Share

Minta Bukti

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-08 21:09:28

"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. 

Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.

'Ya Allah, apa lagi ini?'

Puyeng ... puyeng!

"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak.

"Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku.

"Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. 

Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!

Kriuk ... kriuk ....

Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun.

"Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. 

Setelah bernegosiasi sama emak yang super ngeyel, akhirnya aku dibebaskan untuk makan pagi. Pastinya atas bantuan Pakde Jangin. Dia lebih memanjakanku, makanya kalau dimarahi emak larinya ke pakde.

Huwaah ....

Lontong pecelnya uenak dan puedes nya nampol! Badanku langsung berkeringat dan otakku sempat ngeblank karena pedesnya. Enak sih, dapat teralihkan dari masalah yang mbulet ini. Walaupun sesaat.

"Ini minummu! Cepetan! Sudah tidak sabar dengar ceritamu!" ucap emak menyodorkankan segelas air putih.

Hemm, alhamdulillah.

Akhirnya aku mendapatkan tenaga untuk memecahkan masalah ini. 

"Aku dengan Mas Joni, baik-baik saja. Tidak ada masalah keuangan, apalagi masalah perkawinan. Semua ini hanya salah paham. Saya juga tidak tahu dari mana datangnya kabar yang salah kaprah ini," jelasku pelan-pelan.

"Lo, kalau tidak ada masalah, kenapa kamu pulang sendiri Nduk. Jonimu mana? Naik  bis lagi, mobilmu mana? Kayak orang yang bangkrut, tidak punya duit!" kata pakde Jangin.

"Pakde, Mas Joni lagi ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi tidak bisa antar pulang kampung. Kalau mobil, saya kan tidak bisa nyetir. Toh, naik bis juga lebih enak. Tidur, bangun langsung nyampe."

"Emak tidak percaya! Mana buktinya. Itu cuma omonganmu saja!" bantah Emak.

Diikuti kepala Pakde yang mengangguk-angguk, memaksaku untuk memberikan bukti yang bisa mereka percara. Apa ya?

Kalau keberadaan mobil, mana bisa aku kasih bukti. Aku bukan orang yang sok kaya, foto di depan mobil atau selfi didekat mobil seolah-olah tidak sengaja menunjukkan kalau punya mobil. Atau, selfi di dalam mobil atau lagi nyetir. 

Setelah itu di posting.

Pengumuman online.

Hehehe.

Ah, itu enggak banget.

Bukan aku.

Punya mobil ya untuk dipakai, punya karena ada manfaatnya. Bukan karena sok gaya atau pamer sana-sini.

Apa ya?

Oya, titipan Mas Joni belum tak sampaikan. Aku lupa karena ketimpa masalah ini.

"Sebentar, aku ambilkan oleh-olehnya. Aku kelupaan, keburu puyeng dengan masalah ini," cetusku sambil beranjak ke kamar tidurku. 

Walaupun aku sudah tidak tinggal di rumah, tapi kamarku masih utuh tatanannya seperti dulu. Emak merawat dan membersihkan setiap hari. Jaga-jaga kalau kami pulang, katanya.

Aku ambil travel bag dan aku bawa ke depan. 

"Apa itu, Nduk?" tanya Pakde Jangin.

Aku ambil amplop panjang warna coklat yang sudah aku siapkan dari rumah. Sudah ada tulisannya untuk siapa saja.

"Emak, ini untuk Emak. Dan, ini untuk Slamet. Yang dibuka punya Emak saja. Yang untuk Slamet, biar dia sendiri yang buka!" kataku serasa memberikan dua amplop yang ada di tanganku.

"Dan ini, untuk Pakde Jangin."

Mereka langsung membuka amplopnya sendiri. Dan, mata mereka seketika membelalak melihat isi bendelan berwarna merah.

Bagaimana tidak, bendelannya buat emak ada lima. Buat pakde jangin dua bendel. Ini lumayan, kami setiap dapat keuntungan langsung di sisihkan di rekening lainnya untuk keluarga.

