Share

Kangen Suami

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-01-08 21:07:24

"Emak, aku ikut ke Pasar, ya. Kangen pingin makan lupis sama pecel lontongnya Mbok Irah!" teriakku dari kamar mandi, ketika mendengar Emak sibuk mau pergi ke pasar.

"Tidak usah ikut? Emak beliin saja! Kembangnya selak habis!" teriak Emak menjawab.

"Emak, ikut .... !" teriakku lebih kencang. Hening, tidak ada jawaban. Aku buka sedikit pintu kamar mandi keluar, celingak-celinguk tidak ada orang.

Huuf... ditinggal, deh. Emak ini kagak tahu kalau aku kangen jalan-jalan ke pasar. Di kota emang ada pasar, tetapi, kurang seru.

Kalau di sini, ke pasar serasa jumpa fans. Dari pintu gerbang sudah ketemu Parjo temen SMP ku yang jaga karcis pasar. Dia dulu sempet naksir aku. Ada juga Mas Tono, penjual ayam, mantanku pas SMA dulu. Kalau beli ayam, pasti dimantepin sambil ngobrol sana-sini yang gak jelas. Mengabaikan orang sebelahnya yang mencucu, istrinya.

Hehehe ....

Belum kalau masuk ke pasar, ketemu Yu Sri, Lek Inem, Mbak Tinah dan yang lainnya. Mereka ada yang tetangga, temen SMA, bahkan ada yang mantan calon mertua seperti Budhe Parji dan Budhe Yato. Dan semua berebut menyapa dan bahkan memaksa untuk mengobrol lama.

Seneng, kan.

Belanjanya sebentar, ngobrolnya tiga jam.

Gara-gara, ditinggal emak ke pasar akhirnya aku nganggur di rumah.

Nunggu lontong pecelnya Mbok Irah yang pedesnya serasa di tampol orang. Pedesnya cabe desa lebih gimana gitu, seger dan nyetrong, dibandingkan cabe kota. Apa hanya perasaanku aja, ya?

Klunting.... Klunting....

Ponselku bunyi dengan nada sambung spesial nomor Mas Joni, suamiku.

"Halo Mas Joni .... " teriakku ketika wajah suamiku yang ganteng itu muncul di layar ponselku.

Mak ser .... rasa di dadaku.

Berpisah masih satu hari saja, sudah terasa kangen. Selama menikah dua tahun, baru kali ini kami berpisah lebih dari duapuluh empat jam. Rasanya sekarang, gimana cobak.

Kangen.

"Kenapa Dek Tia, habis senyum kok cemberut?"

"Kangen berat, Mas," jawabku dengan masih mecucu.

"Sama, Mas juga kangen. Untung sudah dikasih bekal," katanya sambil senyum dan mengedipkan matanya menggoda.

Aku tersenyum melihat ulahnya.

"Nah, gitu dong. Kalau senyum kan, makin cantik. Cepet pulang pulang ya, Dek. Bekalnya sudah mulai nipis," ucapnya merajuk dengan mata sendu. Baru berpisah sebentar suamiku ini sudah kelimpungan.

"Mas Joni, bekasnya kemarin saja belum hilang. Aku sampe kemana-mana pakai syal."

Aku buka selendang dileherku untuk menunjukkan beberapa noda merah dileher, dada dan bahuku akibat perbuatannya. Proses pemberian bekal kemarin terlalu berlebihan, sampai berakibat fatal seperti ini.

"Hehehe, itu stempel, Dek. Tanda kepemilikan. Biar, kamu tidak bisa macem-macem!" teriaknya dengan terkekeh.

"Nanti, sampe rumah, tak bikinin lagi!" tambahnya.

"Mas Joni!" teriakku dengan pipi yang memanas. Aku lihat kanan kiri, takut ada yang nguping pembicaraan ala pasutri.

"Hari ini, ziarah ke makam Simbah? Sama emak atau Dek Slamet?"

Slamet, adik lelaki satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Dialah yang menemani emak di rumah, walaupun hanya hari sabtu dan minggu. Karena dia sekolah di kota kecamatan, hanya hari itu saja bisa pulang ke kampung.

Kalau bapak, jangan nanyak dia, deh. Bapak kawin lagi sama janda kaya di desa sebelah. Dia tidak sanggup menolak pesona janda sexy yang banyak tanahnya. Walaupun itu peninggalan suaminya yang meninggal.

Yah, diiklaskan saja, kata Emak. Entah karena sudah tidak cinta atau karena sudah tidak sabar menghadapi Bapak yang kerjaannya adu jago saja. Buktinya, sampai sekarang Emak baik-baik saja membiayai hidupnya dengan hasil pertaniannya.

Yah, khusus untuk pendidikan biaya Slamet adikku, itu tanggunganku. Makanya aku merantau ke kota.

"Dek Tia, kok nglamun? Kangen banget sama Mas, ya?" tanya Mas Joni menyadarkanku.

