Share

Pakde Jangin

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-01-08 21:08:03

Brak .... !

Suara pintu dapur mengagetkanku.

Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.

Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.

Masih silau.

Siapa, ya?

*

Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang.

"Pakde Jangin!" teriakku kaget.

Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.

Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.

Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa.

"Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriaknya. 

Entah ada maksud apa dia mencari suamiku. Seingatku dia kerabat Emak yang paling sayang dengan Mas Joni. Dengan menjual nama besarnya, dia berjalan-jalan dengan suamiku itu sepanjang hari keliling kecamatan. 

Naik mobil tentunya. 

Mereka singgah di semua spot tongkrongan dan beberapa teman Pakde. Memperkenalkan dengan bangga bahwa Mas Joni adalah suami dari keponakan yang paling di sayang.

"Dengan begitu, kalian akan aman di daerah ini. Tidak akan ada yang berani macem-macem!" katanya mengemukakan alasan sesi muter-muter ini.

"Suti! Kok diam saja?!"

Terhenyak aku dengan teriakannya, langsung aku hampiri dan salim tangan.

"Mas Joni, Pakde?"

"Iya! Mau tak remet-remet, dia!"

"Suti pulang sendiri. Mas Joni tidak bisa mengantar," kataku masih heran. 

Kenapa dia datang tiba-tiba dan marah dengan suamiku? Wajahnya kelihatan merah, rahangnya menggeletuk dan tangannya mengepal keras.

"Kang Jangin!" teriak emak yang masuk dengan tergopoh. 

Mengambil air minum dan langsung menghampirinya. Emak tahu, kondisi seperti ini Pakde membutuhkan minum air putih. 

"Duduk dulu, Kang Jangin. Ada apa? Kok kelihatan jalan terburu-buru, sampai tak panggil tidak dengar. Apa ada yang mendesak atau penting?" kata Emak lembut.

"Penting sekali! Ini berhubungan dengan martabat keluarga. Masak kamu sudah janda ditinggal kawin suamimu, sekarang anakmu juga seperti itu! Menjadi janda!" teriaknya kesal.

"Janda? Siapa yang janda, Pakde?!" teriakku penasaran. 

Sebentar, maksud Pakde apa, ya?  Emak janda, anaknya emak berarti aku, dong!

"Saya?" ucapku kaget sambil menunjuk dadaku sendiri.

"La iya. Semua orang sak desa membicarakan kamu! Yang dipulangkan suamimu dengan tidak hormat! Sudah dicerai, diusir dari rumah tidak dikasih harta gono-gini. Itu kan, makanya kamu pulang sendiri! Joni ini, kurang ajar!" teriaknya dengan nafas memburu.

"Ti ... Ti, nasibmu kok melas temen to, Nduk. Sudah di tinggal kawin bapakmu, sekarang dibuang sama suamimu," ucapnya lirih. 

Aku lihat matanya berkaca-kaca. Pakdeku ini, dibalik sikapnya yang kasar, hatinya sangat lembut terutama kepada keponakannya ini.

Wah, kabar tentangku yang tidak bener ini semakin bergulir dengan hipotesa yng ngawur, tetapi seolah-olah menjadi suatu kebenaran. Aku harus secepatnya meluruskan kesalahpahaman ini. Hanya gara-gara pulang kampung tanpa suami, sudah disimpulkan di cerai.

Mereka tidak tahu apa, aku sama suamiku lagi mesra-mesranya.

Sabar, sabar.

"Pakde, terima kasih sudah memberi perhatian kepada saya. Sebenarnya, ... "  ucapku terpotong dengan teriakan Emak yang berdiri disebelahku.

"Bener itu,  Ti! Astaghfirullah hal adzim. Berarti omongan orang di pasar itu bener. Kamu dicerai sama Joni? Gara-gara kamu belum kasih dia anak," teriak Emak, dia terdiam untuk ambil nafas. 

Dan segera bicara bicara lagi, tanpa memberi kesempatan kepadaku. Rasa laparku yang menguar tadi sudah hilang lenyap. Terganti rasa yang tidak tahu namanya apa.

