Suara ketukkan mengalihkan ketiganya.
“Maaf bang, gue telat,” kata seorang lelaki masuk dengan wajah khawatir. Lelaki itu membuka maskernya.
“No problem, sini lo,” sambut dokter Jaydan.
Perawat Sarah bergeser ke belakang, memberikkan ruang agar lelaki itu dapat berdiri di samping ranjang Rara.
Rara mengerutkan keningnya, lelaki itu tampak tidak asing.
“Baik karena sudah ada wali anda. Begini, untungnya pasien tidak apa – apa. Ia shock saja dan tak ada luka yang serius,” jelas dokter Jaydan.
“Tapi kepalanya di perban…” tanggap lelaki itu.
“Iya Jev, tapi bakallan sembuh kurang dari seminggu lah, kalau dikira – kira.”
“Saran saya sebagai dokter, pasien istirahat tiga hari dulu disini,” kata dokter Jaydan sambil tersenyum menatap Rara. Rara tersenyum canggung pada dokter Jaydan.
“Siap bang.” Tanggap lelaki itu sambil melirik Rara sebentar, dan kembali fokus ke dokter Jaydan.
“Kalau begitu semoga lekas sembuh ya Rara. Saya pamit dulu. ” dokter Jaydan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan.
“Semoga cepat sembuh ya non.” Kata perawat Sarah, kemudian menyusul langkah dokter Jaydan.
Setelah dokter dan perawat pergi meninggalkan ruangan, keadaan ruangan seketika hening. Rara menatap lelaki itu dari atas ke bawah. Perawakannya tinggi, hidungnya mancung, kulitnya halus dan matanya tampak indah.
“Jadi lo siapa?” tanya Rara pelan, ia mengawasi lelaki itu yang mulai mengambil kursi. Lelaki itu meletakkan kursi di samping ranjang Rara.
“Gue wali lo,” jawab lelaki itu.
“Um…tapi gue gak tau lo dan gak kenal lo,” ujar Rara dengan wajah kebingungan.
“Gue Jevan Anandra,” lelaki itu mengulurkan tangannya.
Rara memilih tak menyambut uluran tangan lelaki itu. Ia tak mengenal lelaki itu.
“Ini loh,” Jevan memakai topi hitam dan maskernya.
Rara memiringkan kepalanya, ia ingat! Pantas saja tampak tak asing.
“Oh! Lo kan yang beli permen sama yupi itu kan? Kita juga pernah ketemu di halte kan?” tanya Rara memastikan.
“Akhirnya lo inget!” Jevan melepaskan topi hitam dan maskernya. Jevan menyimpan barangnya di nakas.
“Lo nyelamatin gue ya…makasih banyak ya,” kata Rara tulus.
“Gue takut gak bisa gantiin uang lo deh…” lanjut Rara.
“Uang apa?” Jevan menatap Rara heran.
“Biaya rumah sakit , obat – obat dan lain – lain,” kata Rara.
“Gue gak –“
“Jangan nuntut gue ya, gue mohon. Gue benerran gak punya uang. Kalau gue udah gajian, gue janji gantiin uang lo secepatnya.” Potong Rara cepat. Rara meringis sendiri, ia sepertinya harus meminta gaji lebih cepat kepada atasannya di toko.
Jevan menatap Rara yang menatapnya dengan memohon. Jevan tertawa kecil. Rara menatap Jevan dengan bingung.
“Gak usah Raraa~” kata Jevan lembut.
“Kenapa?” Rara memiringkan kepalanya, bingung.
“Pokoknya lo gak usah mikirin biaya ya…”Jevan memberikan segelas air putih pada Rara.
“Gue mau nanya,” kata Rara setelah meneguk habis air pemberian Jevan.
“Keadaan orang yang nabrak gue gimana?”
Jevan terdiam sebentar, “gak selamat, kata polisi dia ngendarain dalam keadaan mabuk. Jadi, lo gak salah sama sekali.”
Rara menggangguk sebagai jawaban, “gue jadi ngerasa bersalah…lo yakin gue gak salah?”
Jevan mengangguk yakin. “Iya, kata polisi gitu tadi. Udah ada olah TKP tadi.”
Rara mengatupkan kedua bibirnya, ia masih tidak pecaya pelaku tewas begitu saja karena kesalahannya sendiri.
“Gue harus ke panti,” Rara berniat turun dari ranjang. Rara memilih kembali fokus kepada rencana awalnya.
“Ngapain? Lo harus istirahat Ra,” cegah Jevan, ia berdiri dari duduknya.
Rara menggeleng pelan, “hari ini gue ada janji sama ibu, lo liat hp gue ga?”
“Ini hp lo,” Jevan mengambil ponsel Rara dari saku celananya. Jevan terkejut ketika Rara dengan cepat mengambil ponselnya.