Aku tersenyum mendengarnya sambil mengangguk mengiyakan.

"Aku ziarah sama Emak. Slamet masih di kota, sekolah."

"Ya udah. Hati-hati, ya. Salam buat Emak. besuk kamu kan sudah pulang. Malamnya kita ketemu lagi. Tak jemput di terminal ya?"

"Iya, Mas. Bagaimana meetingnya sama Mr. William? Lancar, kan?"

"Alhamdulillah. Atas doa istriku yang tersayang, semuanya lancar. Lumayan, bisa buat bekal mudik!" ucapnya antusias.

Iya, usaha kami berdua mengalami kemajuan yang pesat. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang lancar, bisnis Mas Joni bisa menembus pasar Internasional.

"Alhamdulillah. Berarti sampai rumah, aku langsung di jos kerjanya ya, Mas," ucapku dengan senyum yang super lebar.

Bayangan keuntungan yang pasti didapat langsung berbayang di kepalaku. Ya aku tahulah, yang ngitung proposalnya, aku.

"Dek Tia, doa kan lagi, ya. Ini aku mau berangkat ke cargo. Mau ngurus pembayaran depositnya. Semoga tidak dikasih cek mundur."

Iya, pembayaran pembeli dari luar, biasanya sudah titip di kantor cargo. Jadi, pelunasan bisa langsung diambil ketika barang pesanan sudah di kirim. Sama-sama aman buat pembeli dan penjual seperti kami ini.

Kami pun menutup pembicaraan setelah saling cium jauh.

Alhamdulillah, bekal mudik sudah ada.

***

Kriuk ... kriuk ....

Bunyi perutku, seperti orkestra saja.

Kebiasaanku yang makan pagi menuntutku untuk segera menenangkan perut ini dengan makanan. Aku beranjak ke dapur. Di meja makan masih bersih, kosong belum ada makanan.

Aku usah perutku, 'sabar, ya, perut!'

Emak kok belum pulang, ya. Bukan menunggu emak, tapi, mengharap lontong pecel untuk membungkam bunyi kriuk ini.

Brak .... !

Suara pintu dapur mengagetkanku.

Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.

Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.

Masih silau.

Siapa, ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil    Ngambek

    Keseharianku semakin membosankan. Biasanya blusukan mengecek barang ini dan itu adalah tugasku, sekarang diambil alih oleh Mas Joni. Dia bahkan menggaet pihak lain untuk quality control pesanan barang yang akan dikirim.“Tapi, tugas Mas Joni untuk marketing bagaimana? Bukankah sebentar lagi akan pameran di Singapure?” Biasanya saat mendekati hari H, dia pasti sibuk setengah mati. Ini malah tenang-tenang saja di rumah.“Tenang saja, Dek. Semua aku titipkan ke teman-teman,” ucapnya dengan santai. Suamiku sekarang sedang berkutat dengan lap top nya. Itu pun tidak di ruang kantor, tapi di dalam kamar menemaniku yang rebahan.“Loh, Mas. Kita mau punya anak kok malah kerjanya kendor. Sebentar lagi kita mendapat tanggung jawab yang membutuhkan biaya tidak sedikit.”“Iya, Mas mengerti banget,” ucapnya kemudian beralih ke ranjang sambil membawa laptop. “Ini aku tunjukkin, ya.”Layar lap top dihadapkan ke arahku. Aku pun beringsut duduk di sebelahnya. Mengikuti arah kursor yang mulai menjelaja

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kawatirnya Mas Joni

    Katanya kalau wanita seperti aku sekarang ini pasti dimanja suami. Namun, yang aku rasakan justru omelan dan anjuran yang bikin kepala semakin pusing. Alih-alih merasa dimanja, aku justru seperti dipenjara.“Jangan loncat!”“Awas kesandung. Tunggu sebentar batunya Mas sisihkan.”“Hati-hati!”Dan, peringatan-peringatan yang lain. Rumah biasanya tenang, sekarang berisik.Kemerdekaanku terasa dirampas tuntas. Kebiasaanku yang suka berkelana dengan motor kesayanganku pun tidak diizinkan lagi. “Jangan naik motor. Berbahaya! Mas antar pakai mobil.”Tidak hanya itu, kesukaanku jajan rasa micin pun tidak diperbolehkan lagi. Aku hanya bisa menelan ludah menatap pedagang cilok yang mengguyur saus kacang dan sambal super pedas.“Tahan, Dek. Mulai sekarang harus makan makanan sehat. Karena makananmu itu lah yang nantinya untuk bayi kita. Hindari yang banyak mengandung micin apalagi bahan pengawet dan bahan sintetis,” ucapnya sambil memalingkan wajah ini dari jendela mobil.Ingin rasanya menyelina