Itu sudah kesepakatan kami, aku dan Mas Joni. Semua yang aku taruh di amplop atas sepengetahuan suamiku juga. Kami tidak pernah menutupi segala sesuatu, apalagi yang menyangkut dengan uang.

"Kalau kami bangkrut, tidak mungkin bisa memberikan amplop seperti ini, ya kan Pakde?" ucapku minta dukungan, dia balas dengan anggukan dan senyum lebar.

"Tidak, tidak percaya! Aku ingin ngomong langsung dengan Joni, saja. Menantuku!" kata Emak dengan nada yang sudah tidak setinggi tadi.

"Baik. Tak telpon Mas Joni, ya," ucapku berusaha sabar.

"Telpon yang ada gambarnya, Ti! Biar Emak yakin, kalau bicara beneran sama Joni. Itu lo, yang namanya pikol," tandasnya.

"Maksudnya video call, Mak?"

"Iya, pideo kol!"

Emak-emak, segitunya tidak percaya sama anak sendiri. Heran aku, dia lebih percaya dengan kabar yang gak jelas. 

Aku hubungi Mas Joni lewat video call.

Tidak nyambung. 

Aku coba lagi, belum nyambung juga.

Gaswat!

"Tuh kan, Dia tidak mau angkat telpon kamu! Emak ini sudah curiga. Piling Emak pasti benar!"

"Filling, Mak," ucapku membenarkan. Emak ini sok gaya. 

"Iya, yang itu! Kamu sebenarnya ada masalah sama Joni, terus kamu purik! Makanya kamu sudah lirak-lirik sama Mas Mantri. Dia itu kan pacarmu dulu, to? Nyari ban serep, ya" kata emak menjabarkan sebab akibat yang ada di otaknya. 

Dan semua melenceng, ceng!

Aku tersenyum kecut, bingung harus menjelaskan dengan bahasa apa? 

Mungkin bahasa tumbuh-tumbuhan, ya. Seperti angin yang bertiup, rumput bergoyang dong.

Aduh! 

Aku keikut stres!

Klunting....  Klunting.... 

Alhamdulillah, Mas Joni hubungi aku balik.

"Mas Joni!" teriakku lega setelah melihat wajah tampan suamiku di layar ponsel.

"Dek, Dek Tia! Kenapa, kok mukanya seperti tegang! Tumben telpon terus, aku lagi di cargo Dek. Ambil deposit. Bukan cek ya dik. Ini pakai Giro. Alhamdulillah, tanggalnya hari besuk. Jadi langsung tak setorin ke rekeningmu," jelasnya dengan wajah cerah. 

Iya lah, baru dapet pembayaran deposit.

Memang untuk semua pemasukan, harus disetor ke rekeningku semua. Selain supaya teratur, Mas Joni juga memberiku wewenang penuh untuk mengelolanya.

"Mas Joni sekarang masih di kantor Cargo? Bawa mobil?" tanyaku setelah melihat lokasi dibelakangnya.

"Iya, Dek. Bagaimana, apa ada perlu sama Mbak Serly Akunting?" 

Wak kebetulan ini, Emak dan Pakde biar bisa langsung tahu kegiatan Masku tercinta ini.

"Tidak. Mas Joni, ini ada Emak dan Pakde Jangin. Mereka kangen Mas Joni, pingin ngerti juga apa kegiatannya di kota. Lihatin plang nama kantor dan ketika Mas masuk mobil, ya!" jelasku.

Hehehe, aku kasih alasan yang beda dari yang sebenarnya. Kan, gawat kalau Mas Joni tahu aku di gosipin menjadi janda yang sekarang pendekatan sama Mantri Puskesmas.

Mas Joni menyetujui, walaupun awalnya tidak mau. 

Malu! 

Kawatir ditertawakan pak Satpam.

Emak, dan Pakde Jangin langsung VC. Mereka melihat Mas Joni yang jalan sambil menyorot plang nama Cargo. Terus jalan menuju parkir, diarahkan ponsel ke mobil sampai muter sampai Mas Joni naik mobil.

Percaya, kan?

*

"Permisi!" 

Ada orang datang ternyata. 

