"Usia kehamilan ibu saat ini sekitar sepuluh minggu, hasil USG memperlihatkan dua kantung kehamilan, dua embrio, dan dua denyut jantung. Ibu mengandungnya bayi kembar."Ucapan dokter tadi membuat bibirku tidak berhenti menyunggingkan senyuman. Aku tidak tahu siapa dari kami yang memiliki keturunan anak kembar, tapi Allah tidak membutuhkan alasan saat memberikan karunia-Nya pada hambaNya. "Apa segitu bahagianya dirimu hingga aku lihat kamu terus saja tersenyum sejak tadi," ucap mas Farid membuyarkan lamunanku. "I-i-itu," sahutku menggantung. "Tadi bagaimana kamu membawaku ke rumah sakit mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Aku menggendongmu hingga sampai kesana," jawaban sambil fokus menyetir. Masalahnya tadi dia bilang membawa motor, tapi sekarang dia membawa mobil. "Benarkah?" "Tentu tidak benar, kamu pikir aku super hero yang bisa terbang sambil membawa orang."Aku tertawa kecil mendengar jawaban dari mas Farid. "Sepertinya kamu benar-benar bahagia, sejak tadi aku perhati
"Kenapa kamu melakukan itu mas?""Kamu istriku, kalau bukan aku yang membela dirimu, siapa lagi? Aku masih menunggu kamu menceritakan apapun masalahmu padaku. Jangan ulangi lagi mengambil keputusan sendiri." Mas Damar meraih pergelangan tanganku dan membawaku kembali ke meja makan. "Ayo cepetan makan, keburu dingin lagi makanannya," ucapnya sambil menyuruhku duduk kembali di kursi makan. "Sebenarnya aku bisa terusir dari rumah karena menuduh Zahra yang sengaja menyuruh orang menabrakku saat aku hamil dulu," ucapku sambil menyuapkan makanan ke mulutku. "Kenapa bisa kamu lakukan itu?" tanya mas Damar sambil menatapku. "Lelaki itu datang padaku dan mengatakan semuanya, tapi ternyata dia kabur saat aku ingin menjadikannya saksi. Padahal waktu itu dia menunjukkan rumah di kompleks sini sebagai rumahnya. Tapi ternyata rumah itu sudah kosong lama dan milik Bisma.""Maksudnya Bisma dan lelaki itu bersekongkol?" tanya mas Damar. "Mungkin dengan Zahra juga," jawabku singkat."Maksudnya?"
Mas Damar menghampiri diriku dan menyudutkan tubuhku ke tembok. Matanya berkaca-kaca, giginya gemerutuk menahan amarah. Kedua tangannya mencengkram bahuku dengan erat."Apa kamu begitu ingin bercerai denganku, Amelia Larasati!" seru mas Damar sambil menatap tajam kearahku. Bukan hanya kemarahan yang terlihat di matanya, segitu kecewanya kah dia melihatku bersama dengan lelaki lain."Kamu menyakitiku mas, lepaskan," lirihku sambil merona. Bulir bening menetes dari sudut mataku tanpa diminta, lelaki yang menikahiku itu menyakiti hatiku dengan menuduhku memiliki hubungan dengan pria selain dirinya, dan sekarang menyakiti fisikku, padahal aku sedang mengandung anaknya. Cengkraman tangannya melemah, dia melepaskanku dan berjalan menuju sofa lalu duduk sambil meremas rambutnya. Apa yang terjadi padanya, apa dia begitu marah hanya karena melihatku diantar oleh laki-laki lain atau dia sedang ada masalah lain. Lagian kenapa dia datang siang-siang begini, bukankah seharusnya dia bekerja sian
"Mas, kita akan pergi kemana? mau lari begitu saja bersama? semua orang akan khawatir. Papa dan mama juga akan mencariku. Kita tetap disini, kita rahasiakan kehamilan ini. Asal kamu selalu menjagaku itu sudah cukup, aku akan lebih berhati-hati dan tinggal di dalam rumah," ucapku sambil memeluknya dari belakang. Menghentikan kesibukannya memasukkan baju-bajuku kedalam koper. "Aku tidak yakin kita akan baik-baik saja jika disini.""Asal tidak ada yang tahu jika aku hamil maka semua akan baik-baik saja, kamu harus bisa merahasiakannya juga. Nanti saat aku sudah tidak bisa menyembunyikan kehamilan ini lagi, aku akan pulang ke rumah mama dan mereka yang akan menjagaku. Kita bisa juga pulang bersama karena saat itu pasti Zahra sudah melahirkan," tuturku panjang lebar. Setelah Zahra melahirkan dan aku bisa membuktikan jika anaknya bukan anakmu, saat itu aku akan segera pergi dari sini."Apa kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya mas Damar memastikan."Iya, yakin!""Tadi sebenarnya aku in