"Makanya kamu itu, dikasih tahu orang tua untuk cepeten hamil, tidak mau. Sok-sokan bisnis. Setelah dia sukses, kamu ditinggal!" 

Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah.

"Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"

Tubuh Emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.

Emak pingsan.

"Emak .... !"

********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Keinginan Bumil

    Mas Joni tetap bersikukuh tidak memperbolehkan aku pergi pulang kampung. Apapun alasannya terutama untuk cek barang yang siap kirim. "Bahaya, Dek. Jaraknya jauh, nanti kamu kecapekan." "Kan bisa pakai pesawat. Turun Jogja," sahutku sambil menghempaskan bokong ke sofa. Aku menerima segelas susu hamil yang disodorkan suamiku. "Dek. Dari Jogja ke kampung itu membutuhkan waktu empat jam. Jalannya juga belak-belok. Trus kamu nanti naik apa? Tidak mungkin pakai travel, kan?" "Ya gak papa. Dulu aku santai aja. Kenapa dipersulit, sih," seruku setelah meneguk susu sampai tandas. Mas Joni menghela napas, menerima gelas kosong dan meletakkan di meja dapur. Dia kembali dan duduk mensejajariku. Mengalungkan tangan dan menarikku untuk bersandar kepadanya. "Dek Tia, Sayang. Mas melarang itu demi kalian. Dedek dan Mamanya." Suamiku mengecup dan membelai perutku yang mulai membuncit sedikit. "Tapi aku bosan." "Mengerti. Gimana kalau kita jalan-jalan di dekat sini?" "Gak minat," jawabku s

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil    Ngambek

    Keseharianku semakin membosankan. Biasanya blusukan mengecek barang ini dan itu adalah tugasku, sekarang diambil alih oleh Mas Joni. Dia bahkan menggaet pihak lain untuk quality control pesanan barang yang akan dikirim.“Tapi, tugas Mas Joni untuk marketing bagaimana? Bukankah sebentar lagi akan pameran di Singapure?” Biasanya saat mendekati hari H, dia pasti sibuk setengah mati. Ini malah tenang-tenang saja di rumah.“Tenang saja, Dek. Semua aku titipkan ke teman-teman,” ucapnya dengan santai. Suamiku sekarang sedang berkutat dengan lap top nya. Itu pun tidak di ruang kantor, tapi di dalam kamar menemaniku yang rebahan.“Loh, Mas. Kita mau punya anak kok malah kerjanya kendor. Sebentar lagi kita mendapat tanggung jawab yang membutuhkan biaya tidak sedikit.”“Iya, Mas mengerti banget,” ucapnya kemudian beralih ke ranjang sambil membawa laptop. “Ini aku tunjukkin, ya.”Layar lap top dihadapkan ke arahku. Aku pun beringsut duduk di sebelahnya. Mengikuti arah kursor yang mulai menjelaja

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kawatirnya Mas Joni

    Katanya kalau wanita seperti aku sekarang ini pasti dimanja suami. Namun, yang aku rasakan justru omelan dan anjuran yang bikin kepala semakin pusing. Alih-alih merasa dimanja, aku justru seperti dipenjara.“Jangan loncat!”“Awas kesandung. Tunggu sebentar batunya Mas sisihkan.”“Hati-hati!”Dan, peringatan-peringatan yang lain. Rumah biasanya tenang, sekarang berisik.Kemerdekaanku terasa dirampas tuntas. Kebiasaanku yang suka berkelana dengan motor kesayanganku pun tidak diizinkan lagi. “Jangan naik motor. Berbahaya! Mas antar pakai mobil.”Tidak hanya itu, kesukaanku jajan rasa micin pun tidak diperbolehkan lagi. Aku hanya bisa menelan ludah menatap pedagang cilok yang mengguyur saus kacang dan sambal super pedas.“Tahan, Dek. Mulai sekarang harus makan makanan sehat. Karena makananmu itu lah yang nantinya untuk bayi kita. Hindari yang banyak mengandung micin apalagi bahan pengawet dan bahan sintetis,” ucapnya sambil memalingkan wajah ini dari jendela mobil.Ingin rasanya menyelina

