari meninggalkan kantin, tanpa peduli tatapan mengejek dan iba yang dilemparkan murid – murid disana. Sayangnya, murid – murid disana memang tak memilih terlibat.

+++

Rara memuntahkan makanan yang ia makan tadi di salah satu bilik kamar mandi. Perutnya benar – benar mual, kepalanya pusing karena dipaksa makan.

“Parah banget mereka…” Rara mengusap mulutnya kasar. Ia yakin ia tidak akan pulang dalam keadaan bersih. Ia sudah kabur dengan seenaknya. 

Rara keluar dari bilik kamar mandi, kemudian ia mencuci tangannya. Ia mendengar suara bel masuk. Rara membenahi dirinya terlebih dahulu dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi.

Rara berjalan di koridor sekolah dengan menunduk. Ia yakin sekali, murid – murid memperhatikan dirinya. Rara dapat bernafas lega saat ia sampai di kelasnya. Rara sempat bertatapan dengan Amel, buru – buru Rara duduk di bangku kelasnya.

Beberapa menit kemudian, pelajaran dimulai. Rara mulai fokus memperhatikan guru yang mengajar.

“Baik, pelajaran hari ini sekian,” tutup guru Bahasa inggris, kemudian ia meninggalkan kelas. Suasana kelas mulai berisik, para murid mulai membereskan alat tulis dan buku masing – masing.

BRAK!

“Semuanya keluar! Kecuali Rara!” teriak Amel di mejanya.

Rara membeku, ia bisa menebak kejadian selanjutnya. Pasti ia tak akan pulang dengan selamat.

Murid – murid otomatis segera pergi meninggalkan kelas, tak ada satu orang pun yang melawan Amel. Lia dan Mia menutup pintu kelas begitu murid – murid kelas sudah keluar dari kelas.

“Lo tau ga kesalahan lo apa?” Tanya Amel sambil menendang meja Rara. Rara menggeleng pelan, ia menundukkan kepalanya. Rara ketakutan, ia bisa merasakan aura sekelilignya menghitam.

Curr

Di belakangnya, Lia menumpahkan cola ke rambut Rara.

“Serius lo gak tau?” terdengar dari nada suara Lia yang tampak menahan tawanya.

Rara mengangkat kepalanya , ia terdiam sebentar “masalah di kantin?“ tanya Rara ragu.

Curr

Kali ini. Mia menumpahkan fanta ke rambut Rara

“Kelamaan jawabnya, jangan ragu,” kata Mia.

“Lo kabur seenaknya, secara gak langsung lo mempermaluin kita di depan Raihan dengan temen – temennya.” Lia dengan kasar menarik rambut Rara.

Rara diam, berusaha menahan tarikkan Lia.

“Lo tuh cuman anak miskin, penerima beasiswa! Lo harusnya tau diri!” Amel melemparkan telur ke rambut Rara.

“Lo bakallan selalu dibawah!” Lia melepaskan tarikannya , kemudian Lia menaburkan tepung terigu ke rambut Rara.

Rara hanya dapat mengepalkan tangannya dan menggigit bibir bawahnya, menahan tangisnya.

“Sekarang lo renungin kesalahan lo!” perintah Amel.

Ketiganya meninggalkan Rara sendirian di kelas. Rara menatap pintu kelas yang sudah ditutup.

“Kacau banget…” bulir air mata jatuh dari mata kecil Rara.

“Kenapa harus di hari ulang tahun gue?” Rara mengusap air matanya kasar.

Rara tak membawa baju ganti apapun, sudah terbayang di pikirannya pasti murid – murid akan menatapnya aneh. Rara jadi takut untuk keluar kelas. Rara menatap ponselnya, ada notifikasi chat dari Bu Unike yang mengatakan ia menunggu Rara di panti asuhan. Rara bangkit dari duduknya, ia dengan tergesa memakai ranselnya. Rara menghela nafas saat langkahnya terhenti di depan pintu kelas.

“Jangan peduliin mereka Ra. Lo pulang dulu, terus baru ke panti asuhan.” Monolog Rara, ia membuka pintu kelasnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akhir Yang Bahagia   Akhir

    Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga

  • Akhir Yang Bahagia   Bahagia

    Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Bisa Kembali

    “Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini

  • Akhir Yang Bahagia   Masa Lalu Mereka

    Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Sabar

    Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang

  • Akhir Yang Bahagia   Terus Terang

    Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status