Oh, si Widya teman SMP ku dulu. Dia tinggal deket rumah sini.

Dia langsung masuk ke rumah dan menghampiriku. Memelukku erat dan menangis.

Dalam tangisnya, membisikiku

"Suti, aku bisa membantumu. Aku sahabatmu"

Ada apa lagi ... ini!?

********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kawatirnya Mas Joni

    Katanya kalau wanita seperti aku sekarang ini pasti dimanja suami. Namun, yang aku rasakan justru omelan dan anjuran yang bikin kepala semakin pusing. Alih-alih merasa dimanja, aku justru seperti dipenjara.“Jangan loncat!”“Awas kesandung. Tunggu sebentar batunya Mas sisihkan.”“Hati-hati!”Dan, peringatan-peringatan yang lain. Rumah biasanya tenang, sekarang berisik.Kemerdekaanku terasa dirampas tuntas. Kebiasaanku yang suka berkelana dengan motor kesayanganku pun tidak diizinkan lagi. “Jangan naik motor. Berbahaya! Mas antar pakai mobil.”Tidak hanya itu, kesukaanku jajan rasa micin pun tidak diperbolehkan lagi. Aku hanya bisa menelan ludah menatap pedagang cilok yang mengguyur saus kacang dan sambal super pedas.“Tahan, Dek. Mulai sekarang harus makan makanan sehat. Karena makananmu itu lah yang nantinya untuk bayi kita. Hindari yang banyak mengandung micin apalagi bahan pengawet dan bahan sintetis,” ucapnya sambil memalingkan wajah ini dari jendela mobil.Ingin rasanya menyelina

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tuduhan yang Bisa Terkabul

    Walaupun di Bali itu everyday is holiday, tapi bagi kami tetap hari minggu lah hari kemerdekaan. Gimana, wong kami di sini untuk bekerja dan malah sampai lembur-lembur.Seperti minggu-minggu kemarin, selain mengurus pekerjaan juga disibukkan menyiapkan kebutuhan si Eliana nya Jonathan. Sekarang semua sudah aman. Tempat tinggal sudah lumayan nyaman, dengan pembantu dan Jonathan menyewakan mobil bulanan.“Pokoknya Mas Joni, ya. Kita hanya bantu Jonathan sebatas itu saja. Aku tidak mau lagi urusan dengan pasangan selingkuh!” ucapku sambil menyelusup di ketiaknya, tempat ternyaman bagiku. Usai subuhan tadi, kami pun bergelung kembali sampai sinar matahari menyelusup dari sela-sela tirai. “Iya, Dek Tia. Aku mengerti. Tapi kita juga menyelesaikan kewajiban yang sudah dibayarkan Jonathan.”“Tapi, Mas. Pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani. Terkesan kita mendukung orang kumpul kebo. Ogah aku.”“Ya, anggap saja kita handle tamu bule. Kita kan juga tidak tahu yang dibawa itu istrinya

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Bab. Pamali

    Benar kata orang, kalau kebohongan akan memicu kebohongan lain. Aku harus bersandiwara bak artis saja. Walaupun itu membuatku cepat lapar. Emak begitu antusias mengatur ini dan itu. Ada saja yang disarankan tapi tidak masuk di otakku. Secara logika kok aneh.“Pokoknya yo, Nduk. Orang hamil itu ada pamali yang tidak boleh dilanggar. Ini wejangannya simbah dulu. Jangan duduk di depan pintu, jangan keluar malam, terus kalau ada baju yang sobek tidak usah dijahit.”“Loh, kenapa, Mak?” Dahiku berkerut. Aku yang mempunyai kesukaan baju tertentu, walaupun lusuh tapi membuatku nyaman. Bahkan sobek sana-sini pun aku belani jahit sendiri.“Kenapa? Kamu lebih sayang celana batikmu yang tembelan itu ketimbang anakmu, hah? Buang sana, beli lagi di pasar banyak!”“Bukan gitu, Mak. Maksudku apa hubungannya.”Wajah Emak di layar ponsel terlihat tegang, dia menoleh kanan-kiri sebelum mendekat dan berbisik. “Ini dipercaya menyebabkan bayinya cacat,” ucapannya berhenti untuk mengetuk meja tiga kali, “a

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Semangatnya Emak

    “Emak tadi nelpon? Aku….”“Alhamdulillah, Nduk! Akhirnya apa yang Emak inginkan terkabul! Sudah tidak sabar Emak menggendong cucu.” Perkataanku terpotong oleh Emak. Aku menghela napas menuai sabar.Kebiasaan.“Mak. Emak jangan salah----”“Kamu ini bagaimana, sih. Tidak ada yang salah kalau orang tua itu bangga. Kamu tahu tidak, selama ini kalau arisan Emak itu mlipir kalau orang-orang cerita bagaimana lucunya cucu mereka. Diem saja, la wong apa yang diceritakan. Tapi sekarang kan lain. Emak sudah ___”“Salah paham, Mak. Perlengkapan bayi yang kita belanja itu bukan---”“Iya, Emak mengerti. Bukan pemborosan, kok. Biasa kalau anak pertama itu ingin beli ini dan itu. Wajar. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Yo wes, Emak mau metik bayam untuk urap-urap, bikin selamatan cucu,” sahutnya kemudian layer ponsel menggelap sebelum aku menjawab.“Gimana Emak, Dek?” tanya Mas Joni yang sedari tadi memperhatian perkacapan lewat telpon ini. Aku menggeleng dan menaikkan kedua bahu.“Emak mikirnya aku ham

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Merasa

    Sesekali aku mengelus perutku yang berisi karena kekenyangan. Dari hari ke hari tidak ada perubahan. Perut membuncit selalu karena makanan.Awal menikah dulu, aku sampai menyetok alat test kehamilan dengan berbagai merk. Katanya, kalau menikah biasanya langsung hamil. Hampir setiap bulan aku menjalankan test dan hasilnya zonk.Kapan aku bisa mendapat kepercayaan mendapat momongan? Kenapa orang lain dimudahkan? Malah yang tidak mengharapkan diberi kepercayaan berkali-kali. Pertanyaan senada berkutat dan berujung kata tidak adil.“Sabar, Dek Tia. Tuhan bukan tidak percaya sama kita, tapi kita dikasih kesempatan untuk pacaran,” ucap Mas Joni setiap aku merasa putus asa. Terlambat haid bukan karena hamil, tapi karena siklus yang tidak normal.“Apa aku ada masalah, ya?” tanyaku merasa kawatir. Mungkin saja aku tidak mampu menghasilkan sel telur yang sehat, sehingga proses pembuahan pun tidak berhasil.“Jangan terlalu dipikirkan. Banyak faktor yang menjadikan usaha kita belum berhasil. Bisa

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kita yang Urus

    Mengurusi anak ABG yang puber itu susah, tapi lebih rumit menyelesaikan masalah lelaki yang katanya puber ke-dua.Kata Mas Joni, Jonathan itu dari masa sekolah terkenal anak yang rajin, patuh, dan tidak neko-neko. Jauh dari kata nakal.“Tapi pacarnya banyak,” sahutku.“Boro-boro pacarana, Dek. Temenan sama cewek saja bisa dihitung jari. Dia itu kalau pas istirahat sekolah, bukannya ke kantin atau nongkrong tapi ke perpustakaan. Entah apa yang dipelajari sampai bisa dikibuli cewek.”“Nah itu, Mas. Teori bisa dikalahkan pengalaman.”“Bener juga. Ayoook kita berangkat!”Kami pun pergi untuk survey villa yang akan dihuni buaya wanita itu. Aku sebut pelakor atau wanita simpanan kok rasanya tidak tepat. Dia kan bukan kekasih yang disembunyikan karena pacarana, tetapi wanita sewaan yang kebetulan kecelakaan.Aduh! Bingung mikirnya.Beberapa tempat sudah kami kunjungi. Belum ada yang pas sesuai keinginan wanita itu dan cukup dengan budget yang disebutkan Jonatahan. Memang teman Mas Joni itu b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status