Share

Ulang Tahun

Author: Anavya
last update Huling Na-update: 2022-02-08 11:18:23

Rara sampai di rumah kecilnya sekitar pukul lima sore. Rara segera membersihkan diri, kemudian ia mencuci beras, berniat memasak beras terlebih dahulu. Gadis dengan rambut sebahu itu menyalakan televisi. Sayangnya, tidak ada yang menarik.

Rara mengambil tasnya, berniat mencari ponselnya. Ponselnya segara ia isi hingga penuh. Selagi ia menunggu, Rara mulai mengerjakan tugas yang diberikkan oleh guru.

Suara dering ponsel mengalihkan fokus Rara.

“Halo Bu Unike. Gimana kabarnya?”

“Baik sayang, kamu baik – baik aja disana?” suara lembut mengalun di indera pendengaran Rara.

“Iya baik, disini semuanya ramah – ramah,” Rara tersenyum kecil, meski si lawan bicara tidak bisa melihat wajahnya.

“Syukurlah. Ibu harap kamu nyaman sekolah disana. Itu kan sekolah elit, rasanya ajaib sekali kamu bisa mendapatkan beasiswa disana,” suara senang terdengar dari sambungan disana.

Rara terdiam sebentar, “iya bu, Ra-ra juga senang.” Rara terpaksa berbohong,ia tidak ingin membuat Bu Unike khawatir.

“Rara belajar disana dengan baik ya. Ibu harap kamu bahagia, jangan menyerah ya sayang…” ujar Bu Unike lembut.

Mata Rara berkaca – kaca mendengar perkataan tulus seorang wanita yang sudah mengurusnya sejak ia dibuang oleh orang tuanya. Rara menggigit bibirnya, menahan tangis.

“Nak? Kamu disana kan?” tanya Bu Unike karena Rara tak menanggapi apapun.

Rara mengangguk padahal Bu Unike tidak bisa melihatnya.

“Kamu kenapa sayang? Apa ada masalah?” terdengar suara khawatir di ujung sana.

“Gak a-ada…Rara cuma kangen ibu…” Rara menjawab dengan susah payah.

“Ibu juga kangen kamu sayang…anak – anak panti sering nanyain kamu.”

Rara tertawa kecil “ahaha, kalau sempet besok aku kesana ya bu. Apa masih ada kamar sisa buat aku?”

“Selalu ada sayang, pintu rumah panti selalu terbuka untukmu,” ujar Bu Unike.

“Makasih ya bu.” Kata Rara tulus.

“Sama – sama sayang. Ibu harus ngurus cucian dulu, udah dulu ya?”

“Iya bu, sehat selalu ya bu. Semoga anak – anak disana juga sehat selalu,” kata Rara peduli.

“Kamu juga ya, sehat dan bahagia ya sayang…” balas Bu Unike.

Rara menutup sambungan teleponnya. Rara menatap jendela kamarnya, bulan tampak terang di matanya.

“Ayo semangat Ra, kamu harus lulus dari sekolah elit itu,” Rara kembali mengerjakkan tugasnya yang tadi sempat tertunda.

Beberapa menit kemudian, tugasnya sudah selesai. Rara memegang perutnya yang meminta makan. Rara membuka rak makanan, hanya tersisa mie instan saja. Rara mulai menyiapkan makan malamnya. Hanya mie instan dan nasi yang tadi sudah ia masak.

+++

Pagi ini Rara terbangun oleh suara panggilan telepon dari ponselnya. Rupanya, tadi malam Rara lupa menyetel alarm di ponselnya. Rara mengambil ponselnya yang terletak di nakas. Dengan mata masih menutup, Rara menjawab panggilan telepon.

“Selamat ulang tahun sayangg.”

Rara membulatkan matanya, ia melirik kalender yang berada di nakas.

Rara benar – benar lupa!

Hari ini adalah hari ulang tahunnya!

“Semoga hal – hal baik terus berdatangan ke kamu ya…ibu berharap kamu sukses dan yang paling utama kamu bahagia,” kata Bu Unike.

“Rara lupa hari ini ulang tahun, makasih ya bu do’a nya,” Rara tersenyum bahagia.

“Ya ampun sayangg, sama – sama. Ibu gak sabar ketemu kamu, “ Bu Unike terdengar bersemangat.