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tuduhan yang Bisa Terkabul

    Walaupun di Bali itu everyday is holiday, tapi bagi kami tetap hari minggu lah hari kemerdekaan. Gimana, wong kami di sini untuk bekerja dan malah sampai lembur-lembur.Seperti minggu-minggu kemarin, selain mengurus pekerjaan juga disibukkan menyiapkan kebutuhan si Eliana nya Jonathan. Sekarang semua sudah aman. Tempat tinggal sudah lumayan nyaman, dengan pembantu dan Jonathan menyewakan mobil bulanan.“Pokoknya Mas Joni, ya. Kita hanya bantu Jonathan sebatas itu saja. Aku tidak mau lagi urusan dengan pasangan selingkuh!” ucapku sambil menyelusup di ketiaknya, tempat ternyaman bagiku. Usai subuhan tadi, kami pun bergelung kembali sampai sinar matahari menyelusup dari sela-sela tirai. “Iya, Dek Tia. Aku mengerti. Tapi kita juga menyelesaikan kewajiban yang sudah dibayarkan Jonathan.”“Tapi, Mas. Pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani. Terkesan kita mendukung orang kumpul kebo. Ogah aku.”“Ya, anggap saja kita handle tamu bule. Kita kan juga tidak tahu yang dibawa itu istrinya

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Bab. Pamali

    Benar kata orang, kalau kebohongan akan memicu kebohongan lain. Aku harus bersandiwara bak artis saja. Walaupun itu membuatku cepat lapar. Emak begitu antusias mengatur ini dan itu. Ada saja yang disarankan tapi tidak masuk di otakku. Secara logika kok aneh.“Pokoknya yo, Nduk. Orang hamil itu ada pamali yang tidak boleh dilanggar. Ini wejangannya simbah dulu. Jangan duduk di depan pintu, jangan keluar malam, terus kalau ada baju yang sobek tidak usah dijahit.”“Loh, kenapa, Mak?” Dahiku berkerut. Aku yang mempunyai kesukaan baju tertentu, walaupun lusuh tapi membuatku nyaman. Bahkan sobek sana-sini pun aku belani jahit sendiri.“Kenapa? Kamu lebih sayang celana batikmu yang tembelan itu ketimbang anakmu, hah? Buang sana, beli lagi di pasar banyak!”“Bukan gitu, Mak. Maksudku apa hubungannya.”Wajah Emak di layar ponsel terlihat tegang, dia menoleh kanan-kiri sebelum mendekat dan berbisik. “Ini dipercaya menyebabkan bayinya cacat,” ucapannya berhenti untuk mengetuk meja tiga kali, “a

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Semangatnya Emak

    “Emak tadi nelpon? Aku….”“Alhamdulillah, Nduk! Akhirnya apa yang Emak inginkan terkabul! Sudah tidak sabar Emak menggendong cucu.” Perkataanku terpotong oleh Emak. Aku menghela napas menuai sabar.Kebiasaan.“Mak. Emak jangan salah----”“Kamu ini bagaimana, sih. Tidak ada yang salah kalau orang tua itu bangga. Kamu tahu tidak, selama ini kalau arisan Emak itu mlipir kalau orang-orang cerita bagaimana lucunya cucu mereka. Diem saja, la wong apa yang diceritakan. Tapi sekarang kan lain. Emak sudah ___”“Salah paham, Mak. Perlengkapan bayi yang kita belanja itu bukan---”“Iya, Emak mengerti. Bukan pemborosan, kok. Biasa kalau anak pertama itu ingin beli ini dan itu. Wajar. Tidak apa-apa lanjutkan saja. Yo wes, Emak mau metik bayam untuk urap-urap, bikin selamatan cucu,” sahutnya kemudian layer ponsel menggelap sebelum aku menjawab.“Gimana Emak, Dek?” tanya Mas Joni yang sedari tadi memperhatian perkacapan lewat telpon ini. Aku menggeleng dan menaikkan kedua bahu.“Emak mikirnya aku ham

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Merasa

    Sesekali aku mengelus perutku yang berisi karena kekenyangan. Dari hari ke hari tidak ada perubahan. Perut membuncit selalu karena makanan.Awal menikah dulu, aku sampai menyetok alat test kehamilan dengan berbagai merk. Katanya, kalau menikah biasanya langsung hamil. Hampir setiap bulan aku menjalankan test dan hasilnya zonk.Kapan aku bisa mendapat kepercayaan mendapat momongan? Kenapa orang lain dimudahkan? Malah yang tidak mengharapkan diberi kepercayaan berkali-kali. Pertanyaan senada berkutat dan berujung kata tidak adil.“Sabar, Dek Tia. Tuhan bukan tidak percaya sama kita, tapi kita dikasih kesempatan untuk pacaran,” ucap Mas Joni setiap aku merasa putus asa. Terlambat haid bukan karena hamil, tapi karena siklus yang tidak normal.“Apa aku ada masalah, ya?” tanyaku merasa kawatir. Mungkin saja aku tidak mampu menghasilkan sel telur yang sehat, sehingga proses pembuahan pun tidak berhasil.“Jangan terlalu dipikirkan. Banyak faktor yang menjadikan usaha kita belum berhasil. Bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status