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tuduhan yang Bisa Terkabul

    Walaupun di Bali itu everyday is holiday, tapi bagi kami tetap hari minggu lah hari kemerdekaan. Gimana, wong kami di sini untuk bekerja dan malah sampai lembur-lembur.Seperti minggu-minggu kemarin, selain mengurus pekerjaan juga disibukkan menyiapkan kebutuhan si Eliana nya Jonathan. Sekarang semua sudah aman. Tempat tinggal sudah lumayan nyaman, dengan pembantu dan Jonathan menyewakan mobil bulanan.“Pokoknya Mas Joni, ya. Kita hanya bantu Jonathan sebatas itu saja. Aku tidak mau lagi urusan dengan pasangan selingkuh!” ucapku sambil menyelusup di ketiaknya, tempat ternyaman bagiku. Usai subuhan tadi, kami pun bergelung kembali sampai sinar matahari menyelusup dari sela-sela tirai. “Iya, Dek Tia. Aku mengerti. Tapi kita juga menyelesaikan kewajiban yang sudah dibayarkan Jonathan.”“Tapi, Mas. Pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani. Terkesan kita mendukung orang kumpul kebo. Ogah aku.”“Ya, anggap saja kita handle tamu bule. Kita kan juga tidak tahu yang dibawa itu istrinya

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Bab. Pamali

    Benar kata orang, kalau kebohongan akan memicu kebohongan lain. Aku harus bersandiwara bak artis saja. Walaupun itu membuatku cepat lapar. Emak begitu antusias mengatur ini dan itu. Ada saja yang disarankan tapi tidak masuk di otakku. Secara logika kok aneh.“Pokoknya yo, Nduk. Orang hamil itu ada pamali yang tidak boleh dilanggar. Ini wejangannya simbah dulu. Jangan duduk di depan pintu, jangan keluar malam, terus kalau ada baju yang sobek tidak usah dijahit.”“Loh, kenapa, Mak?” Dahiku berkerut. Aku yang mempunyai kesukaan baju tertentu, walaupun lusuh tapi membuatku nyaman. Bahkan sobek sana-sini pun aku belani jahit sendiri.“Kenapa? Kamu lebih sayang celana batikmu yang tembelan itu ketimbang anakmu, hah? Buang sana, beli lagi di pasar banyak!”“Bukan gitu, Mak. Maksudku apa hubungannya.”Wajah Emak di layar ponsel terlihat tegang, dia menoleh kanan-kiri sebelum mendekat dan berbisik. “Ini dipercaya menyebabkan bayinya cacat,” ucapannya berhenti untuk mengetuk meja tiga kali, “a

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Semangatnya Emak

    “Emak tadi nelpon? Aku….”“Alhamdulillah, Nduk! Akhirnya apa yang Emak inginkan terkabul! Sudah tidak sabar Emak menggendong cucu.” Perkataanku terpotong oleh Emak. Aku menghela napas menuai sabar.Kebiasaan.“Mak. Emak jangan salah----”“Kamu ini bagaimana, sih. Tidak ada yang salah kalau orang tua itu bangga. Kamu tahu tidak, selama ini kalau arisan Emak itu mlipir kalau orang-orang cerita bagaimana lucunya cucu mereka. Diem saja, la wong apa yang diceritakan. Tapi sekarang kan lain. Emak sudah ___”“Salah paham, Mak. Perlengkapan bayi yang kita belanja itu bukan---”“Iya, Emak mengerti. Bukan pemborosan, kok. Biasa kalau anak pertama itu ingin beli ini dan itu. Wajar. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Yo wes, Emak mau metik bayam untuk urap-urap, bikin selamatan cucu,” sahutnya kemudian layer ponsel menggelap sebelum aku menjawab.“Gimana Emak, Dek?” tanya Mas Joni yang sedari tadi memperhatian perkacapan lewat telpon ini. Aku menggeleng dan menaikkan kedua bahu.“Emak mikirnya aku ham

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status