“Habis pulang sekolah Rara, bakallan kesana kok bu,” janji Rara

“Ibu bakallan buat masakkan yang enak buat ngerayain ulang tahun kamu,” tutur Bu Unike.

“Rara tunggu yaa!” perasaan bahagia menyelimuti Rara.

“Hahaha iya sayang, kamu siap – siap sekolah ya…ibu tutup ya teleponnya.”

“Iya bu.”

Rara turun dari ranjangnya. Ia segera bersiap untuk sekolah. Rara menatap jam di ponselnya.

Sepuluh menit lagi bus yang biasa ia naikki akan datang. Dengan tergesa, ia meninggalkan rumah kecilnya dan berlari ke halte bus. Sedikit bernafas lega, ia datang bersamaan dengan bus.

+++

Rara tersenyum sepanjang ia berjalan di koridor sekolah. Murid lain menatapnya aneh, tapi Rara tak peduli. Sejujurnya, Rara tidak sabar bertemu dengan bel pulang sekolah.

“Rara!”

Rara menoleh, seorang guru memanggilnya. Rara mendekati guru itu.

“Bawa ini ke kelas 3-A ya. Ibu harus ke perpustakaan dulu,” kata guru itu menyerahkan tumpukkan buku pelajaran pada Rara.

“Baik Bu Devi,” Rara menjawab dengan sopan.

“Terimakasih ya Rara,” Bu Devi meninggalkan Rara.

Rara tersenyum, “sama – sama bu.”

Rara menahan berat buku pelajaran itu. Rara tidak sempat menyimpan tasnya di kelas. Lagipula, tangga menuju kelas 3-A lebih dekat dari kelasnya. Rara menaikki tangga, menuju kelas 3-A.

“Berat…” keluh Rara pelan. Ia sesekali berpapasan dengan murid lain. Bagaikan hantu, tidak ada yang menawarkan bantuan padanya, melirik dirinya pun tidak.

“Gak pada peduli…” gumam Rara pelan.

“Butuh bantuan?”

Rara menghentikkan langkahnya di tengah – tengah tangga. Dikarenakan tumpukkan buku pelajaran menghalangi pandangan Rara, maka Rara sama sekali tak bisa menatap orang yang menghalangi jalannya.

“umm…” Rara kebingungan menanggapi tawaran.

“Sini aja deh,” lelaki itu mengambil buku pelajaran itu sebagian. Kini Rara bisa melihat dengan jelas lelaki tinggi di hadapannya. Lelaki itu tersenyum ramah.

 “Ini dikemanain?” tanya lelaki itu.

“Kelas 3-A kak.” Jawab Rara.

“Oh kelas gue itu.” lelaki itu sesekali tersenyum begitu ada yang menyapanya. Rara bisa menebak pribadi lelaki itu ramah dan baik hati.

“Makasih kak,” Rara membungkuk sopan. Keduanya kini berada di koridor sekolah lantai tiga, depan kelas 3-A.

“Gue Raihan. Raihan Arzanky,” kata lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

“Gue…” Rara menerima uluran tangan lelaki di depannya.

“Rara kan?” potong Raihan.

Rara menatap Raihan bingung.

“Lo kan si anak beasiswa itu kan? Yang suka wakillin sekolah kalau ada lomba?” tebak Raihan.

Rara mengangguk.

“Nama lo terkenal diantara anak – anak yang suka ikut lomba tau. Kebetulan gue suka ikut lomba basket juga, jadi tau nama lo,” tutur Raihan.

“Nama lengkap lo apa?” tanya Raihan dengan wajah penasaran.

“Rara Adena.” Rara melepaskan jabatan tangan dirinya dengan Raihan.

“Rai, cepet masuk. Entar lagi pak kumis dateng,” kata seorang yang murid yang melewati keduanya.

“Well, good bye Ra. Gue masuk kelas dulu ya. “ Raihan melambaikan tangannya pada Rara. Raihan masuk ke kelasnya.

Rara tersenyum kecil, ia baru tau masih ada murid yang baik disini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Akhir Yang Bahagia   Akhir

    Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga

  • Akhir Yang Bahagia   Bahagia

    Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Bisa Kembali

    “Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini

  • Akhir Yang Bahagia   Masa Lalu Mereka

    Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa

  • Akhir Yang Bahagia   Tidak Sabar

    Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang

  • Akhir Yang Bahagia   Terus Terang

    Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status