Pintu rumahku diketuk berulang kali, terdengar suara salam dari orang yang aku kenal, mbak Susi. "Sebentar mbak," teriakku dari dalam. Aku segera meraih mukena dan memakainya. Kain itu bisa menutupi seluruh tubuhku dan menyembunyikan perutku. Hingga saat ini tidak ada seorang pun yang tahu aku hamil kecuali mas Damar. "Habis salat mbak?" tanya mbak Susi begitu aku membuka pintu rumahku. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya, lalu mempersilahkan wanita itu masuk. "Ini mbak, di suruh bawa makanan buat mbak Amel. Kok mbak Amel tidak datang ke sana sih, nengokin bayi nya mbak Zahra. Orang-orang jadi pada mengira mbak Amel tidak suka dengan kelahiran anak itu.""Biarlah mbak," sahutku sambil tersenyum.Sudah seminggu yang lalu maduku itu melahirkan, katanya anak laki-laki dan hari ini adalah hari dimana diadakan acara aqiqah buat bayi laki-laki itu. Tapi aku masih saja tidak mau datang, bagaimana aku bisa datang dengan perut yang membesar ini. Meskipun usia kandunganku baru ena
"Kenapa mendadak ingin pulang?" tanya mas Damar begitu dia sampai di rumah yang aku huni. Aku sampai lebih dulu darinya beberapa menit yang lalu. "Aku tidak mendadak mas, sudah siap-siap sejak lama kok. Lihat barang bawaanku saja sudah rapi, rumah juga sudah aku rapikan. Jadi aku memang sudah bersiap-siap sebelumnya sih, dan ini kunci rumahnya kamu yang simpan nanti.""Apa kamu mau melarikan diri, meninggalkan aku sekarang?" Aku tertawa mendengar pertanyaan suamiku ini, "Kalau aku mau meninggalkan kamu, aku tidak akan minta diantar dan pamit mas.""Lalu kenapa sekarang ingin pulang kerumah mama dan papa?""Lihatlah perutku ini," ucapku sambil mengelus perutku yang sudah mulai membesar."Bagaimana aku bisa terus sendirian disini dengan keadaan seperti ini, aku butuh orang yang menjagaku dan menemaniku setiap saat. Aku butuh perhatian wanita yang sudah melahirkan diriku, disini aku tidak memiliki siapapun selain dirimu. Itupun kamu sekarang sibuk lagi dengan bayi laki-laki itu," ujar
"Kamu tidak adil mas! kamu tidak adil. Aku Membencimu dan juga membencinya!" pekik Zahra sambil berlalu ke arahku. Mas Damar segera meraih tangan istri keduanya dan mencegahnya mendekatiku."Aku memang tidak adil, kamu boleh meluapkan kemarahanmu padaku. Tapi jangan pernah sentuh lagi Amelia.""Plaakk!" "Zahra!" pekikku kencang. Wanita itu menampar wajah suaminya yang juga suamiku. Mas Damar hanya diam tidak melakukan apapun pada wanita yang tengah kalap di dekatnya itu. "Kenapa? kamu tidak suka aku menamparnya. Dia hanya peduli padamu, kamu tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan karena kamu selalu mendapatkan kasih sayangnya." Zahra berteriak dan menatap marah kepadaku. "Maafkan aku Zahra, aku yang salah. Dalam hubungan ini tidak ada siapa pun yang bahagia, kita semua menderita," ucap mas Damar lirih. Zahra menangis, badannya luruh ke lantai, terduduk bagai tidak bertenaga. "Maafkan aku," ucap mas Damar lagi. Lelaki itu mendekatiku dan meraih pergelangan tanganku, dan p
POV Alesha Zahra________&&_______Sejak aku mengandung dan bisa mengusir keluar Amelia dari rumah mertua kami, aku merasa sudah mendapatkan segalanya. Kasih sayang ibu dan perhatian semua orang, bahkan aku bisa menguasai kamar yang demi kamar itu wanita bod*h itu rela mas Damar lebih banyak bersamaku. Aku bisa mendapatkan semuanya, hanya satu yang tetap tidak bisa kumiliki, cinta suamiku. Aku tidak peduli dia tidak mencintaiku, asal dia selalu bersamaku, aku terus menggunakan kehamilanku untuk menghalanginya bertemu dengan istri pertamanya. Saat dia berjanji akan datang dan mengatakan rindu pada Amelia, aku sengaja membuatnya mencari makanan yang susah di dapatkan hingga akhirnya dia pulang sore hari dan hujan pun turun dengan lebat. Saat mereka janjian untuk bertemu di kebun kopi, aku juga melakukan hal yang sama. Begitu melihat mbak Susi pergi untuk menjemput Amelia, aku segera merengek pada suamiku untuk mencarikan sesuatu lagi. Nampaknya usahaku tidak sia-sia, wanita itu bisa m