“Kok mati?” tanya Rara sambil menekan tombol power di ponselnya.
“Lo kan ketabrak. Hp lo jelas ikut kebanting.” Kini Jevan sudah kembali duduk di kursinya.
“Iya juga ya, terus gimana dong?” Rara cemberut.
Jevan mengambil ponselnya dan memberikannya pada Rara. Rara menatap Jevan bingung.
“Telepon pake hp gue aja.” Jevan mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya.
“Wah, makasih banyak ya…gue hutang banyak banget ke lo,” Rara mulai menekan nomor telepon Bu Unike di ponsel Jevan. Untungnya, Rara hafal nomor Bu Unike.
“Gue udah kabarin beliau sih sebenernya…” gumam Jevan pelan.
“Hah?” Rara menghentikkan kegiatannya di ponsel Jevan.
“Enggak, gue keluar dulu ya.” Jevan meninggalkan Rara sendiri di ruangan.
Rara mengangkat bahunya, tak peduli. Sambungan telepon terdengar.
“Bu, Ini Rara…”
“Nak? Kamu dimana?” terdengar suara khawatir dari Bu Unike.
“Rara minta maaf, kayanya Rara gak bisa datang ke panti hari ini,” Rara memilih tak bercerita akan apa yang terjadi padanya hari ini.
“Gak masalah sayang, kita bisa tunda dulu. Yang penting kamu sembuh dulu…” kata Bu Unike memaklumi.
Rara mengerutkan keningnya, ia tak bercerita apapun. Tetapi, kenapa Bu Unike seolah tau kalau ia sedang sakit.
“Aku gak sakit Bu,” kata Rara pelan.
“Ma-maksud Ibu semoga kamu sehat selalu,” nada gugup terdengar di seberang sana, membuat Rara makin kebingungan.
“Iya bu, ibu juga ya,” Rara memilih melupakan kebingungan dirinya.
Ada keheningan beberapa saat, sebelum Bu Unike memecahkan keheningan itu “Nak, percayalah semuanya bakallan baik – baik aja,” kata Bu Unike. Kemudian, Bu Unike menutup panggilan telepon itu.
Rara tak sempat mengatakan apapun. Rara hanya menatap layar ponsel Jevan dengan kebingungan. Jevan masuk dengan membawa sebungkus plastik yang berisi makanan.
“Ra, makan dulu.” Jevan menyiapkan meja makan rumah sakit. Rara memperhatikan tingkah Jevan yang peduli padanya.
“Jev…” panggil Rara.
“Ya?”
“Kenapa lo baik banget sama gue? Kita baru kenal loh, “ Rara jadi berfikiran negatif. Ia mengingat kejadian ia berkenalan dengan Raihan, si kakak kelas yang Rara pikir akan jadi teman untuknya. Tetapi, nyatanya Rara dijadikan dare.
“Oh, sorry. Lo gak nyaman ya? Takut?” Jevan mengangkat tangannya.
“Ngerasa aneh aja…”
“Lo bisa percaya sama gue. Gue anak baik kok,” kata Jevan tersenyum, ia menyimpan bubur ke meja makan rumah sakit. Tak lupa, Jevan mengisi air putih ke gelas Rara.
Rara terdiam sebentar, melihat perilaku Jevan. “Hp lo. Makasih ya,” kata Rara menyerahkan ponsel Jevan kepada pemiliknya.
Jevan mengangguk, ia menerimanya. Rara mulai makan bubur yang dibeli Jevan dengan perlahan. Sesekali Rara meniup buburnya, karena masih panas.
“Sambil lo makan, apa gue boleh memperkenalkan diri?” tanya Jevan sopan.
Rara mengangguk sebagai jawaban.
“Lo udah tau nama gue sih pasti, gue Jevan Anandra. Seperti yang lo tau gue yang nyelamatin lo. Dokter yang tadi itu, kakak sepupu gue. Kalau ada yang mau lo tanyain silakan Ra,” jelas Jevan.
Rara merasa informasi yang diberikkan Jevan hanya cukup menjawab hal yang umum.
“Kenapa gue ada di kamar VVIP? Sedangkan lo kan tau kalau gue gak mampu bayar,” tutur Rara. Rara memperhatikan sekelilingnya fasilitas di kamar VVIP sangat lengkap. Rara makin takut akan biaya yang akan ia keluarkan nanti.
“Lo gak usah mikirrin biayanya Ra, tenang aja,” kata Jevan menenangkan. Jevan membereskan alat makan Rara, kemudian membuangnya ke tempat sampah.
“Sebaiknya lo istirahat Ra,” Jevan menarik selimut rumah sakit agar menutupi tubuh Rara.
Rara menghela nafas, ia jadi kesal sendiri melihat tanggapan Jevan.
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni