Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah.
"Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"
Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.
Emak pingsan.
"Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.
Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini.
Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung.
"Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... "
"Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan.
Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon.
Tidak lebih sepuluh menit, datang sepeda motor memasuki halaman rumah. Aku intip ternyata Pakde yang datang bersama Pak Mantri.
Astaga, bukannya itu Mas Danang! Kapan dia pindah ke sini?
Pak Mantri yang dimaksud, Mas Danang, mantanku terakhir sebelum aku menikah dengan Mas Joni. Kami memutuskan berpisah karena dia ada pengangkatan di puskesmas di luar Jawa dan aku akan merantau ke ibu kota. Jarak yang begitu jauh memutuskan untuk berpisah.
"Suti, kalau kita memang jodoh. Pasti kita bertemu lagi ketika kita masih sendiri, dan bisa bersatu lagi" ucapnya saat itu.
Dan, aku menyetujui.
"Ayo, Nak Danang! Masuk!" teriak Pakde mempersilahkan masuk.
Mas Danang dengan jas putih seragam Puskesmas, masuk menyibak tirai penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Dia tercekat sejenak melihatku, dan segera langsung mendekati ibu.
"Dek Suti, kita bertemu lagi," ucapnya dengan suara lembut dan senyuman yang sama seperti dulu.
Terus terang, penampilannya semakin keren. Apalagi dengan rambut di minyakin dan disisir kebelakang, uh, keren. Harum minyak wanginya menyeruak di hidungku, terasa menenangkan membuat aku terlupa sejenak dengan masalah yang konyol ini.
Aduh!
Aku langsung tepok jidat, berusaha mengembalikan akal sehatku.
"Kenapa Nduk?" tanya Pakde sambil menyenggol lenganku.
"E-tidak ada. Cuma ada nyamuk," ucapku sekenanya. Aku lirik, perhatiannya masih terpaku kawatir ke keadaan emak yang lagi diperiksa.
"Bagaimana, Nak Danang?" tanya Pakde sambil memegang lengannya.
Mas Danang tersenyum dan melirik kepadaku.
"Tidak apa-apa Pak Jangin. Ini pingsan seperti biasa. Mungkin akibat lelah, atau karena perut kosong. Sebentar lagi, siuman. Biasanya ini dipicu dengan sesuatu yang mengagetkan. Memang ada apa?" tanyanya sambil mengarah kepadaku.
"Ini gara-gara kabarnya Suti yang ... "
"Mas Danang, tunggu di depan saja, yuk!" ucapku memotong perkataan Pakde.
Bisa gawat melebar-lebar nanti. Kebenarannya saja belum diungkap, sudah disiarkan.
Aku langsung menggandeng tangan Mas Danang menuju ruang depan. Aku lirik, yang digandeng senyum-senyum dengan pipi semburat merah.
Aku tinggalkan Pakde yang menunggui emak.
'Suamiku, maaf. Dikit, kok'
*
"Dek Suti, bagaimana kabarmu?" tanya Mas Danang lembut setelah menyesap teh yang baru saja aku hidangkan.
"Alhamdulillah, aku baik, Mas," ucapku sambil menyodorkan camilan di toples.
"Alhamdulillah kalau begitu, Mas tidak kawatir lagi," ucapnya sambil menatapku tajam. Tatapan tak biasa seperti terakhir kami bertemu. Terasa teduh dan mendamaikan.
"Untung, aku sudah kembali di desa ini. Aku sudah enam bulan di sini."
Terasa kikuk kami duduk berdua disini. Walaupun tidak ada maksud apa-apa tetapi sikap Mas Danang kelihatan lain. Kakinya goyang-goyang seperti dulu ketika akan menyatakan cintanya kepadaku. Wah, jangan-jangan.
"Dek Suti, sebagai laki-laki aku harus yang memulainya dulu. Aku sudah dengar kabar tentangmu, tidak usah malu. Hal seperti ini sudah biasa. Mungkin kita ditakdirkan jodoh, Deh," ucapnya sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
Dia sesekali menatapku dengan wajah sendu.
'Aduh!'
Kepalaku langsung puyeng.
Ternyata kabarku yang sudah menjadi janda sudah menyebar. Bahkan sampai ke telinga mantanku yang sekarang ada di depanku. Dan, menawarkan menjalin hubungan yang pernah usai.
'Huuft !'
Terus terang, aku benar-benar kaget dengan kejadian sekarang. Aku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan emosiku.
"Mas Danang, sebenarnya kabar itu tidak benar, Mas. Aku dengan suamiku baik-baik saja. Itu hanya tuduhan orang-orang karena aku pulang sendiri. Aku harap Mas Danang tidak salah paham," ucapku pelan, kawatir menyinggung perasaannya.
Dia memandangku dengan senyuman yang sama.
"Dek Suti, iya aku percaya. Tetapi, ingat. Masmu ini akan selalu mendukung dan siap membantumu kapanpun," ucapnya sambil menepuk punggung tanganku.
Kata-kata 'Masmu' menandakan bahwa dia tidak percaya dengan yang aku katakan barusan. Seperti dia memproklamirkan bahwa dia adalah milikku.
"Mas permisi dulu, ya. Puskesmas lagi rame. Tidak bisa ditinggal. Terima kasih, ya. Tehnya enak dan manis, seperti yang mbuat," ucapnya dengan menyuguhkan senyumannya yang super manis juga.
Tolong ....! Bagaimana ini?
Mas Joni, bantu aku.
Hiks.
*
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan.
Diikuti Pakde Jangjn, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.
'Ya Allah, apa lagi ini?'
Puyeng ... puyeng!
******
Keseharianku semakin membosankan. Biasanya blusukan mengecek barang ini dan itu adalah tugasku, sekarang diambil alih oleh Mas Joni. Dia bahkan menggaet pihak lain untuk quality control pesanan barang yang akan dikirim.“Tapi, tugas Mas Joni untuk marketing bagaimana? Bukankah sebentar lagi akan pameran di Singapure?” Biasanya saat mendekati hari H, dia pasti sibuk setengah mati. Ini malah tenang-tenang saja di rumah.“Tenang saja, Dek. Semua aku titipkan ke teman-teman,” ucapnya dengan santai. Suamiku sekarang sedang berkutat dengan lap top nya. Itu pun tidak di ruang kantor, tapi di dalam kamar menemaniku yang rebahan.“Loh, Mas. Kita mau punya anak kok malah kerjanya kendor. Sebentar lagi kita mendapat tanggung jawab yang membutuhkan biaya tidak sedikit.”“Iya, Mas mengerti banget,” ucapnya kemudian beralih ke ranjang sambil membawa laptop. “Ini aku tunjukkin, ya.”Layar lap top dihadapkan ke arahku. Aku pun beringsut duduk di sebelahnya. Mengikuti arah kursor yang mulai menjelaja
Katanya kalau wanita seperti aku sekarang ini pasti dimanja suami. Namun, yang aku rasakan justru omelan dan anjuran yang bikin kepala semakin pusing. Alih-alih merasa dimanja, aku justru seperti dipenjara.“Jangan loncat!”“Awas kesandung. Tunggu sebentar batunya Mas sisihkan.”“Hati-hati!”Dan, peringatan-peringatan yang lain. Rumah biasanya tenang, sekarang berisik.Kemerdekaanku terasa dirampas tuntas. Kebiasaanku yang suka berkelana dengan motor kesayanganku pun tidak diizinkan lagi. “Jangan naik motor. Berbahaya! Mas antar pakai mobil.”Tidak hanya itu, kesukaanku jajan rasa micin pun tidak diperbolehkan lagi. Aku hanya bisa menelan ludah menatap pedagang cilok yang mengguyur saus kacang dan sambal super pedas.“Tahan, Dek. Mulai sekarang harus makan makanan sehat. Karena makananmu itu lah yang nantinya untuk bayi kita. Hindari yang banyak mengandung micin apalagi bahan pengawet dan bahan sintetis,” ucapnya sambil memalingkan wajah ini dari jendela mobil.Ingin rasanya menyelina
Walaupun di Bali itu everyday is holiday, tapi bagi kami tetap hari minggu lah hari kemerdekaan. Gimana, wong kami di sini untuk bekerja dan malah sampai lembur-lembur.Seperti minggu-minggu kemarin, selain mengurus pekerjaan juga disibukkan menyiapkan kebutuhan si Eliana nya Jonathan. Sekarang semua sudah aman. Tempat tinggal sudah lumayan nyaman, dengan pembantu dan Jonathan menyewakan mobil bulanan.“Pokoknya Mas Joni, ya. Kita hanya bantu Jonathan sebatas itu saja. Aku tidak mau lagi urusan dengan pasangan selingkuh!” ucapku sambil menyelusup di ketiaknya, tempat ternyaman bagiku. Usai subuhan tadi, kami pun bergelung kembali sampai sinar matahari menyelusup dari sela-sela tirai. “Iya, Dek Tia. Aku mengerti. Tapi kita juga menyelesaikan kewajiban yang sudah dibayarkan Jonathan.”“Tapi, Mas. Pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani. Terkesan kita mendukung orang kumpul kebo. Ogah aku.”“Ya, anggap saja kita handle tamu bule. Kita kan juga tidak tahu yang dibawa itu istrinya
Benar kata orang, kalau kebohongan akan memicu kebohongan lain. Aku harus bersandiwara bak artis saja. Walaupun itu membuatku cepat lapar. Emak begitu antusias mengatur ini dan itu. Ada saja yang disarankan tapi tidak masuk di otakku. Secara logika kok aneh.“Pokoknya yo, Nduk. Orang hamil itu ada pamali yang tidak boleh dilanggar. Ini wejangannya simbah dulu. Jangan duduk di depan pintu, jangan keluar malam, terus kalau ada baju yang sobek tidak usah dijahit.”“Loh, kenapa, Mak?” Dahiku berkerut. Aku yang mempunyai kesukaan baju tertentu, walaupun lusuh tapi membuatku nyaman. Bahkan sobek sana-sini pun aku belani jahit sendiri.“Kenapa? Kamu lebih sayang celana batikmu yang tembelan itu ketimbang anakmu, hah? Buang sana, beli lagi di pasar banyak!”“Bukan gitu, Mak. Maksudku apa hubungannya.”Wajah Emak di layar ponsel terlihat tegang, dia menoleh kanan-kiri sebelum mendekat dan berbisik. “Ini dipercaya menyebabkan bayinya cacat,” ucapannya berhenti untuk mengetuk meja tiga kali, “a
“Emak tadi nelpon? Aku….”“Alhamdulillah, Nduk! Akhirnya apa yang Emak inginkan terkabul! Sudah tidak sabar Emak menggendong cucu.” Perkataanku terpotong oleh Emak. Aku menghela napas menuai sabar.Kebiasaan.“Mak. Emak jangan salah----”“Kamu ini bagaimana, sih. Tidak ada yang salah kalau orang tua itu bangga. Kamu tahu tidak, selama ini kalau arisan Emak itu mlipir kalau orang-orang cerita bagaimana lucunya cucu mereka. Diem saja, la wong apa yang diceritakan. Tapi sekarang kan lain. Emak sudah ___”“Salah paham, Mak. Perlengkapan bayi yang kita belanja itu bukan---”“Iya, Emak mengerti. Bukan pemborosan, kok. Biasa kalau anak pertama itu ingin beli ini dan itu. Wajar. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Yo wes, Emak mau metik bayam untuk urap-urap, bikin selamatan cucu,” sahutnya kemudian layer ponsel menggelap sebelum aku menjawab.“Gimana Emak, Dek?” tanya Mas Joni yang sedari tadi memperhatian perkacapan lewat telpon ini. Aku menggeleng dan menaikkan kedua bahu.“Emak mikirnya aku ham
Sesekali aku mengelus perutku yang berisi karena kekenyangan. Dari hari ke hari tidak ada perubahan. Perut membuncit selalu karena makanan.Awal menikah dulu, aku sampai menyetok alat test kehamilan dengan berbagai merk. Katanya, kalau menikah biasanya langsung hamil. Hampir setiap bulan aku menjalankan test dan hasilnya zonk.Kapan aku bisa mendapat kepercayaan mendapat momongan? Kenapa orang lain dimudahkan? Malah yang tidak mengharapkan diberi kepercayaan berkali-kali. Pertanyaan senada berkutat dan berujung kata tidak adil.“Sabar, Dek Tia. Tuhan bukan tidak percaya sama kita, tapi kita dikasih kesempatan untuk pacaran,” ucap Mas Joni setiap aku merasa putus asa. Terlambat haid bukan karena hamil, tapi karena siklus yang tidak normal.“Apa aku ada masalah, ya?” tanyaku merasa kawatir. Mungkin saja aku tidak mampu menghasilkan sel telur yang sehat, sehingga proses pembuahan pun tidak berhasil.“Jangan terlalu dipikirkan. Banyak faktor yang menjadikan usaha kita belum berhasil. Bisa